Ed ada meeting dengan dewan direksinya. Aku yang boring di ruangannya memutuskan keluar sejenak.Mungkin menikmati segelas capucino di lounge bisa sedikit menghibur diri.Saat hendak menuju ke tempat itu dengan turun beberapa lantai dari ruang kerja suamiku, aku bertemu Sam.Apa dia tidak ikut meeting?“Sam?” sapaku dan pria itu menahan langkahnya sekedar memberikan hormat.Sam sejak dulu tidak berubah. Selalu sesopan itu.“Kau tidak ikut meeting?” tanyaku.“Ada yang harus saya lakukan, Nyonya. Jadi Tuan Edward tidak meminta saya mendampinginya meeting.”Kebetulan sekali. Aku bisa bertanya padanya.“Kau tidak keberatan bukan kalau kita duduk di lounge sebentar dan mengobrol?”Sam tidak langsung menyahut. Aku tahu pria ini sepertinya sedikit keberatan karena harus peri ke suatu tempat.Kalau dia bilang tidak bisa, aku juga tidak akan mengganggunya.Ternyata, Sam mengangguk dan memenuhi keinginanku. Mungkin segan menolak permintaan istri tuannya.Lagi pula, aku tidak akan lama-lama. Ak
“Ada tamu di dalam?” tanyaku pada sekretaris Ed sebelum masuk ke ruang kerjanya.“Ada, Nyonya. Apa perlu saya beritahu tuan kalau nyonya ada di sini?”“Apa tuan tidak mau diganggu?” tanyaku lagi. Kalau-kalau Ed berpesan agar tidak ada yang mengangunya saat ada tamu.“Tidak, Nyonya. Tuan tidak berpesan apa-apa.”Aku merasa lega, jadi kupikir memang gadis itulah yang kecentilan masuk dan mengganggu suamiku.“Kalau begitu, aku langsung masuk saja.”Dan sekretaris itu hanya mengangguk. Tidak menahanku karena memang Ed tidak memintanya menahanku. Saat kubuka pintu, Ed tampak duduk di sofa dan Indah juga duduk di sofa lainnya. Sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang tidak terlalu penting.Melihatku masuk, Ed langsung menyapaku. “Dari mana, Sayang?”“Oh, ada tamu?” Sapaku berjalan menghampiri mereka.“Hai Kak, Kakak di sini juga?” Indah dengan tampang cueknya menyapaku. Melihat gadis itu yang masa bodoh, aku mulai kesal padanya. Namun masih bisa kupertahankan sikap ramahku pada wanita
“Apa yang salah dari ucapanku? Ada urusan yang tidak bisa aku undur, lantas apa harus sebegitunya mengorbankan kepentingan lebih besar sekedar untuk beramah tamah pada seseorang yang hanya memegang satu kartu—pernah menyelamatkanku—yang besok atau kapan masih bisa bertemu?”Ed tampak tidak suka aku mengingatkannya akan hal itu. Padahal, akulah yang jengah pada sikap Indah. Kenapa juga aku malah membelanya?Labil sekali sikapku ini...“Ya sudah jangan kesal begitu. Kita cari makan siang di luar, yuk? Kau tidak sedang repot ‘kan sekarang?” kubingkai wajah suamiku dengan kedua tanganku, di sana kulihat banyak sekali masalah yang sampai membuat keningnya sedikit berkerut.“Boleh, setelah ini aku harus menemui utusan perusahaan dari Jepang di Hotel Emeraldo. Dari pada di rumah juga tidak ada orang, ikut sekalian, yuk?” Ed menawarkan.Aku mengangguk tidak keberatan. Bisa menemani suamiku dalam kesibukannya adalah hal yang baik.Lalu kurangkulkan kedua lenganku di lehernya untuk berkata,
Kusempatkan mandi agar lebih segar. Karena tidak bawa baju ganti, jadi aku memakai bathrobe dan menggantung bajuku agar nanti masih bisa kupakai. Lupa tidak bawa mukena, jadi aku mengirim pesan pada Maria agar bisa mengambilkanku barang itu di mobil Ed tadi.Dengan cepat Maria membunyikan bel untuk mengantar barang yang kuminta. Dan baru saja aku menutup pintu, pesan dari Ed kuterima.[Serius sudah sholat ini?]Apa maksudnya dia bertanya itu?Astaga... Otakku lambat sekali menangkap.Pasti dia sudah heboh karena tahu aku meminta Maria mengambilkan mukena di mobilnya tadi. Artinya dia tahu aku sudah menyelesaikan masa nifasku. Dan apalagi coba yang ada di otak pria itu kalau bukan tentang meniduriku.[Kenapa memangnya, Tuan?] kubalas dengan pura-pura tidak paham apa maksudnya.[Asyiklah, aku selesaikan meeting dengan cepat, tunggu aku ya?]Aku hanya terkekeh membaca pesannya. Padahal dia sedang meeting penting dengan perwakilan perusahaan dari Jepang yang akan bekerjasama dalam suatu
Tangannya sibuk melucuti baju dan celananya sementara bibirnya tidak melepaskan bibirku dari pagutannya. Lidahnya menjelajah dan mengabsen satu persatu geligiku. Pria ini bahkan membuatku megap-megap kekurangan oksigen saat melepaskan ciuamannya.Aku masih mengatur napas dan Ed sudah menggedongku ke ranjang saja. Katanya suka dengan lingeri yang kupakai, tapi ujung-ujungnya dia pelorotkan juga. Tidak menyisakan bahkan dalaman yang kupakai. Lalu dengan terampil menyusuri setiap lekuk tubuh dengan begitu bergairah.Ciumannya melorot dari bibir, ke pipi, lalu turun keleher, dan semakin turun menyusuri gunung dan melumat puncaknya dengan begitu lahap, sedangkan satu bagian lagi tak dibiarkannya menganggur, jadi diremasnya dengan lembut dan nyaman.Mendapat perlakuan yang memabukan itu, tubuhku tidak kubiarkan menjadi munafik dengan pura-pura tidak menikmatinya. Erangan dan desahan pun kuloloskan. Apalagi setelah puas mencetak beberapa tanda cinta di kulit putihku, Ed menurunkan kepalanya h
“Ini istri saya, Pak.” Ed merangkul bahuku ketika keluarga Indah hanya sibuk menyapanya.Hanya pemuda itu yang sejak tadi memandangku sedikit malu-malu. Aku tidak tahu mengapa dia bersikap demikian?“Oh, Iya. Ini Kak Mila. Istrinya Mas Edward.” Indah baru menyinggungku.“Loh kita kan pernah ketemu waktu itu, ya?” Wanita itu ternyata masih ingat pernah mengobrol denganku. “Yang pembantunya sampai muntah-muntah karena naik lift itu ‘kan?”Mengingat tentang Mbak Lilis, Indah dan ibunya kompak tertawa. Tapi, ada yang membuatku tidak suka. Mereka tidak seharusnya mengatakan bahwa Mbak Lilis itu pembantuku. Meski Ed memang memintanya bantu-bantu di rumah dan menggajinya sebagaimana pegawainya yang lain, tapi bagiku Mbak Lilis itu sudah seperti kakak kandungku.“Tolong jangan bilang dia pembantu. Dia kakak saya,” ujarku menghentikan tawa mereka.Ed mengelus pundakku seolah mengingatkanku agar jangan mudah terpancing untuk emosi kalau menghadapi mereka. Tapi aku sudah kesal. Mereka mener
“Kira-kira abah mau tidak kalau kakak yang tadi bersedia jadi istri keduanya abah? Nanti aku kok yang bilang. Aksa suka punya mama muda kayak begitu?” Naluriku mulai tergelitik untuk menjahili wanita ini. Ed hanya menahan senyum mendengar apa yang kukatakan. Dia tahu aku hanya berniat membalikan keadaan.“Maulah, kak. Biar setiap hari bisa cuci mata. Ya kan, Bah?” si anak malah ikutan menggoda abahnya. “Aksa!” Pak Suwandi mengingatkan anak laki-lakinya karena sang mama sudah mulai keluar taringnya.“Astaga, berani kamu nawar-nawarin istri di depan istri sahnya. Ini mama teh masih hidup, belum modar, masih sehat wal afiat. Kurang ajar kamu sama orang tua, ya?!”Wanita itu sudah melotot ke arahku dengan napas naik turun. Sangat tidak terima suaminya kubercandain tentang istri kedua.“Maaf...” Ed lagi-lagi mencemaskanku dan ingin membantu tapi kusenggol kakinya sebagai kode agar tidak ikut-ikutan. Jadinya dia hanya bisa menghela napas.Kalau sudah urusan sama ibu-ibu, mending bapak-ba
“Haha, sudah, enggak apa-apa. Kan Indah dan ibu yang ngrawat suamiku. Jadi kuanggap mereka tetap berjasa menyelamatkannya.” “Baiklah, apa sudah selesai? Aku haus ini...” Ed baru menyahut dan mengambil minuman di meja. Suasana yang tegang tadi mulai mencair.Pak Suwandi tertawa mendengar suara Ed, seolah begitu lega perdebatan para wanita di ruangan ini sudah berhasil dihentikan.“Ahaha, duh, makanannya sampai dingin. Ayo, silahkan makan!” aku pun menyahut mencairkan suasana.“Iya, Kak. Aku sudah lapar sejak tadi. Boleh, kan, Bah makan?” tanya Aksa meminta pertimbangan.Kuambilkan sepotong ayam di piring dan kusodorka pada Pak Suwandi agar pria itu memutuskan makan saja. Agar istri dan anak perempuannya tidak kembali membuka debat sesion dua.“Mangga, Bah. Mau diambilkan sayur juga?” kutawarkan dengan ramah.Pria itu tentu senang aku mengambilkannya makanan. Dan kubiarkan wanita di depan sana hanya melirik tajam suaminya yang manggut-manggut saja kutawari makanan.“Indah, nanti ka
Kukirim pesan pada Ed bahwa saat ini aku dan Mbak Lilis ada di pusat perbelanjaan di dekat kantornya.Ed mengirim pesan balik yang menyampaikan akan segera menyusulku.Di sana aku tidak sengaja bertemu dengan wanita yang waktu itu bersama Jessica. Seingatku namanya Sherin. Aku juga tidak lupa, dia bilang temannya Jessica.“Kau sedang berbelanja?” tanyaku basa-basi seteah dia duluan yang menyapaku.Kami duduk di resto dan mengobrol santai di sana sembari menikmati makanan yang kami pesan.“Iya, tadi aku dari kantor suamimu, mau tanya adakah lowongan pekerjaan di sana. Aku mau tinggal di Indonesia lagi saja,” ujar Sherina.Senyumnya ramah sekali. Penampilannya juga cantik dan elegan. Dia berteman dengan Jessica, pasti sedikit tahu tentangku dan Ed. Namun wanita ini masih tetap ramah. Sepertinya dia berbeda dengan Jessica.“Sebelum ini tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Di Prancis. Aku model di sana. Tapi usia semakin tua dan kalah saing dengan para model muda. Jadi sudah seharusnya aku m
Gala dan Meida senangnya minta ampun ketika papanya bilang minggu depan akan mengajak mereka jalan-jalan ke luar negri. Padahal libur sekolah masih sebulanan. Tapi Ed tidak mempermasalahkan hal itu.“Jangan terlalu keras, mereka masih TK. Enggak masalah juga,” ujarnya saat kuingatkan tentang jadwal sekolah mereka.“Takutnya sekolah tidak memberi izin, Sayang,” ujarku memberi alasan.“Anak-anak aku sendiri, ngapain juga minta izin?” tukasnya tidak begitu memikirkan hal ini.“Astaga, Papa...!” tukasku menanggapinya. Mungkin dia tidak serius. Tapi, ya sudahlah. Biar nanti kumintakan izin pada pihak sekolah kalau anak-anak lebih dulu libur panjang. Tidak mungkin juga ‘kan kalau mereka tidak memberi izin. Seandainya sampai pihak sekolah tidak memberi izin, baru ucapan Ed bisa dibenarkan.“Ma, nanti kita belanja jaket tebal, ya? Papa bilang sekarang sedang musim dingin di Eropa?” Meida sudah bingung sendiri dan membayangkan akan kedinginan kalau tidak punya jaket tebal.“Iya nanti kita bel
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant
“Ed, mama dan papa kan sudah berpisah. Tapi mengapa...?”Belum tuntas pertanyaanku, Ed sudah menerima panggilan dari rumah sakit.Aku tidak akan menganggunya dulu.Lalu kupikir, nanti akan kutanyakan saja pada Paman Prabowo. Ed selalu pelit untuk menyampaikan tentang keluarganya.Kebanyakan aku mengetahui banyak hal pun bukan darinya. Dia hanya kebagian membenarkan saja saat kukonformasi apa yang disampaikan orang lain.Lagipula sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Tante Atika. Nanti sekalian mengajak ibu dan Mbak Lilis juga anak-anak ke rumahnya.“Kau mau aku antar pulang?” tanyanya. Padahal kudengar tadi dia mau ke rumah sakit.“Ada apa di rumah sakit?” aku tidak menjawabi pertanyaannya, tapi malah balik bertanya.“Erik sudah sadar, dia mencariku.” “Oh, syukurlah, Ed. Apa kau akan ke sana?”“Ya, aku akan menengoknya sebentar. Aku antar kau pulang dulu.”“Rumah sakit lebih dekat, Ed. Jadi kita ke rumah sakit saja dan nanti baru mengantarku pulang kalau sudah selesai dari meneng
Jenazah Danio disemayamkan di rumah duka sebelum akhirnya diberangkatkan ke pemakaman keluarga.Kami baru datang ketika beberapa mobil pengantar jenazah sudah berjalan keluar dari rumah duka. Sam menghampiri mobil dan Ed membuka kaca jendela. Aku tidak tahu apa maksud percakapan mereka yang hanya sepotong-sepotong itu. Apapun itu pasti hanya mengenai prosesi pemakaman Danio.“Siap, Tuan!” Sam melaporkan.“Datang?”“Datang, Tuan.”“Oke, kita langsung ke sana!”Dan kami kembali meluncur ke pemakaman keluarga. Ed memberitahu bahwa meski dalam satu arah dan berdekatan, tapi makam keluarga Ed dan Danio berbeda tempat.Padahal kalau Danio itu masih adik neneknya Ed, seharusnya masih dalam satu keluarga dan dimakamkan di tempat yang sama, kan? Tapi mungkin akulah di sini yang kurang mengerti. Nantilah aku menanyakan pada Ed. Aku menggandeng lengan Ed dengan sedikit erat ketika memasuki areal pemakaman yang sepi dan sedikit rimbun dengan bunga kamboja itu.Untungnya sepanjang jalan setapak
“Ahaha, Papa kalau tidur memang suka begitu, Meida. Sama kan kayak Gala. Suka jatuh dari tempat tidur,” aku menyahuti pertanyaan bocah itu. Padahal Ed sudah melirikku seolah mengatakan tidak perlu menjawabnya agar tidak terlihat bohongnya.“Tapi kok baju mama dan papa di lepas. Meida lihat kok baju mama dan papa di lantai?”Tuh kan? Bocah itu akan terus bertanya karena merasa tidak puas dengan jawabanku sebelumnya.Kali ini Ed bukannya membantuku, tapi malah memakai headseatnya dan bangkit pura-pura menerima panggilan.Entahlah, apa itu beneran ada panggilan atau hanya kamuflasenya saja agar terhindar dari pertanyaan Meida?Kulihat Nur dengan sopan tidak bereaksi apapun mendegar celoteh bocah asuannya itu. Dia langsung memakaikan Meida bathrobe kecil lalu mengendongnya duduk di sebelahku dan ganti mengurus gala yang belum mau mentas dari kolam renang.Kuambil kesempatan itu untuk mengajak putriku masuk ke dalam kamar dengan alasan memandikannya dan mengganti bajunya. Setelah itu ak
“Enggak jadi minta dipijitin dulu?” Aku masih mengingatkannya saat leherku sudah penuh gigitan lembutnya.“Tanggung, Beb. Aku saja yang sekarang pijitin kamu,” ujarnya sembari melorotkan tali lingeri yang kugenakan untuk bisa menangkupkan kedua tangan besarnya itu pada dua bagian yang katanya semakin mantap itu. Sejak dulu aku memang rajin merawat diri, apalagi untuk suamiku yang ganteng dan selalu menjadi incaran para wanita diluar sana.Ed duduk bertumpu pada kedua lututnya dan kedua kakiku melingkar di pinggangnya, sedangkan tangan besar itu sudah ayik mengadon dua benda yang membusung itu dengan remasan lembut dan nyaman. Tanpa kuperintah, bibirku sudah meloloskan suara desah manjalita yang membuat pria itu lebih tergoda. Napasku sudah naik turun menggilai kenyamanan yang diberikannya. Otot-otoku mengejang perlahan di bawah pada kenikmatan nirwana. Tahu aku sudah dimabuk kepayang, Ed berlanjut melumat dua puncak itu bergantian, sedangkan satu tangannya malah diturunkan menelu
“Berani dia pulang ke Indonesia saat status hukumnya masih sebagai narapidana?” tanyaku pada Ed yang sudah rebahan di tempat tidur.Dia sudah datang beberapa waktu yang lalu, namun karena Meida merengek memintanya menemani mereka di kamar sebelum tidur, jadinya Ed melenyapkan rasa lelahnya sementara sampai dua bocah kecil itu bersedia tidur. “Kenapa?” tanya Ed yang bisa kukatakan kurang fokus saja dengan pembicaraan tentang Jessica. Mungkin dia lelah. Karenanya, aku menunda acara pijit-pijit yang sudah kami rencanakan tadi.“Apa kasus Jessica sudah tuntas?” tanyaku.“Informasi yang aku dengar Danio meminta pengacara untuk bernegosiasi dengan pihak keluarga anak-anak yang diculik. Mereka memilih menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.”“Hah?! Serius, Ed?” Aku jadi merasa tidak terima wanita itu bisa lolos begitu saja dari jerat hukum. Pasti Danio tidak hanya menawarkan tentang kekeluargaannya itu. Bisa jadi pria itu juga mengancam.“Ya sudahlah, bukan urusan kita juga ‘kan?”“Walau
“Innalillahi...” ucapku mendengar berita duka itu.Walau pria itu sudah kejam dan memiliki niat jahat pada kami, sebagai sesama manusia aku juga ikut prihatin.“Paman di rumah sakit, Tante?” tanyaku.“Iya, dia tentu juga harus mengurus semua perkara ini, Mila. Tadinya suamimu memintanya segera mengusut tentang pembunuhan papanya, tak dinyana, Danio sudah menghembuskan napas terakhir sebelum menerima hukumannya di pengadilan negara.”Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Danio saat pengejaran. Karena sebelumnya Danio tidak kenapa-kenapa. Dia melompat dari jendela dan berhasil melarikan diri. Lalu setelahnya aku tidak mengikuti beritanya lagi.Sorenya aku mengirim pesan pada Ed dengan alasan anak-anaknya merindukannya dan ingin melakukan video call.Ed tidak menolak dan langsung menghubungi balik anak-anak untuk melakukan vidio call.Kubiarkan saja dua bocah itu berkomunikasi dengan papanya. Aku hanya memperhatikan keduanya dari jauh saja. Sesekali melirik Ed di layar ponsel. Walau wajah