“Boleh tidak, Kak aku ikut sekalian?” Indah bertanya padaku karena Ed tidak menjawabnya.“Boleh, baru juga mau nawarin,” ujarku dan gadis itu sudah terlihat senang saja.Kami turun dari lantai 35 dan langsung menuju mobil. Padahal tadi rencannya Ed akan membawaku ke sebuah kafe yang katanya rekomended banget. Tapi harus terjeda karena harus mengantar Indah ke apartemen.Selesai mengantarnya, kami pun baru memutar arah. Di perjalanan aku menyinggung tentang apartemen itu.“Kau memberikan Indah apartemen milikmu? Tadi dia cerita,” tanyaku padanya.“Bukan apartemenku, Mila. Untuk apa aku punya apartemen di Jakarta kalau rumahku ada di sekitar sini.” Ed menjelaskan sesekali melirik adakah aku merasa keberatan atau tidak sepakat.“Iya. Aku sudah tahu alasannya. Dia juga pantas kau berikan apertemen karena sudah menyelamatkanmu.”“Ya sudah, jadi kita mampir ke kafe ya?” Ed menarik jemariku dan tidak ingin lagi membicarakan Indah.Aku hanya mengangguk lalu kami segera menuju tempat itu.Aku
“Lepas! Lepasin aku!” teriakku sembari memukul-mukul dada pria itu.“Mila, tenanglah!” tukasnya tapi aku tetap memukulinya sampai dia melepaskanku. “Lepaaass!” masih teriakku.“Hei, ini aku. Sayang, ini aku...” tukasnya lagi yang seketika membuatku berhenti memukulinya. Kemudian kudongakan wajahku dan baru melihat wajahnya.“Ugh...” lenguhku lega terbebas dari rasa takutku.Karena begitu paniknya aku tadi sampai tidak melihat siapa pria yang kutabrak. Aku bahkan memukulinya dan mengiranya orang yang akan berniat jahat padaku.“Ed?” ujarku dan aku langsung rebah di dadanya. Kupeluk tubuhnya erat sekali karena rasa takut itu masih membayangi.“Tidak ada apa-apa, tenanglah,” tukasnya menenangkanku. Ketika kami di mobil Ed masih menyodorkan air mineral dan mengelus kepalaku.“Tidak ada apa-apa, jangan setakut itu.”“Sungguh aku tidak bohong, Ed. Tadi aku melihat sepertinya ada orang yang mengawasiku. Aku sudah berbalik untuk pergi tapi aku merasa seperti ada yang mengejarku.” S
Kubuntuti Ed yang masuk ke dalam kamar untuk segera menyampaikan apa yang dikatakan Mbak Lilis. Sepertinya Ed menyembunyikan rasa cemasnya agar aku tenang.“Baik, nanti aku periksa CCTV. Jangan terlalu dibuat panik. Biar anak-anak tidak takut,” tuturnya.Aku mengangguk patuh. Untungnya masalah demi masalah yang terjadi selama di Jakarta ini, si kembar sama sekali tidak tahu. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa pria yang sebulan lalu dikiranya papa mereka, bukanlah papa mereka.Sama sepertiku, Gala dan Meida yang belum pernah tahu tentang Erik, tentu akan melihatnya sebagai papa mereka saja.Saat kami makan malam Ed mendapat panggilan dan dia langsung mengakhiri dengan cepat. Aku tidak bertanya di depan anak-anak kemana dia pergi, karena sudah menduga bahwa Ed sedang mengurus masalah pengantar martabak tadi.“Papa kok buru-buru, Ma?” tanya Gala melirik papanya yang berlalu pergi.“Iya, Ma. Kan baru pulang, masa papa pergi lagi?” Meida jadi cemberut papanya keluar lagi.“Dihabiskan dul
“Tadi anak-anak sudah di teras, ketika pria itu memanggil mereka. Tentu saja saya juga kurang memperhatikan kalau itu bukan tuan, Nyonya.” Nur masih terlihat tegang. Namun kuminta dia tidak heboh agar anak-anak tidak terganggu.“Apa dia melakukan sesuatu yang tidak baik pada anak-anak?” tanyaku pada Nur.“Tidak, Nyonya. Dia malah menciumi Gala dan Meida, habis itu langsung buru-buru pergi. Saya pikir memang tuan yang hendak menjemput Anda di suatu tempat tapi menyempatkan mampir mengantar martabak itu.”Aku terhenyak mendengar pria itu malah menciumi Gala dan Meida. Tapi, sepengetahuanku, Erik memang menyukai anak-anakku. Dia juga bersikap baik dan lembut di depan anak-anak. Karenanya anak-anak terlihat nyaman-nyaman saja dan menganggap bahwa pria itu adalah papa mereka. Bagaimana Erik bisa tiba-tiba datang dalam momen yang pas sekali ketika anak-anak meminta martabak?Bukankah Ed pernah mengatakan sudah menahannya sendiri di suatu tenpat dan akan menghukumnya?Oh. Ya Tuhan. Mudah
“Sudah pulang, Sayangku?” kupeluk Ed dari belakang saat dia sudah masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. Aroma parfumnya yang samar dan segar membuatku selalu betah berlama-lama memeluknya. “Anak-anak sudah tidur?” tanyanya membalikan tubuh agar bisa memelukku juga.“Sudah, Papa.”“Lalu kenapa mamanya belum tidur? Masih ngrumpi saja!” tukasnya sembari mencubit lembut pipiku. Pasti tadi saat pulang Ed sudah langsung ke kamar dan tidak mendapatiku. Jadinya dia mencari-cariku.“Nunggu suamiku pulang, lah. Kasihan kalau aku tinggal tidur.”Ed hanya tersenyum lalu kami sebentar berciuman mesra. Selepasnya aku baru menanyakan tentang urusannya.“Apa ada masalah, Sayang?”Dia menghela napas panjang dan itu cukup menunjukan bahwa ada banyak masalah yang ditanggungnya. Sayangnya pria ini selalu saja mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja padaku, agar aku tidak ikut mencemaskannya.Aku mana bisa langsung percaya padanya.“Ada apa?” tanyaku lagi.“Tidak ada apa-apa, mending kita istirahat yu
“Ed, sakiiiiit!” aku meringsut ketika bocah dewasa itu tidak berhenti mengusikku.Sejak bangun tidur tadi dia selalu nempel dan sekarang malah menggangguku yang tergesa ikut menyiapakan keperluan sekolah si kembar. Karena tidak mendapat perhatianku, Ed malah memelukku dari belakang dan menggigit leherku. “Masih ada Nur di sana, kau tidak malu?” tukasku kesal meliriknya di belakangku. Padahal kedua tanganku tidak menganggur. Aku harus memasukan beberapa keperluan anak-anak sembari membaca list yang di share guru mereka di grup sekolah.Nur kelupaan belum menyampaikan bahwa hari ini anak-anak harus berangkat lebih pagi karena ada kegiatan belajar di luar kelas. Karenanya, aku sampai ikutan heboh menyiapkan barang-barang yang akan mereka perlukan.“Nggak akan berani lihat dia, santai...” tukasnya masih bergelanyut di pundakku dengan suara bantalnya.Kelelahan karena semalam, sehabis subuh Ed tidur lagi. Padahal aku sengaja tidak membangunkannya, eh, saat bangun malah cari-cari dan le
Ed ada meeting dengan dewan direksinya. Aku yang boring di ruangannya memutuskan keluar sejenak.Mungkin menikmati segelas capucino di lounge bisa sedikit menghibur diri.Saat hendak menuju ke tempat itu dengan turun beberapa lantai dari ruang kerja suamiku, aku bertemu Sam.Apa dia tidak ikut meeting?“Sam?” sapaku dan pria itu menahan langkahnya sekedar memberikan hormat.Sam sejak dulu tidak berubah. Selalu sesopan itu.“Kau tidak ikut meeting?” tanyaku.“Ada yang harus saya lakukan, Nyonya. Jadi Tuan Edward tidak meminta saya mendampinginya meeting.”Kebetulan sekali. Aku bisa bertanya padanya.“Kau tidak keberatan bukan kalau kita duduk di lounge sebentar dan mengobrol?”Sam tidak langsung menyahut. Aku tahu pria ini sepertinya sedikit keberatan karena harus peri ke suatu tempat.Kalau dia bilang tidak bisa, aku juga tidak akan mengganggunya.Ternyata, Sam mengangguk dan memenuhi keinginanku. Mungkin segan menolak permintaan istri tuannya.Lagi pula, aku tidak akan lama-lama. Ak
“Ada tamu di dalam?” tanyaku pada sekretaris Ed sebelum masuk ke ruang kerjanya.“Ada, Nyonya. Apa perlu saya beritahu tuan kalau nyonya ada di sini?”“Apa tuan tidak mau diganggu?” tanyaku lagi. Kalau-kalau Ed berpesan agar tidak ada yang mengangunya saat ada tamu.“Tidak, Nyonya. Tuan tidak berpesan apa-apa.”Aku merasa lega, jadi kupikir memang gadis itulah yang kecentilan masuk dan mengganggu suamiku.“Kalau begitu, aku langsung masuk saja.”Dan sekretaris itu hanya mengangguk. Tidak menahanku karena memang Ed tidak memintanya menahanku. Saat kubuka pintu, Ed tampak duduk di sofa dan Indah juga duduk di sofa lainnya. Sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang tidak terlalu penting.Melihatku masuk, Ed langsung menyapaku. “Dari mana, Sayang?”“Oh, ada tamu?” Sapaku berjalan menghampiri mereka.“Hai Kak, Kakak di sini juga?” Indah dengan tampang cueknya menyapaku. Melihat gadis itu yang masa bodoh, aku mulai kesal padanya. Namun masih bisa kupertahankan sikap ramahku pada wanita
Ed langsung berjalan ke panggung dan meminta dua anaknya turun panggung. Dia juga tidak malu mengendong dua bocah yang sudah tampak lebih besar itu sembari meminta maaf pada pasangan yang bertunangan.Sambutan yang di sampaikan Pak Rawan sempat terhenti karena kegaduhan tawa beberapa undangan yang melihat dua bocah lucu itu.Mereka justru terhibur dengan kerandoman dua bocah itu.Apalagi melihat sang big bos di perusahaan mereka langsung turun tangan menjemput dua perusuh kecil itu di atas panggung, mereka banyak yang terkesan.Sam dan Ari baru menyadari tentang dua bocah itu. Dia juga tidak melihat kehadiran kami. Jadi tidak menduga kalau dua bocah kecil itu ternyata Gala dan Meida.Kalau mereka tahu sudah barang tentu gercep dan mengatasi mereka. Tidak membiarkan sang bos sampai harus menjemput dua anaknya di sana.“Tuan Edward sayang banget ya sama anak-anaknya.” Kedengar gumaman itu dibalik punggungku.“Iya, kupikir hanya bisa marah-marah di kantor seperti tadi marah besar pada T
“Ma... dilihatin pelayan dan Sus, tuh! Mama enggak malu sama mereka?” Meida terlihat kesal melihat kemesraan kami.“Ya deh, Pa. Kita pindah ke kamar, yuk biar enggak dilihatin!” Aku bangkit dan menarik lengan Ed.Membuat Meida langsung berlari menahan lengan papanya dan merajuk.Sekarang malah ganti aku yang menggoda anak perempuanku itu. Enggak heran deh kalau Meida jadi cengeng.Habis, dia mudah sekali digodain....“Ada apa, Ed?” tanyaku karena tadi dia sampai memanggilku saat aku masih bersama ibu.Ed tidak akan menggangguku yang masih berbicara dengan ibu kalau bukan karena ada sesuatu yang ingin disampaikannya.“Sam tadi baru menyampaikan ada undangan hari ini dari salah satu dewan direksiku. Tidak enak juga kalau tidak datang karena kami lumayan dekat di kantor. Kamu bisa temani aku, kan?”“Undangan apa itu, Sayang?”“Pertunangan putrinya. ““Baik, Sayang,” ujarku menyanggupi.Lalu aku baru ingat tentang Erik yang sudah tidak berada di rumah saat kami pulang dari liburan.“Erik
Kesibukan Ed dan beberapa hal yang sangat membutuhkan keberadaannya di Jakarta membuat liburan kami tidak bisa berlama-lama.Padahal Ed tidak begitu saja lepas pekerjaan saat kami liburan.Ketika anak-anak sudah tidur, biasanya dia membuka laptopnya sekedar berkordinasi dengan Sam mengenai urusan kantor atau lainnya.Perbedaan waktu antara negara tempat kami berlibur dengan Indonesia membuat Ed serasa selalu sibuk sepanjang waktu.Semisal anak-anak sudah lelah dan beristirahat ketika malam hari. Ed masih bisa mengadakan meeting jarak jauh dengan pegawainya di Indonesia yang masih di jam kerja.Karena musim dingin, jadi kami menggunakan waktu siang hari yang masih relatif jarang turun salju daripada ketika menjelang malam hari untuk jalan-jalan.Jadi malam harinya kami bisa bersantai di sebuah rumah yang kami sewa, menyalakan api di perapian untuk menghangatkan diri, menikmati minuman hangat dan kudapan bersama anak-anak sembari melihat salju berjatuhan dari jendela kaca. Gala dan
“Kalau bisa, kujambak sekalian saja rambutnya!” ujarku yang masih kesal sementara Ed hanya tertawa saja.“Ngapain juga sih masih kunjungin wanita seperti itu?”“Iya, sabar, buk!” Sambil menyetir Ed masih terkekeh.Kami segera sampai disebuah bangunan yang megah sekali. Sebuah gereja berkubah yang tampak sangat agung. Ed tadi bilang ini Katredal Monreale.“Kalau sudah hilang kesalnya kita masuk?” Ed melihat raut wajahku yang masih ketarik itu.“Belum. Aku mau duduk sebentar dan kau harus menjawab pertanyaanku dengan baik. Jadi kalau sampai aku bertanya pada orang lain, itu karena kau yang pelit sekali informasi tentang kelurgamu, Ed!” sekalian kukeluarkan kesalku agar nanti tinggal bersenang-senang melihat katredal yang terkenal itu.“Baik, Sayang.” Dengan sabar Ed mendengarku. “Bukankah hubunganmu dengan Erik tidak begitu baik? Tapi kulihat tadi kau juga begitu mengenal istri Erik?” aku tahunya Ed dan Erik sudah berpisah sejak mereka masih remaja. “Tidak baik bukan berarti aku tid
Kami tiba di sebuah rumah besar dan mewah setelah Ed mengajakku menemui lawyernya Erik.Setelah mendapat pengarahan, Ed sekalian mengajakku ke rumah ini. Tadi dia juga sudah menghubungi seseorang untuk menyampaikan akan datang. Mungkin itu istri Erik.Ah, bukan. Pengacara Erik tadi bilang berkas perceraian Erik sudah disetujui. Jadi mereka bukan lagi suami istri.“Ini masih di kota yang sama?” tanyaku padanya sembari menunggu orang yang dihubunginya keluar rumah.“Bukan, ini Monreale. Hotel kita tadi di Palermo,” jawab Ed.Aku yang tidak banyak tahu hanya mengangguk-angguk saja. Bagaimana bisa tahu, ini saja pegalaman pertamaku ke luar negri.“Kalau tadi anak-anak mau ikut, kita bisa berkunjung ke Katredal Monreale sekalian. Tidak jauh kok dari sini.” Ed memberitahu tentang salah satu destinasi tempat yang rekomended di kunjungi.“Ada apa saja di sana?”“Aku tidak bisa banyak menjelaskan, nantilah kalau kau mau kita mampir sebentar.”Aku mempertimbangkan. Nantilah lihat situasinya dul
Palermo, Italy..Gala tak berhenti menanyai papanya yang sudah terkantuk-kantuk itu setelah sebentar tadi kami berjalan-jalan di sekitaran kota Palermo.Dia tidak terima karena tidak mendapati salju di kota ini.“Lalu buat apa mama bawa baju tebal yang banyak kalau kita tidak mendapati salju, Pa?” tukasnya mengguncang bahu papanya yang sudah ingin rebahan.“Mungkin sekarang belum musim salju, Gal. Kasihan papa capek, seharian ngantar kita jalan-jalan. Padahal kita baru datang tadi malam.” Meida menyingkirkan tangan Gala agar tidak mengusik cinta pertamanya. Dengan lembut gadis kecilku itu menyelimuti sang papa dan menciumi pipinya.“Kau bodoh, ya? Ini bulan November. Sudah menjelang Desember. Sudah masuk musim dingin, lah. Jadi harusya sudah ada salju.”“Jangan bilang bodoh. Itu tidak boleh Gala. Kau kasar sekali pada wanita!” Meida memarahi saudaranya yang mengatai bodoh.Aku yang sedang sibuk mengolesi wajahku dengan pelembab hanya memutar bola mata, lalu melirik mereka yang masi
Keesokan harinya, rumah sedikit sibuk. Ibu dan Mbak Lilis menyiapkan banyak hidangan dibantu beberapa pelayan yang lain. Ada juga yang sudah menata meja makan dan beberapa kursi di halaman.Hari apa ini?Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal karena benar-benar tidak tahu akan ada acara apa?“Memangnya mau ada apa, Bu?” tanyaku dengan suara bantalku. Aku sedang halangan, jadi tidurnya bablas tanpa sholat subuh. Ed pun sengaja tidak membangunkanku.“Ya Allah, kamu ini sudah ibu-ibu lho, anaknya saja sudah bangun sejak tadi malah emaknya molor.” Bukannya menjawab, Ibu malah mengomeliku.“Ya habis enggak dibangunin sama menantu ibu itu. Harusnya ibu marahin tuh menantunya, jangan aku yang dimarahi!” Dengan seenak jidatku kulempar kesalahan pada Ed.Mumpung dia juga tidak ada. Karena kalau sudah kulempar kesalahan padanya, ibu tentu tidak akan mau memarahi mantu kesayangannya itu.Tapi, kemana dia? Tumben pergi tanpa bangunin aku untuk kasih tahu. Anak-anak juga tidak ada.“Mereka
“Mila?” Tante Atika menyenggolku membuatku terkejut bukan main. Bahkan hampir menjatuhkan nampan yang aku bawa. Untung gerakan reflekku masih bagus. Tante Atika pasti heran mengapa aku tidak menyuguhkan kue yang sudah kubawa, malah hanya berdiri membeku di balik jendela. “Kenapa enggak dibawa keluar? Malah bengong depan pintu. Awas ada setan lewat, lho!” tegurnya.“Apaan sih, Tante. Jadi kayak ibu saja, dikit-dikit kasih mitos begituan.”Tante Atika terkekeh. Aku orangnya parnoan. Walau tidak percaya dengan hal-hal begituan, tapi tetap saja aku jadi takut.“Ayo dibawa keluar, biar bisa diincip bapak-bapak di luar,” ujar Tante Atika mengingatkan lagi. “Hehe, iya, Tante. Ini mau keluar. Tadi paman masih bicara serius, takutnya aku malah ganggu.” Lalu kami besama keluar menghampiri suami-suami kami yang duduk di teras itu.Paman Prabowo suka memelihara binatang. Jadi banyak sangkar burung dan kucing di halaman rumah. Suara murai yang nyaring pun menjadi backsound selama obrola
“Sherin itu temanmu?” kutanya hal itu setelah kami sudah di perjalanan.Kebetulan Ed ada urusan dengan Paman Prabowo, jadi sekalian kuajak saja dia berkunjung ke rumahnya dari pada meminta orang yang lebih tua menemuinya.Mendengar nama Sherin kusebut, Ed melirikku sebentar. Kemudian tidak memberikan jawaban apapun dengan lebih fokus menyetir.Kupikir Ed tidak ingin menanggapi pertanyaanku tadi, dan aku juga sudah tidak peduli. Namun, dia akhirya mengangkat suaranya untuk bertanya balik.“Kenapa membahas dia?”“Tadi ketemu di mall, kita juga minum bareng di resto yang sama. Kau tidak melihatnya tadi?”Ed mengedikan bahunya. Sepertinya memang dia tidak melihatnya. Padahal Sherina tidak jauh dari tempat kami duduk.“Dia cerita tadi, katanya habis dari kantor dan ketemu kamu, mau nglamar pekerjaan.”“Iya, dia memang datang ke kantor tadi.” Ed membenarkannya.“Dia teman apa? Kuliah atau sekedar kenal karena dia teman Jessica? Tapi dia bilang dulu pernah menjadi teman dekatmu, lho!” kuta