Apa tadi?Berbagi suami katanya?“Kenapa aku harus berbagi suami?” tanyaku menatapnya sejurus sebagai efek keterkejutanku. Wanita yang dipanggil Kak Lisa oleh Ed itu memperhatikan ekspresiku yang bereaksi terlihat menolak dengan kata-katanya.“Ed mengatakan kau wanita yang penuh pengertian, tapi ternyata aku tidak menemukan sama sekali hal itu dalam dirimu.” Kak Lisa mulai terlihat dingin padaku.“Buta kalau ternyata Edward begitu saja meninggalkan Jessica hanya karena wanita yang sudah menghianatinya!”“Tidak, Kak. Aku tidak...” tadinya ingin menjelaskan tentang kesalahpahaman yang masih terus didengungkan ini, namun sahutan wanita ini membuat kata-kataku terpotong.“Diam, kau!” bentak Kak Lisa dengan tatapan memendam kemarahan. Ternyata dia juga sama emosionalnya dengan Jessica.Sebenarnya aku terkejut dan tersinggung dibentak begitu oleh orang yang baru juga bertemu denganku ini.Walau dia seperti Jessica yang selalu mengiraku sebagai seorang penghianat dan datang kembali seenak
[Ed aku cari minum, aku tinggal ke kantin dulu, ya?] kutuliskan pesan pada Ed kemudian berjingkat melangkahkan kaki mencari kantin.Hingga sampai di kantin dan kuhabiskan setengah botol tanggung air mineral, bunyi nada pesan baru kudengar.[Masih di kantin? Aku ke sana sekarang, ya?] pesan Ed kubaca.Kubalas dengan mengetikan kata [Iya],Lalu menungunya lumayan lama di kantin itu tapi dia belum juga nampak datang.Bukankah Ed tadi mengatakan akan segera menyusul ke kantin? Tapi kenapa belum juga nampak? Apa di rumah sakit ini ada kantin yang lain?Meski hatiku bercelaru dengan banyak hal hingga membuat bernapaspun sesak rasanya. Aku mencoba tidak mudah untuk berpikir negatif dan terbawa perasaan.Kudahulukan sisi kemanusiaan dan rasa simpati atas penderitaan orang lain. Apalagi orang itu yang selama lima tahun ini ada menemani Ed di saat aku tidak bersamanya.Ucapan Kak Lisa tadi sontak mengacaukan lagi perasaanku.Kalau dihitung-hitung, masa kebersamaanku dengan Ed sejak kami menikah
“Meida mau tidur di kamar mama dan papa saja!” Rengek anak perempuanku menolak saat kutidurkan di kamarnya sendiri.Karenanya, aku langsung membawanya ke kamarku saja agar tidak malah lebih rewel. Badannya hangat dan Meida tidak berhenti menanyakan kapan papanya pulang. Sementara aku juga tidak tahu apa Ed akan pulang malam ini atau tidak?Hatiku sebenarnya sedih dan meradang semenjak tadi, tapi belum bisa merasainya karena Meida yang rewel.Kalau sudah begini, tak guna pengasuh bahkan ibuku sendiri yang sejak lama merawatnya. Butuh kesabaran lebih menghadapi Meida yang merajuk.“Sekarang sudah di kamar mama, kan? Tutup matanya ya putri mama yang cantik.” Kuusap rambut kepala Meida dengan lembut agar dia bisa tertidur. Sesore tadi dia menangis, apa tidak lelah?“Tunggu papa dulu ya, Ma. Meida mau bilang tadi jatuh dari kuda.” Meida masih menahan kantuk dan lelahnya demi mau mengadukan apa yang sudah menimpanya.“Iya, nanti mama bilangin sama papa kalau Meida jatuh pas mau naik kuda,”
“Kau menangis?” tanya Ed membelai pipiku yang masih terasa sedikit basah oleh sisa air mata. Sorot matanya terlihat begitu bersalah melihatku bersedih begini.“Tidak apa, kok. Kau baru datang?” Kutarik telapak tangannya dari pipiku dan tidak tega saja membuatnya yang baru datang selarut ini masih juga disuguhi keluhanku.“Iya, maaf aku tidak melihat pesan dan panggilan-panggilanmu. Apa ada yang serius dengan Meida?” tanyanya lagi cemas.“Tidak apa, Ed. Meida hanya lecet. Hanya saja dia begitu rewel tadi karena mencarimu. Untungnya bisa kubujuk juga dia untuk tidur. Tapi mintanya tidur di sini agar nanti saat kau datang bisa langsung bertemu denganmu.” Kusampaikan hal itu padanya agar besok ketika bangun Ed tidak terkejut kalau putrinya itu langsung menohoknya dengan aduan-aduannya.Ed tidak berkata apa-apa langsung menarik tubuhku untuk dipeluknya.“Tadinya aku langsung mau menyusulmu ke kantin, tapi mendadak Jessica mengeluhkan nyeri sekujur tubuhnya. Dia bahkan meronta-ronta tanpa t
“Kau tidak mau tidur bersamaku?” tatapan Ed meredup.Selarut ini baru pulang sementara mengabaikan istri dan anaknya, suamiku itu tidak enak sendiri dan sudah berpikir aku marah padanya.Apalagi dia paham betul bagaimana wanita ini kalau sedang cemburu. “Ah, tidak apa, Ed. Tidurlah dulu, aku harus ke toilet sebentar,” ujarku mengulas senyum agar Ed tidak resah.Namun masih tidak percaya, Ed menarik lenganku hingga tubuhku tertarik ke pangkuannya. “Jangan membuatku gelisah begini, Mila. Kau marah?”Aku hanya tersenyum dan membingkai wajah tampannya. Kucium bibirnya lalu perlahan wajahnya berubah tenang.“Tidak, suamiku. Aku kebelet!” bisikku dan kucium lagi bibirnya sebagai penandas bahwa aku tidak sedang marah.Ed terkekeh mendengar ucapanku. Baru kemudian dia melepasku pergi ke toilet.Tercenung beberapa saat di kamar mandi sembari menatap pantulan bayangku sendiri di cermin wastafel itu, perasaaanku kembali terusik.Aku ini munafik sekali. Meski tidak mempermasalahkannya, bayan
Anak itu malah terkekeh membuat Ed yang akhirnya turun tangan karena tidak tega melihatku yang mengejar-ngejarnya.Sambil menggendong Meida yang tidak mau lepas itu, Ed menghadang Gala. Entah apa yang dibisikannya sampai Gala menurut dan menyerahkan hoverboardnya begitu saja. Sihir apa yang dipunyai papanya anak-anak hingga mudah sekali menangani mereka?Gawat, bisa kalah saing perhatian si kembar kalau begini.“Meida juga mandi ya, Nak? Biar cantik dan wangi. Nanti mau belajar dengan Miss Evo ‘kan?” bujukku pada Meida saat gala sudah mengikuti pengasuhnya masuk untuk mandi.“Tapi Papa tidak pergi seharian lagi kan, Ma?” tanyanya menatapku dan Ed bergantian seolah meminta kepastian.“Nanti sore kan kita jalan-jalan bareng, ya kan, Pa?” kutanyakan itu pada Ed agar memberitahu putrinya langsung. “Iya,” jawab Ed meski tidak setegas seperti biasanya.Instingku jadi mengatakan Ed tidak bisa datang. Mudah-mudahan kedua anaknya tidak kecewa kalau benar itu terjadi.Hanya saja jadi kemb
Kubaca pesan itu sekali lagi lalu kuputuskan untuk menghapusnya dari riwayat pesan di kotak masuk ponsel Ed.Tiba-tiba sisi posesifku muncul dan inginnya berbicara dengan wanita yang mengirim pesan itu dulu sebelum akhirnya aku membahas hal ini dengan Ed.Aku memang wanita pencemburu, tapi aku punya hati nurani dan perasaan. Tidak ingin dikata egois dengan menutup mata atas apa yang dialami Jessica. Buktinya, aku masih merelakan suamiku menemaninya walau aku sendiri merana di rumah.Karena itu, inginnya kami bicara dari hati ke hati sebagai wanita dengan menanyakan, tidakkah cukup bagi mereka mendapatkan perhatian dari suamiku yang tidak kularang memberikan dukungan dan waktunya, sementara membiarkanku makan hati di rumah sendiri? Mengapa masih juga ingin hal yang lebih dengan memintanya menikahi Jessica? Kakiku sudah keluar dari taxi yang mengantarku ke rumah sakit tempat Jessica di rawat. Sudah kutimang-timang, akhirnya aku memberanikan diri mengajaknya bertemu. Semoga aku bisa
Drrrtttt.... Drrrtttt...Bunyi ponselku di atas meja yang sejak tadi tidak kusentuh. Hatiku galau sekali setelah mendengar sebuah kenyataan itu. Hingga enggan menjawab panggilan dari siapapun. Apalagi dari Ed.Terus terang aku masih sangat belum siap mengambil sikap apapun. Tapi semua berpacu dengan bom waktu yang tidak tahu kapan akan meledak.“Permisi, Bu Kamila, ponselnya sejak tadi terus bergetar.” Nanda membuyarkan lamunanku.“Oh, iya, Nda. Makasih!” ucapku kemudian baru mengangkat panggilan itu agar tidak mengganggu lainnya.“Ada apa, Sayang? Kau masih di kantor ‘kan?” suara Ed yang terdengar cemas.“Iya, ini masih di kantor. Kau masih di proyek?” tanyaku padanya mencoba mengatur nada suaraku agar terkesan tidak terdengar sedih.Ed terkadang bisa sejeli itu. Ketika tidak terganggu dengan fokus yang lain, sedikit perubahan dariku saja akan membuatnya terus mendesak agar aku jujur padanya.“Ini sudah mau balik, setelah ini kan ada acara sama anak-anak. Jadi aku akan menjemputmu