“Kau menangis?” tanya Ed membelai pipiku yang masih terasa sedikit basah oleh sisa air mata. Sorot matanya terlihat begitu bersalah melihatku bersedih begini.“Tidak apa, kok. Kau baru datang?” Kutarik telapak tangannya dari pipiku dan tidak tega saja membuatnya yang baru datang selarut ini masih juga disuguhi keluhanku.“Iya, maaf aku tidak melihat pesan dan panggilan-panggilanmu. Apa ada yang serius dengan Meida?” tanyanya lagi cemas.“Tidak apa, Ed. Meida hanya lecet. Hanya saja dia begitu rewel tadi karena mencarimu. Untungnya bisa kubujuk juga dia untuk tidur. Tapi mintanya tidur di sini agar nanti saat kau datang bisa langsung bertemu denganmu.” Kusampaikan hal itu padanya agar besok ketika bangun Ed tidak terkejut kalau putrinya itu langsung menohoknya dengan aduan-aduannya.Ed tidak berkata apa-apa langsung menarik tubuhku untuk dipeluknya.“Tadinya aku langsung mau menyusulmu ke kantin, tapi mendadak Jessica mengeluhkan nyeri sekujur tubuhnya. Dia bahkan meronta-ronta tanpa t
“Kau tidak mau tidur bersamaku?” tatapan Ed meredup.Selarut ini baru pulang sementara mengabaikan istri dan anaknya, suamiku itu tidak enak sendiri dan sudah berpikir aku marah padanya.Apalagi dia paham betul bagaimana wanita ini kalau sedang cemburu. “Ah, tidak apa, Ed. Tidurlah dulu, aku harus ke toilet sebentar,” ujarku mengulas senyum agar Ed tidak resah.Namun masih tidak percaya, Ed menarik lenganku hingga tubuhku tertarik ke pangkuannya. “Jangan membuatku gelisah begini, Mila. Kau marah?”Aku hanya tersenyum dan membingkai wajah tampannya. Kucium bibirnya lalu perlahan wajahnya berubah tenang.“Tidak, suamiku. Aku kebelet!” bisikku dan kucium lagi bibirnya sebagai penandas bahwa aku tidak sedang marah.Ed terkekeh mendengar ucapanku. Baru kemudian dia melepasku pergi ke toilet.Tercenung beberapa saat di kamar mandi sembari menatap pantulan bayangku sendiri di cermin wastafel itu, perasaaanku kembali terusik.Aku ini munafik sekali. Meski tidak mempermasalahkannya, bayan
Anak itu malah terkekeh membuat Ed yang akhirnya turun tangan karena tidak tega melihatku yang mengejar-ngejarnya.Sambil menggendong Meida yang tidak mau lepas itu, Ed menghadang Gala. Entah apa yang dibisikannya sampai Gala menurut dan menyerahkan hoverboardnya begitu saja. Sihir apa yang dipunyai papanya anak-anak hingga mudah sekali menangani mereka?Gawat, bisa kalah saing perhatian si kembar kalau begini.“Meida juga mandi ya, Nak? Biar cantik dan wangi. Nanti mau belajar dengan Miss Evo ‘kan?” bujukku pada Meida saat gala sudah mengikuti pengasuhnya masuk untuk mandi.“Tapi Papa tidak pergi seharian lagi kan, Ma?” tanyanya menatapku dan Ed bergantian seolah meminta kepastian.“Nanti sore kan kita jalan-jalan bareng, ya kan, Pa?” kutanyakan itu pada Ed agar memberitahu putrinya langsung. “Iya,” jawab Ed meski tidak setegas seperti biasanya.Instingku jadi mengatakan Ed tidak bisa datang. Mudah-mudahan kedua anaknya tidak kecewa kalau benar itu terjadi.Hanya saja jadi kemb
Kubaca pesan itu sekali lagi lalu kuputuskan untuk menghapusnya dari riwayat pesan di kotak masuk ponsel Ed.Tiba-tiba sisi posesifku muncul dan inginnya berbicara dengan wanita yang mengirim pesan itu dulu sebelum akhirnya aku membahas hal ini dengan Ed.Aku memang wanita pencemburu, tapi aku punya hati nurani dan perasaan. Tidak ingin dikata egois dengan menutup mata atas apa yang dialami Jessica. Buktinya, aku masih merelakan suamiku menemaninya walau aku sendiri merana di rumah.Karena itu, inginnya kami bicara dari hati ke hati sebagai wanita dengan menanyakan, tidakkah cukup bagi mereka mendapatkan perhatian dari suamiku yang tidak kularang memberikan dukungan dan waktunya, sementara membiarkanku makan hati di rumah sendiri? Mengapa masih juga ingin hal yang lebih dengan memintanya menikahi Jessica? Kakiku sudah keluar dari taxi yang mengantarku ke rumah sakit tempat Jessica di rawat. Sudah kutimang-timang, akhirnya aku memberanikan diri mengajaknya bertemu. Semoga aku bisa
Drrrtttt.... Drrrtttt...Bunyi ponselku di atas meja yang sejak tadi tidak kusentuh. Hatiku galau sekali setelah mendengar sebuah kenyataan itu. Hingga enggan menjawab panggilan dari siapapun. Apalagi dari Ed.Terus terang aku masih sangat belum siap mengambil sikap apapun. Tapi semua berpacu dengan bom waktu yang tidak tahu kapan akan meledak.“Permisi, Bu Kamila, ponselnya sejak tadi terus bergetar.” Nanda membuyarkan lamunanku.“Oh, iya, Nda. Makasih!” ucapku kemudian baru mengangkat panggilan itu agar tidak mengganggu lainnya.“Ada apa, Sayang? Kau masih di kantor ‘kan?” suara Ed yang terdengar cemas.“Iya, ini masih di kantor. Kau masih di proyek?” tanyaku padanya mencoba mengatur nada suaraku agar terkesan tidak terdengar sedih.Ed terkadang bisa sejeli itu. Ketika tidak terganggu dengan fokus yang lain, sedikit perubahan dariku saja akan membuatnya terus mendesak agar aku jujur padanya.“Ini sudah mau balik, setelah ini kan ada acara sama anak-anak. Jadi aku akan menjemputmu
“Kalau mama capek, Gala bisa kok main sendiri,” tukas Gala yang akan masuk arena boom-boom car tapi malah menahanku di garis masuk.Ed yang sudah memangku Meida di mobil kecil itu memperhatikan kami. Melihat Gala hanya seorang diri menaiki mobil mainan itu, dia jadi heran kenapa aku tidak ikut main. “Gala yakin bisa sendiri, Nak?” tanya Ed yang kudengar.“Aman, Pa.”Dan saat permainan berlangsung, aku hanya duduk di sekitar arena boom-boom car sambil memandangi keseruan mereka. Dua bocahku itu terlihat heboh sekali. Apalagi ketika mobil mereka bertabrakan, Gala dan Meida malah tergelak senang.Resah hatiku kembali terkulik, apa aku rela membagi kebahagiaanku ini dengan wanita lain?Meskipun dikata bahwa Jessica tidak bisa bertahan lebih lama, tapi itu adalah perkiraan manusia. Tidak ada yang tahu ke depan bagaimana.Dan aku sama sekali tidak memahami perasaanku sendiri.Padahal beberapa waktu yang lalu aku bahkan sudah mengihklaskan jika saja suamiku akan menikahi Jessica. Tapi
“Jangan buka matanya dulu, Sayang!” Ed masih menutup mataku dengan kedua tangannya saat kami sudah di depan pintu hotelnya. Aku tidak tahu kejutan apa yang akan dia berikan padaku?Ini bukan tanggal yang istimewa. Bukan tanggal lahirku, tanggal pernikahan, tanggal lahir anak-anak, juga bukan merupakan tanggal lahir Ed.Lalu, dalam rangka apa kejutan ini?“Sudah boleh dibuka belum?” tanyaku setelah dibimbing masuk oleh Ed.“Boleh!”Begitu mataku terbuka, kulihat kamar tidur yang dihias bunga mawar petal membentuk tanda cinta di atas spreinya terpampang di depan mataku.Lampu kamar pun dimatikan dan hanya ada cahaya dari beberapa lilin menjadikan suasana romantis sungguh terasa lekat.Kulirik Ed yang memelukku dari belakang karena belum bisa mengingat, dalam rangka apa dia memberi kejutan?Dengan polosnya Ed menjawab, “Memangnya kalau bikin kejutan itu harus ada momen penting begitu?”“Biasanya memang begitu ‘kan?” ujarku menatapnya heran. Dia pasti asal membuat kejutan ini tanpa ad
“Bhahaha! Kau ini kesambet setan apa, Mila?”Ed tertawa mendengar apa yang barusan kusampaikan padanya.Padahal butuh effort lebih agar aku bisa mengucapkan hal yang sangat riskan itu padanya dengan segenap tekad dan keseriusanku.Ternyata pria ini malah tergelak. Sangat tidak sepadan dengan cemas yang membelengguku sejak tadi. Sungguh aku kesal sekali padanya.“Jangan bercanda, Ed! Aku sungguh-sungguh,” ujarku masih menatapnya dengan serius.“Aku tidak pulang semalam saja kau sudah kelimpungan tidak jelas. Bagaimana bisa kau sok menantangku menikahi Jessica?” Ed sudah menghentikan ketawanya, namun aku bisa menangkap pria ini masih menganggap ucapanku hanya kekonyolan belaka.“Keadaannya beda, Ed. Jessica itu sakit. Dia ingin kau menikahinya hanya untuk bisa membuatnya menjalani hari-hari terakhirnya dengan tenang.”Ed hanya menatapku dengan tertawa kecil, “Darimana kau seyakin itu akan keadaan Jessica, Sayangku?”“Aku sudah menemui dokternya, Ed.”Ed menatapku dengan sebuah keheran