Lalu, perdebatan kami pun berakhir di bathtub air hangat dengan minyak aromatherapy yang menenangkan.Sedikit menguras emosi tadi sudah membuatku lelah. Ed dengan penuh perhatiannya membiarkanku bersandar di dadanya sementara dia mencoba merilekskan otot dan syarafku dengan memijit lembut kepalaku.“Pijitannya enak, Nyonya?” tanyanya melihatku terkantuk-kantuk.“Hmm, lumayan, Tuan. Cukuplah buat melemaskan syaraf kepalaku yang sempat tegang tadi,” ujarku.“Kalau mau dilemasin semua, aku bisa kok.” “Boleh,” tukasku sembari tersenyum. Tidak perlu munafik lagi, aku sudah tahu apa yang dimaksudnya. “Tambah seksi saja ibu dua anak ini,” celoteh Ed sembari menyusuri setiap lekuk tubuhku. Dua benda kenyal yang disebutnya squishi itu selalu menjadi favorite mainannya.“Di mananya tambah seksi?” aku menggodanya, apa dia masih ingat bagaimana aku dulu hingga dibandingkannya dengan sekarang?“Dulu yang bagian ini tidak terlalu berisi, Nyonya. Aku tentu masih ingat betul.” Ed terkekeh dan me
Karena sudah terbiasa beraktifitas, ibu jadi mudah bosan kalau terus rebahan. Namun demi kesehatannya, aku mewanti-wanti pada perawat yang diminta Ed untuk menjaga ibu agar tidak mengizinkannya banyak bergerak dulu. Kalau Ibu mau keluar atau bosan biar perawat bantu mendorongnya pakai kursi roda saja.Dokter mengatakan pemulihan ibu butuh waktu sekitar 6 sampai 8 minggu ke depan. Kuharap wanita yang kusayangi ini bisa patuh dengan perawatnya agar lebih cepat pulih.Kalau ibu pulih, anak-anak juga pasti tidak sedih lagi karena neneknya bisa kembali mengantar mereka sekolah.Lihat saja mereka di samping yang kini berenang bersama papanya. Tidak mau berangkat ke sekolah dengan alasan kalau bukan papanya yang ngantar harus neneknya. Sementara hari ini Ed harus ke kantor karena sudah meminta Rafael mengadakan meeting.“Wali murid temannya Gala dan Meida mau ada rencana jenguk, Mila. Ini Bu Laksmi tanya apa aku sudah di rumah?” Ibu menunjukan pesan di group chat wali murid sekolahnya si
Setiba di kantor, kulihat Pak Betha sudah ada di loby bersama Vanka.Sebenarnya malas saja kalau sepagi ini harus menyapa Pak Betha. Apalagi ada wanita itu di sampingnya.Yang ada sepanjang hariku jadi bad mood karena wanita sinis itu akan megacaukan moodku. Padahal suasana hatiku sudah turun tadi ketika Sam terdiam seolah membenarkan ucapanku bahwa Jessica itu sama berkuasanya dengan Ed.Aku sedih, karena kalau benar demikian, bagaimana Ed mengambil sikap pada wanita itu?Rasanya cemas saja kalau hari-hari yang mulai terasa membaik ini akan dihadapkan pada sebuah dilema kembali. “Pagi, Pak Betha?” sapaku berusaha tampak ramah.Tidak sopan sekali kalau aku ngeloyor begitu saja dari hadapan bos tempatku kerja itu tanpa menyapanya.Dan seperti dugaanku pria itu tidak memberikan reaksi yang baik atas sapaanku tadi.“Mila, kenapa kau sekarang mulai berubah? Biasanya kau rajin dan datang lebih pagi. Sekarang malah kulihat Pak Rafael tadi yang datang lebih dulu. Seharusnya kau mendahul
Pak Betha dan Vanka yang ada di barisan kerumunan orang tadi, tidak ikut bubar seperti yang lain.Pak Betha menghampiri Rafael dan Vanka segera berjalan memeluk Jessica untuk menenangkan.Sementara aku berdiri membeku seperti orang yang bodoh. Hanya karena berada di antara mereka yang sudah pasti akan membela Jessica apapun yang terjadi. “Kita bisa bicarakan hal ini baik-baik, Pak Rafael. Jangan langsung menyampaikannya pada Tuan Edward. Aku yakin Tuan Edward tidak terima kalau wanita yang dia cintai diperlakukan begini.” Pak Betha meminta pengertian Rafael. Dia sudah yakin sekali kalau Ed akan marah besar.“Bagaimanapun saya akan tetap menyampaikan hal ini pada Tuan Edward, Pak Betha," jelas Rafael.“Tapi tolong bujuk Nona Jessica agar tidak meminta Tuan Edward menghentikan proyek ini.”Pak Betha terlihat cemas. Dia sudah mengeluarkan banyak SDM-nya. Dana yang terserap untuk proyek ini juga tidak main-main. Rugi besar kalau semuanya dihentikan di tengah jalan.“Kita bicarakan hal
Setelah membantu ibu kembali ke kamarnya, aku segera ke kamar anak-anak untuk melihat apakah mereka sudah tidur apa belum.Bahkan dua pengasuh itu tidak bisa membuat mereka menurut untuk segera pergi tidur.Baru ketika melihat kedatanganku, Gala dan Meida yang sedang lompat-lompat di tempat tidur langsung menghentikan kegiatan mereka.“Katanya mau cepat tidur kalau besok Mama yang antar sekolah?” ujarku pada mereka setelah meminta dua pengasuh itu pergi.“Tadi Gala bilang, Ma. Katanya Mama hanya membohongi kita.” Meida menunjuk saudaranya yang sudah memprovokasinya untuk tidak cepat tidur.“Eh, Meida kenapa ngadu mlulu sih?” Gala yang tidak mau terlihat salah di depanku tampak kesal pada Meida.“Memangnya Mama suka bohongin kalian, ya?”Aku tersinggung dengan penilaian anak-anak padaku. Apa hanya karena aku tidak pernah mengantar mereka sekolah lalu dianggapnya ucapanku bahwa besok akan mengantar mereka sekolah adalah bohong semata.“Maaf, Ma. Biasanya Mama kan kerja terus. Nenek yang
Semalam aku mengabaikan Ed dan pagi inipun aku belum berniat membuka mulutku untuk sekedar menyapanya.Bangun pagi-pagi untuk menyiapkan keperluan anak-anak sekolah dan sekarang baru selesai mandi lalu bergegas memulas wajah dengan sedikit make up agar tampak segar.Baru kusadari dari pantulan bayangan di cermin meja rias, Ed memperhatikanku sambil masih rebahan di tempat tidur.Kupikir, sepagi ini aku sudah bisa menghilangkan rasa kecewaku padanya dan menganggap hal ini sebagai ketidak tahuannya saja.Karena sebagai pimpinan perusahaan dia memang harus bersikap adil dan profesional untuk memberi keputusan pada masalah pegawainya.Nyatanya, ini lebih dari sekedar kecewa.Egoku merongrong untuk mempertahankan sikap diamku teringat lima tahunku yang tidak mudah tanpanya.Namun, sepertinya Ed sama sekali tidak memperhitungkannya.Dia tidak tahu saja apa saja yang sudah kulalui selama ini. Bahkan sampai detik ini pun aku masih terus berjuang dari mata jahat orang-orang atas penilaian yan
Aku jadi harus membenahi penampilanku karena menangis sebentar tadi. Tidak ingin saja anak-anak akan banyak bertanya kenapa wajahku sembab dan murung.Setelah memastikan penampilanku sudah lebih baik, segera kulangkahkan kaki keluar karena tidak mau anak-anak sampai telat.“Ayo, Ma! Meida sudah menunggu di mobil.” Gala menarik lenganku.“Sudah pamit sama Nenek belum?” tanyaku pada Gala.“Sudah tadi, anak-anak senang sekali mau diantar mamanya,” ujar ibu yang baru keluar dari kamar dengan bantuan perawatnya.“Makanya ibu cepat sehat kembali ya, biar nanti bisa antar anak-anak juga.” Kuhampiri ibu dan mencium tangannya.“Iya, sudah, nanti anak-anak telat. Kirim salam buat pengantar yang lainnya.”“Baik, Bu. Assalaumu’alaikum!” ujarku kemudian berlalu menggandeng lengan Gala.Meida dan Sam pasti sudah menunggu di mobil.Namun, ternyata bukan Sam yang duduk di kursi sopir.“Ayo, Ma. Papa juga mau antar kita!” Meida berteriak setelah kaca jendela mobil itu diturunkan.Kutatap Ed yang berpa
“Kenapa masih marah begitu? Kamu tuh istri aku. Cintaku hanya untuk kamu juga anak-anakku. Alasan aku memberimu sanksi tidak bekerja juga karena untuk melindungimu saja.” Ed bergumam saat aku duduk mengabaikannya.“Malah ribet begini, Ed, hidupku. Mending kamu balik saja sama Jessica dan tinggalin aku sama anak-anak di sini.” Kubalas gumamanya dengan menggumam balik.“Enak saja!” tukas Ed cepat dan tidak terima.“Tega kamu bikin aku malah dianggap orang yang suka cari perhatian sama kamu!”“Biar saja. Emang salah seorang suami perhatian sama istrinya sendiri.”Ugh! Berdebat dengan pria ini tidak akan ada habisnya.Aku baru saja hendak berjingkat menghindarinya namun Ed menarik pinggangku hingga kembali duduk lebih dekat dengannya.“Apaan sih? Apa tidak malu dilihat orang?!” tukasku lirih memarahinya.“Enggak tahu, kalau kamu ngambek begini bawaannya malah gemes mlulu.”Ingin sekali kupukul lengan pria ini, namun sapaan seseorang menghentikan perdebatan kami.“Mbak Kamila, ya?”Seorang