Home / Pernikahan / Dibuang Setelah Numpang Tenar / 25. Perpisahan yang Tak Terhindarkan

Share

25. Perpisahan yang Tak Terhindarkan

last update Last Updated: 2024-09-14 20:09:41

Aku harus kuat demi putriku dan demi diriku sendiri.

Itulah tekad yang aku bulatkan sejak memutuskan untuk mengakhiri biduk rumah tangga bersama Mas Sandy. Aku tahu menjadi single parent jalannya tidak akan mudah. Namun bertahan dengan luka dan menjalani pernikahan harmonis yang semu juga bukan pilihan yang baik. Lebih baik aku berjuang mencari kebahagiaan kami sendiri daripada membiarkan putriku tumbuh dengan cinta yang palsu. Seiring bertambah waktu, aku percaya Naomi pasti akan bisa mengerti keputusan yang diambil bundanya.

Gugatan perceraian telah didaftarkan. Tanggal persidangan juga sudah keluar. Namun, sebelum kami duduk bersama di depan meja hijau, sesuai peraturan dilakukan mediasi terlebih dahulu. Mediasi ini adalah langkah awal yang harus diambil sebelum memasuki sidang perceraian. Tempatnya sederhana, namun formalitasnya membuat suasana terasa sangat tegang.

"Nak, kamu yakin dengan keputusan yang kamu ambil?" tanya Ibu ketika datang berkunjung sebelum hari persidangan.

Aku
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   26. Tali yang Putus

    Sidang mediasi kedua datang dan berlalu tanpa perubahan signifikan. Mas Sandy sekali lagi mangkir dari panggilan. Tak ada perubahan, tak ada usaha untuk memperbaiki keadaan. Celah untuknya kembali juga semakin menipis, dan aku mulai meninggalkan angan untuk rujuk dengannya. Keputusan untuk maju ke persidangan semakin mantap dalam benakku, meskipun hati ini terasa berat. Hari persidangan akhirnya tiba. Dengan langkah yang penuh beban, aku memasuki ruang persidangan yang dingin, seolah ruang tersebut memproyeksikan ketegangan dan kekhawatiran yang kurasakan. Ditemani oleh kuasa hukum dan beberapa teman dekatku, suasana di ruang sidang terasa sangat formal dan penuh tekanan. Di luar, aku membayangkan betapa pentingnya momen ini, mengingatkan aku pada segala hal yang telah kulalui. Sementara itu, Ibu kupasrahi untuk menjaga Naomi bersama Mbak Mala di rumahnya. Aku yakin mereka akan menjaga Naomi dengan baik, tetapi jauh di lubuk hati, aku tetap merasa cemas. Bagaimana jika Naomi merasa

    Last Updated : 2024-09-14
  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   27. Bangkit Usai Terpuruk

    "Eh, eh, tadi kalian lihat nggak, cewek yang pake selendang hitam, baju biru dongker panjang, sama kacamata hitam? Kok kayaknya dia mirip ..." suara Bunga tiba-tiba memecah keheningan yang membungkus kami di dalam mobil van. Dia tidak bisa menahan rasa penasarannya dan mengeluarkan komentar tanpa berpikir panjang."Ssst!" Rina segera menyenggol lengan Bunga agar gadis itu berhenti berceloteh. Tatapan tajam Rina menunjukkan ketidaksetujuan terhadap kebisingan yang baru saja muncul. Dia melirik ke arahku dengan cemas, memberi kode bahwa Bunga harus diam. Suasana di dalam mobil terasa semakin canggung. Sementara Rina terlihat gelisah, Bunga masih mengernyitkan dahi, berusaha memahami mengapa Rina tampak begitu tertekan. Aku sendiri merasakan sorot mata mereka yang mencuri-curi pandang ke arahku. Mereka jelas menunggu bagaimana responsku soal hal ini. Apakah aku akan bertanya penasaran karena tidak tahu, atau malah menangis sedih?Aku menghela napas panjang, cukup keras hingga bisa terde

    Last Updated : 2024-09-15
  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   28. Aksi Balas Dendam

    Keesokan paginya, aku tiba di studio stasiun televisi swasta dengan perasaan campur aduk. Aku mengenakan gaun biru yang elegan, warna yang seolah ingin memberi kesan tenang dan penuh kendali, meskipun hatiku sebaliknya. Saat aku memasuki area studio, aku dikelilingi oleh lampu-lampu terang dan kamera yang siap mengabadikan setiap gerak-gerikuku. Tak jauh dari situ, aku bisa mendengar suara tim produksi sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya."Selamat pagi, Ressa!" Suara hangat Vera, host acara 'Pagi-Pagi Curcol', menyapa sambil memberikan pelukan hangat. "Bagaimana kabarnya pagi ini?"Aku tersenyum, meskipun rasanya canggung. "Selamat pagi, Vera. Baik-baik saja, terima kasih."Vera mengajak aku duduk di kursi tamu yang telah disiapkan. Kamera mulai berputar, dan tampak jelas sekali betapa semua perhatian tertuju padaku. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Aku sudah pernah berada di bawah sorotan seperti ini sebelumnya, tapi kali ini terasa berbeda. Aku lebi

    Last Updated : 2024-09-15
  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   29. Dilema

    [Hah? Serius Sandy orangnya kayak gitu?][Ih, nggak nyangka, ya! Pantes aktingnya di sinetron kelihatan natural banget! Nggak tahunya ...][Ceweknya juga gitu! Udah tahu lawan mainnya udah punya pawang, masih ganjen aja!][Kalau tahu kayak gini, enggak nyalahin Kak Re sih, minta cerai. Pukpuk yaa, Kak][Skip no debat!][Dua-duanya perlu di-cancel aja nggak, sih?! Biar para pelakor dan tukang selingkuh ini nggak tuman!][Boikot film, sinetron, sama produk-produk sponsornya!!] Komentar-komentar yang penuh hujatan terus berdatangan. Kolom komentar di akun media sosial Mas Sandy, Sinta, hingga akun-akun resmi dari film dan produk-produk yang mereka bintangi kini bak medan perang bagi para netizen yang marah. Kata-kata kasar, sindiran pedas, hingga ancaman boikot menghiasi layar ponselku. Setiap kali aku menyegarkan laman, puluhan komentar baru muncul.Semua bermula dari tayangan wawancaraku di 'Pagi-Pagi Curcol' yang sedikit menyindir soal perselingkuhan Mas Sandy dan Sinta. Meski tidak

    Last Updated : 2024-09-16
  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   30. Job yang Membanjir

    "Kak, kita kebanjiran endorse!" seru Rina dengan suara tinggi, nyaris berteriak, seolah tidak bisa menahan rasa senangnya. Dia bahkan sampai meloncat-loncat setelah menerima telepon dari klien untuk kesembilan kalinya pagi ini. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu tampak begitu energik, wajahnya berseri-seri.Aku hanya tersenyum kecil sambil mencoba menggerakkan bibirku sedikit. "Alhamdulillaah ...," gumamku, terdengar samar karena bibirku nyaris tak bergerak akibat sentuhan make up yang masih dikerjakan oleh Tika."Wajar nggak sih? Wawancara Kak Ressa kemarin di podcast-nya Diana Sumira kan sampai viral tuh," Tika ikut berkomentar sambil fokus menyapukan pemerah pipi di wajahku, tepat di sekitar garis senyum.Rina mengangguk-angguk dengan semangat. Wajahnya penuh dengan antusiasme, seolah dia sedang membayangkan bonus besar yang akan segera diterimanya. "Iya! Itu baru yang kelihatan, loh. Masih banyak yang belum hubungi kita. Gila banget sih, Kak! Aku nggak nyangka efeknya bakal se

    Last Updated : 2024-09-16
  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   31. Setelah Kita Berpisah

    Sudah menjadi komitmenku sejak awal, meski telah berpisah, aku tidak ingin Naomi kehilangan kasih sayang dari sang ayah seperti yang kualami dulu. Oleh sebab itu, aku tidak pernah membatasi jika Mas Sandy ingin menemui putrinya.Terhitung sudah genap 6 bulan sejak kami resmi bercerai. Di minggu-minggu awal, aku yang perlu usaha mengingatkan Mas Sandy untuk mengunjungi Naomi, dengan cara menghubungi manajernya lewat Rina. Itu pun dia hanya menjenguk Naomi 1-2 kali tiap pekannya."Unda, kenapa Ayah udah nggak di lumah ini lagi, sih? Unda yang nyuluh Ayah pelgi dali lumah, ya?" tanya Naomi suatu hari, saat kukatakan padanya bahwa besok Mas Sandy akan datang menjemput."Bunda nggak ngusir Ayah, Sayang. Ayah nggak tinggal di rumah ini lagi karena keinginan Ayah sendiri," jawabku.Tidak salah, kan? Memang sejak gugatan cerai itu aku layangkan, Mas Sandy tidak menampakkan usaha apa-apa untuk mempertahankan rumah tangga kami."Kenapa gitu? Unda sama Ayah belantem, ya?" Naomi masih penasaran.

    Last Updated : 2024-09-18
  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   32. Perubahan Drastis

    Sebulan terakhir ini memang penuh kejutan. Entah aku harus bersyukur atau tidak, sikap Mas Sandy berubah secara drastis. Dulu, ia jarang sekali meluangkan waktu untuk Naomi, tapi sekarang… dalam seminggu, bisa tiga sampai empat kali ia mengajak Naomi pergi. Seperti hari ini, ia akan menjemput Naomi lagi. Jujur saja, aku tak tahu bagaimana perasaanku tentang ini. Kadang aku bertanya-tanya, apakah dia melakukannya karena rasa bersalah? Atau mungkin ada maksud lain yang terselubung? Meski begitu, aku tetap menjaga jarak. Mas Sandy mungkin berubah terhadap Naomi, tapi terhadapku? Dia masih sama seperti dulu. Hubungan kami tak lebih dari sekadar formalitas orang tua yang sudah terpisah.Yang sedikit aneh, kini Mas Sandy berani langsung menghubungiku lewat WhatsApp. Dia tak lagi meminta bantuan Rina atau Mbak Mala untuk menyampaikan pesan. Ia bahkan menyapaku dengan santai seolah tak ada yang salah di antara kami. Namun, aku hanya membaca pesannya, tidak pernah membalas secara langsung. Ak

    Last Updated : 2024-09-18
  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   33. Apa yang Dia Inginkan?

    Ponselku diam kembali setelah deringnya yang kedua berhenti, meninggalkan jejak keheningan di ruangan syuting yang kini terasa sedikit pengap. Aku melirik layar ponsel untuk memastikan tidak ada pesan susulan dari Mas Sandy. Tidak ada. Hanya panggilan tak terjawab. Helaan napas panjang keluar tanpa aku sadari."Naomi udah berangkat?" tanyaku pada Rina yang masih sibuk membereskan beberapa perlengkapan di meja."Udah, Kak. Mbak Mala yang nganter, kan?" jawab Rina tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan alat make up di depannya.Aku mengangguk, meski dia mungkin tidak bisa melihatnya. "Iya," sahutku singkat. Ada sedikit perasaan lega yang mengalir di dadaku. Naomi sudah bersama ayahnya, berarti tidak ada yang perlu aku khawatirkan—atau setidaknya, begitulah aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.Selama empat tahun lebih menjalin rumah tangga dengan Mas Sandy, aku belajar satu hal: dia tidak mudah menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Mas Sandy selalu tahu bagaimana ca

    Last Updated : 2024-09-19

Latest chapter

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   56. Apa yang Mereka Katakan?

    "Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   55. Pertemuan Tak Terduga

    Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   54. Kembali ke Permukaan

    Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   53. Jatuh Sakitnya Anakku

    "Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   52. Bencana Tak Terduga

    Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   51. Energi yang Terkuras

    Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   50. Huru-Hara Sebelum Comeback

    Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   49. Wawancara Pertama

    Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   48. Cutinya Mbak Mala

    "Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca

DMCA.com Protection Status