[Hah? Serius Sandy orangnya kayak gitu?][Ih, nggak nyangka, ya! Pantes aktingnya di sinetron kelihatan natural banget! Nggak tahunya ...][Ceweknya juga gitu! Udah tahu lawan mainnya udah punya pawang, masih ganjen aja!][Kalau tahu kayak gini, enggak nyalahin Kak Re sih, minta cerai. Pukpuk yaa, Kak][Skip no debat!][Dua-duanya perlu di-cancel aja nggak, sih?! Biar para pelakor dan tukang selingkuh ini nggak tuman!][Boikot film, sinetron, sama produk-produk sponsornya!!] Komentar-komentar yang penuh hujatan terus berdatangan. Kolom komentar di akun media sosial Mas Sandy, Sinta, hingga akun-akun resmi dari film dan produk-produk yang mereka bintangi kini bak medan perang bagi para netizen yang marah. Kata-kata kasar, sindiran pedas, hingga ancaman boikot menghiasi layar ponselku. Setiap kali aku menyegarkan laman, puluhan komentar baru muncul.Semua bermula dari tayangan wawancaraku di 'Pagi-Pagi Curcol' yang sedikit menyindir soal perselingkuhan Mas Sandy dan Sinta. Meski tidak
"Kak, kita kebanjiran endorse!" seru Rina dengan suara tinggi, nyaris berteriak, seolah tidak bisa menahan rasa senangnya. Dia bahkan sampai meloncat-loncat setelah menerima telepon dari klien untuk kesembilan kalinya pagi ini. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu tampak begitu energik, wajahnya berseri-seri.Aku hanya tersenyum kecil sambil mencoba menggerakkan bibirku sedikit. "Alhamdulillaah ...," gumamku, terdengar samar karena bibirku nyaris tak bergerak akibat sentuhan make up yang masih dikerjakan oleh Tika."Wajar nggak sih? Wawancara Kak Ressa kemarin di podcast-nya Diana Sumira kan sampai viral tuh," Tika ikut berkomentar sambil fokus menyapukan pemerah pipi di wajahku, tepat di sekitar garis senyum.Rina mengangguk-angguk dengan semangat. Wajahnya penuh dengan antusiasme, seolah dia sedang membayangkan bonus besar yang akan segera diterimanya. "Iya! Itu baru yang kelihatan, loh. Masih banyak yang belum hubungi kita. Gila banget sih, Kak! Aku nggak nyangka efeknya bakal se
Sudah menjadi komitmenku sejak awal, meski telah berpisah, aku tidak ingin Naomi kehilangan kasih sayang dari sang ayah seperti yang kualami dulu. Oleh sebab itu, aku tidak pernah membatasi jika Mas Sandy ingin menemui putrinya.Terhitung sudah genap 6 bulan sejak kami resmi bercerai. Di minggu-minggu awal, aku yang perlu usaha mengingatkan Mas Sandy untuk mengunjungi Naomi, dengan cara menghubungi manajernya lewat Rina. Itu pun dia hanya menjenguk Naomi 1-2 kali tiap pekannya."Unda, kenapa Ayah udah nggak di lumah ini lagi, sih? Unda yang nyuluh Ayah pelgi dali lumah, ya?" tanya Naomi suatu hari, saat kukatakan padanya bahwa besok Mas Sandy akan datang menjemput."Bunda nggak ngusir Ayah, Sayang. Ayah nggak tinggal di rumah ini lagi karena keinginan Ayah sendiri," jawabku.Tidak salah, kan? Memang sejak gugatan cerai itu aku layangkan, Mas Sandy tidak menampakkan usaha apa-apa untuk mempertahankan rumah tangga kami."Kenapa gitu? Unda sama Ayah belantem, ya?" Naomi masih penasaran.
Sebulan terakhir ini memang penuh kejutan. Entah aku harus bersyukur atau tidak, sikap Mas Sandy berubah secara drastis. Dulu, ia jarang sekali meluangkan waktu untuk Naomi, tapi sekarang… dalam seminggu, bisa tiga sampai empat kali ia mengajak Naomi pergi. Seperti hari ini, ia akan menjemput Naomi lagi. Jujur saja, aku tak tahu bagaimana perasaanku tentang ini. Kadang aku bertanya-tanya, apakah dia melakukannya karena rasa bersalah? Atau mungkin ada maksud lain yang terselubung? Meski begitu, aku tetap menjaga jarak. Mas Sandy mungkin berubah terhadap Naomi, tapi terhadapku? Dia masih sama seperti dulu. Hubungan kami tak lebih dari sekadar formalitas orang tua yang sudah terpisah.Yang sedikit aneh, kini Mas Sandy berani langsung menghubungiku lewat WhatsApp. Dia tak lagi meminta bantuan Rina atau Mbak Mala untuk menyampaikan pesan. Ia bahkan menyapaku dengan santai seolah tak ada yang salah di antara kami. Namun, aku hanya membaca pesannya, tidak pernah membalas secara langsung. Ak
"Oke, guys! Seru banget tadi kita udah belajar bikin sup kacang merah sama-sama! Naomi juga seneng, kan, Sayang?"Aku menoleh cepat pada putriku yang berdiri di sebelah. Namun, bukannya menjawab, dia malah merengek sambil menarik-narik tepi gamisku. "Undaa ... Nao capek, lapel!"Seketika aku melotot."Cut! Cut! Dialognya nggak gitu, Naomi Sayaang ...," tegurku pelan-pelan meski aslinya gemas sekali."Tapi Nao emang capek, lapel ..." Suara gadis 3 tahun itu mulai terdengar bergetar seperti akan menangis.Cepat-cepat aku berjongkok untuk menyamakan tinggi kami. Kuusap kepala Naomi lembut sambil berusaha membujuknya, "Iya Sayang ... Bunda tahu. Tapi, please ... tinggal dikiiit aja, ya?"Naomi menekuk wajah dengan bibir cemberut. Namun, ia tidak lagi merengek atau berontak. Kuanggap itu sebagai bentuk persetujuannya.Aku kembali berdiri dan memberi isyarat pada juru kamera di hadapan kami untuk bersiap mengambil gambar. Dia memberi aba-aba dengan hitungan mundur supaya kami siap berakting
Aku mondar-mandir di ruang tamu, menunggu Mas Sandy pulang dengan perasaan gelisah. Entah sudah berapa kali aku mencoba menghubunginya, baik melalui telepon atau pesan, tetapi yang kudapati justru ponselnya tidak aktif. Padahal waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Sebenarnya ke mana laki-laki itu pergi? Suara deru mesin mobil yang memasuki pelataran rumah menghentikan gerakan kakiku. Aku terdiam demi menajamkan pendengaran. Suara itu kian jelas dan menghilang ketika memasuki car port yang ada di sebelah rumah. Aku yakin, itu adalah Mas Sandy yang akhirnya pulang."Lho, Re, kamu kok belum tidur?" Mas Sandy tampak terkejut saat membuka pintu dan mendapati aku yang berdiri di hadapannya. "Mas sendiri ke mana aja baru pulang?" tanyaku ketus. Meski berusaha untuk tetap tenang, nyatanya video yang memperlihatkan kebersamaan suamiku dan wanita lain di gala premiere tadi seolah terus berputar di kepala dan membuat emosiku mendidih. "Aku kan udah bilang, ada gala premiere film." Mas
"Kamu hari ini jadi dateng kan ke lokasi syuting?"Mas Sandy bertanya di sela-sela waktu sarapan kami. Entah sudah berapa lama kami tidak makan semeja bersama. Kebetulan dia bilang hari ini waktu syutingnya dimundurkan sehingga dia tidak perlu keluar rumah pagi-pagi buta.Aku yang sedang menyuapi Naomi hanya meliriknya sekilas. Lantas menjawab singkat, "Ya."Terhitung sudah tiga hari ini aku memberi silent treatment pada suamiku. Penyebabnya adalah Line yang dikirimkan Sinta waktu malam-malam kemarin. Bagaimana aku tidak marah kalau isi pesan yang kulihat sepintas itu menanyakan apakah Mas Sandy sudah mandi atau belum? Memang apa urusannya sama dia?Sayang, waktu itu aku tidak bisa memeriksa lebih jelas, termasuk riwayat obrolan-obrolan lain yang terjadi sebelumnya antara Mas Sandy dan Sinta. Sebab, Mas Sandy buru-buru keluar dari kamar mandi dan mengambil ponselnya lebih dulu. Ketika aku berusaha mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan, dia justru balik memarahiku lebih keras.Aku t
"Lain kali nggak usah lebay! Gitu aja pake teriak-teriak."Tanganku berhenti mengusap kepala Naomi yang sudah duduk di pangkuanku. Mataku memicing, menatap Mas Sandy tidak suka.Lebay katanya? Padahal beberapa saat yang lalu anaknya bisa saja sesak napas gara-gara disuapin kue cokelat oleh Sinta! Tapi kenapa malah aku yang dianggap berlebihan?"Mas," panggilku penuh penekanan. "Naomi itu alergi cokelat. Kamu ingat, kan, dia dulu pernah masuk UGD gara-gara makan roti yang ada selai cokelatnya!"Aku berusaha sekuat tenaga mengatur volume suaraku. Bagaimanapun juga, kami sekarang berada di tempat umum dan tidak baik menampilkan pertengkaran di depan orang banyak."Ya itu kan dulu. Siapa tahu sekarang udah enggak," jawab Mas Sandy enteng. Sampai-sampai mataku melotot, tak percaya dengan apa yang kudengar."Lagian Sinta mana tahu kalau Naomi alergi cokelat," imbuh dia lagi sambil mengalihkan pandangan.Justru itu masalahnya! teriakku dalam hati. Kalau memang tidak tahu punya alergi atau ti