Wajah sepupu Brahmana itu begitu pucat dengan mata memerah dan bibir yang bergetar.
Kenyataan yang baru ia dengar telah menghancurkan diri dan dunianya nyaris sempurna. Menghantam sisa-sisa kebanggaan dan harga diri yang ia pikir, masih menjadi hak untuknya.
“Kevin…”
Ardiya tersentak kaget mendengar suara Brahmana, lalu bergegas melangkah ke luar tanpa memandang kakak sepupunya itu.
Namun Brahmana mengikuti Ardiya keluar dari ruang keluarga menuju ruang depan dan melangkah lebar tatkala ia hampir mencapai pundak Ardiya.
“Tunggu.”
Ardiya menyentak tangan Brahmana dari bahunya dan tetap melangkah cepat menghindari Brahmana.
“Aku bilang tunggu!”
Ardiya menghentikan langkahnya atas suara sentakan keras dari Brahmana itu.
Ia menoleh ke bahu kanan dan tertawa sinis. “Kenapa? Kau mau menertawakan aku sekarang? Ternyata aku tidak lebih dari anak haram ibuku?”
Kedua ta
Erwin melirik ponsel milik putrinya yang layarnya berkedip. Deretan nomor asing yang tidak diketahui oleh Erwin itu, tidak membuat Erwin merasa waspada. Justru sebaliknya, insting Erwin mengatakan panggilan masuk itu penting untuk putrinya. Karena itu, ia mengangkat tangannya dan menyentuh layar di ponsel milik putrinya yang diletakkan di atas meja dekat dirinya duduk, lalu menggeser tombol jawab. Bersamaan itu, Aruna yang sedang ke toilet --di warung makan tempat mereka mampir, keluar. “Errunnaaa.. errrponn..” Erwin berusaha memberitahu putrinya yang berjalan mendekat. Aruna terlihat sedikit terkejut dan menjawab, “Ayah, mengapa dijawab teleponnya?” Namun demikian, ia meraih ponsel itu dan menempelkannya ke telinga kanan. “Halo..” ‘Runa.. Ini aku..’ Deg. Jantung Aruna serasa melewati satu detakan. ‘Sayang, tolong jangan tutup dulu teleponnya,’ mohon penelepon ketika Aruna tidak menjawab apapun. ‘Aku butuh bicara denganmu.’ Aruna lalu bergerak menjauh dari Erwin, bergegas me
Aruna menatap ke depan dengan tubuh berguncang pelan dari mobil yang ia kendarai.Rintik hujan sedikit menghalangi pandangannya pada jalan lurus yang ramai oleh bus dan juga truk-truk besar.Pikirannya setengah melayang.Hatinya seakan kosong dan terasa hampa.Meski tekad itu telah ditetapkan di dalam dirinya, namun ternyata menyatakan secara jelas perpisahan itu di depan Brahmana, membuat separuh dirinya seakan tidak bersamanya.Aruna berulangkali meyakinkan diri.‘Ayah adalah cinta pertamaku dan cinta abadiku.’‘Agha adalah cinta yang baru kumiliki beberapa saat.’‘Tidak ada yang bisa menyuruhku memilih antara ayah dan Agha.’‘Sudah jelas, seluruh hidupku untuk membahagiakan ayah, tidak akan bisa membayar semua pengorbanan dan kasih sayang ayah padaku.’‘Meski secara tidak langsung, Agha yang menyebabkan ayah yang sesungguhnya adalah korban, menjadi pihak ber
Ardiya mengusap wajahnya lalu kedua mata itu menyorot kosong pada langit-langit kamar di apartemennya.Entah berapa lama ia tidur, perutnya terasa kosong dan letup perih terasa di dalam sana.Entah juga celekit perih itu benar-benar berasal dari perutnya atau dari hatinya. Ardiya tidak tahu.Pria itu menoleh ke arah bufet panjang di sudut kamarnya, lalu entah dari mana datangnya, sudut itu berubah menjadi sudut salah satu kamar di mansion Dananjaya yang pernah ia tempati saat kecil dulu.Di ujung sana, terbayang sosok anggun dan tampan Brahmana kecil yang duduk membaca di dekat jendela.Ya, Brahmana.Masih dapat ia ingat dengan baik, Brahmana yang tanpa kata menatap dirinya tajam saat ia mengeluarkan suara-suara berisik saat bermain mobil-mobilan.“Diamlah. Ini sudah malam.”Begitu yang dikatakan Brahmana padanya.Ardiya mengerjap. Bayangan itu kian jelas.Entah bagaimana dan mengapa, potongan memori m
Dengan patuh sang asisten segera melaksanakan perintah atasannya. Namun dalam beberapa saat, asisten itu menggeleng. “Ditolak, Pak.” “Kamu telpon ke nomor siapa?” “Bapak Fathan, executive secretary pak Brahmana, Pak.” Asisten Robert menjawab pelan. “Coba ke asisten Tuan Dananjaya,” ujar Robert gusar. Asisten Robert itu kembali melakukan perintahnya. Namun, tak lama ia kembali berujar, “Sama Pak. Ditolak.” Robert mengeluarkan ponselnya sendiri dan mengetik pesan. Beberapa detik kemudian pesan itu ia kirimkan. “Semoga Tuan Dananjaya mau menjawab telepon.” Ia lalu menunggu beberapa saat hingga pesan yang ia kirimkan terlihat telah dibaca. Dengan sedikit gugup ia lalu melakukan panggilan ke nomor asisten Dananjaya Tua. “Halo. Pak Nuh, bisa saya bicara dengan Tuan Besar?” sapa Robert sopan begitu telepon terhubung. Ia lalu menunggu. Kemudian terdengar suara berwibawa Dananjaya Tua. ‘Ada apa?’ “Se-selamat siang, Tuan Besar. Begini, perusahaan saya dalam masalah--” ‘Dan apa itu u
“Oke, oke!” Anton menyerah. “Runa emang minta tolong ama gue. Katanya mau menghindar dari orang-orang yang gangguin dia. Jadi gue dengan senang hati bantuin Runa. Runa minta gue nunggu di satu tempat dan gue membuat supir mobil yang membawa Runa, pingsan.” Pria muda itupun melanjutkan. “Runa lalu minta gue tukeran mobil ama dia. Ya gue oke-oke aja, apalagi mobil yang membawa Runa ama bokapnya, lebih bagus dari mobil yang gue punya. Gue lalu bawa mobil itu dan Runa pergi ama mobil gue.” “Lalu Aruna?” “Ya gak tau. Dia langsung pergi pake mobil gue dan gak bilang mau kemana.” Brahmana mengangkat tangan dan memberi kode pada Fathan yang langsung bergerak mendekat pada Brahmana. “Plat mobil?” tanya Fathan pada Anton. Setelah mendapatkan informasi mengenai mobil milik Anton yang dibawa Aruna, Fathan segera pergi dari sana. Tentu saja untuk segera mencari tahu kemana mobil itu pergi. Dengan mengetahui plat nomor dan jenis mobil secara jelas, akan lebih mudah melacak keberadaan Aruna se
Brahmana tertegun sekian detik.“Saya pikir saya benar. Ini pasti tentang wanita.” Syam lalu terkekeh pelan.“Ada apa, Nak?” tanyanya setelah melihat Brahmana yang masih terdiam.“Saya--” Brahmana menelan saliva. “Membuat kesalahan pada seseorang, sehingga orang itu pergi dari saya.”“Kesalahan?”“Ya, Pak Syam. Apa pak Syam ingat tentang kasus tabrak lari 2017 silam?”“2017?”“Ya, Pak.” Brahmana menarik napas dalam. Beban di dalam dadanya terasa begitu berat. Celekit nyeri ketika ia menarik napas, terasa lagi.“Saat itu pak Syam masih membimbing dan mendampingi saya. Saya meminta pak Syam untuk membereskan kasus itu.”“2017…” Syam mencoba memutar memori lamanya. “Ah.. Nak Nadiya yang tidak sengaja menabrak seorang pria?”“Bapak ingat?”Syam mengangguk. &ldquo
“Apakah Tuan Syam mengatakan sesuatu, Tuan?” Fathan memberanikan diri bertanya, saat Brahmana telah kembali ke dalam mobil yang dikemudikan dirinya. Ia cukup kaget karena Brahmana memilih duduk di depan, bersisian dengannya yang berada di balik kemudi. Bukan duduk di belakang seperti biasanya. Sepanjang jalan, Brahmana pun hanya diam, hingga Fathan mencoba membuka percakapan dengan Bos Besar-nya itu. “Kakek yang ternyata memutarbalikkan fakta dan membuat pak Erwin menjadi tersangka.” “Ya Tuhan..” Fathan bergumam spontan. Bagaimana tidak, semula ia memang berpikir bahwa kasus itu dan segala yang terjadi saat itu, memang atas perintah Brahmana pada Syam untuk menyelesaikannya. Meskipun ada sedikit ganjalan, mengapa pak Erwin harus dijadikan tersangka, padahal dialah korbannya, namun Fathan tidak berani bertanya hal itu pada sang Bos Besar. “Jadi.. apakah karena itu juga, yang membuat Nona Aruna ditolak saat datang ke kantor polisi oleh seorang oknum dan mengalami kesialan itu…” Fa
Beberapa hari kemudian, di kediaman Brahmana. Di kamar tidur besar Maira, Brahmana tengah membujuk Maira. Wajah pria tampan yang telah mengenakan setelan jas berwarna coklat tua itu tampak muram, dengan alis menukik, mulut sedikit terbuka, namun tanpa ada keluar kata-kata. Sementara gadis kecil yang sedang ia bujuk, masih mengenakan gaun tidur dan memeluk teddy bear berwarna coklatnya dengan erat. Maira duduk di dekat headboard ranjang dengan kaki bersila dan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya dari sang ayah. “Bisa jelaskan pada ayah, mengapa hari ini Mai tidak mau sekolah lagi?” Nada sabar terdengar dari kalimat yang ditanyakan oleh Brahmana pada gadis kecil di depannya. Alih-alih menjawab, gadis kecil itu malah berdendang dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan kedua lengan tetap mendekap boneka kesayangannya. “Mai…” Maira, gadis kecil itu tetap tak mengindahkan pria di depannya. “Mai, ayah bicara padamu,” kata Brahmana. Kali ini ia menekuk lututnya dan duduk di
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m