“Apakah benar-benar tidak ada hasil apapun, Mas?” Shanti menatap lekat pada pria berkacamata yang duduk berhadapan dengannya.Fathan menggeleng, lalu balik bertanya. “Kamu sendiri gimana? Apa Aruna sama sekali tidak menghubungimu? Atau kamu dapat petunjuk dan informasi dari teman-teman kalian?”Gelengan Shanti menjadi jawaban yang sangat jelas bagi pria berkacamata itu.“Gue dah tanya semua anak-anak. Bahkan gue dah kaya debt collector, tiap hari nagih info sama temen-temen deket. Tapi gak ada satu pun yang bisa hubungin dia dan juga kagak ada satu pun yang dihubungi Runa.”Shanti mengempas tubuhnya ke sandaran kursi.“Bahkan semua medsos dia sudah di non-aktifkan. Dia bener-bener kaya jin lampu, tiba-tiba ngilang gitu aja.” Kedua sorot mata Shanti meredup.Wanita muda sahabat Aruna itu tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya yang sangat, pada Aruna.Ia telah mengetahui alasan Aruna p
Dear all GoodReaders pembaca setia Aruna dan Brahmana!! Jadwal update Aruna masih sama yaa, yakni Senin hingga Sabtu setiap jam 19.00, dua bab yang di upload setiap harinya.. Akan tetapi.. seringkali setiap hari Minggu, Author tetap upload agar teman-teman GoodReaders tidak kehilangan Aruna. Author juga minta maaf, jika ternyata pada hari-hari tertentu hanya bisa upload 1 bab saja, dikarenakan pada hari tersebut Author disibukkan dengan pekerjaan Author lainnya (kebetulan Author juga seorang pegawai... :D). Tapi selalu Author usahakan dapat upload minimal dua bab setiap harinya... Oya... bagi teman-teman yang memberikan komentar di setiap Bab namun tidak terjawab oleh Author, artinya komen kalian pada bab itu tidak muncul di Author. Belum Author ketahui apa penyebabnya, dimungkinkan karena system error di GN nya. Anyways............. Terima kasih sekali lagi buat teman-teman yang sudah mengikuti terus Aruna sampai bab ini. Terima kasih juga apresiasi kalian terhadap karya Autho
“Aku benar-benar minta maaf, Bu. Jadi merepotkan Bu Darmi.” Wanita berusia akhir tiga puluhan itu tersenyum ramah. “Tidak apa-apa, Mbak Runa. Tenang saja, saya akan jaga bapak jenengan. Ndak perlu khawatir. Dulu saya biasa rawat mertua saya yang juga kondisinya seperti pak Erwin ini, kok.” Aruna mengangguk dan balas tersenyum. “Terima kasih, Bu. Kalau misal ayah saya mau buang air, Bu Darmi--” “Jangan khawatir! Nanti saya panggil mas Parno suami saya untuk bagian itu, Mbak..” Wanita bernama Darmi itu tersenyum lebar. Aruna tersenyum lagi, lalu mengalihkan pandangan pada sang ayah. “Yah, maaf Runa tinggal dulu sehari ini ya Yah. Runa janji segera kembali..” Aruna meraih tangan kanan Erwin lalu mencium punggung tangan ayahnya itu. “Bu Darmi, saya titip ayah.” Demikian Aruna berpamitan pada salah satu tetangga baik hati yang bersedia menjaga Erwin hari ini. Aruna lalu keluar dari rumah kontrakan sederhana di satu perkampungan yang tidak jauh dari pusat kota Brebes. Ia masuk ke dal
Aruna membatu tatkala melihat satu sosok berdiri tepat di hadapannya, begitu ia berbalik. “Runa…” “A-Ardiya.. Apa.. apa yang kau lakukan di sini?” Aruna tergagap. Ekor matanya bergerak cepat, memindai ke belakang dan sekeliling Ardiya. Ardiya berdiri mematung memandang wanita di depannya dengan tatapan kompleks. Satu sisi hatinya berbunga, satu sisi lain terasa pilu. Entah bagaimana menjelaskannya, ada debar rindu di dalam diri Ardiya pada wanita muda yang terlihat gugup itu. Ia sungguh bersyukur, Anton menghubungi dirinya beberapa jam lalu dan memberitahukan informasi berharga ini pada dirinya, terlebih dahulu. Meski ia harus kehilangan seratus juta rupiah, sungguh, Ardiya merasa itu sangat sepadan dengan bisa menatap wanita muda ini tepat di depan dirinya. “Kau tidak sedang mencoba menipuku, kan?” tanya Ardiya saat ia menerima telepon dari Anton sekian jam lalu itu dan kesepakatan antara mereka telah terjadi. ‘Gue gak berani, Tuan! Gue cukup bahagia dengan uang itu nanti, ka
Aruna mengusap airmata yang menetes dengan begitu deras di kedua pipinya. Pandangannya mengabur karena genangan bening di pelupuk mata. Ia menatap jalan raya yang menyimpan banyak kenangan bersama Brahmana juga Maira. Pertemuan dengan Ardiya tadi, membuat dadanya sesak karena jaring memori yang menarik dirinya untuk mengenang semua tentang Brahmana. Ia memang telah memutuskan pilihan ini. Tapi bukan berarti tidak terasa sakit. Aruna menengadahkan kepalanya. Ia memaki pelan atas airmata yang begitu bertekad dalam menerjemahkan rasa pilu di hatinya. Ia tidak boleh menangis! Rasa sakit itu tidak boleh ada! Rasa sakit hanya akan muncul, karena terluka. Dan seseorang bisa terluka karena memiliki harapan yang mangkir dari terwujud nyata. Seseorang juga bisa terluka karena memiliki rasa lebih --yang lazim disebut cinta-- kemudian tahu bahwa rasa lebih itu tidak pula dapat mewujud. Semakin besar harapan dan cinta itu, semakin besar dan dalam pula luka yang akan menggores. Dan kini, Ar
Dengan tergesa, Brahmana turun dari mobil dan berjalan cepat mendatangi kantor kecil tempat rental mobil. Kantor itu hanya terdiri dari ruangan satu sekat yang sangat sederhana. Fathan bergegas menyusul langkah cepat Brahmana dan berhenti tepat ketika sang Bos Besar-nya pun berhenti. “Permisi Pak, saya perlu informasi mengenai penyewa mobil ini,” ujar Fathan langsung dan mendekati seorang lelaki paruh baya di balik meja sederhana. Lelaki paruh baya itu menelisik Fathan dan pria yang menjulang berdiri di sisi Fathan, lalu menelan ludah dengan kasar, merasakan tekanan kuat yang menguar dari pria itu. “Saya tidak membocorkan informasi pelanggan, Tuan.” Tak. Lelaki paruh baya itu terkesiap lalu terkesima menatap setumpuk uang yang diletakkan Fathan di atas meja sederhana miliknya. “Apakah sekarang kami bisa mendapatkan info itu?” Lelaki paruh baya itu menelan ludah dengan alot, lalu menganggukkan kepala. “Bi-bisa Tu
Beberapa hari berlalu. Brahmana menggila mencari Aruna. Beberapa meeting telah sekian kali dibatalkan dan beberapa proyek terabaikan. Fathan sendiri tidak menemukan keanehan atau hal-hal mencurigakan dilakukan oleh Robert ataupun pihak lain yang mereka curigai. Tidak ada satu pun dari mereka yang berhubungan dengan hilangnya Aruna. “Tuan,” Fathan melangkah mendekati meja kerja Brahmana. “Tuan Besar menghubungi dan mengatakan akan mengundang Tuan Harun pada jamuan makan malam ini.” Fathan melaporkan kegiatan tambahan untuk Brahmana pada hari itu. “Berikan berita lain yang lebih penting,” balas Brahmana tak acuh. Ia tengah duduk bersandar malas pada kursi kebesarannya, dengan tatapan mengarah pada jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan puncak-puncak pencakar langit di luar. Fathan terdiam sebentar. Ia kemudian meletakkan iPad ke atas meja kerja Brahmana. “Oknum yang hampir melakukan pelecehan pada nona Aruna 2017 silam, telah dibereskan.” Brahmana melirik tanpa minat
Dua tahun enam bulan kemudian. Di bandara Soekarno Hatta, terminal 3 internasional. Seorang wanita bertubuh tinggi semampai dibalut blus putih motif bunga fuchsia ungu cerah berpadu rok setengah betis dan sepatu boot kulit berwarna coklat tan, melangkah anggun sambil menarik koper berukuran besar. Rambut panjang bergelombang-nya yang diikat menjadi satu di belakang, mengayun indah. Wajah cantiknya terlihat cerah dengan bibir dipoles lipstick berwarna pink nude. Sementara sebelah tangan memegang benda pipih di telinga kiri dan berbicara dalam bahasa asing. “Have you checked the email that I sent to you?” (Sudahkah kamu mengecek email yang kukirimkan?) Wanita itu terus berjalan sambil mendengarkan jawaban dari seberang telpon. “I could see the need to have a systematic approach to our product development workflow. I’m working on it.” (Aku bisa lihat perlunya pendekatan sistematis terhadap alur kerja pengembangan produk kita. Aku sedang mengerjakannya) Wanita itu bicara lagi dengan