Brahmana tertegun sekian detik.“Saya pikir saya benar. Ini pasti tentang wanita.” Syam lalu terkekeh pelan.“Ada apa, Nak?” tanyanya setelah melihat Brahmana yang masih terdiam.“Saya--” Brahmana menelan saliva. “Membuat kesalahan pada seseorang, sehingga orang itu pergi dari saya.”“Kesalahan?”“Ya, Pak Syam. Apa pak Syam ingat tentang kasus tabrak lari 2017 silam?”“2017?”“Ya, Pak.” Brahmana menarik napas dalam. Beban di dalam dadanya terasa begitu berat. Celekit nyeri ketika ia menarik napas, terasa lagi.“Saat itu pak Syam masih membimbing dan mendampingi saya. Saya meminta pak Syam untuk membereskan kasus itu.”“2017…” Syam mencoba memutar memori lamanya. “Ah.. Nak Nadiya yang tidak sengaja menabrak seorang pria?”“Bapak ingat?”Syam mengangguk. &ldquo
“Apakah Tuan Syam mengatakan sesuatu, Tuan?” Fathan memberanikan diri bertanya, saat Brahmana telah kembali ke dalam mobil yang dikemudikan dirinya. Ia cukup kaget karena Brahmana memilih duduk di depan, bersisian dengannya yang berada di balik kemudi. Bukan duduk di belakang seperti biasanya. Sepanjang jalan, Brahmana pun hanya diam, hingga Fathan mencoba membuka percakapan dengan Bos Besar-nya itu. “Kakek yang ternyata memutarbalikkan fakta dan membuat pak Erwin menjadi tersangka.” “Ya Tuhan..” Fathan bergumam spontan. Bagaimana tidak, semula ia memang berpikir bahwa kasus itu dan segala yang terjadi saat itu, memang atas perintah Brahmana pada Syam untuk menyelesaikannya. Meskipun ada sedikit ganjalan, mengapa pak Erwin harus dijadikan tersangka, padahal dialah korbannya, namun Fathan tidak berani bertanya hal itu pada sang Bos Besar. “Jadi.. apakah karena itu juga, yang membuat Nona Aruna ditolak saat datang ke kantor polisi oleh seorang oknum dan mengalami kesialan itu…” Fa
Beberapa hari kemudian, di kediaman Brahmana. Di kamar tidur besar Maira, Brahmana tengah membujuk Maira. Wajah pria tampan yang telah mengenakan setelan jas berwarna coklat tua itu tampak muram, dengan alis menukik, mulut sedikit terbuka, namun tanpa ada keluar kata-kata. Sementara gadis kecil yang sedang ia bujuk, masih mengenakan gaun tidur dan memeluk teddy bear berwarna coklatnya dengan erat. Maira duduk di dekat headboard ranjang dengan kaki bersila dan menunjukkan raut wajah yang tak kalah suramnya dari sang ayah. “Bisa jelaskan pada ayah, mengapa hari ini Mai tidak mau sekolah lagi?” Nada sabar terdengar dari kalimat yang ditanyakan oleh Brahmana pada gadis kecil di depannya. Alih-alih menjawab, gadis kecil itu malah berdendang dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan kedua lengan tetap mendekap boneka kesayangannya. “Mai…” Maira, gadis kecil itu tetap tak mengindahkan pria di depannya. “Mai, ayah bicara padamu,” kata Brahmana. Kali ini ia menekuk lututnya dan duduk di
“Apakah benar-benar tidak ada hasil apapun, Mas?” Shanti menatap lekat pada pria berkacamata yang duduk berhadapan dengannya.Fathan menggeleng, lalu balik bertanya. “Kamu sendiri gimana? Apa Aruna sama sekali tidak menghubungimu? Atau kamu dapat petunjuk dan informasi dari teman-teman kalian?”Gelengan Shanti menjadi jawaban yang sangat jelas bagi pria berkacamata itu.“Gue dah tanya semua anak-anak. Bahkan gue dah kaya debt collector, tiap hari nagih info sama temen-temen deket. Tapi gak ada satu pun yang bisa hubungin dia dan juga kagak ada satu pun yang dihubungi Runa.”Shanti mengempas tubuhnya ke sandaran kursi.“Bahkan semua medsos dia sudah di non-aktifkan. Dia bener-bener kaya jin lampu, tiba-tiba ngilang gitu aja.” Kedua sorot mata Shanti meredup.Wanita muda sahabat Aruna itu tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya yang sangat, pada Aruna.Ia telah mengetahui alasan Aruna p
Dear all GoodReaders pembaca setia Aruna dan Brahmana!! Jadwal update Aruna masih sama yaa, yakni Senin hingga Sabtu setiap jam 19.00, dua bab yang di upload setiap harinya.. Akan tetapi.. seringkali setiap hari Minggu, Author tetap upload agar teman-teman GoodReaders tidak kehilangan Aruna. Author juga minta maaf, jika ternyata pada hari-hari tertentu hanya bisa upload 1 bab saja, dikarenakan pada hari tersebut Author disibukkan dengan pekerjaan Author lainnya (kebetulan Author juga seorang pegawai... :D). Tapi selalu Author usahakan dapat upload minimal dua bab setiap harinya... Oya... bagi teman-teman yang memberikan komentar di setiap Bab namun tidak terjawab oleh Author, artinya komen kalian pada bab itu tidak muncul di Author. Belum Author ketahui apa penyebabnya, dimungkinkan karena system error di GN nya. Anyways............. Terima kasih sekali lagi buat teman-teman yang sudah mengikuti terus Aruna sampai bab ini. Terima kasih juga apresiasi kalian terhadap karya Autho
“Aku benar-benar minta maaf, Bu. Jadi merepotkan Bu Darmi.” Wanita berusia akhir tiga puluhan itu tersenyum ramah. “Tidak apa-apa, Mbak Runa. Tenang saja, saya akan jaga bapak jenengan. Ndak perlu khawatir. Dulu saya biasa rawat mertua saya yang juga kondisinya seperti pak Erwin ini, kok.” Aruna mengangguk dan balas tersenyum. “Terima kasih, Bu. Kalau misal ayah saya mau buang air, Bu Darmi--” “Jangan khawatir! Nanti saya panggil mas Parno suami saya untuk bagian itu, Mbak..” Wanita bernama Darmi itu tersenyum lebar. Aruna tersenyum lagi, lalu mengalihkan pandangan pada sang ayah. “Yah, maaf Runa tinggal dulu sehari ini ya Yah. Runa janji segera kembali..” Aruna meraih tangan kanan Erwin lalu mencium punggung tangan ayahnya itu. “Bu Darmi, saya titip ayah.” Demikian Aruna berpamitan pada salah satu tetangga baik hati yang bersedia menjaga Erwin hari ini. Aruna lalu keluar dari rumah kontrakan sederhana di satu perkampungan yang tidak jauh dari pusat kota Brebes. Ia masuk ke dal
Aruna membatu tatkala melihat satu sosok berdiri tepat di hadapannya, begitu ia berbalik. “Runa…” “A-Ardiya.. Apa.. apa yang kau lakukan di sini?” Aruna tergagap. Ekor matanya bergerak cepat, memindai ke belakang dan sekeliling Ardiya. Ardiya berdiri mematung memandang wanita di depannya dengan tatapan kompleks. Satu sisi hatinya berbunga, satu sisi lain terasa pilu. Entah bagaimana menjelaskannya, ada debar rindu di dalam diri Ardiya pada wanita muda yang terlihat gugup itu. Ia sungguh bersyukur, Anton menghubungi dirinya beberapa jam lalu dan memberitahukan informasi berharga ini pada dirinya, terlebih dahulu. Meski ia harus kehilangan seratus juta rupiah, sungguh, Ardiya merasa itu sangat sepadan dengan bisa menatap wanita muda ini tepat di depan dirinya. “Kau tidak sedang mencoba menipuku, kan?” tanya Ardiya saat ia menerima telepon dari Anton sekian jam lalu itu dan kesepakatan antara mereka telah terjadi. ‘Gue gak berani, Tuan! Gue cukup bahagia dengan uang itu nanti, ka
Aruna mengusap airmata yang menetes dengan begitu deras di kedua pipinya. Pandangannya mengabur karena genangan bening di pelupuk mata. Ia menatap jalan raya yang menyimpan banyak kenangan bersama Brahmana juga Maira. Pertemuan dengan Ardiya tadi, membuat dadanya sesak karena jaring memori yang menarik dirinya untuk mengenang semua tentang Brahmana. Ia memang telah memutuskan pilihan ini. Tapi bukan berarti tidak terasa sakit. Aruna menengadahkan kepalanya. Ia memaki pelan atas airmata yang begitu bertekad dalam menerjemahkan rasa pilu di hatinya. Ia tidak boleh menangis! Rasa sakit itu tidak boleh ada! Rasa sakit hanya akan muncul, karena terluka. Dan seseorang bisa terluka karena memiliki harapan yang mangkir dari terwujud nyata. Seseorang juga bisa terluka karena memiliki rasa lebih --yang lazim disebut cinta-- kemudian tahu bahwa rasa lebih itu tidak pula dapat mewujud. Semakin besar harapan dan cinta itu, semakin besar dan dalam pula luka yang akan menggores. Dan kini, Ar