Saat Anakku Kaya 1
Bab 1Minta uang “Lina, Ibu mau minta uang.” aku memberanikan diri menemui Lina, menantuku untuk meminta sedikit uang. “Apa, sih, Bu, minta uang terus?” Dengan wajah masam, Lina melihatku yang berdiri di samping tempat tidurnya. Aku menghela nafas pelan. “Dua hari lagi, Ibu mau ikut piknik Ziarah sama ibu-ibu pengajian kampung. Mobilnya gratis tapi, ibu nggak punya sangu,” jawabku pelan. “Nggak punya sangu ya nggak usah ikut to, Bu. Gitu aja kok repot.” Lina beringsut dan membelakangi aku. Dengan menahan rasa kecewa, akupun berlalu dari kamar menantuku. Malamnya, saat sedang sendirian di kamar, Yuda, anak lelakiku masuk dan menemuiku. Aku melihat Yuda yang mendekat dan duduk di sampingku. “Lagi ngapain, Bu?” Tanya Yuda sambil melihat aktivitasku merajut. “Ini, Ibu lagi merajut kaos tangan dan kaos kaki bayi,” ucapku sambil tersenyum. Aku juga menunjukkan kaos tangan mungil yang sudah jadi pada Yuda. Mengambil kaos tangan bayi yang aku tunjukkan, Yuda memandangnya. “Lucu, ya?” Kataku sembari melanjutkan merajut. Teringat saat hamil Yuda dulu, kegiatanku adalah merajut setelah selesai membereskan rumah. “Dulu, Ibu juga membuat sendiri kaos tangan dan kaos kaki bayi buat kamu, Yud.” aku tertawa kecil mengingat saat itu. Aku dan suamiku bukanlah orang kaya, hidup kami pas-pasan. Pas buat makan, pas buat biaya sekolah Yuda, dan pas buat bayar kontrakan. Meskipun begitu, aku dan suami berhasil menyekolahkan Yuda hingga lulus kuliah. Yuda adalah anakku satu-satunya. Aku dan Mas Riswan, suamiku, rela kontrak-kontrak rumah demi bisa menghidupi dan membiayai anak semata wayangku itu. Yuda bisa punya sepeda motor, beli laptop, bayar kuliah, biaya KKN, juga skripsi. Semuanya adalah hasil kerja keras ayahnya. Sebagai Ibu, aku selalu menomorsatukan anak. Tak ada kebutuhan Yuda yang tertunda, semuanya beres meskipun aku harus mengorbankan kepentingan yang lain. Yuda lebih penting. Hingga akhirnya, Yuda selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji besar. Aku dan Mas Riswan sangat bahagia melihat kesuksesan Yuda. Sayangnya, Mas Riswan harus kembali ke Rahmatullah, beberapa bulan setelah Yuda bekerja. Tinggalah aku sendiri bersama anak lelakiku, Yuda. Karena pandai dan tekun, Yuda segera mendapat promosi jabatan. Gajinya juga naik. Yuda berhasil membeli mobil dan kredit rumah. Aku sangat terharu saat Yuda memboyongku pindah ke rumah barunya. Sampai-sampai, aku tak dapat membendung air mata. Ya Allah, akhirnya, aku berhasil memilki rumah sendiri meskipun sebenarnya milik anakku. Berakhir sudah perjalananku kontrak mengontrak. InshaAllah, aku dapat hidup tenang bersama anakku sampai akhir hayat. Tangisku semakin menjadi saat mengingat Mas Riswan. Tentunya, suamiku itu akan sangat bangga dengan Yuda yang berhasil membeli rumah sendiri. Sesuatu yang sangat didambakan Mas Riswan seumur hidupnya yang belum kesampaian. “Itu buat cucu ibu nanti,” bisikku pada Yuda sambil mengukir senyum. Lina sedang hamil tua, sebentar lagi melahirkan, makanya aku membuat beberapa kaos tangan dan kaki buat bakal cucuku nanti. Rencananya, aku juga akan merajut baju hangat juga kalau bahannya cukup. Maklum, aku membelinya harus mengumpulkan uang dulu. Yuda menimang kaos tangan mungil di tangannya. “Ibu tadi siang minta uang sama Lina, ya?” Tanya Yuda tanpa melihatku. Pandangan Yuda ke bawah. Tanganku berhenti merajut, aku menoleh pada Yuda. “Iya, Yud, Ibu minta sangu buat piknik Ziarah sama teman pengajian,” jawabku jujur.Yuda mengangguk tipis. “Berapa?” “Seratus aja tapi, kalau nggak ada , limapuluh juga gapapa,” jawabku. Yuda merogoh saku celana untuk mengeluarkan dompet. “Ini, Bu.” Yuda menyodorkan uang seratus ribu. Aku menerimanya dengan senang hati. “Makasih, ya, Yud.” “Oh, ya, Bu …” “Apa?” Sahutku sambil menyimpan uang ke dalam tas milikku. “Jangan minta uang terus sama Lina, ya?” Yuda melirik. “Ibu jarang kok, minta uang sama Lina. Paling kalau sabun cucinya habis baru minta.” balasku pelan. “Iya, kan, Lina sudah sering ngasih uang ibu.” Yuda menoleh dan menatapku. Aku terdiam. Meski itu tidak benar tapi, aku tidak ingin membantah. Lina tidak pernah memberiku uang cuma-cuma. Menantuku itu menyuruhku ke warung untuk membelikan keperluannya dan memberi upah padaku. Tidak banyak, paling dua ribu atau tiga ribu. Semuanya aku kumpulkan untuk membeli benang rajut dan membayar infaq pengajian. Aku sadar diri kok, cuma numpang hidup. “Iya, maaf, Yud …” ucapku dengan suara tercekat, rasanya mau menangis. Yuda berdiri dan keluar dari kamarku. Menutup mulut dengan sebelah tangan, aku menahan isakan tangis. Perih rasanya dada ini. Setelah perasaanku lega, aku kembali mengambil benang dan meneruskan merajut. Sudahlah, mungkin Lina begitu karena bawaan bayi. Aku saja yang terlalu Baper. BersambungDinikahi Raja jalan tol 2Bab 2“Ibu, belanja, ini uangnya. Lina pingin makan cumi.” Padahal, aku baru saja membereskan piring bekas sarapan Yuda dan Lina. Menantuku itu sudah berjalan ke arahku dengan perut besarnya. Lina menaruh uang sebesar Lima puluh ribu rupiah di meja makan. Aku melihat uang tersebut. “Kenapa melotot, Bu?” Tanya Lina seketika. Bola mataku berpindah padanya. “Oh, apa karena nggak ada upah?” Mata Lina melebar. “Bukannya Ibu sudah dikasih uang sama Mas Yuda kemarin sore, seratus ribu? Itu buat sebulan ya, Bu!” Lina menghardik keras. “Uang itu buat sangu piknik Ziarah, Lin,” kataku pelan. “Mau pakai piknik, kek, mau pake jajan, kek. Terserah! Pokoknya itu jatah buat sebulan. Kalau sehari sudah habis, ya sudah, Ibu diam,” ujar Lina garang. Aku mengangguk dengan bibir tersenyum. “Iya, Lin …” Lina berbalik badan dan kembali masuk ke kamar. Seperti biasa, aku hanya dapat menghela nafas untuk meredakan sesak di dada. Lina adalah istri pilihan Yuda sendiri, aku t
Dinikahi Raja jalan tol 3Bab 3Piknik Ziarah “Ibu nggak pernah ngerumpi, atau keluyuran. Kamu tau sendiri kan, Lin, kegiatan Ibu hanya ke masjid dan ikut pengajian, selebihnya, Ibu lebih banyak di rumah untuk beres-beres,” jawabku menyangkal tuduhan Lina. “Lha, iya, itu, Ibu ngerumpinya pas lagi ngaji, ibu ngomongin Lina sama teman-teman ibu.” Lina menatapku jahat. “Astaghfirullah, Lin. Di pengajian nggak ada orang ngerumpi!” Ucapku sedikit tinggi. Apa yang ada di pikiran Lina ini, menuduh orang mengaji menjadi ngerumpi. “Mana kutau!” Lina berucap sembari berkelebat pergi. Kembali, aku hanya dapat mengelus dada dengan kelakuan menantuku. **[Jangan lupa ya, Ibu-ibu, besok kumpul di lapangan pagi jam setengah tujuh. Jangan terlambat]Begitu pesan admin dari grup pengajian yang aku ikuti. Besok adalah hari piknik Ziarah diadakan. Aku melirik tas kain di meja. Semua kebutuhan buat piknik sudah aku siapkan dari tadi siang. Mukena, sandal jepit, air minum, permen dan sebungkus roti
Dinikahi Raja jalan tol 4Bab 4Tak seperti kenyataan Rombongan melakukan sholat dluhur di Masjid Menara Kudus. Setelah itu lanjut melakukan ziarah kubur pada makam Sunan Kudus yang ada di komplek masjid. Akupun mengikuti semua sesi acara yang sudah diatur oleh panitia. “Makan, yuk, lapar.” Bu Sani menghentikan langkah dan mengelus perutnya. Aku, Bu Safiq dan Bu Asmah setuju karena memang sudah siang dan jatahnya mengisi perut. Kulihat, peserta piknik yang lain juga sudah pada membuka bekal makanan mereka. Sebagian lagi pada membeli makanan di warung makan yang ada di sekitar tempat ziarah. Bersama sahabat-sahabatku, kami mencari tempat teduh di area yang diperkenankan untuk pengunjung. “Duduk sebelah sana, yuk!” Aku menunjuk sebuah tempat. Ketiga temanku mengangguk. Alhamdulillah, dapat tempat yang bisa dikatakan nyaman buat bersantai dan menikmati makanan. “Bu Ainun, kok nggak pakai nasi?” Tanya Bu Safiq saat melihat bekal yang aku makan. “Iya, ini saja kenyang, kok,” jawabku
Dinikahi Raja jalan tol 5Bab 5Lina melahirkan Memasuki rumah lewat pintu belakang, aku tak menemukan siapapun. Yuda sama Lina tidak terlihat tetapi mobilnya ada di garasi. Karena didesak waktu salat Maghrib yang sempit, aku tak mempedulikannya, segera aku masuk kamar, ganti baju dan mengambil air wudhu. Tok tokSuara ketukan di pintu terdengar persis setelah aku menunaikan salat Maghrib. Tanpa melepas mukena karena aku akan melanjutkan dengan berdzikir, aku berdiri membuka pintu. Ternyata Yuda. Anak lelaki kesayanganku ini tampak ganteng dengan kemeja kotak-kotak cerah. Bibir Yuda melengkung ke atas, tersenyum padaku. “Sudah pulang, Bu?” Tanyanya. “Sudah,” jawabku. “Oleh-olehnya, mana, Bu?” Dari ruang makan, terdengar suara lantang Lina. Aku menengok. “Maaf, Ibu nggak beli apa-apa, Lin … uangnya gak cukup,” sahutku tersenyum kecut. Pasti Lina marah. “Alasan aja, padahal, Ibu memang pelit. Kan, sudah dikasih uang saku sama Mas Yuda.” cibir Lina. Benar, kan, Lina marah. Aku
Dinikahi Raja jalan tol 6Bab 6Tak bisa Memilih Lina terpaksa dioperasi cecar karena tidak kuat mengejan. Menantuku itu hanya bisa berteriak teriak kesakitan sambil mengomeli suaminya. Aku juga pernah melahirkan. Memang sakit sekali rasanya tetapi, aku tidak manja. Selama proses pembukaan hingga persalinan, aku selalu berdoa, bukan berteriak apa lagi memaki-maki suami dan Mertua seperti Lina. Tapi, sudahlah, memang sifat orang berbeda alias tidak sama. Duduk bersebelahan dengan Yuda di depan pintu ruang operasi, anakku itu terlihat tegang. Yuda gelisah dan sering melihat ke pintu. Lagi-lagi, aku teringat dengan almarhum Mas Riswan. Suamiku, dulu juga menunggu dan menyemangati aku tatkala menahan sakit saat melahirkan Yuda. “Berdoa, Yud, semoga semuanya lancar,” kataku. Yuda mengangguk. Kemudian sunyi, karena aku berdoa dalam hati untuk menantuku itu bersama cucu yang akan lahir, semoga sehat dan selamat dua-duanya. Suara langkah kaki tergesa terdengar menuju kemari. Aku dan Yuda
Dinikahi Raja jalan tol 7Bab 7Anakku milik Istrinya “Bu Ainun, kemarin pas acara akikah cucunya kok nggak kelihatan?” Tanya Bu Safiq saat aku dan Bu Sani mampir ke rumahnya sepulang mengaji. “Oh, aku di belakang,” sahutku. “Kok di belakang, harusnya kan di depan, nemuin tamu,’ kata Bu Sani. “Iya, kita nyariin, lho,” ujar Bu Safiq. “Kan, sudah ada besan saya, Bu Sofi di depan, jadi, aku di belakang saja.” aku mengangguk. “Harusnya itu, dua neneknya di depan. Seperti aku dulu waktu akikah anaknya Titin,” Bu Safiq menoleh pada Bu Sani dengan menganggukkan kepala. Bu Sani pun mengangguk kuat. Memang acara akikah cucuku yang diberi nama Zidan Al Fatih kemarin, aku berada ada di dalam rumah. Aku juga melihat tetangga-tetangga yang datang seperti Bu Sani, Bu Safiq dan Bu Asmah. Sebenarnya, aku ingin berdiri di depan untuk sekedar menemui para tetangga yang hadir tetapi, Bu Sofi, besanku bilang kami harus berbagi tugas. Bu Sofi, Lina dan Nungki di depan among tamu sedangkan aku dan
Dinikahi Raja jalan tol 8Bab 8Dianggap Pembantu “Halo, assalamualaikum, Bu Ainun!”Bibirku tersenyum lebar saat menerima panggilan video dari temanku Bu Safiq. Terlihat temanku itu melambaikan tangan dan dengan senyum semringah. “Waalaikumsalaam. Gimana, Bu, senang?” Tanyaku gembira. “Alhamdulillah, Bu,” sahut Bu Safiq yang kemudian menggeser kamera telepon hingga terlihat teman-teman lain di belakangnya. Duduk berderet di sebuah tempat tidur kayu ada Bu Sani, Bu Asmah dan Bu Ida. Keempat temanku semuanya masih mengenakan mukena berwarna senada yaitu putih. Keempat temanku jadi mondok dan ikut pesantren kilat lansia di kabupaten Magelang seperti yang dibahas kemarin dulu. Aku yang tidak memiliki cukup uang harus kecewa karena tidak dapat mengikuti kegiatan menyenangkan tersebut. Kebetulan, anakku Yuda, Minggu depan mendapat tugas inspeksi ke kantor cabang di luar kota selama dua hari, jadi aku memiliki alasan untuk tidak ikut pergi dengan teman-temanku. “Aku harus menemani Men
Dinikahi Raja jalan tol 9Bab 9Teledor hingga Nyaris Kebakaran “Bu Ainun, seragam sekolah saya mana?” Suara anak perempuan terdengar jelas dari arah belakang. Aku menoleh. “Nungki?” Aku tersenyum padanya. Gadis abege itu memasang wajah jutek. Matanya menatapku. “Mana seragam sekolah saya, Bu?” Keningku mengerut, mencoba mengingat. “Kemarin kan, saya suruh setrika?” Nada suara Nungki naik. Ah, ya, aku jadi teringat, seragam itu masih di ruang setrikaan. Astaga, aku lupa!“Ya, Allah, Nungki … ibu lupa menggosoknya.” aku berlari kecil ke ruang setrikaan. Baju seragam Nungki masih teronggok di sana. Cepat-cepat aku menancapkan kabel ke colokan. “Gimana, sih, Bu! Orang disuruhnya kemarin, baru dikerjakan sekarang. Aku kan, mau sekolah.” Anak kecil itu, Nungki mengomel. Aku tidak menghiraukan dan segera menggosok baju seragam adiknya Lina. “Cepet sedikit, Bu. Yang halus.” Nungki berdiri di samping meja setrika dengan mulut tak henti mengomel. “Nungki, cepet sedikit, nanti terlamba