Dinikahi Raja jalan tol 3
Bab 3Piknik Ziarah “Ibu nggak pernah ngerumpi, atau keluyuran. Kamu tau sendiri kan, Lin, kegiatan Ibu hanya ke masjid dan ikut pengajian, selebihnya, Ibu lebih banyak di rumah untuk beres-beres,” jawabku menyangkal tuduhan Lina. “Lha, iya, itu, Ibu ngerumpinya pas lagi ngaji, ibu ngomongin Lina sama teman-teman ibu.” Lina menatapku jahat. “Astaghfirullah, Lin. Di pengajian nggak ada orang ngerumpi!” Ucapku sedikit tinggi. Apa yang ada di pikiran Lina ini, menuduh orang mengaji menjadi ngerumpi. “Mana kutau!” Lina berucap sembari berkelebat pergi. Kembali, aku hanya dapat mengelus dada dengan kelakuan menantuku. **[Jangan lupa ya, Ibu-ibu, besok kumpul di lapangan pagi jam setengah tujuh. Jangan terlambat]Begitu pesan admin dari grup pengajian yang aku ikuti. Besok adalah hari piknik Ziarah diadakan. Aku melirik tas kain di meja. Semua kebutuhan buat piknik sudah aku siapkan dari tadi siang. Mukena, sandal jepit, air minum, permen dan sebungkus roti sudah aku masukkan tas. Tadi pagi, saat belanja ke pasar, aku juga membeli dua bungkus mie kering cap Eko, dua telur, sayuran dan sebungkus bakso. Semuanya 20 ribu saja. Besok setelah sholat Subuh, aku akan membuat mie goreng Jawa, buat bekal. Kan, lebih irit dari pada jajan.Sudah jam sembilan malam, sebaiknya aku tidur agar besok tidak terlambat. Alhamdulillah, aku sangat bersemangat untuk mengikuti piknik Ziarah ini. Kalau tidak ikut pengajian, aku juga tidak pernah piknik. Sesekali, boleh dong healing, meskipun sudah nenek-nenek, wkwk. **Pagi-pagi, aku sudah sibuk di dapur untuk memasak mie Jawa buat sarapan sekalian buat bekal piknik. Aku membuatnya spesial, pake telur, sayuran dan bakso. Setelah matang, aku mengambil tepak wadah makanan berwarna biru lalu menyendok sebagian mie dan memasukkan ke tepak. Cukup segini, aku lalu menutup tepak, tak lupa memasukkan sendok, garpu dan lap tangan kecil. Mie yang masih di wajan, aku pindahkan ke piring lebar dan menaruhnya di meja makan, biar buat sarapan Yuda dan Lina. Menengok jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah enam lebih. Aku harus bergegas. Keluar dari kamar, aku sudah berganti baju seragam pengajian dan menenteng tas kain berwarna putih tulang milikku. Tinggal mengambil tepak makan yang tertinggal di dapur, selesai. InshaAllah semua perlengkapan sudah aku bawa. “Berangkat sekarang, Bu?” Tanya Yuda yang berjalan kemari. Anakku itu sudah bangun tidur rupanya. Aku menoleh. “Iya, Yud, Ibu harus ke lapangan dulu buat berkumpul,” jawabku tertawa kecil. Aku sangat senang hari ini, mau piknik, biarpun aslinya ziarah. “Hati-hati, ya, Bu.” Yuda meraih tanganku dan menciumnya. “Iya, Yud, makasih.” aku mengangguk. “Bu, ambilkan piring dong, aku mau sarapan.” Hampir bersamaan, aku dan Yuda menoleh. Lina sudah berdiri di seberang meja makan, dia melihat mie goreng di meja. Oh, ya, aku lupa menyiapkan piringnya tadi. “Iya, Lin.” aku menaruh tas kain di lantai dan beranjak untuk mengambilkan piring buat Lina. “Nggak usah, Bu, biar aku saja.” Yuda menahan pundakku dari belakang.“Biar aja diambilin Ibu, Mas!” suara Lina seperti membentak. “Ibu itu mau berangkat piknik, Lin. Sudah jam 6, nanti terlambat ke lapangan,” sahut Yuda. “Ibu kan, bisa lari ke lapangan, biar cepat. Gitu aja kok repot.” Lina menarik kursi dan duduk di meja makan. “Ibu sudah tua, kok disuruh berlari, kamu itu gimana?” Yuda menegur istrinya. “Ibu itu belum jompo, Mas, masih kuat lah kalau cuma berlari ke lapangan. Deket ini.” Lina cuek.Bergegas aku mengambil 2 buat piring dan menaruhnya di meja, dari pada Lina dan Yuda berdebat. Lagi pula, jangan bersitegang dengan Lina yang sedang hamil besar, takutnya dia stres dan berimbas pada janin di perutnya. Sampai di lapangan sudah penuh orang. Mataku nyalang mencari teman yang satu bis denganku. Semua sudah diatur panitia. Ada 4 bis yang akan berangkat bareng. Itu mereka! Setengah berlari, aku membelah lapangan yang padat dengan manusia. Di sana, dekat dengan bis nomor 2, aku melihat Bu Safiq, Bu Sani dan Bu Asmah, mereka bestie-ku. “Wew, Bu Ainun, baru nongol!” Seru Bu Safiq saat melihatku. Bu Asmah dan Bu Sani segera menoleh. Aku tersenyum lebar. “Maaf, maaf, kesiangan,” jawabku dengan nafas sedikit ngos-ngosan. “Cepat masukin barangnya. Kita sudah carikan tempat duduk,” kata Bu Sani. “Deretan keempat dari belakang, ya, Bu.”teriak Bu Asmah. Aku mengangguk. Setelah menaruh tas, aku kembali turun dan bergabung dengan teman-teman. Alhamdulillah, temanku pada baik, meskipun aku terlambat tetapi, dicarikan tempat duduk bersama mereka. “Ramai banget, ya, Bu?” Tanyaku setelah bergabung. “Ya iyalah, namanya juga satu Rw,” jawab Bu Sani. Piknik Ziarah kali ini tujuannya adalah ke Menara kudus, Masjid agung Demak dan kalau masih ada waktu, mampir ke Masjid Agung Semarang. Tipis-tipis aja, yang penting emak-emak seperti aku happy. Dua buah mobil pribadi kemudian terlihat memasuki area lapangan. Aku, Bu Safiq, Bu Sani dan Bu Asma menatap. Itu yang hitam kan, mobilnya Bu Atika, batinku. Benar, tak lama, Bu Atika keluar dari mobil bagus tersebut diikuti oleh Bu Nyai, Bu Farida dan satu orang lagi aku lupa namanya. Dari mobil yang satunya juga muncul Ibu-ibu penggede yang lain. Ibu penggede maksudnya mereka yang duduk sebagai pengurus di cabang yayasan, karena kelompok pengajian yang aku ikuti ini adalah under bow dari sebuah yayasan keagamaan besar. “Ayo, salaman sama Bu Nyai!” ajak Bu Asma sambil menarik tanganku. Berempat, kami menghampiri Bu Nyai. Sudah banyak ibu-ibu lain yang berebut salaman dengan Bu Nyai rupanya. Aku bersalaman juga. Termasuk dengan Ibu-ibu pengurus yang lain. “Eh, Bu Ainun. Ikut piknik juga?” Bu Atika menyapa saat aku mengajaknya bersalaman. “Iya, Bu.” aku tersenyum. Ya Allah, aku terharu. Bu Atika yang kaya raya dan terpandang mau menyapaku duluan, orang yang bukan siapa-siapa. Benar-benar baik hati dan tidak sombong. Bis pun berangkat. Dari sisi jendela, aku melihat ke luar. Mobil Bu Atika bersiap meninggalkan lapangan. Rupanya, para Ibu penggede tidak naik bis, mereka mengikuti dari belakang dengan mobil pribadi. Tak sengaja, aku melihat suami Bu Atika yang sedang duduk di kursi kemudi. Kebetulan, jendelanya dibuka. Setia banget ya, suaminya Bu Atika, beliau mau menjadi driver untuk mengantar istri dan teman-temannya piknik. Aku segera menghadap ke depan. Andai saja, Mas Riswan masih ada, dia juga sangat sayang dan setia padaku. Dan sekarang, sifat itu menurun pada Yuda. Anak lelakiku itu, sangat mencintai istrinya hingga tidak berani membantah sedikitpun. BersambungDinikahi Raja jalan tol 4Bab 4Tak seperti kenyataan Rombongan melakukan sholat dluhur di Masjid Menara Kudus. Setelah itu lanjut melakukan ziarah kubur pada makam Sunan Kudus yang ada di komplek masjid. Akupun mengikuti semua sesi acara yang sudah diatur oleh panitia. “Makan, yuk, lapar.” Bu Sani menghentikan langkah dan mengelus perutnya. Aku, Bu Safiq dan Bu Asmah setuju karena memang sudah siang dan jatahnya mengisi perut. Kulihat, peserta piknik yang lain juga sudah pada membuka bekal makanan mereka. Sebagian lagi pada membeli makanan di warung makan yang ada di sekitar tempat ziarah. Bersama sahabat-sahabatku, kami mencari tempat teduh di area yang diperkenankan untuk pengunjung. “Duduk sebelah sana, yuk!” Aku menunjuk sebuah tempat. Ketiga temanku mengangguk. Alhamdulillah, dapat tempat yang bisa dikatakan nyaman buat bersantai dan menikmati makanan. “Bu Ainun, kok nggak pakai nasi?” Tanya Bu Safiq saat melihat bekal yang aku makan. “Iya, ini saja kenyang, kok,” jawabku
Dinikahi Raja jalan tol 5Bab 5Lina melahirkan Memasuki rumah lewat pintu belakang, aku tak menemukan siapapun. Yuda sama Lina tidak terlihat tetapi mobilnya ada di garasi. Karena didesak waktu salat Maghrib yang sempit, aku tak mempedulikannya, segera aku masuk kamar, ganti baju dan mengambil air wudhu. Tok tokSuara ketukan di pintu terdengar persis setelah aku menunaikan salat Maghrib. Tanpa melepas mukena karena aku akan melanjutkan dengan berdzikir, aku berdiri membuka pintu. Ternyata Yuda. Anak lelaki kesayanganku ini tampak ganteng dengan kemeja kotak-kotak cerah. Bibir Yuda melengkung ke atas, tersenyum padaku. “Sudah pulang, Bu?” Tanyanya. “Sudah,” jawabku. “Oleh-olehnya, mana, Bu?” Dari ruang makan, terdengar suara lantang Lina. Aku menengok. “Maaf, Ibu nggak beli apa-apa, Lin … uangnya gak cukup,” sahutku tersenyum kecut. Pasti Lina marah. “Alasan aja, padahal, Ibu memang pelit. Kan, sudah dikasih uang saku sama Mas Yuda.” cibir Lina. Benar, kan, Lina marah. Aku
Dinikahi Raja jalan tol 6Bab 6Tak bisa Memilih Lina terpaksa dioperasi cecar karena tidak kuat mengejan. Menantuku itu hanya bisa berteriak teriak kesakitan sambil mengomeli suaminya. Aku juga pernah melahirkan. Memang sakit sekali rasanya tetapi, aku tidak manja. Selama proses pembukaan hingga persalinan, aku selalu berdoa, bukan berteriak apa lagi memaki-maki suami dan Mertua seperti Lina. Tapi, sudahlah, memang sifat orang berbeda alias tidak sama. Duduk bersebelahan dengan Yuda di depan pintu ruang operasi, anakku itu terlihat tegang. Yuda gelisah dan sering melihat ke pintu. Lagi-lagi, aku teringat dengan almarhum Mas Riswan. Suamiku, dulu juga menunggu dan menyemangati aku tatkala menahan sakit saat melahirkan Yuda. “Berdoa, Yud, semoga semuanya lancar,” kataku. Yuda mengangguk. Kemudian sunyi, karena aku berdoa dalam hati untuk menantuku itu bersama cucu yang akan lahir, semoga sehat dan selamat dua-duanya. Suara langkah kaki tergesa terdengar menuju kemari. Aku dan Yuda
Dinikahi Raja jalan tol 7Bab 7Anakku milik Istrinya “Bu Ainun, kemarin pas acara akikah cucunya kok nggak kelihatan?” Tanya Bu Safiq saat aku dan Bu Sani mampir ke rumahnya sepulang mengaji. “Oh, aku di belakang,” sahutku. “Kok di belakang, harusnya kan di depan, nemuin tamu,’ kata Bu Sani. “Iya, kita nyariin, lho,” ujar Bu Safiq. “Kan, sudah ada besan saya, Bu Sofi di depan, jadi, aku di belakang saja.” aku mengangguk. “Harusnya itu, dua neneknya di depan. Seperti aku dulu waktu akikah anaknya Titin,” Bu Safiq menoleh pada Bu Sani dengan menganggukkan kepala. Bu Sani pun mengangguk kuat. Memang acara akikah cucuku yang diberi nama Zidan Al Fatih kemarin, aku berada ada di dalam rumah. Aku juga melihat tetangga-tetangga yang datang seperti Bu Sani, Bu Safiq dan Bu Asmah. Sebenarnya, aku ingin berdiri di depan untuk sekedar menemui para tetangga yang hadir tetapi, Bu Sofi, besanku bilang kami harus berbagi tugas. Bu Sofi, Lina dan Nungki di depan among tamu sedangkan aku dan
Dinikahi Raja jalan tol 8Bab 8Dianggap Pembantu “Halo, assalamualaikum, Bu Ainun!”Bibirku tersenyum lebar saat menerima panggilan video dari temanku Bu Safiq. Terlihat temanku itu melambaikan tangan dan dengan senyum semringah. “Waalaikumsalaam. Gimana, Bu, senang?” Tanyaku gembira. “Alhamdulillah, Bu,” sahut Bu Safiq yang kemudian menggeser kamera telepon hingga terlihat teman-teman lain di belakangnya. Duduk berderet di sebuah tempat tidur kayu ada Bu Sani, Bu Asmah dan Bu Ida. Keempat temanku semuanya masih mengenakan mukena berwarna senada yaitu putih. Keempat temanku jadi mondok dan ikut pesantren kilat lansia di kabupaten Magelang seperti yang dibahas kemarin dulu. Aku yang tidak memiliki cukup uang harus kecewa karena tidak dapat mengikuti kegiatan menyenangkan tersebut. Kebetulan, anakku Yuda, Minggu depan mendapat tugas inspeksi ke kantor cabang di luar kota selama dua hari, jadi aku memiliki alasan untuk tidak ikut pergi dengan teman-temanku. “Aku harus menemani Men
Dinikahi Raja jalan tol 9Bab 9Teledor hingga Nyaris Kebakaran “Bu Ainun, seragam sekolah saya mana?” Suara anak perempuan terdengar jelas dari arah belakang. Aku menoleh. “Nungki?” Aku tersenyum padanya. Gadis abege itu memasang wajah jutek. Matanya menatapku. “Mana seragam sekolah saya, Bu?” Keningku mengerut, mencoba mengingat. “Kemarin kan, saya suruh setrika?” Nada suara Nungki naik. Ah, ya, aku jadi teringat, seragam itu masih di ruang setrikaan. Astaga, aku lupa!“Ya, Allah, Nungki … ibu lupa menggosoknya.” aku berlari kecil ke ruang setrikaan. Baju seragam Nungki masih teronggok di sana. Cepat-cepat aku menancapkan kabel ke colokan. “Gimana, sih, Bu! Orang disuruhnya kemarin, baru dikerjakan sekarang. Aku kan, mau sekolah.” Anak kecil itu, Nungki mengomel. Aku tidak menghiraukan dan segera menggosok baju seragam adiknya Lina. “Cepet sedikit, Bu. Yang halus.” Nungki berdiri di samping meja setrika dengan mulut tak henti mengomel. “Nungki, cepet sedikit, nanti terlamba
Dinikahi Raja jalan tol 10Bab 10Bebas tugas yang menyakitkan Aduh, gimana ini? Bola mataku berputar melihat wajah-wajah marah dan kesal yang menatap tajam. Membuat diri ini merasa ciut dan tenggelam dalam ketakutan. Kenapa bisa aku sepikun ini? Seharusnya, aku berbicara dengan Lina sebelum ada orang lain menemukan setrika rusak dan mejanya yang gosong. Jika sudah begini, Lina dan Bu Sofi pasti mengira aku telah menyembunyikan kejadian besar. “Ibu, kenapa bisa semuanya terbakar begini?” Lina bertanya dengan nada tinggi. Menantuku marah. Dia mengangkat tangan ke atas dan menunjuk meja setrika serta seluruh isi kamar. “M-maafkan ibu … kemarin lupa bilang padamu.” Suaraku lirih dengan menyembunyikan wajah. Kedua tanganku saling meremas karena gugup. “Apa yang terjadi Bu Ainun? Kenapa bisa terbakar seperti itu? Apa yang ibu kerjakan kemarin saat kami pergi?” Bu Sofi bertanya dengan nada menekan. Aku menarik nafas lalu mengembuskannya perlahan. “Kemarin, setelah selesai menggosok b
Dinikahi Raja jalan tol 11Bab 11Memilih Pergi Praktis seharian ini aku menganggur. Tak satupun pekerjaan diizinkan untuk aku sentuh. Mbak Surti sibuk sendiri dengan tetap mengawasiku sedangkan suster Rini bersama Zidan Selalu menghindar. Keduanya terlalu takut berinteraksi denganku. Semuanya berubah hanya dalam waktu satu malam. Sudah jam sepuluh pagi Lina baru keluar dari kamarnya. Menantuku sudah mandi dan berdandan cantik. Lina berjalan ke dapur untuk mencari air putih. Kebiasaan Lina agar tetap bugar adalah meminum banyak air putih. “Lina ….” aku memanggil sembari mendekat. Lina yang sedang meminum air dari gelas melirik. “Ibu mau tanya, kenapa Ibu tidak diperbolehkan membantu Bu Surti mengerjakan pekerjaan rumah?” Tanyaku dengan senyum di bibir. Aku tidak mau terkesan marah atau kesal sehingga menyinggung perasaan menantuku. “Kan, malah enak, Bu. Nggak kerja, nggak ngapa-ngapain, tinggal makan sama tidur doang. Baik, kan, aku?” Lina tersenyum mengejek. “Tapi, Lin, Ibu k