Share

Tak Seperti Kenyataan

Dinikahi Raja jalan tol 4

Bab 4

Tak seperti kenyataan 

Rombongan melakukan sholat dluhur di Masjid Menara Kudus. Setelah itu lanjut melakukan ziarah kubur pada makam Sunan Kudus yang ada di komplek masjid. Akupun mengikuti semua sesi acara yang sudah diatur oleh panitia. 

“Makan, yuk, lapar.” Bu Sani menghentikan langkah dan mengelus perutnya. 

Aku, Bu Safiq dan Bu Asmah setuju karena memang sudah siang dan jatahnya mengisi perut. Kulihat, peserta piknik yang lain juga sudah pada membuka bekal makanan mereka. Sebagian lagi pada membeli makanan di warung makan yang ada di sekitar tempat ziarah. 

Bersama sahabat-sahabatku, kami mencari tempat teduh di area yang diperkenankan untuk pengunjung. 

“Duduk sebelah sana, yuk!” Aku menunjuk sebuah tempat. Ketiga temanku mengangguk. Alhamdulillah, dapat tempat yang bisa dikatakan nyaman buat bersantai dan menikmati makanan. 

“Bu Ainun, kok nggak pakai nasi?” Tanya Bu Safiq saat melihat bekal yang aku makan. 

“Iya, ini saja kenyang, kok,” jawabku. 

“Ini, aku bawa nasi dua bungkus, ambil saja yang satu.” Bu Sani merogoh tasnya dan mengambil satu bungkus nasi. 

“Nggak usah, Bu, ini cukup, kok,” sahutku. 

“Makan saja, Bu Ainun. Masa, sampai sore cuma makan mie?” Bu Asmah menyuruhku mengambil nasinya. 

“Iya, Bu, ambil saja.” timpal Bu Sani. 

Aku mengangguk lalu mengambil nasi dari bungkusan tetapi hanya separuh soalnya kebanyakan. 

“Yang separuh bawa aja, Bu, jangan dibuang,” ucap Bu Safiq. Akupun menurut, membungkus lagi sisa nasi dan memasukkan ke dalam tasku. Memang benar, tidak boleh membuang makanan, berdosa. 

Tak lupa, rombongan mampir ke toko oleh-oleh di kota Kudus. Teman-temanku pada membeli jenang Kudus buat dibawa pulang kecuali aku. Nggak punya ua ng soalnya. 

“Bu Ainun nggak beli?” Tanya Bu Sani yang melihatku tidak membawa apa-apa saat keluar dari toko. 

Aku menggeleng, “nggak ada yang suka jenang,” jawabku berbohong padahal, aku pingin. 

Bis pun melanjutkan perjalanan. 

Sampai juga akhirnya di Masjid Agung Demak yang tersohor itu. Bersama rombongan, kami menunaikan sholat Asar di Masjid ini. 

Selesai salat, kami diajak berkeliling oleh seorang guide. Di sini, rombongan berziarah juga. Ada banyak makam kuno di komplek masjid ini. Salah satunya yang paling terkenal adalah makam Raden Fattah, yaitu Raja dari Kasultanan Demak kala itu. 

Kemudian kami duduk di area pemakaman yang sudah di setting sedemikian rupa sehingga memang diperuntukkan buat wisata religi. 

Berdoa di komplek pemakaman, bukan berarti kita memohon, meminta berkah kepada si Arwah lho, ya. Itu salah. Berdoa tetap lah ditujukan kepada yang kuasa, Allah SWT. Ini wisata ziarah, bukan ngalap berkah apalagi sesat. Orang mati tidak dapat menolong orang hidup. Makanya selagi masih bernafas, berbuatlah banyak kebajikan, menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. InshaAllah ganjarannya pahala. 

“Ayo, kita nunggu di bis saja, kakiku pegel.” Bu Asmah, teman yang paling sepuh mengajak beristirahat. Rupanya, dia lelah. 

“Iya, ayo, aku juga mau,” sahut Bu Safiq. 

Di dalam bis, kami berempat duduk satu deret. Aku bersebelahan dengan Bu Safiq dan Bu Sani dengan Bu Asmah. 

Rasanya adem setelah berada di dalam bis. Meskipun tidak bisa selonjoran, setidaknya, kami duduk dalam ruangan ber-AC. Beberapa orang juga memilih untuk ngadem di bis. 

Kresek kresek.

Suara plastik diremas. Rupanya, Bu Asmah mengeluarkan snack dari tas plastik. 

“Ini, ada kripik jagung, keripik singkong, aku kemarin dibelikan Yusi,” kata Bu Asmah mengeluarkan semua jajanannya. 

Bu Sani dan Bu Safiq kemudian teringat pula dengan jajanan mereka. Keduanya segera mengeluarkan. 

“Ini, jeruk sama salak. Aku juga dibelikan anakku.” Bu Sani menunjukkan sekaligus menawarkan buah-buahan pada semuanya. 

Aku mengambil jeruk, sepertinya manis dan segar. 

“Ini, Bu Ainun, keripik jagung, renyah, lho.” Bu Asmah menggeser bungkus keripik hingga sampai di jangkauanku. 

“Terima kasih, Bu,” kataku senang. 

“Aku nggak bawa banyak jajan tapi, anakku ngasih sangu banyak, hihi.” Bu Safiq tertawa kecil, kemudian merogoh tasnya. “Nanti tak beliin bakso,” selorohnya. Kami semua tertawa. 

Aku teringat memiliki sebungkus permen yang aku beli di warung 3000 rupiah dapat banyak. 

“Ini, aku bawa permen.” aku mengambil seplastik bening permen wangi dan menawarkan pada teman- temanku. 

“Makasih, Bu.” Kata temanku. Hanya Bu Safiq yang mengambil sebutir permen. 

“Bu Ainun pasti juga dikasih sangu banyak sama anaknya, ya?” Bu Asmah bertanya dari pojok kiri. Aku menoleh dan tersenyum. 

“Ya mesti to, Bu Asmah. Anaknya Bu Ainun itu manajer, kok. Titin, anakku yang kerja pabrik aja, ngasih aku 300. Bu Ainun pasti dapat lebih banyak, iya, Yo, Bu?” Bu Sani yang menjawab. Aku hanya menanggapi dengan senyuman. 

Selama ini, semua temanku pengajian maupun orang kampung taunya aku ini orang kaya. Gimana tidak, aku tinggal di rumah bagus bertingkat, ada mobil di garasi, anakku manager sebuah perusahaan bonafit. Menantuku Lina, anaknya orang berada. Pastinya, orang memandang hidupku enak, bergelimang ua ng meski tidak bekerja. 

Aku membiarkan semua pemikiran liar orang di sekitarku. Biarlah mereka beranggapan begitu. Dikatain banyak uang, Alhamdulillah. Tak pernah sekalipun aku mengeluh pada ketiga bestie-ku ini bagaimana aku diperlakukan oleh menantuku. Bagaimanapun, Yuda adalah anakku dan Lina anak menantuku. Tidak elok rasanya jika aku ngomongin keburukan mereka di belakang. Biarlah, semuanya aku simpan dalam hati saja. 

Senja sudah menjelang, rombongan pun kembali meneruskan perjalanan. Memasuki kota Semarang, hujan turun sangat lebat. Terpaksa kunjungan ke Masjid Agung dibatalkan, kita sepakat untuk langsung kembali ke Salatiga. 

Semua orang di bis terlihat lelah. Beberapa di antaranya, malahan tertidur pulas. 

Tiba-tiba, bis berhenti. Aku melihat sekeliling. Ternyata, bis memasuki area tempat makan atau restoran di pinggir jalan sebelum memasuki kota Salatiga. Aku dan teman-teman tengak-tengok tak mengerti. 

“Ibu-ibu, kita istirahat di sini, ya. Yang mau makan, ke toilet, dipersilahkan,” kata ketua rombongan bis. Oh, rupanya istirahat. 

“Turun, yuk!” Ajak Bu Sani dan Bu Safiq bersemangat. 

Setelah selesai dari toilet, aku kembali bergabung dengan Bu Safiq, Bu Sani dan Bu Asmah. Semua temanku duduk dalam satu meja. 

“Bu Ainun, tak pesenin bakso, ya?” kata Bu Safiq sambil memegang buku menu. 

“Nggak usah.” aku menggeleng cepat. Aku nggak punya ua ng. 

“Lho, kenapa?” Tanya Bu Asmah. 

“N-nggak lapar, Bu,” kataku sambil menjatuhkan bobot di kursi. 

“Kosongan aja, kalau begitu.” Bu Sani melihatku. 

“Iya, masa nggak makan sendiri.” 

Terpaksa aku mengangguk karena sungkan, masa nggak makan sendiri. Di dompet masih ada sisa ua ng 50 ribu, paling cukup buat bayar bakso. Aku tidak pesan minuman, karena di tasku masih ada setengah botol teh manis. 

Sambil mengunyah bakso daging dengan kuah gurih dan sangat lezat, aku teringat kata-kata Lina, kalau ua ng sangu piknik dari Yuda, itu adalah jatah untuk satu bulan. Tiba-tiba, rasa baksonya menjadi hambar ….

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status