Dinikahi Raja jalan tol 5
Bab 5Lina melahirkan Memasuki rumah lewat pintu belakang, aku tak menemukan siapapun. Yuda sama Lina tidak terlihat tetapi mobilnya ada di garasi. Karena didesak waktu salat Maghrib yang sempit, aku tak mempedulikannya, segera aku masuk kamar, ganti baju dan mengambil air wudhu. Tok tokSuara ketukan di pintu terdengar persis setelah aku menunaikan salat Maghrib. Tanpa melepas mukena karena aku akan melanjutkan dengan berdzikir, aku berdiri membuka pintu. Ternyata Yuda. Anak lelaki kesayanganku ini tampak ganteng dengan kemeja kotak-kotak cerah. Bibir Yuda melengkung ke atas, tersenyum padaku. “Sudah pulang, Bu?” Tanyanya. “Sudah,” jawabku. “Oleh-olehnya, mana, Bu?” Dari ruang makan, terdengar suara lantang Lina. Aku menengok. “Maaf, Ibu nggak beli apa-apa, Lin … uangnya gak cukup,” sahutku tersenyum kecut. Pasti Lina marah. “Alasan aja, padahal, Ibu memang pelit. Kan, sudah dikasih uang saku sama Mas Yuda.” cibir Lina. Benar, kan, Lina marah. Aku mau beli apa? Jenang Kudus juga harganya lumayan mahal, uangku tidak cukup. Makan bakso saja, ditraktir sama Bu Safiq. Ah, memang aku yang salah, seharusnya, aku membeli sesuatu untuk menantuku yang sedang hamil ini. “Gapapa, kok, Bu … yang penting, Ibu sudah kembali dengan selamat,” ujar Yuda seolah mengerti perasaanku. “Ayo, Mas, cepetan.” Lina berjalan dengan dagu diangkat ke pintu belakang tanpa menoleh sedikitpun padaku, padahal, dia melewati depan kamarku. “Yuda pergi dulu, Bu.” Anakku mencium punggung tanganku. “Mau ke mana?” Tanyaku. “Lina minta makan di luar.” “Oh …” Aku mengangguk. Yakin nggak bakal diajak. Setelah anak dan menantuku pergi, aku meneruskan berdzikir sampai suara azan Isya berkumandang. Selesai menunaikan sholat Isya, aku mengambil tas yang habis kubawa piknik tadi. Segera aku mengeluarkan isinya. Eh, ada nasi bungkus pemberian Bu Asmah tadi. Aku membuka karetnya lalu mencium nasinya. Belum basi, masih bagus ternyata. Sebaiknya, aku simpan di kulkas, besok bisa digoreng buat sarapan aku sendiri. Jam delapan malam, Yuda dan Lina belum juga kembali. Aku yang sudah lelah, menguap beberapa kali. Maklumlah, sudah tua. Selonjoran di tempat tidur, aku mengurut kakiku sendiri. Dulu, kalau kecapaian seperti ini, ada Mas Riswan yang setia memijat. Lagi-lagi, aku tersenyum sendiri jika mengingat masa lalu. Sekarang aku sendirian, betapa hidup terasa berat tanpa ada kamu di sampingku, Mas …Aku tidak tahan kalau harus menunggu Yuda dan Lina pulang. Lagi pula, aku tidak tau mereka pulang jam berapa. Aku mau tidur saja, kalau Lina marah karena aku tidak membukakan pintu, biar aku dengarkan saja besok. Tak sadar, akupun terlelap. **Bangun subuh, aku segera mengambil air wudhu dan mukena lalu bergegas menuju Langgar tak jauh dari rumah. Pulangnya, aku segera menyapu lantai dan mengepel hingga bersih. Kemarin nggak sempet nyapu dari ngepel soalnya kan piknik. Meskipun rumah juga tidak kotor sih, karena belum ada anak kecil. Besok kalau anaknya Yuda sudah lahir pasti rumah ini lebih ramai. Aku tersenyum sendiri, tak sabar rasanya ingin menimang cucu. Lanjut mencuci. Tak terasa sudah pukul 6 pagi. Akupun segera pindah ke dapur dan berkutat di sana membuatkan sarapan untuk Yuda dan Lina. Bikin orak-arik telur saja yang cepat dan ringkas. Aku bisa menambahkan irisan bakso ke dalamnya. Yuda makannya gampang, nggak milih-milih. Sedari kecil sudah terbiasa dengan masakanku, ibunya. Alhamdulillah nggak pernah protes soal rasa. Kalau Lina sedikit riwil. Kesukaannya seafood dan makanan bule. Pernah aku disuruh bikin hotdog. Karena nggak tau, akupun bikin burger. Lina pun marah dan melempar burger ke lantai. Aku diteriaki, dimarahi sampai ketakutan. Ternyata, saat itu Lina lagi hamil muda dan ngidam. Kalau maunya itu ya harus itu dan harus dituruti. Aku saja yang bodoh nggak ngerti apa itu hotdog. Akhirnya, Yuda membelikan Lina sepulang kerja. Yuda sudah berangkat kerja dengan mobilnya. Aku mengantar sampai depan karena Lina belum keluar kamar. Katanya Yuda, Lina masih tertidur. Semalam mereka pulang jam sebelasan, jadi Lina masih mengantuk. “Ibu! Ibu!” Aku yang sedang menjemur baju di halaman belakang, tergopoh-gopoh meninggalkan pekerjaan untuk memenuhi panggilan Lina. “Ada apa, Lina?” Dalam hitungan detik, aku sudah sampai di depan Lina. Menantuku sedang berdiri di depan kulkas yang pintunya terbuka. Wajah Lina seperti habis bangun tidur, lesu. “Apa, ini?” Tangan Lina menunjukkan kertas pembungkus berwarna coklat dengan segel karet gelang. “Itu, nasi punya Ibu, Lin,” jawabku. Rencananya, habis jemur baju, aku mau menggorengnya buat sarapan. Dengan kasar, Lina membuka karet gelang pembungkusnya dan melihat nasi di dalamnya. “Ini sampah, Ibu!” Lina melotot padaku. “Apa ibu nggak tau kalau kulkas itu tertutup rapat dan udaranya terbatas. Kalau nyimpen sampah itu banyak kumannya dan akan menyebar di makanan yang lain!” Nafas Lina berkejaran, dia sangat emosional gara-gara nasiku. “Itu nggak busuk, Lin, nanti mau Ibu goreng,” kataku dengan wajah takut.“Buang aja, Bu, kayak nggak pernah dikasih makan saja. Ibu ini memang memalukan!”Buk!Lina menutup pintu kulkas dengan kuat lalu meremas bungkus nasi dan … plung! Lina membuangnya di tempat sampah. “Ambil lagi sana, Bu, biar tambah jorok!” Ucap Lina persis di wajahku. Aku tertunduk diam. Salahku juga, kenapa tak segera menggoreng nasi itu. Sudahlah, aku memang selalu membuat Lina kesal, pantas saja dia sering marah-marah padaku. **“Ibu, ibu, tolong, Bu!” Antara sadar dan tidak, aku seperti mendengar suara Yuda yang berteriak memanggil dan meminta tolong. Segera aku terjaga dari tidurku yang lelap. “Ibu, Ibu!” Eh, itu beneran suara Yuda. Menendang selimut, aku bergegas lari membuka pintu dan keluar. Hari masih malam sekitar jam satuan. Tampak Yuda sedang memapah istrinya Lina ke luar kamar. Wajah Lina meringis menahan sakit, satu tangannya memegang perutnya yang besar dan satunya lagi mengelus pinggang. “Ibu, Lina mau melahirkan. Tolong bawakan tasnya.” dengan gerakan kepala, Yuda menunjuk kamarnya. Aku mengangguk. “Cepat sedikit, Bu!” Lina melirik dengan sebal. “Iya, iya,” aku segera mengambil tas yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari itu. Yuda membawa Lina ke mobil, aku membantunya naik. “Ibu, temenin Lina di belakang,” kata Yuda. Aku mengangguk. “Aduh, sakit …” Lina tampak gelisah dan kesakitan, dia berkeringat. Aku jadi ikut bingung. “Sabar, Lin … ditahan dulu,” kataku. “Orang sakit disuruh sabar. Ibu diam hinapa?” Lina mendelik. “Cepetan, Mas,” Lina menggeliat dan mengelus pinggang. “Sini, biar Ibu elus.” tanganku mengelus pinggang Lina agar sakitnya berkurang. “Pelan-pelan dong, Bu, jangan ditekan!” Lina berteriak. “Ini pelan, Lin.”“Lina itu seharusnya melahirkan Minggu depan. Gara-gara Ibu, jadi maju, tauk!” Lina mengomel, kemudian mengerang kesakitan. “Kok gara-gara Ibu?” Aku tidak mengerti. “Katanya Lina, Ibu sering membuatnya emosi, jadi Lina stress, Bu.” Yuda menyahut sambil menyetir. Benarkah begitu? Mendadak aku merasa bersalah. BersambungDinikahi Raja jalan tol 6Bab 6Tak bisa Memilih Lina terpaksa dioperasi cecar karena tidak kuat mengejan. Menantuku itu hanya bisa berteriak teriak kesakitan sambil mengomeli suaminya. Aku juga pernah melahirkan. Memang sakit sekali rasanya tetapi, aku tidak manja. Selama proses pembukaan hingga persalinan, aku selalu berdoa, bukan berteriak apa lagi memaki-maki suami dan Mertua seperti Lina. Tapi, sudahlah, memang sifat orang berbeda alias tidak sama. Duduk bersebelahan dengan Yuda di depan pintu ruang operasi, anakku itu terlihat tegang. Yuda gelisah dan sering melihat ke pintu. Lagi-lagi, aku teringat dengan almarhum Mas Riswan. Suamiku, dulu juga menunggu dan menyemangati aku tatkala menahan sakit saat melahirkan Yuda. “Berdoa, Yud, semoga semuanya lancar,” kataku. Yuda mengangguk. Kemudian sunyi, karena aku berdoa dalam hati untuk menantuku itu bersama cucu yang akan lahir, semoga sehat dan selamat dua-duanya. Suara langkah kaki tergesa terdengar menuju kemari. Aku dan Yuda
Dinikahi Raja jalan tol 7Bab 7Anakku milik Istrinya “Bu Ainun, kemarin pas acara akikah cucunya kok nggak kelihatan?” Tanya Bu Safiq saat aku dan Bu Sani mampir ke rumahnya sepulang mengaji. “Oh, aku di belakang,” sahutku. “Kok di belakang, harusnya kan di depan, nemuin tamu,’ kata Bu Sani. “Iya, kita nyariin, lho,” ujar Bu Safiq. “Kan, sudah ada besan saya, Bu Sofi di depan, jadi, aku di belakang saja.” aku mengangguk. “Harusnya itu, dua neneknya di depan. Seperti aku dulu waktu akikah anaknya Titin,” Bu Safiq menoleh pada Bu Sani dengan menganggukkan kepala. Bu Sani pun mengangguk kuat. Memang acara akikah cucuku yang diberi nama Zidan Al Fatih kemarin, aku berada ada di dalam rumah. Aku juga melihat tetangga-tetangga yang datang seperti Bu Sani, Bu Safiq dan Bu Asmah. Sebenarnya, aku ingin berdiri di depan untuk sekedar menemui para tetangga yang hadir tetapi, Bu Sofi, besanku bilang kami harus berbagi tugas. Bu Sofi, Lina dan Nungki di depan among tamu sedangkan aku dan
Dinikahi Raja jalan tol 8Bab 8Dianggap Pembantu “Halo, assalamualaikum, Bu Ainun!”Bibirku tersenyum lebar saat menerima panggilan video dari temanku Bu Safiq. Terlihat temanku itu melambaikan tangan dan dengan senyum semringah. “Waalaikumsalaam. Gimana, Bu, senang?” Tanyaku gembira. “Alhamdulillah, Bu,” sahut Bu Safiq yang kemudian menggeser kamera telepon hingga terlihat teman-teman lain di belakangnya. Duduk berderet di sebuah tempat tidur kayu ada Bu Sani, Bu Asmah dan Bu Ida. Keempat temanku semuanya masih mengenakan mukena berwarna senada yaitu putih. Keempat temanku jadi mondok dan ikut pesantren kilat lansia di kabupaten Magelang seperti yang dibahas kemarin dulu. Aku yang tidak memiliki cukup uang harus kecewa karena tidak dapat mengikuti kegiatan menyenangkan tersebut. Kebetulan, anakku Yuda, Minggu depan mendapat tugas inspeksi ke kantor cabang di luar kota selama dua hari, jadi aku memiliki alasan untuk tidak ikut pergi dengan teman-temanku. “Aku harus menemani Men
Dinikahi Raja jalan tol 9Bab 9Teledor hingga Nyaris Kebakaran “Bu Ainun, seragam sekolah saya mana?” Suara anak perempuan terdengar jelas dari arah belakang. Aku menoleh. “Nungki?” Aku tersenyum padanya. Gadis abege itu memasang wajah jutek. Matanya menatapku. “Mana seragam sekolah saya, Bu?” Keningku mengerut, mencoba mengingat. “Kemarin kan, saya suruh setrika?” Nada suara Nungki naik. Ah, ya, aku jadi teringat, seragam itu masih di ruang setrikaan. Astaga, aku lupa!“Ya, Allah, Nungki … ibu lupa menggosoknya.” aku berlari kecil ke ruang setrikaan. Baju seragam Nungki masih teronggok di sana. Cepat-cepat aku menancapkan kabel ke colokan. “Gimana, sih, Bu! Orang disuruhnya kemarin, baru dikerjakan sekarang. Aku kan, mau sekolah.” Anak kecil itu, Nungki mengomel. Aku tidak menghiraukan dan segera menggosok baju seragam adiknya Lina. “Cepet sedikit, Bu. Yang halus.” Nungki berdiri di samping meja setrika dengan mulut tak henti mengomel. “Nungki, cepet sedikit, nanti terlamba
Dinikahi Raja jalan tol 10Bab 10Bebas tugas yang menyakitkan Aduh, gimana ini? Bola mataku berputar melihat wajah-wajah marah dan kesal yang menatap tajam. Membuat diri ini merasa ciut dan tenggelam dalam ketakutan. Kenapa bisa aku sepikun ini? Seharusnya, aku berbicara dengan Lina sebelum ada orang lain menemukan setrika rusak dan mejanya yang gosong. Jika sudah begini, Lina dan Bu Sofi pasti mengira aku telah menyembunyikan kejadian besar. “Ibu, kenapa bisa semuanya terbakar begini?” Lina bertanya dengan nada tinggi. Menantuku marah. Dia mengangkat tangan ke atas dan menunjuk meja setrika serta seluruh isi kamar. “M-maafkan ibu … kemarin lupa bilang padamu.” Suaraku lirih dengan menyembunyikan wajah. Kedua tanganku saling meremas karena gugup. “Apa yang terjadi Bu Ainun? Kenapa bisa terbakar seperti itu? Apa yang ibu kerjakan kemarin saat kami pergi?” Bu Sofi bertanya dengan nada menekan. Aku menarik nafas lalu mengembuskannya perlahan. “Kemarin, setelah selesai menggosok b
Dinikahi Raja jalan tol 11Bab 11Memilih Pergi Praktis seharian ini aku menganggur. Tak satupun pekerjaan diizinkan untuk aku sentuh. Mbak Surti sibuk sendiri dengan tetap mengawasiku sedangkan suster Rini bersama Zidan Selalu menghindar. Keduanya terlalu takut berinteraksi denganku. Semuanya berubah hanya dalam waktu satu malam. Sudah jam sepuluh pagi Lina baru keluar dari kamarnya. Menantuku sudah mandi dan berdandan cantik. Lina berjalan ke dapur untuk mencari air putih. Kebiasaan Lina agar tetap bugar adalah meminum banyak air putih. “Lina ….” aku memanggil sembari mendekat. Lina yang sedang meminum air dari gelas melirik. “Ibu mau tanya, kenapa Ibu tidak diperbolehkan membantu Bu Surti mengerjakan pekerjaan rumah?” Tanyaku dengan senyum di bibir. Aku tidak mau terkesan marah atau kesal sehingga menyinggung perasaan menantuku. “Kan, malah enak, Bu. Nggak kerja, nggak ngapa-ngapain, tinggal makan sama tidur doang. Baik, kan, aku?” Lina tersenyum mengejek. “Tapi, Lin, Ibu k
Dinikahi Raja jalan tol 12Bab 12Bertemu orang baik Aku mematung menatap sosok pria pengendara mobil. Itu kan, suaminya Bu Atika? Saat kaca mobil semakin turun, aku bisa melihat ada Bu Atika juga duduk disebelahnya. Mereka berdua seperti berbicara sesuatu padaku, tangan Bu Atika menunjuk nunjuk arahku. Sayangnya, aku tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan. Di samping mobilnya berhenti di seberang jalan, beberapa sepeda motor yang lewat juga mengganggu pendengaranku. Setelah jalanan sepi, pintu mobil sisi kemudi terbuka. Suaminya Bu Atika keluar dari mobil dan menyeberang kemari. Aku menatap dengan bingung, mau apa? “Bu Ainun, dipanggil istri saya,” kata suaminya Bu Atika setelah dekat. “Saya?” aku menunjuk dada sendiri karena ragu. “Iya.” Lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah itu mengangguk. Aku melihat ke mobil di seberang jalan. Bu Atika melihat ke sini dari balik kacamata hitamnya. Lambaian tangannya membuatku mengangguk. “Tapi, saya mau ke sana, Pak,” kataku
Dinikahi Raja jalan tol 13Bab 13Perempuan berhati emas “Jadi, Bu Ainun ini, memang sengaja pergi dari rumah?” Tanya Bu Atika menatap. “Iya, Bu,” jawabku lirih dengan tangis sesenggukan. Huhuhu, nafasku pun tersendat-sendat. Aku terpaksa bercerita dan berterus terang kepada Bu Atika dan suaminya Pak Dendy. Aku sudah tidak dapat berbohong lagi. Pertanyaan-pertanyaan dari Bu Atika membuatku tak berkutik. Kupikir, suami istri itu sudah curiga jika aku memiliki masalah dengan orang rumah. “Kenapa Bu Ainun nggak menceritakan kelakuan Menantu ibu sama Yuda?” Tanya Bu Atika lagi. Aku menggeleng. Memencet cuping hidung dengan kertas tissue, aku lalu membuang nafas. Kebanyakan menangis membuat hidungku berair. “Saya tidak berani, Bu.” “Kenapa?” Pak Dendy ikut bertanya. “Saya tak ingin mengusik kebahagiaan rumah tangga anak saya, Pak …” kataku. “Selama ini, Yuda dan Lina selalu terlihat bahagia dan rukun. Saya tak ingin menjadi biang kerok atau biang adu domba di antara mereka,” sahutk