Dinikahi Raja jalan tol 14Bab 14Tidak diterima lagi “Bu Ainun, saya masih harus menyelesaikan sesuatu dengan Ibu-ibu pengurus. Tunggu dulu ya?”Bu Atika memberitahu aku kalau beliau masih ada urusan, jadi pulangnya molor dan aku disuruh menunggu. Dari sini, aku kepikiran untuk mampir ke rumah Yuda untuk melihat Zidan. Aku sudah kangen banget, nggak bisa ditunda. “Baik, Bu. Saya mau mampir ke rumah teman. Nanti saya di bel, ya?” Kataku. Sengaja tidak berterus terang dengan Bu Atika jika aku mau mampir melihat cucuku. Takut banyak pertanyaan. Berjalan kurang dari sepuluh menit, akhirnya sampai juga aku di rumah anakku. Suasananya sepi, mobil milik Yuda juga tidak ada di garasi. Aku melihat jam di ponsel, masih setengah empat sore, itu artinya Yuda belum pulang dari kantor. Anakku itu memang sibuk, setiap hari pulangnya malam minim jam 8 malam. Aku maklum sebab hanya Yuda saja sebagai tulang punggung di keluarga. Dia harus bekerja keras, apa lagi sekarang ada bayi, pembantu dan bab
Dinikahi Raja jalan tol 15Bab 15Ibu tidak dendam POV Yuda“Ibu mana, kok nggak kelihatan?” Tanyaku ketika hari sudah menjelang senja. Aku baru pulang dari tugas luar kota tadi siang, sekitar jam satu an. Karena capek, aku ketiduran di kamar hingga sore. Setelah mandi, aku baru menyadari belum bertemu dengan Ibu semenjak menginjakkan kaki di rumah. Biasanya, Ibu kalau pergi mengaji, lepas Asar sudah pulang. Ini, sudah hampir Maghrib. “Apa Ibu nggak telepon Mas Yuda?” Tanya Lina, istriku kaget. Mata Lina sampai membulat. “Tidak. Memangnya kenapa?” Keningku mengerut. “Keterlaluan Ibu ini, padahal, dia bilang mau telepon dan minta izin sama Mas Yuda sendiri, lho. Iya, kan, Ma?” Lina melihat pada Mamanya. “Aduh, gimana sih, Bu Ainun itu … nanti dikira kita lagi yang nggak ngasih tau Yuda, padahal, Bu Ainun bilang mau telepon sendiri.” Bu Sofi, mertuaku berkata dengan wajah kecewa. “Jadi, gini, Mas …” Lina segera berpindah tempat duduk di sebelahku. “Ibu itu, ikut pesantren lansia
Saat Anakku Kaya 16Bab 16Makan siang bersama “Kita mau ke mana lagi, Bu?” Tanyaku pada Bu Atika. Aku heran, setiap hari diajak pergi-pergi. Hari ini, Bu Atika dan Suami mengajakku jalan-jalan lagi setelah dua hari lalu mereka mengajakku ke Jogja untuk menghadiri perayaan Ulang Tahun cucunya. Benar juga kata Mbak Fitri, ART di rumah Bu Atika, kalau majikannya itu hobi jalan-jalan. Ya, sih, Pak Dendy sudah pensiun, uangnya banyak, anak juga sudah pada mentas. Mau apa lagi selain beribadah dan menikmati hidup? Kalau ditawari begitu, aku juga mau.“Kita mau makan siang, Bu.” senyum Bu Atika mengembang. Yah , Begitulah. Pasangan suami istri ini, seringkali mencari tempat makan yang lagi viral lalu mendatangi untuk mencoba atau mereview ala mereka. Ada yang dijadikan favorit, ada yang ditinggal. “Makan siang di mana, Bu?” Tanyaku sambil berjalan di samping Bu Atika. “Di Semarang, Bu. Pokoknya ikut saja,” ujar Bu Atika dengan wajah berseri. Di mobil, Bu Atika mendapat panggilan vide
Saat Anakku Kaya 17Bab 17Masih Meratap sampai sakit Sudah satu bulan lebih empat hari, aku tinggal di rumah Bu Atika. Selama itu, hanya tiga kali anakku Yuda menelepon menanyakan kabarku. Setelah tau semuanya baik-baik saja, Yuda sudah tak lagi menelepon. Mungkin, di rumah sana sudah terlalu biasa dan semakin nyaman tanpa kehadiranku. Merasa tersingkir? Iya, tentu saja. Tapi, aku bisa apa? Yuda anakku juga sudah memiliki istri dan anak. Mertuanya, yaitu Bu Sofi juga sangat menyayangi Yuda. Kehilangan aku, tidaklah begitu berarti lagi untuk Yuda. Dada ini masih terasa perih jika kerinduan pada Zidan datang melanda. Mata ini masih terus mengucurkan air mata jika teringat Yuda, anakku. Ibu tidak pernah putus asa saat membesarkanmu, Nak … sampai kau sukses, sudah kaya, tapi, kau lempar ibu begitu saja tanpa perasaan. Bapakmu di akhirat pasti menangis sedih melihat kelakuanmu, melihat nasib ibumu. Huhuhu. Hari ini, aku merasa tidak enak badan. Tenggorokan rasanya kering dan gatal, in
Saat Anakku Kaya 18Bab 18Musibah dalam Keluarga Lina “Papa meninggal, Mas, huhuhu.”Lina langsung menangis keras saat mengadu kepadaku. Siang ini, saat sedang bekerja di kantor, Lina menelepon dan mengabarkan tentang kabar duka. Papanya yang sudah sakit keras sekian lama akhirnya meninggal. Bergegas aku izin pada atasan dan pulang. Menarik tubuh istriku, aku merebahkan kepala Lina di dada. Kubiarkan istriku ini menangis sejadi-jadinya. “Kita segera ke rumah Mama,” kataku. Tak menunggu lama, mobil pun meluncur menuju rumah Mama Mertua. Zidan tidak diajak, aku menyuruh suster Rini untuk menjaganya di rumah. Lina diam melamun di dalam mobil. Pipinya sembab dengan mata memerah. Nafas istriku masih tersendat karena tangis yang belum usai. Aku melirik sepintas lalu fokus menyetir. Jalanan sedikit lambat karena padat merayap. Sebenarnya, aku tidak begitu dekat dengan Mertua laki-laki atau Papanya Lina itu. Setelah menikah tiga tahun yang lalu, papanya Lina, yaitu Om Sapto, sakit-saki
Saat Anakku Kaya 19Bab 19Masih POV YudaTak dapat warisan Tiga hari setelah berkabung, kami kedatangan tamu. Kebetulan, aku, Lina, Zidan dan Suster Rini, semuanya menginap di rumah Mama Sofi. Tamu yang datang adalah, Kak Levy dengan suaminya yang Perwira Polisi, Kak Arya, satu-satunya anak lelaki Om Sapto dan adiknya yaitu Kak Denia yang datang tanpa didampingi suami. Aku, Lina, Mama Sofi dan Nungki menemui mereka di ruang tengah rumah yang paling luas. Kak Levy, Kak Arya dan kak Denia duduk berderet di kursi panjang. Suami kak Levy yang Perwira Polisi duduk agak jauh, mungkin, dia memposisikan diri sebagai orang lain, jadi hanya menjadi pendengar saja. Sama denganku. Mama Sofi dan Lina duduk berdampingan sedangkan Nungki duduk sendiri di kursi sebelah mamanya. Suasana terlihat tegang dari awal. Wajah-wajah tidak bersahabat ditunjukkan oleh anak-anak Om Sapto dari istri pertama. “Papa sudah meninggal. Ada wasiat yang harus kita sampaikan,” kata Kak Levy. Sebagai anak sulung, s
Saat Anakku Kaya 20Bab 20Menjenguk Pak Johan Hari masih pagi, sekitar pukul setengah enam. Meskipun begitu, aku sudah selesai mandi. Sudah menjadi kebiasaanku semenjak tinggal di sini. Dulu, waktu di rumah Yuda, aku mandi agak siang setelah selesai menyapu lantai, mengepel, mencuci dan masak untuk sarapan. Kalau sekarang, aku nggak banyak pekerjaan, jadi sehabis sholat Subuh dan beristirahat sebentar lalu mandi. Mbak Fitri ART, dia menginap di sini. Dia berasal dari sebuah desa di Kabupaten Semarang. Pulangnya terserah dia, kadang sebulan sekali atau dua bulan sekali. Mbak Fitri tidak memiliki Suami. Dia bercerita kalau suaminya minggat dan sampai sekarang tidak pernah kembali. Satu anak Mbak Fitri ikut dengannya dan tinggal di kampung bersama neneknya. Membawa handuk bekas mandi dan baju kotor, aku keluar dari kamar dan membawanya ke ruang cuci di belakang. Mbak Fitri terlihat sedang menyapu halaman belakang. Lebih enak menyapu halaman pagi-pagi kata Mbak Fitri, tanahnya masih
Saat Anakku Kaya 21Bab 21Tak ingin bermalas-malasan Dari dalam rumah, muncul seorang perempuan muda didampingi seorang lelaki. Mereka berdua berjalan menuju kemari. “Tante Atika!” Perempuan muda berkulit putih, berambut sebahu berseru dengan wajah semringah. Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum lebar. Menandakan dia sangat gembira bertemu dengan Bu Atika. “Karina, apa kabar?” Bu Atika tak kalah heboh, keduanya segera cipika-cipiki seolah sudah tak berjumpa lama sekali. “Duduk, Tante, Om.” Ucap perempuan muda yang dipanggil Karina oleh Bu Atika. Aku, Pak Dendy, Bu Atika dan tuan rumah yaitu Karina dan Damian suaminya. “Kenalkan dulu, ini, teman Tante, namanya Bu Ainun.” Tangan Bu Atika menunjuk padaku. Karina melempar pandangan, aku lantas memberinya senyum dan anggukan kepala. “Bu Ainun, ini, Karina, anak semata wayang Pak Johan. Yang itu suaminya, Damian.” Bu Atika menunjuk sepasang suami istri muda yang bersalaman denganku. “Ainun,” jawabku menyebut nama. “Papa bagai