Saat Anakku Kaya 18Bab 18Musibah dalam Keluarga Lina “Papa meninggal, Mas, huhuhu.”Lina langsung menangis keras saat mengadu kepadaku. Siang ini, saat sedang bekerja di kantor, Lina menelepon dan mengabarkan tentang kabar duka. Papanya yang sudah sakit keras sekian lama akhirnya meninggal. Bergegas aku izin pada atasan dan pulang. Menarik tubuh istriku, aku merebahkan kepala Lina di dada. Kubiarkan istriku ini menangis sejadi-jadinya. “Kita segera ke rumah Mama,” kataku. Tak menunggu lama, mobil pun meluncur menuju rumah Mama Mertua. Zidan tidak diajak, aku menyuruh suster Rini untuk menjaganya di rumah. Lina diam melamun di dalam mobil. Pipinya sembab dengan mata memerah. Nafas istriku masih tersendat karena tangis yang belum usai. Aku melirik sepintas lalu fokus menyetir. Jalanan sedikit lambat karena padat merayap. Sebenarnya, aku tidak begitu dekat dengan Mertua laki-laki atau Papanya Lina itu. Setelah menikah tiga tahun yang lalu, papanya Lina, yaitu Om Sapto, sakit-saki
Saat Anakku Kaya 19Bab 19Masih POV YudaTak dapat warisan Tiga hari setelah berkabung, kami kedatangan tamu. Kebetulan, aku, Lina, Zidan dan Suster Rini, semuanya menginap di rumah Mama Sofi. Tamu yang datang adalah, Kak Levy dengan suaminya yang Perwira Polisi, Kak Arya, satu-satunya anak lelaki Om Sapto dan adiknya yaitu Kak Denia yang datang tanpa didampingi suami. Aku, Lina, Mama Sofi dan Nungki menemui mereka di ruang tengah rumah yang paling luas. Kak Levy, Kak Arya dan kak Denia duduk berderet di kursi panjang. Suami kak Levy yang Perwira Polisi duduk agak jauh, mungkin, dia memposisikan diri sebagai orang lain, jadi hanya menjadi pendengar saja. Sama denganku. Mama Sofi dan Lina duduk berdampingan sedangkan Nungki duduk sendiri di kursi sebelah mamanya. Suasana terlihat tegang dari awal. Wajah-wajah tidak bersahabat ditunjukkan oleh anak-anak Om Sapto dari istri pertama. “Papa sudah meninggal. Ada wasiat yang harus kita sampaikan,” kata Kak Levy. Sebagai anak sulung, s
Saat Anakku Kaya 20Bab 20Menjenguk Pak Johan Hari masih pagi, sekitar pukul setengah enam. Meskipun begitu, aku sudah selesai mandi. Sudah menjadi kebiasaanku semenjak tinggal di sini. Dulu, waktu di rumah Yuda, aku mandi agak siang setelah selesai menyapu lantai, mengepel, mencuci dan masak untuk sarapan. Kalau sekarang, aku nggak banyak pekerjaan, jadi sehabis sholat Subuh dan beristirahat sebentar lalu mandi. Mbak Fitri ART, dia menginap di sini. Dia berasal dari sebuah desa di Kabupaten Semarang. Pulangnya terserah dia, kadang sebulan sekali atau dua bulan sekali. Mbak Fitri tidak memiliki Suami. Dia bercerita kalau suaminya minggat dan sampai sekarang tidak pernah kembali. Satu anak Mbak Fitri ikut dengannya dan tinggal di kampung bersama neneknya. Membawa handuk bekas mandi dan baju kotor, aku keluar dari kamar dan membawanya ke ruang cuci di belakang. Mbak Fitri terlihat sedang menyapu halaman belakang. Lebih enak menyapu halaman pagi-pagi kata Mbak Fitri, tanahnya masih
Saat Anakku Kaya 21Bab 21Tak ingin bermalas-malasan Dari dalam rumah, muncul seorang perempuan muda didampingi seorang lelaki. Mereka berdua berjalan menuju kemari. “Tante Atika!” Perempuan muda berkulit putih, berambut sebahu berseru dengan wajah semringah. Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum lebar. Menandakan dia sangat gembira bertemu dengan Bu Atika. “Karina, apa kabar?” Bu Atika tak kalah heboh, keduanya segera cipika-cipiki seolah sudah tak berjumpa lama sekali. “Duduk, Tante, Om.” Ucap perempuan muda yang dipanggil Karina oleh Bu Atika. Aku, Pak Dendy, Bu Atika dan tuan rumah yaitu Karina dan Damian suaminya. “Kenalkan dulu, ini, teman Tante, namanya Bu Ainun.” Tangan Bu Atika menunjuk padaku. Karina melempar pandangan, aku lantas memberinya senyum dan anggukan kepala. “Bu Ainun, ini, Karina, anak semata wayang Pak Johan. Yang itu suaminya, Damian.” Bu Atika menunjuk sepasang suami istri muda yang bersalaman denganku. “Ainun,” jawabku menyebut nama. “Papa bagai
Saat Anakku Kaya 22Bab 22Bertemu Pak Johan (lagi)“Ibu, boleh saya bicara sesuatu?” Aku bertanya pada Bu Atika pagi harinya saat mengantar minuman jus buah dan sayur mix. Bu Atika menurunkan majalah yang sedang dibacanya dan melihatku dari balik kacamata. “Ngomong saja, Bu Ainun, ada apa?” Bu Atika menutup majalah, menaruhnya di meja dan duduk berpangku tangan melihatku. Aku menunduk. “Ada apa, Bu Ainun?” Kembali Bu Atika bertanya padaku. Harus mulai dari mana aku berkata? Tak enak rasanya mau meminta pekerjaan sama Bu Atika, sedangkan diq tidak pernah menawarkan. “Bu, apakah sudah dapat pembantu untuk bekerja di rumah Pak Johan?” Tanyaku pelan. “Ngomongnya keras sedikit, Bu?” Wajah Bu Atika tersenyum. “Ehe, anu, Bu … kalau nggak keberatan, saya ingin bekerja jadi pembantu di rumah Pak Johan,” ucapku meringis. Bu Atika menatap, kemudian melepas dan melipat kacamata baca miliknya. “Bu Ainun mau kerja?” Tanya Bu Atika menatapku lekat, seolah tidak percaya. “Tapi, kenapa?” “
Saat Anakku Kaya 23Bab 23Hari Pertama Bekerja sudah ada yang sirik Mbak Woro bolak balik mengangkat koper milik Karina dan Damian, suaminya. Hari ini, mereka berdua akan kembali ke Jakarta. Ternyata, pasangan suami istri muda ini, sudah memiliki seorang anak laki-laki berusia tiga tahun. Cucunya Pak Johan. Sekarang, anak tersebut sedang dititipkan sama orang tua Damian alias mertuanya Karin.Aku ingin juga membantu Mbak Woro, membawakan barang apa gitu punyanya Mbak Karin, tapi, Mbak Woro melarang. “Nggak usah!” Ketusnya saat aku hendak mengangkat kardus berisi oleh-oleh ke mobil. Akupun mundur teratur dan hanya jadi pengamat. Melihat Mbak Woro yang pontang-panting membawa koper, tas, kardus dan sebagainya. Karina dan Damian keluar dari kamar Pak Johan. Karina menutup kembali pintu kamar papanya. Rupanya, mereka berdua, habis berpamitan. “Saya berangkat sekarang, Bu Ainun. Pesawatnya take off jam dua an, biar nggak terlambat,’ kata Karina saat bertemu denganku di dekat meja ma
Saat Anakku Kaya 24Bab 24Hanya menjalankan tugas bukan berlebihan Malam sekitar jam sembilan, aku keluar dari kamar. Berdiri di depan pintu kamarku, mata ini mengedar ke sekeliling. Sebagian lampu ruangan sudah dipadamkan. Suasananya sunyi. Badanku sedikit merinding dengan besarnya rumah ini. Perabotannya yang berukuran besar dan terbuat dari kayu jati tua memberikan kesan mistis mendalam. Menepis rasa takut, aku kembali ke tujuan semula, yaitu ke kamar Pak Johan. Aku mau menanyakan apakah Pak Johan masih membutuhkan bantuanku, karena kalau malam, aku sudah beristirahat di kamarku sendiri.Berjalan cepat, aku ke kamar Pak Johan. Membuka perlahan pintu yang memang tidak dikunci. Hawa dingin dari air conditioner menyergap kulitku. Meskipun aku mengenakan baju panjang dan jilbab, tetap saja terasa dingin. Biar aku kecilkan dulu temperatur-nya. Pak Johan berbaring tak bergerak di tempat tidur. Dia sudah tertidur dengan nafas teratur. Melihat di samping, laptop Pak Johan ada di sebe
Saat Anakku Kaya 25Bab 25Pingin Umroh Tidak! Aku merasa biasa saja dan tidak berlebihan. Pekerjaan yang diamanatkan oleh Mbak Karin, adalah menjaga papanya, memantau kesehatan dan pola makannya. Aku bukan dokter atau perawat, jadi, ini yang dapat aku lakukan. Jika Pak Johan belum pulang, ya, aku nggak tidur. Bila perlu, aku harus meneleponnya. Semua ini atas perintah Mbak Karin, anaknya sendiri, bukan aku yang sok atau berlebihan. Kalau Pak Johan sakit lagi, Mbak Karin pasti mempertanyakan apa kerjaku? Nggak usah aku masukkan hati, perlakuan Pak Johan tadi. Bergegas aku masuk kembali ke rumah dan mengunci pintunya lagi. Tok tokAku mengetuk pintu kamar Pak Johan. Ini belum ada setengah sepuluh malam, mungkin Pak Johan mau mandi air hangat. Aku harus bertanya. Pak Johan melihatku yang memasuki kamarnya, kemudian dia berjalan memasuki ruang ganti. Aku terdiam menunggu di ujung tempat tidur. “Bapak, mau mandi? Biar saya siapkan air?” Tanyaku. “Boleh,” jawab Pak Johan yang kemudi