Saat Anakku Kaya 26Bab 26Pemborosan Yuda“Lina, Mama tolong bikinin kamar sendiri, dong, masa iya, sudah sebulan lebih di sini tidurnya sama Nungki?” Aku yang lagi lembur pekerjaan kantor di rumah, mendengar suara Ibu Mertua yang menggerutu minta dibuatkan kamar sendiri pada Lina. Memang rumahku ini tidak begitu besar, hanya ada 3 kamar tidur saja dan semuanya sudah digunakan. Satu kamar untukku dan Lina, satu lagi untuk Suster Rini dan Zidan dan yang lain dihuni Mama Sofi dan Nungki. Mertua dan iparku tinggal di sini sudah lebih dari satu bulan. Mama Sofi membuktikan omongannya untuk menuntut hak waris kepada keluarga Om Sapto. Dengan didukung Lina, mereka menyewa seorang Pengacara yang cukup handal di kota ini. Bayarannya? Jangan ditanya, pastinya selangit. Mama Sofi masih memiliki uang tabungan. Beruntung, anak-anak Om Sapto membiarkan mama menguasai rekening tersebut. Tidak mungkin Kak Levy dan adik-adiknya tidak tau isinya. Kak Levy membiarkan Mama Sofi menguasai rekeningn
Saat Anakku Kaya 27Bab 27Bertemu Yuda Menaiki bus antar kota ber-AC, aku duduk dekat jendela. Aku tidak tidur, sepanjang perjalanan, hanya melihat pemandangan di luar. Rasanya, sudah sangat lama aku tidak bepergian dengan kendaraan umum. Waktu masih ada Mas Riswan, aku selalu dibonceng dengan sepeda motornya jika bepergian. Terkadang, kita berboncengan sampai ke Semarang jika Mas Riswan disuruh bossnya untuk berbelanja bahan baku atau beli kaos kodian di Pasar Johar. Bis sudah hampir memasuki terminal Tingkir Salatiga. Aku segera bersiap. Berjalan berpegangan jok kursi penumpang, aku menuju pintu belakang bis. “Terminal, Bu?” Tanya Mas kondektur. “Iya.” aku mengangguk. Turun di terminal, aku masih harus naik ojek ke gedung pengajian. Masih jam setengah satu, di sana nanti, aku masih bisa menunaikan sholat dluhur. Sengaja aku tidak menuju rumah Bu Atika untuk berbarengan ke sini. Aku sudah memberitahu beliau lewat pesan WA tadi. Dadaku rasanya berdebar dan gugup. Bukan takut,
BuSaat Anakku Kaya 28Bab 28Air mata dan hujan Lina balas menatap dengan tatapan merendahkan. Memang, selama ini, aku miskin. Hidup hanya mengandalkan pemberian anak. Tetapi, apa salahku? Yuda adalah anak lelakiku yang seharusnya bertanggungjawab atas ibunya ini yang sudah Janda dan tak memiliki apa-apa. Menyesal aku mengandalkan anak. Terutama anak yang tidak tau membalas budi. Aku ikhlas merawat dan membesarkan Yuda dengan segala jerih payah dan keringat. Tetapi, aku juga manusia yang memiliki perasaan. Sakit hati? Sudah pasti. Tidak dendam dengan Yuda tapi, istrinya ini membawa pengaruh buruk untuk anakku. Lihat saja, Lina. Aku sudah bukan Mertua miskin yang sering kamu remehkan. Uangku sudah bukan seribu, dua ribu lagi tetapi, jutaan. Dengan tenang, aku membuka tas selempang yang aku bawa. Membuka resletingnya, tanganku menghitung uang di dalamnya. Aku membawa uang satu juta setelah, tetapi sudah berkurang 50 ribu untuk ongkos bis ke sini tadi. Nggak masalah, dengan uang in
Saat Anakku Kaya 29Bab 29Kelakuan Mbak Woro “Pak Johan, ke-kenapa bisa ada di sini?” aku bertanya dengan nafas yang masih tersendat-sendat. Pak Johan masih menatap, entah apa yang ada di pikirannya. “Kita pulang sekarang,” ajaknya. Aku mengangguk dan berjalan beriringan dengan Pak Johan. Dalam hati, aku masih bertanya-tanya, bagaimana Pak Johan bisa sampai kemari. “Masuk.” Pak Johan membukakan pintu mobil mewahnya. Aku terdiam ragu. “Baju saya basah, badan saya kotor, Pak, nanti mobil bapak ikut kotor,” ucapku sembari melihat Pak Johan.“Sudah, tidak usah dipikirkan. Ini cuma mobil, saya bisa beli baru lagi,” sahutnya tidak bercanda. Membungkukkan badan sedikit, aku masuk ke mobil. Pak Johan menutup pintunya dan berjalan memutar menuju pintu kemudi. Aku diam membeku. “Biar saya matikan AC nya.” Pak Johan menyentuh sebuah panel. Peka sekali, dia tau, aku menggigil kedinginan. Nafasku masih sesenggukan karena menyisakan tangis. Pak Johan membisu dan sesekali melirik padaku. S
Saat Anakku Kaya 30Bab 30Jalan Berdua “Bu Ainun, nanti temani saya ke supermarket.” Pak Johan berkata malam itu sepulang kerja. “Iya, Pak,” sahutku sembari membawakan tas kerja Pak Johan masuk. “Memangnya, mau beli apa, Pak?” Tanyaku. “Besok, saya mau ada rapat dengan Pak Mentri PU, di Jakarta. Undangannya mendadak, jadi, saya harus membeli keperluan malam ini.” Pak Johan menjawab sambil duduk dan membuka sepatunya. Lelaki itu berdiri, sambil berjalan ke kamar, dia melepas dasi yang mengikat lehernya. Akupun, segera ke kamar. Setelah sholat Maghrib, aku segera berganti baju dan merias wajah. Bukan ganjen, tapi, aku menghargai Pak Johan. Aku nggak mau terkesan awut-awutan seperti pembantu yang biasa mengikuti nyonyanya ke pasar. Pakai daster apa adanya, sendal jepit, terkadang belum mandi. Maaf. Pak Johan ini direktur, setidaknya, aku harus bersih dan rapi bila diajak pergi. Mengenakan celana kain coklat susu lentur semi baggy, blouse berwarna putih serta dipadukan dengan long
Saat Anakku Kaya 31Bab 31Pembantu Halu “Mbak, kamu ngapain?” Tanyaku pada Mbak Woro yang terlihat kembali sibuk mengemasi barang di dapur. Mbak Woro mengeluarkan barang-barang dapur dari kabinet bawah. Kali ini, ART berambut ikal dan berkulit gelap itu tak lagi membawa tas jalin plastik seperti kemarin, melainkan membawa karung plastik. Melihat ke dalamnya, aku melihat ada panci, wajan, teflon, sendok, garpu, baskom dal lain-lain. “Mau dibawa ke mana ini?” Tanyaku dengan mata melebar. Mbak Woro berdiri. Mengusap kasar celana panjang yang dikenakan, Mbak Woro lalu berdiri persis di hadapanku. “Bukan urusanmu, Bu Ainun. Asal kamu tau, semua barang di rumah ini adalah milikku,” kata Mbak Woro dengan menggerakkan kepala, melihat seisi rumah. “Punya Mbak Woro, gimana?” Keningku mengerut dalam. Mbak Woro tak menjawabnya, malah berjalan memutariku. Aku yang bingung menggerakkan bola mata mengikuti gerak-gerik Mbak Woro. “Bu Ainun, ternyata, kamu itu Janda, ya?” Tanyanya setelah ke
Saat Anakku Kaya 32Bab 32Menghapus Kenangan Yuda “Sial! Aku kalah!” Aku menoleh pada Mama Sofi yang berteriak mengomel saat melangkah lebar memasuki rumah. Mertuaku itu berdiri dan berkacak pinggang di ruang tengah, tempat aku duduk dan memangku Zidan. “Padahal sudah habis banyak uang untuk bayar pengacara!” Lina, istriku yang berjalan di belakangnya kemudian menjatuhkan bobot di kursi depanku dengan wajah kesal dan terlihat lesu. Istriku bahkan tidak menyapa Zidan, anaknya. Aku hanya melihat Mama Sofi yang berjalan mondar-mandir dengan sesekali mengumpat, sedangkan Lina, duduk dengan muka ditekuk. Mereka berdua habis menghadiri sidang putusan melawan keluarga Om Sapto. Mama Sofi menuntut hak waris untuk dirinya dan kedua anaknya, Lina dan Nungki. Kak Levy, selaku wakil dari keluarga Om Sapto, meladeni tuntutan Mama Sofi. Dari mula, aku sudah tidak yakin mereka menang. Meskipun dari tes DNA menyatakan Lina dan Nungki adalah anak kandung Om Sapto. Berbicara tentang pengadilan
Saat Anakku Kaya 33Bab 33Kejutan Detik berikutnya, waktu terasa merambat pelan. Aku berdebar menunggu kalimat pungkas Pak Johan. “Maukah Bu Ainun menerima semua barang peninggalan istri saya ini?” Pak Johan memandang dengan mata berharap.Aku menyerap ludah, menatap lekat manik mata kecoklatan milik Pak Johan. Ada permohonan yang tergambar di sana. Tidak. Kata itu yang muncul pertama di benakku. Tidak mungkin aku menerima semua barang berharga ini. Pak Johan mungkin saja sedang kalut pikirannya sehingga membuat keputusan yang tidak masuk akal. Semua itu barang berharga puluhan atau mungkin ratusan juta, diberikan cuma-cuma padaku? Pasti Pak Johan sedang tidak sehat. “Bapak, semua ini adalah kenangan dari mendiang ibu. Mbak Karin sengaja menyisakan semua ini, berharap agar bapak tidak melupakan mamanya,” ucapku dengan tersenyum. Pak Johan terdiam kemudian mende sah nafas berat. “Saya siapkan sarapan, ya, Pak,” dengan cepat, aku pergi meninggalkan Pak Johan yang masih berdiri me