Saat Anakku Kaya 31Bab 31Pembantu Halu “Mbak, kamu ngapain?” Tanyaku pada Mbak Woro yang terlihat kembali sibuk mengemasi barang di dapur. Mbak Woro mengeluarkan barang-barang dapur dari kabinet bawah. Kali ini, ART berambut ikal dan berkulit gelap itu tak lagi membawa tas jalin plastik seperti kemarin, melainkan membawa karung plastik. Melihat ke dalamnya, aku melihat ada panci, wajan, teflon, sendok, garpu, baskom dal lain-lain. “Mau dibawa ke mana ini?” Tanyaku dengan mata melebar. Mbak Woro berdiri. Mengusap kasar celana panjang yang dikenakan, Mbak Woro lalu berdiri persis di hadapanku. “Bukan urusanmu, Bu Ainun. Asal kamu tau, semua barang di rumah ini adalah milikku,” kata Mbak Woro dengan menggerakkan kepala, melihat seisi rumah. “Punya Mbak Woro, gimana?” Keningku mengerut dalam. Mbak Woro tak menjawabnya, malah berjalan memutariku. Aku yang bingung menggerakkan bola mata mengikuti gerak-gerik Mbak Woro. “Bu Ainun, ternyata, kamu itu Janda, ya?” Tanyanya setelah ke
Saat Anakku Kaya 32Bab 32Menghapus Kenangan Yuda “Sial! Aku kalah!” Aku menoleh pada Mama Sofi yang berteriak mengomel saat melangkah lebar memasuki rumah. Mertuaku itu berdiri dan berkacak pinggang di ruang tengah, tempat aku duduk dan memangku Zidan. “Padahal sudah habis banyak uang untuk bayar pengacara!” Lina, istriku yang berjalan di belakangnya kemudian menjatuhkan bobot di kursi depanku dengan wajah kesal dan terlihat lesu. Istriku bahkan tidak menyapa Zidan, anaknya. Aku hanya melihat Mama Sofi yang berjalan mondar-mandir dengan sesekali mengumpat, sedangkan Lina, duduk dengan muka ditekuk. Mereka berdua habis menghadiri sidang putusan melawan keluarga Om Sapto. Mama Sofi menuntut hak waris untuk dirinya dan kedua anaknya, Lina dan Nungki. Kak Levy, selaku wakil dari keluarga Om Sapto, meladeni tuntutan Mama Sofi. Dari mula, aku sudah tidak yakin mereka menang. Meskipun dari tes DNA menyatakan Lina dan Nungki adalah anak kandung Om Sapto. Berbicara tentang pengadilan
Saat Anakku Kaya 33Bab 33Kejutan Detik berikutnya, waktu terasa merambat pelan. Aku berdebar menunggu kalimat pungkas Pak Johan. “Maukah Bu Ainun menerima semua barang peninggalan istri saya ini?” Pak Johan memandang dengan mata berharap.Aku menyerap ludah, menatap lekat manik mata kecoklatan milik Pak Johan. Ada permohonan yang tergambar di sana. Tidak. Kata itu yang muncul pertama di benakku. Tidak mungkin aku menerima semua barang berharga ini. Pak Johan mungkin saja sedang kalut pikirannya sehingga membuat keputusan yang tidak masuk akal. Semua itu barang berharga puluhan atau mungkin ratusan juta, diberikan cuma-cuma padaku? Pasti Pak Johan sedang tidak sehat. “Bapak, semua ini adalah kenangan dari mendiang ibu. Mbak Karin sengaja menyisakan semua ini, berharap agar bapak tidak melupakan mamanya,” ucapku dengan tersenyum. Pak Johan terdiam kemudian mende sah nafas berat. “Saya siapkan sarapan, ya, Pak,” dengan cepat, aku pergi meninggalkan Pak Johan yang masih berdiri me
Saat Anakku Kaya 34Bab 34Kena batunya Matahari semakin meninggi, suasana rumah semakin ramai. Satu persatu penghuni kamar mulai menampakkan batang hidungnya. Ada Mama dan Papa mertuanya Karin. Anak lelakinya yang bernama Kenzo beserta dengan baby sitter-nya. Mereka semua berkumpul dan saling melempar canda tawa di ruang keluarga. Bergegas aku menata minuman yang sudah siap di nampan lebar. Aku tidak tau mereka mau minum apa, tetapi aku membuat satu teko teh manis hangat saja. “Silakan minumannya,” ucapku seraya menaruh nampan di meja. Semua orang tersenyum menatapku. “Bu Ainun, sini, dulu.” Karina menahan langkahku dengan memanggil namaku. “Iya, Mbak?”“Kenalin nih, Mama sama Papa Mertua aku.” Karina menunjuk sepasang suami istri paruh baya yang duduk bersebelahan. Aku datang menghampiri untuk bersalaman. “Sarita,” kata Mamanya Damian dengan bibir menyungging senyum. “Pandu.’ demikian nama suaminya. Mama Damian cantik dan berkulit putih. Papanya juga ganteng dengan hidung
Saat Anakku Kaya 35Bab 35Mendadak dilamar “Assalamualaikum … halo halo Bandung hahaha.” Bu Atika tertawa ceria bertemu dengan Karin dan mertuanya. Sepertinya, Bu Atika dan Bu Sarita sudah berkenalan sebelumnya. Mereka tampak akrab dan cipika-cipiki. “WaalaikumSalaam, Tante … akhirnya, sampai juga,” ujar Karin memeluk Bu Atika.“Iya, macet sedikit di tol tadi,” jawab Bu Atika mengurai pelukan. “Astaga, siapa ini, kok cantik sekali?” Bu Atika menatap cermin seolah terpukau. Aku menyembunyikan senyum malu-malu. “Bu Ainun, selamat yaa!” Cerocos Bu Atika seraya melangkah ke maju untuk melihat wajahku. Sekarang, Bu Atika membelakangi cermin, dia menatapku dengan mata membulat.“Selamat hari apa, Bu?” Tanyaku tak tau. Kupikir, Bu Atika sedang bercanda. “Selamat buat ….”“Selamat Ulang Tahun Bu Ainun, horee.” Karina bertepuk tangan. Aku bengong. Mata Bu Atika melihat Karin dengan kening mengerut dalam. Ting!Ponsel Bu Atika tiba-tiba mengeluarkan bunyi seperti notif. Bu Atika segera
Saat Anakku Kaya 36Bab 36Aku dan Pak JohanMbak WoroBerdiri dalam jarak aman dari ruang tengah di mana sedang dilangsungkan sebuah acara, aku berdiri dan mengamati. Memasang telinga baik-baik agar dapat mendengarkan apa yang sedang dibahas di sana.Ngapain itu si Bu Ainun pakai didandani seperti badut segala? Huh! Dipikir cantik apa? Kemayu. Aku penasaran, sebenarnya, apa peran Bu Ainun dalam acara ini. Sebagai sesama pembantu, aku merasa sakit hati melihat Bu Ainun diperlakukan istimewa begitu. Apa hebatnya dia? Miskin dan sudah tua. Apa? Bu Ainun dilamar? Hah? Aku terkejut sampai membuka mulut, beruntung tidak berteriak. Kenyataan apa ini? Aku mengusap dada yang tiba-tiba terasa panas dan terbakar. Tidak! Aku pasti sedang bermimpi. Plak plakAku menampar pipi sendiri berkali-kali. Aduh! Rasanya perih. Bagaimana mungkin, Pak Johan melamar Bu Ainun, pembantu yang baru beberapa bulan bekerja di sini? Kenapa bukan aku yang sudah bertahun-tahun mengabdi bahkan ikut membantu mera
Saat Anakku Kaya 37Bab 37POV YudaMalu dengan Ibu Aku tersenyum memegang surat sertifikat rumah milikku. Akhirnya, lunas juga perjuanganku menyicil rumah setiap bulan selama sepuluh tahun. Rumah impian yang aku beli dari keringatku sendiri semenjak aku lajang. Bagaimana tidak? Kedua orang tuaku, tak pernah memiliki rumah sendiri sampai akhir hayat. Ayah dan ibu hidup menggelandang dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Sedangkan aku, hidup ngekos selama jadi mahasiswa. Aku tidak akan berbicara dulu dengan Lina tentang sertifikat yang sudah di tanganku ini karena aku akan langsung memasukkannya ke Bank sebagai jaminan hutang. Rumah seharga tiga ratus juta ini, mungkin sekarang sudah naik harganya menjadi sekitar lima ratus jutaan. Aku sudah merenovasi bahkan membangun menjadi dua lantai. Dulunya memang hanya perumahan biasa, tanahnya tidak luas. Bangunannya juga standar, tetapi, berada di kawasan dekat perkotaan. Dekat ke segala akses. Aku butuh mobil baru untuk menunjang kegiat
Saat Anakku Kaya 38Bab 38Pura-pura Miskin“Bu Ainun, pakai pelet apa?” Mbak Woro yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku bertanya dengan muka masam. “Pelet apa, maksudnya?” Tanyaku seraya membuat kopi untuk Pak Johan. “Heleh, sok jaim. Pelet pengasihan lah, apa lagi. Pembantu kok bisa memikat hati Majikan, pasti nggak beres.” Mbak Woro mencebikkan bibir.“Tidak ada, Mbak Woro.”aku mengulum senyum, “saya hanya percaya sama Allah, bukan hal syirik seperti itu.”Mbak Woro melirik jahat. Mengambil nampan dan menaruh gelas kopi di atasnya, aku berjalan meninggalkan Mbak Woro di dapur. Meskipun aku sudah dilamar oleh Pak Johan, tetapi bukan berarti aku berlagak terhadap Mbak Woro. Masih seperti biasanya, setelah mengurus keperluan Pak Johan, aku membantu pekerjaan Mbak Woro. Tidak ada yang berubah. Tok tokMengetuk pelan pintu kamar Pak Johan, aku lalu membukanya perlahan. Pak Johan terlihat sedang berdiri di depan cermin besar dan sibuk memasang dasi di kerah kemejanya. “Kirain