Dinikahi Raja jalan tol 7
Bab 7Anakku milik Istrinya “Bu Ainun, kemarin pas acara akikah cucunya kok nggak kelihatan?” Tanya Bu Safiq saat aku dan Bu Sani mampir ke rumahnya sepulang mengaji. “Oh, aku di belakang,” sahutku. “Kok di belakang, harusnya kan di depan, nemuin tamu,’ kata Bu Sani. “Iya, kita nyariin, lho,” ujar Bu Safiq. “Kan, sudah ada besan saya, Bu Sofi di depan, jadi, aku di belakang saja.” aku mengangguk. “Harusnya itu, dua neneknya di depan. Seperti aku dulu waktu akikah anaknya Titin,” Bu Safiq menoleh pada Bu Sani dengan menganggukkan kepala. Bu Sani pun mengangguk kuat. Memang acara akikah cucuku yang diberi nama Zidan Al Fatih kemarin, aku berada ada di dalam rumah. Aku juga melihat tetangga-tetangga yang datang seperti Bu Sani, Bu Safiq dan Bu Asmah. Sebenarnya, aku ingin berdiri di depan untuk sekedar menemui para tetangga yang hadir tetapi, Bu Sofi, besanku bilang kami harus berbagi tugas. Bu Sofi, Lina dan Nungki di depan among tamu sedangkan aku dan Mbak Surti–pembantu dadakan– di belakang. Aku dan Mbak Surti kebagian membuat minuman dan membagikan nasi berkat, setelah itu, mencuci gelas bekas acara sekalian. Karena sudah diberi tanggung jawab, akupun patuh menjalankannya. Iya, sih, kalau nggak ada yang tanggung jawab di belakang, kalau ada kekacauan gimana? Misal nasi berkatnya kurang, gitu, gimana? Sudah betul keputusan Bu Sofi kalau menurutku. Topik pembicaraan beralih. “Eh, Ibu-ibu, aku tertarik sama yang diceritakan Bu Nyai tadi, lho.” kedua tangan Bu Safiq menepuk pahanya sendiri pelan. Aku dan Bu Sani jadi memperhatikan. “Yang tentang pesantren itu, ya?” Tanyaku. “Iya, betul, Bu Ainun!” mata Bu Safiq terlihat berbinar. Dia antusias. “Pesantren lansia itu?”“Yes, betul lagi, Bu Sani.” Memang, tadi di sela-sela ceramahnya, Bu Nyai menceritakan tentang pondok pesantren khusus lansia yang ada di kabupaten Magelang.“Murah, lho, Itu,” kata Bu Safiq, “sebulan cuma bayar 500 ribu saja. Itupun, buat keperluan kita sendiri. Makan gratis, baju dicuciin, dikasih penginapan.” Bu Safiq menceritakan kembali omongan Bu Nyai dengan menggebu-gebu. “Kayaknya menarik, ya, Bu?” Tanyaku. “Memang menarik sekali, Bu Ainun. Kita di sana berkumpul dengan para lansia yang seumuran gitu. Yang nggak bisa ngaji, nanti diajari dari mula, dari iqro. Yang sudah bisa, disuruh menghafal sampai lancar.” jelas Bu Sani. Aku tadi juga menyimak sih, cerita dari Bu Nyai. Pondok pesantren khusus lansia itu seperti pesantren kilat. Sebulan kita di sana, kita dibuat untuk melupakan masalah dunia. Isinya mengaji, dengerin kajian, sholat fardhu berjamaah, sholat sunah, dan amalan lainnya. Bayarnya hanya 500 ribu per orang. Itupun, kita dapat makan bergizi tiga kali sehari, dapat kamar bersih, toilet bersih, baju dicuciin, pokoknya all in, lah. Kita hanya disuruh mengikuti jadwal pesantren saja yang telah disusun pengurus. “Katanya, tempatnya enak, sejuk di kaki gunung Merapi. Masjidnya besar dan pesantren tersebut terletak di tengah persawahan yang hijau dan asri. Benar-benar tempat yang cocok untuk healing dan menenangkan pikiran.” imbuh Bu Safiq. Sepertinya, temanku ini sangat tertarik dengan pesantren kilat tersebut. “Ayo, Bu, diagendakan,” ujar Bu Sani tak kalah seru. “Iya, aku juga lagi mikir begitu. Gimana, Bu Ainun? Kita healing sambil nabung pahala?” Bu Safiq melihatku yang lebih banyak diam. Bukannya tidak tertarik. Bagiku, 500 ribu itu banyak. Butuh berbulan-bulan bagiku untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. “Alah, ikut aja, Bu Ainun, kan tinggal bilang anaknya, pasti dibayarin.” seloroh Bu Sani. Aku tersenyum kecil. “Iya, ayo, kita berempat sama Bu Asmah berangkat. Nanti biar dibooking-kan online sama anakku Titin.” Bu Safiq menyentikkan jari. “Ok, aku mau. Biar aku bilangin Bu Asmah, dia juga pasti setuju!” Bu Sani terlihat senang. “Ok, ya, Bu, Ainun?” Tanya Bu Safiq. Mataku menatap temanku agak lama. “A-aku belum bisa kasih jawaban, Bu. Aku tanya anakku dulu, soalnya kan, sekarang di rumah ada bayi, takutnya menantuku repot nggak ada yang bantu.” aku beralasan. “Lho, bukannya ada baby Sitter, Bu?” “Iya, sih, tapi, baby Sitter itu belum begitu terampil merawat bayi.” aku mengangguk. Padahal, baby Sitter di rumah sangat terampil karena sudah ditraining dari yayasan. Tidak mungkin bagiku mengatakan sejujurnya pada teman-temanku jika sebenarnya aku tidak punya uang. Mereka pasti tidak percaya dan aku menertawakan aku. Meminta pada Yuda juga, aku agak sungkan sekarang. Yuda itu ATM gajinya dipegang Lina. Apa-apa harus persetujuan Lina. Minta 500 ribu hari gini apa dikasih, sedangkan sekarang Yuda dan Lina sudah punya bayi, tentu saja pengeluarannya bertambah banyak. “Nanti aku kabari, Bu,” kataku akhirnya. Berjalan kaki pulang, pikiranku masih pada bahasan pesantren lansia yang diobrolkan dengan teman-teman tadi. Aku ingin ikut tapi, gimana? Nggak mungkin aku dapat uang 500 ribu dalam waktu satu Minggu. Bu Safiq bilang, akan membuat reservasi untuk Minggu depan. Ah, kenapa aku tidak seperti teman-temanku, yang seakan tak ada beban di hari tua? Mereka mau apa, mau ke mana saja tinggal bilang sama anaknya, pasti dituruti. Sedangkan aku? Sampai umur segini masih saja mikir kebutuhan sendiri. Yuda anakku bisa dibilang kaya tetapi, dia sudah berkeluarga dan memiliki kebutuhan hidup sendiri, nggak mungkin Yuda menomorsatukan aku, ibunya. Pasti Yuda lebih memilih istrinya ….“Ibu dari mana aja?!” Datang-datang, Lina sudah berkacak pinggang di ruang tamu. Dia menatapku lurus dengan sorot mata marah. Memang, aku sedikit terlambat pulang karena mampir rumah Bu Safiq. “Habis pengajian, Lin,” jawabku. Mataku melihat ke dalam, mencari cucuku. “Zidan di mana?” Aku melihat Lina. “Jangan bilang Ibu keluyuran, ya! Bilang mengaji tapi pulangnya jam segini. Apa nggak tau kalau di rumah repot? Lina ini habis melahirkan operasi, Bu, nggak boleh kerja berat, ngerti, Bu?” Lina tidak menjawab pertanyaanku malah mengomel. Aku yang sudah kebal dengan omelan Lina, tak ambil pusing dan segera masuk ke rumah mencari cucuku. “Ibu, jangan megang Zidan dulu. Cuci tangan, kaki, sekalian cuci piring itu!” Lina menunjuk wastafel. BersambungDinikahi Raja jalan tol 8Bab 8Dianggap Pembantu “Halo, assalamualaikum, Bu Ainun!”Bibirku tersenyum lebar saat menerima panggilan video dari temanku Bu Safiq. Terlihat temanku itu melambaikan tangan dan dengan senyum semringah. “Waalaikumsalaam. Gimana, Bu, senang?” Tanyaku gembira. “Alhamdulillah, Bu,” sahut Bu Safiq yang kemudian menggeser kamera telepon hingga terlihat teman-teman lain di belakangnya. Duduk berderet di sebuah tempat tidur kayu ada Bu Sani, Bu Asmah dan Bu Ida. Keempat temanku semuanya masih mengenakan mukena berwarna senada yaitu putih. Keempat temanku jadi mondok dan ikut pesantren kilat lansia di kabupaten Magelang seperti yang dibahas kemarin dulu. Aku yang tidak memiliki cukup uang harus kecewa karena tidak dapat mengikuti kegiatan menyenangkan tersebut. Kebetulan, anakku Yuda, Minggu depan mendapat tugas inspeksi ke kantor cabang di luar kota selama dua hari, jadi aku memiliki alasan untuk tidak ikut pergi dengan teman-temanku. “Aku harus menemani Men
Dinikahi Raja jalan tol 9Bab 9Teledor hingga Nyaris Kebakaran “Bu Ainun, seragam sekolah saya mana?” Suara anak perempuan terdengar jelas dari arah belakang. Aku menoleh. “Nungki?” Aku tersenyum padanya. Gadis abege itu memasang wajah jutek. Matanya menatapku. “Mana seragam sekolah saya, Bu?” Keningku mengerut, mencoba mengingat. “Kemarin kan, saya suruh setrika?” Nada suara Nungki naik. Ah, ya, aku jadi teringat, seragam itu masih di ruang setrikaan. Astaga, aku lupa!“Ya, Allah, Nungki … ibu lupa menggosoknya.” aku berlari kecil ke ruang setrikaan. Baju seragam Nungki masih teronggok di sana. Cepat-cepat aku menancapkan kabel ke colokan. “Gimana, sih, Bu! Orang disuruhnya kemarin, baru dikerjakan sekarang. Aku kan, mau sekolah.” Anak kecil itu, Nungki mengomel. Aku tidak menghiraukan dan segera menggosok baju seragam adiknya Lina. “Cepet sedikit, Bu. Yang halus.” Nungki berdiri di samping meja setrika dengan mulut tak henti mengomel. “Nungki, cepet sedikit, nanti terlamba
Dinikahi Raja jalan tol 10Bab 10Bebas tugas yang menyakitkan Aduh, gimana ini? Bola mataku berputar melihat wajah-wajah marah dan kesal yang menatap tajam. Membuat diri ini merasa ciut dan tenggelam dalam ketakutan. Kenapa bisa aku sepikun ini? Seharusnya, aku berbicara dengan Lina sebelum ada orang lain menemukan setrika rusak dan mejanya yang gosong. Jika sudah begini, Lina dan Bu Sofi pasti mengira aku telah menyembunyikan kejadian besar. “Ibu, kenapa bisa semuanya terbakar begini?” Lina bertanya dengan nada tinggi. Menantuku marah. Dia mengangkat tangan ke atas dan menunjuk meja setrika serta seluruh isi kamar. “M-maafkan ibu … kemarin lupa bilang padamu.” Suaraku lirih dengan menyembunyikan wajah. Kedua tanganku saling meremas karena gugup. “Apa yang terjadi Bu Ainun? Kenapa bisa terbakar seperti itu? Apa yang ibu kerjakan kemarin saat kami pergi?” Bu Sofi bertanya dengan nada menekan. Aku menarik nafas lalu mengembuskannya perlahan. “Kemarin, setelah selesai menggosok b
Dinikahi Raja jalan tol 11Bab 11Memilih Pergi Praktis seharian ini aku menganggur. Tak satupun pekerjaan diizinkan untuk aku sentuh. Mbak Surti sibuk sendiri dengan tetap mengawasiku sedangkan suster Rini bersama Zidan Selalu menghindar. Keduanya terlalu takut berinteraksi denganku. Semuanya berubah hanya dalam waktu satu malam. Sudah jam sepuluh pagi Lina baru keluar dari kamarnya. Menantuku sudah mandi dan berdandan cantik. Lina berjalan ke dapur untuk mencari air putih. Kebiasaan Lina agar tetap bugar adalah meminum banyak air putih. “Lina ….” aku memanggil sembari mendekat. Lina yang sedang meminum air dari gelas melirik. “Ibu mau tanya, kenapa Ibu tidak diperbolehkan membantu Bu Surti mengerjakan pekerjaan rumah?” Tanyaku dengan senyum di bibir. Aku tidak mau terkesan marah atau kesal sehingga menyinggung perasaan menantuku. “Kan, malah enak, Bu. Nggak kerja, nggak ngapa-ngapain, tinggal makan sama tidur doang. Baik, kan, aku?” Lina tersenyum mengejek. “Tapi, Lin, Ibu k
Dinikahi Raja jalan tol 12Bab 12Bertemu orang baik Aku mematung menatap sosok pria pengendara mobil. Itu kan, suaminya Bu Atika? Saat kaca mobil semakin turun, aku bisa melihat ada Bu Atika juga duduk disebelahnya. Mereka berdua seperti berbicara sesuatu padaku, tangan Bu Atika menunjuk nunjuk arahku. Sayangnya, aku tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan. Di samping mobilnya berhenti di seberang jalan, beberapa sepeda motor yang lewat juga mengganggu pendengaranku. Setelah jalanan sepi, pintu mobil sisi kemudi terbuka. Suaminya Bu Atika keluar dari mobil dan menyeberang kemari. Aku menatap dengan bingung, mau apa? “Bu Ainun, dipanggil istri saya,” kata suaminya Bu Atika setelah dekat. “Saya?” aku menunjuk dada sendiri karena ragu. “Iya.” Lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah itu mengangguk. Aku melihat ke mobil di seberang jalan. Bu Atika melihat ke sini dari balik kacamata hitamnya. Lambaian tangannya membuatku mengangguk. “Tapi, saya mau ke sana, Pak,” kataku
Dinikahi Raja jalan tol 13Bab 13Perempuan berhati emas “Jadi, Bu Ainun ini, memang sengaja pergi dari rumah?” Tanya Bu Atika menatap. “Iya, Bu,” jawabku lirih dengan tangis sesenggukan. Huhuhu, nafasku pun tersendat-sendat. Aku terpaksa bercerita dan berterus terang kepada Bu Atika dan suaminya Pak Dendy. Aku sudah tidak dapat berbohong lagi. Pertanyaan-pertanyaan dari Bu Atika membuatku tak berkutik. Kupikir, suami istri itu sudah curiga jika aku memiliki masalah dengan orang rumah. “Kenapa Bu Ainun nggak menceritakan kelakuan Menantu ibu sama Yuda?” Tanya Bu Atika lagi. Aku menggeleng. Memencet cuping hidung dengan kertas tissue, aku lalu membuang nafas. Kebanyakan menangis membuat hidungku berair. “Saya tidak berani, Bu.” “Kenapa?” Pak Dendy ikut bertanya. “Saya tak ingin mengusik kebahagiaan rumah tangga anak saya, Pak …” kataku. “Selama ini, Yuda dan Lina selalu terlihat bahagia dan rukun. Saya tak ingin menjadi biang kerok atau biang adu domba di antara mereka,” sahutk
Dinikahi Raja jalan tol 14Bab 14Tidak diterima lagi “Bu Ainun, saya masih harus menyelesaikan sesuatu dengan Ibu-ibu pengurus. Tunggu dulu ya?”Bu Atika memberitahu aku kalau beliau masih ada urusan, jadi pulangnya molor dan aku disuruh menunggu. Dari sini, aku kepikiran untuk mampir ke rumah Yuda untuk melihat Zidan. Aku sudah kangen banget, nggak bisa ditunda. “Baik, Bu. Saya mau mampir ke rumah teman. Nanti saya di bel, ya?” Kataku. Sengaja tidak berterus terang dengan Bu Atika jika aku mau mampir melihat cucuku. Takut banyak pertanyaan. Berjalan kurang dari sepuluh menit, akhirnya sampai juga aku di rumah anakku. Suasananya sepi, mobil milik Yuda juga tidak ada di garasi. Aku melihat jam di ponsel, masih setengah empat sore, itu artinya Yuda belum pulang dari kantor. Anakku itu memang sibuk, setiap hari pulangnya malam minim jam 8 malam. Aku maklum sebab hanya Yuda saja sebagai tulang punggung di keluarga. Dia harus bekerja keras, apa lagi sekarang ada bayi, pembantu dan bab
Dinikahi Raja jalan tol 15Bab 15Ibu tidak dendam POV Yuda“Ibu mana, kok nggak kelihatan?” Tanyaku ketika hari sudah menjelang senja. Aku baru pulang dari tugas luar kota tadi siang, sekitar jam satu an. Karena capek, aku ketiduran di kamar hingga sore. Setelah mandi, aku baru menyadari belum bertemu dengan Ibu semenjak menginjakkan kaki di rumah. Biasanya, Ibu kalau pergi mengaji, lepas Asar sudah pulang. Ini, sudah hampir Maghrib. “Apa Ibu nggak telepon Mas Yuda?” Tanya Lina, istriku kaget. Mata Lina sampai membulat. “Tidak. Memangnya kenapa?” Keningku mengerut. “Keterlaluan Ibu ini, padahal, dia bilang mau telepon dan minta izin sama Mas Yuda sendiri, lho. Iya, kan, Ma?” Lina melihat pada Mamanya. “Aduh, gimana sih, Bu Ainun itu … nanti dikira kita lagi yang nggak ngasih tau Yuda, padahal, Bu Ainun bilang mau telepon sendiri.” Bu Sofi, mertuaku berkata dengan wajah kecewa. “Jadi, gini, Mas …” Lina segera berpindah tempat duduk di sebelahku. “Ibu itu, ikut pesantren lansia