Dinikahi Raja jalan tol 11Bab 11Memilih Pergi Praktis seharian ini aku menganggur. Tak satupun pekerjaan diizinkan untuk aku sentuh. Mbak Surti sibuk sendiri dengan tetap mengawasiku sedangkan suster Rini bersama Zidan Selalu menghindar. Keduanya terlalu takut berinteraksi denganku. Semuanya berubah hanya dalam waktu satu malam. Sudah jam sepuluh pagi Lina baru keluar dari kamarnya. Menantuku sudah mandi dan berdandan cantik. Lina berjalan ke dapur untuk mencari air putih. Kebiasaan Lina agar tetap bugar adalah meminum banyak air putih. “Lina ….” aku memanggil sembari mendekat. Lina yang sedang meminum air dari gelas melirik. “Ibu mau tanya, kenapa Ibu tidak diperbolehkan membantu Bu Surti mengerjakan pekerjaan rumah?” Tanyaku dengan senyum di bibir. Aku tidak mau terkesan marah atau kesal sehingga menyinggung perasaan menantuku. “Kan, malah enak, Bu. Nggak kerja, nggak ngapa-ngapain, tinggal makan sama tidur doang. Baik, kan, aku?” Lina tersenyum mengejek. “Tapi, Lin, Ibu k
Dinikahi Raja jalan tol 12Bab 12Bertemu orang baik Aku mematung menatap sosok pria pengendara mobil. Itu kan, suaminya Bu Atika? Saat kaca mobil semakin turun, aku bisa melihat ada Bu Atika juga duduk disebelahnya. Mereka berdua seperti berbicara sesuatu padaku, tangan Bu Atika menunjuk nunjuk arahku. Sayangnya, aku tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan. Di samping mobilnya berhenti di seberang jalan, beberapa sepeda motor yang lewat juga mengganggu pendengaranku. Setelah jalanan sepi, pintu mobil sisi kemudi terbuka. Suaminya Bu Atika keluar dari mobil dan menyeberang kemari. Aku menatap dengan bingung, mau apa? “Bu Ainun, dipanggil istri saya,” kata suaminya Bu Atika setelah dekat. “Saya?” aku menunjuk dada sendiri karena ragu. “Iya.” Lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah itu mengangguk. Aku melihat ke mobil di seberang jalan. Bu Atika melihat ke sini dari balik kacamata hitamnya. Lambaian tangannya membuatku mengangguk. “Tapi, saya mau ke sana, Pak,” kataku
Dinikahi Raja jalan tol 13Bab 13Perempuan berhati emas “Jadi, Bu Ainun ini, memang sengaja pergi dari rumah?” Tanya Bu Atika menatap. “Iya, Bu,” jawabku lirih dengan tangis sesenggukan. Huhuhu, nafasku pun tersendat-sendat. Aku terpaksa bercerita dan berterus terang kepada Bu Atika dan suaminya Pak Dendy. Aku sudah tidak dapat berbohong lagi. Pertanyaan-pertanyaan dari Bu Atika membuatku tak berkutik. Kupikir, suami istri itu sudah curiga jika aku memiliki masalah dengan orang rumah. “Kenapa Bu Ainun nggak menceritakan kelakuan Menantu ibu sama Yuda?” Tanya Bu Atika lagi. Aku menggeleng. Memencet cuping hidung dengan kertas tissue, aku lalu membuang nafas. Kebanyakan menangis membuat hidungku berair. “Saya tidak berani, Bu.” “Kenapa?” Pak Dendy ikut bertanya. “Saya tak ingin mengusik kebahagiaan rumah tangga anak saya, Pak …” kataku. “Selama ini, Yuda dan Lina selalu terlihat bahagia dan rukun. Saya tak ingin menjadi biang kerok atau biang adu domba di antara mereka,” sahutk
Dinikahi Raja jalan tol 14Bab 14Tidak diterima lagi “Bu Ainun, saya masih harus menyelesaikan sesuatu dengan Ibu-ibu pengurus. Tunggu dulu ya?”Bu Atika memberitahu aku kalau beliau masih ada urusan, jadi pulangnya molor dan aku disuruh menunggu. Dari sini, aku kepikiran untuk mampir ke rumah Yuda untuk melihat Zidan. Aku sudah kangen banget, nggak bisa ditunda. “Baik, Bu. Saya mau mampir ke rumah teman. Nanti saya di bel, ya?” Kataku. Sengaja tidak berterus terang dengan Bu Atika jika aku mau mampir melihat cucuku. Takut banyak pertanyaan. Berjalan kurang dari sepuluh menit, akhirnya sampai juga aku di rumah anakku. Suasananya sepi, mobil milik Yuda juga tidak ada di garasi. Aku melihat jam di ponsel, masih setengah empat sore, itu artinya Yuda belum pulang dari kantor. Anakku itu memang sibuk, setiap hari pulangnya malam minim jam 8 malam. Aku maklum sebab hanya Yuda saja sebagai tulang punggung di keluarga. Dia harus bekerja keras, apa lagi sekarang ada bayi, pembantu dan bab
Dinikahi Raja jalan tol 15Bab 15Ibu tidak dendam POV Yuda“Ibu mana, kok nggak kelihatan?” Tanyaku ketika hari sudah menjelang senja. Aku baru pulang dari tugas luar kota tadi siang, sekitar jam satu an. Karena capek, aku ketiduran di kamar hingga sore. Setelah mandi, aku baru menyadari belum bertemu dengan Ibu semenjak menginjakkan kaki di rumah. Biasanya, Ibu kalau pergi mengaji, lepas Asar sudah pulang. Ini, sudah hampir Maghrib. “Apa Ibu nggak telepon Mas Yuda?” Tanya Lina, istriku kaget. Mata Lina sampai membulat. “Tidak. Memangnya kenapa?” Keningku mengerut. “Keterlaluan Ibu ini, padahal, dia bilang mau telepon dan minta izin sama Mas Yuda sendiri, lho. Iya, kan, Ma?” Lina melihat pada Mamanya. “Aduh, gimana sih, Bu Ainun itu … nanti dikira kita lagi yang nggak ngasih tau Yuda, padahal, Bu Ainun bilang mau telepon sendiri.” Bu Sofi, mertuaku berkata dengan wajah kecewa. “Jadi, gini, Mas …” Lina segera berpindah tempat duduk di sebelahku. “Ibu itu, ikut pesantren lansia
Saat Anakku Kaya 16Bab 16Makan siang bersama “Kita mau ke mana lagi, Bu?” Tanyaku pada Bu Atika. Aku heran, setiap hari diajak pergi-pergi. Hari ini, Bu Atika dan Suami mengajakku jalan-jalan lagi setelah dua hari lalu mereka mengajakku ke Jogja untuk menghadiri perayaan Ulang Tahun cucunya. Benar juga kata Mbak Fitri, ART di rumah Bu Atika, kalau majikannya itu hobi jalan-jalan. Ya, sih, Pak Dendy sudah pensiun, uangnya banyak, anak juga sudah pada mentas. Mau apa lagi selain beribadah dan menikmati hidup? Kalau ditawari begitu, aku juga mau.“Kita mau makan siang, Bu.” senyum Bu Atika mengembang. Yah , Begitulah. Pasangan suami istri ini, seringkali mencari tempat makan yang lagi viral lalu mendatangi untuk mencoba atau mereview ala mereka. Ada yang dijadikan favorit, ada yang ditinggal. “Makan siang di mana, Bu?” Tanyaku sambil berjalan di samping Bu Atika. “Di Semarang, Bu. Pokoknya ikut saja,” ujar Bu Atika dengan wajah berseri. Di mobil, Bu Atika mendapat panggilan vide
Saat Anakku Kaya 17Bab 17Masih Meratap sampai sakit Sudah satu bulan lebih empat hari, aku tinggal di rumah Bu Atika. Selama itu, hanya tiga kali anakku Yuda menelepon menanyakan kabarku. Setelah tau semuanya baik-baik saja, Yuda sudah tak lagi menelepon. Mungkin, di rumah sana sudah terlalu biasa dan semakin nyaman tanpa kehadiranku. Merasa tersingkir? Iya, tentu saja. Tapi, aku bisa apa? Yuda anakku juga sudah memiliki istri dan anak. Mertuanya, yaitu Bu Sofi juga sangat menyayangi Yuda. Kehilangan aku, tidaklah begitu berarti lagi untuk Yuda. Dada ini masih terasa perih jika kerinduan pada Zidan datang melanda. Mata ini masih terus mengucurkan air mata jika teringat Yuda, anakku. Ibu tidak pernah putus asa saat membesarkanmu, Nak … sampai kau sukses, sudah kaya, tapi, kau lempar ibu begitu saja tanpa perasaan. Bapakmu di akhirat pasti menangis sedih melihat kelakuanmu, melihat nasib ibumu. Huhuhu. Hari ini, aku merasa tidak enak badan. Tenggorokan rasanya kering dan gatal, in
Saat Anakku Kaya 18Bab 18Musibah dalam Keluarga Lina “Papa meninggal, Mas, huhuhu.”Lina langsung menangis keras saat mengadu kepadaku. Siang ini, saat sedang bekerja di kantor, Lina menelepon dan mengabarkan tentang kabar duka. Papanya yang sudah sakit keras sekian lama akhirnya meninggal. Bergegas aku izin pada atasan dan pulang. Menarik tubuh istriku, aku merebahkan kepala Lina di dada. Kubiarkan istriku ini menangis sejadi-jadinya. “Kita segera ke rumah Mama,” kataku. Tak menunggu lama, mobil pun meluncur menuju rumah Mama Mertua. Zidan tidak diajak, aku menyuruh suster Rini untuk menjaganya di rumah. Lina diam melamun di dalam mobil. Pipinya sembab dengan mata memerah. Nafas istriku masih tersendat karena tangis yang belum usai. Aku melirik sepintas lalu fokus menyetir. Jalanan sedikit lambat karena padat merayap. Sebenarnya, aku tidak begitu dekat dengan Mertua laki-laki atau Papanya Lina itu. Setelah menikah tiga tahun yang lalu, papanya Lina, yaitu Om Sapto, sakit-saki