"Nad!" ucap Wisnu dengan bibir bergetar. Wanita yang duduk di kursi roda itu hanya terdiam menjatuhkan tatapan datar pada Wisnu. Namun tatapan itu cukup membuat nyali Wisnu sebagai seorang lelaki menciut. Ia terlihat menjadi salah tingkah."A, apa yang sedang kamu lakukan di sini, Nad?" cetus Wisnu terbata. "Lama tidak jumpa Mas?" celetuk Nada datar. Ucapan itu membuat Wisnu menjadi semakin salah tingkah. "Rupanya dunia ini memang sangat sempit sekali, Mas. Aku tidak menyangka jika kita akan bertemu di sini," imbuh Nada dengan nada sinis."Hari ini adalah jadwalku untuk melepaskan perban di kakiku," imbuh Nada menarik kedua sudut bibirnya sinis.Wisnu mematung sesaat. Ia bergegas keluar dari dalam lift, karena ada beberapa orang yang juga hendak masuk."Aku akan mengantarkan kamu," celetuk Wisnu seperti orang yang kebingungan.Nada terdiam, menatap seksama lelaki yang berdiri di depanya. "Apakah kamu yakin, Mas?" celetuk Nada. Sepesekian detik Wisnu hanya terdiam. Lelaki itu bergegas
"Wak Sarto!""Wak Sarto!"Suara teriakan itu menggema memacah suara derasnya hujan yang turun. Petir yang menyambar saling bersahutan bersamaan dengan seruan nama Wak Sarto yang dikumandangkan oleh para penduduk kampung. Mereka bersorak mencari keberadaan lelaki yang memiliki gangguaan kejiwaan itu. Danil melonjak dengan wajah waspada. Suara panggilan itu terdengar hingga ke telinganya. "Sudah di sini saja!" cegah lelaki berambut gondrong mejatuhkan tatapan tagang pada Danil saat Danil terlihat semakin penasaran.Rasa kebingungan dan penasaran bercampur menjadi satu. Semetara suara itu terdengar semakin mendekat ke rumah tempat Danil berada saat ini. "Bagaimana kamu tau nama itu?" cetus Uwak Sarto mengalihkan tatapan Danil. Lelaki bertubuh jangkung itu terlihat cemas dan penasaran. Kedua matanya sedikit membuka."Aku akan melihat sebentar ke depan," ucap Danil hendak bangkit. Tapi sayangnya dengan cepat sebuah tangan menjegal pergelangan tangannya. "Tetap di sini, atau kamu akan m
"Danil, apa yang kamu lakukan?" sentak Tuan Sangir bangkit. Satu tangannya memegangi sudut bibirnya yang berdarah. Wajahnya terkejut menatap pada Danil. Danil mencengkram kerah baju yang Tuan Sangir kenakan. "Dasar pembunuh!" hardik Danil, rahangnya mengeras dengan wajah merah menyala. "Kamu pikir aku tidak tau apa yang sudah kamu lakukan selama ini?" sentak Danil, amarahnya semakin meledak-ledak."Tuan Sangir, Tuan Danil?" Hamzah datang berlari tergopoh-gopoh. Lelaki itu terkejut mendapati Danil yang hendak menjatuhkan tinjuan untuk yang kesekian kalinya pada Tuan Sangir."Cukup, Tuan Danil! Hentikan!" titah Hamzah. Suara berat lelaki itu menggema di seluruh penjuru. Ia menarik paksa tubuh' Danil, lalu menghempaskannya hingga terpelanting ke ujung beranda rumah. Sebelum tinjuannya mengenai Tuan Sangir.Tuan Sangir terengah-engah. Dadanya bergemuruh, bergerak naik turun. Cengkraman tangan Danil cukup menyayat kulit lehernya, mungkin terkena kuku-kuku tajam Danil. Darah segar mengalir
"Tidak tolong lepaskan aku!" teriak suara menggelegar itu mengalihkan semua tatapan mata ke arah ujung jalan menuju Villa. Seorang lelaki berambut gondrong yang hampir menutupi seluruh bagian wajahnya meronta tak kala seorang pekerja di perkebunan menarik tubuhnya paksa menuju halaman Villa."Lepaskan aku sialan!" sentak lelaki berambut gondrong yang sama sekali tidak dihiraukan oleh lelaki bertubuh tegap itu. "Tuan, saya mohon Tuan, lepaskan adik saya!" seru seorang wanita berjalan cepat mengekori langkah lelaki yang menyeret tubuh Wak Sarto. Dengan berlinang air mata, Ibu Fatimah terus memohon.Lelaki bertubuh tegap itu menghempaskan tubuh Wak Sarto di depan para lelaki berambut gondrong yang berbaris di depan halaman Villa.Danil memperhatikan dengan seksama lelaki dengan wajah yang tertutup oleh sedikit rambutnya itu. Perlahan Danil menurunkan langkah kakinya dari anak tangga menuju halaman. "Lelaki ini yang sudah mengatakannya kepadaku," lirih Danil mengacungkan jari telunjukn
Matahari telah sepenggalan naik. Dokter pun sudah mengizinkan Umi untuk dibawa pulang setelah melakukan pengecekan pada keadaannya. Tapi Asma masih belum ingin beranjak dari dalam ruangan. Wajahnya terlihat gusar, seperti sedang menunggu seseorang.Umi mendesah lesu. Wanita yang Menyadarkan tubuhnya pada ujung ranjang itu menatap pada Asma. "Bagaimana kalau kita pulang saja duluan, As?" sela Umi memecah keheningan yang tercipta.Wanita yang duduk pada bangku sofa yang berada di dalam ruangan itupun mengalihkan tatapannya. "Tapi kemarin Bang Wisnu sudah berjanji akan menemani kita pulang, Bu!" keluh Asma penuh keyakinan. "Sepertinya Tuan Wisnu ada urusan mendadak Nyonya. Jadi beliau tidak bisa menemani Nyonya," celetuk Hamzah yang sudah menunggu lebih dari tiga puluh menit yang lalu untuk mengantarkan Umi dan Asma kembali ke kampungnya.Asma mengalihkan tatapannya pada Hamzah. Ada kekecewaan yang terlukis di sana. Namun ia tetap berharap jika Wisnu akan datang menemuinya. Ia yakin Wis
Hari berlalu begitu cepat. hampir satu minggu setelah kepulangan Asma dari Jakarta Wisnu tidak kunjung kembali. Membuat wanita itupun semakin khawatir. Apalagi Akbar bersama dengan Wisnu. Nomor ponsel Wisnu pun sama sekali tidak bisa dihubungi, semakin membuat Asma dilanda ketakutan.Pagi-pagi sekali Asma telah mengemasi barang-barangnya. Ia yakin pasti ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya."As, apakah kamu yakin akan pergi ke Jakarta?" tanya Umi yang duduk pada bibir ranjang. Sejak beberapa menit yang lalu Wanita yang masih terlihat lemas itu terus memperhatikan Asma. "Iya Umi, aku harus mencari Akbar dan Bang Wisnu. Aku yakin pasti Abang membawa Akbar ke Jakarta. Karena Tuan Sangir sangat menyayangi cucunya," tutur Asma tanpa menolah sedikitpun kepada Umi. Ia sibuk menyiapkan beberapa potong baju yang ia masukkan ke dalam tasnya."Kenapa kamu tidak menunggunya pulang, As?" lirih Umi."Tidak Umi, aku sudah tidak bisa bersabar lagi." Asma menoleh sesaat pada Umi.Umi
Langkah Asma tertatih saat turun dari bus. Beruntungnya ada Ustaz Azhar yang setia menemaninya. Lelaki itu menuntun Asma duduk pada bangku yang berada di terminal kota."As, kamu makan dulu ya! Dari tadi sore kamu belum makan," tutur Ustaz Azhar terlihat khawatir. Asma menggeleng lembut. Wajahnya kini terlihat sangat pucat dengan tatapan menerawang jauh. Mungkin karena seharian perutnya belum terisi makanan."Tidak, As, kamu harus makan," ucap Ustaz Azhar. "Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa," imbuhnya. Kekhawatiran itu terlihat jelas dari tatapan Ustaz Azhar kepada Asma."Tunggu di sini! Aku akan beli makan untuk kamu," ucap Ustaz Azhar menyentuh lembut bahu Asma. Sebelum ia melangkahkan kakinya cepat menuju kedai yang terletak di terminal bus.Beberapa saat kemudian, Ustaz Azhar kembali dengan nasi bungkus yang ia beli serta sebotol air mineral. Ia segera membuka nasi dan mulai menyuapkannya pada Asma."Tidak, Ustaz, biar aku makan sendiri saja," tolak Asma. Ia mengambil alih sendok
BRUAKPintu pagar rumah mewah Tuan Sangir dibanting kasar oleh petugas keamanan rumah tersebut. Asma diusir paksa karena mengamuk di dalam rumah.Bruak! Bruak!"Buka pintunya! Cepat buka pintunya! kembalikan anakku," teriak Asma memukuli pagar tinggi rumah Tuan Sangir. Tenaganya mendadak menjadi sangat kuat sekali. Ustaz Azhar hampir saja kualahan menahan tubuh Asma yang terus mengamuk."Asma tenang, As!" Ustaz Azhar berusaha untuk menenangkan Asma. Ia menyentuh lembut baju Asma yang berguncang hebat."Mereka telah menipuku, Ustaz! Mereka telah mengambil anakku!" Tangis Asma memecah keheningan malam. Sayangnya pengendara yang berlalu lalang di jalan besar rumah Tuan Sangir hanya memperhatikan Asma sekilas.Tidak terasa sudut mata Ustaz Azhar telah basah. Dengan cepat lelaki itu mengusap sudut matanya. Satu tangannya memutar tubuh Asma ke arahnya."Sabar, As, sabar! Tidak ada gunanya kamu seperti ini." Ustaz Azhar menahan tubuh Asma yang berguncang sekuat mungkin. Perlahan tenaga wanit
Tidak ada yang bisa menyembuhkan kerinduan kecuali pertemuan. Segalanya nelangsa sirna, saat raga mampu mendekap tubuh yang terkasih secara sempurna. Jarak yang membelah, kini hanya menjadi sepenggal cerita manis. Melebur menjadi sebuah kisah bahagia."Ibu!" Gala terisak di dalam pelukan Nada. Tangis dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah itu pecah. Menumpahkan segala dahaga yang selama ini tertahan."Maafkan ibu, Gala!" lirih Nada di sela-sela tangisannya. "Jangan tinggalkan ibu!" pinta Nada, memohon.Gala mengusap lembut pipi Nada yang basah oleh air mata. Menjatuhkan tatapan teduh pada wanita yang lebih tinggi darinya itu."Tidak Bu, aku tidak akan meninggalkan ibu!" ucap Gala, suaranya terdengar sumbang. Karena terlalu banyak menangis.Wisnu yang mematung di halaman rumah hanya terdiam seraya menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum kecil. Ia tidak menyangka jika darah dagingnya bisa sesayang itu pada Nada. Wanita yang telah ia benci selama ini._____Satu bulan telah berl
Nada memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Melihat ke arah wanita dengan setelan seragam kerja yang sedang menatap ke arahnya."Saya sedang mencari pemilik apartemen ini?" Nada mengarahkan jari telunjuknya pada pintu apartemen yang ada di depannya."Saya pemilik apartemen ini!" jawab Hanum dengan tatapan sedikit bingung. Tetapi entah mengapa ia merasa pernah melihat sosok Nada sebelumnya. Tetapi lupa di mana ia pernah melihatnya.Kepulan asap putih dari gelas yang berada di depan Nada menyeruak ke udara. Aroma terapi Jasmine sedikit menghilangkan perasaan khawatir yang sejak tadi melanda hati Nada."Saya Nada, saya mencari keberadaan Gala?" seloroh Nada setelah meletakkan gelas teh yang baru saja ia sesap.Wajah Hanum berubah sesaat. Tatapan yang sulit sekali untuk Nada artikan."Apakah anda orang itu?" celetuk Hanum menebak. Puzzle kisah cinta segitiga Wisnu, Asma dan wanita yang duduk di sudut bangku ruangannya telah sempurna. Sekarang ia bisa membingkainya dengan baik.Dari pert
Cuaca panas tidak hanya terjadi di kota Medan. Hampir di seluruh kota yang berada di Indonesia. Hal seperti ini akan terjadi selama kurang lebih enam bulan ke depan. Hingga musim kemarau berakhir dan berganti dengan musim penghujan.Pengacara Arif membawa Nada menuju sebuah restauran cepat saji yang berada di pusat kota. Sebuah restoran yang menjual makan khas Padang."Nyonya mau makan apa?" ucap pengacara Arif mengalihkan tatapannya dari buku menu pada Nada. "Terserah Pak Arif saja," balas Nada tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja. Netranya terus mengawasi Sekertaris Arif yang semakin lama menjadi salah tingkah oleh tatapan Nada.Setelah memesan makanan lelaki itu mulia dengan tujuannya untuk mendatangi Nada ke pulau seberang.Wajah pengacara yang tidak lagi muda itu berubah lesu, penuh dengan penyesalan. Sesekali ekor matanya melirik pada Nada yang sejenak tadi mengawasinya dengan tatapan tidak suka."Saya minta maaf, Nyonya Nada. Karen
Tubuh Gala terhuyun jatuh di lantai. Wisnu tidak sempat menghalangi peluru yang hendak menembus dada Gala. Timah panas itu melesat cepat dan berhenti tepat di jantung Gala."Gala, bangun Gala!" Wisnu menarik tubuhnya Gala di atas pangkuannya. Dar*h dengan cepat menyebar pada bagian dada Gala yang tertembus timah panas. Kemeja putih yang Gala kenakan, berubah warna menjadi merah dar*h"Polisi, tolong!" teriak Wisnu panik.Wajah Danil mendadak berubah cemas. Para polisi yang sejak tadi memang mengintai cepat mengeluarkan diri dari persembunyiannya. "Sialan!" decak Danil meradang. Beberapa lelaki berseragam kepolisian muncul satu persatu masuk ke dalam ruangannya."Gala, bangun Gala!" Wisnu mengucang tubuh' Gala. Nafasnya yang mulia melemah membuat Wisnu semakin takut.Kedipan mata Gala melemah. Sakit yang mendadak menyiksanya, perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya."Ibu ....!" lirih Gala sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya dan tidak sadarkan diri."Gala, bangun!" teriak Wisnu
Memilih tidak menceritakan apapun pada Wisnu adalah pilihan Gala. Sekalipun lelaki itu terus mendesaknya dan hampir seperti memaksa. Tetapi Gala tetap menyimpan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan Danil sendirian.Berita kematian Gala semakin menyebar luas. Setelah sebulan berlalu di temukannya mobil yang Gala kendarai meringsek ke dalam jurang. Meskipun jenazah Gala tidak di temukan, tetapi media membuat berita sedemikian rupa. Jurang yang dalam menjadi dugaan tempat jasad Gala berada. Apalagi di bawah jurang itu ada aliran sungai yang cukup deras. Membuat pihak sars menyudahi pencarian setelah semua usaha tidak mendapatkan hasil.Selama pemulihan Gala memilih bersembunyi di rumah Wisnu. Hanya lelaki itulah yang menjadi andalan Gala saat ini. Menghilang dari Danil agar lelaki itu senang karena mengetahui jika Gala telah tiada."Sudah tidak terlalu sakit, Hanum!" suara yang terdengar seperti rengekan itu menghentikan langkah kaki Wisnu yang hendak menuju pintu utama rumah.Ke
Aroma anyir menusuk pangkal hidung Wisnu. Perlahan setelah kesadarannya kembali. Tetapi entah mengapa kepalanya terasa sangat sakit sekali. Tanpa sadar, tangan kanan Wisnu memegangi sudut pelipisnya. Dan ia bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari pelipis lelaki itu dan sangat perih sekali.Wisnu membiarkan tubuhnya terbaring di atas rerumputan beberapa saat. Rekaman kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu berputar kembali di dalam kepalanya. Bergegas ia bangkit saat teringat dengan Gala dan mobil yang terperosok hampir masuk ke dalam jurang."Gala, di mana dia?" Wisnu bangkit dengan wajah panik duduk di atas rerumputan. Tatapannya menyapu ke sekeliling tebing. Tetapi ia tidak melihat keberadaan Gala. Hanya sebuah mobil yang terangkut pada pohon yang ada di bibir jurang.Perasaan khawatir seketika menguasai Wisnu. Seingatnya sebelum mobil yang kini tersangkut pada pohon yang berada di tepi jurang itu meringsek, Wisnu telah mendorong tubuh Gala ke arah pintu. Tetapi dia tidak
Setelah Danil menolak ajakan sarapan paginya, Gala terpaksa menikmati serapan itu sendirian. Sebenarnya ia tahu, pasti Danil saat itu sangat marah karena niatannya untuk menyingkirkan Gala tidak berhasil. Sementara nasib Bibik, Gala belum tahu pasti. Yang jelas wanita itu pasti kena hukuman berat. Begitu dugaan Gala.Ekor mata Gala melirik pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Masih ada waktu yang cukup lama untuk ia berangkat ke kantor.Rasa penasaran masih menganggu pikiran Gala. Tegang surat wasiat yang Nada katakan kepadanya. Jika sebenarnya dirinyalah pewaris utama seluruh harta Tuan Seno. Tetapi sampai detik ini, Gala tidak menemukan di mana lelaki bertubuh jangkung itu menyembunyikan surat wasiat itu.Cukup pelan Gala menyeret langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Danil. Dugaan Gala kali ini, Danil menyembunyikan surat wasiat itu di dalam kamarnya. Hanya ada dua tempat di rumah itu yang memungkinkan Danil menyimpan sesuatu. Yaitu ruang ke
Bergegas Gala turun dari bangku. Memperhatikan dengan seksama kucing berwarna orange yang mendadak kejang dengan mulut berbusa. Melihat dari tanda-tandanya kucing itu sepertinya mengalami keracunan."Tidak salah lagi!" guman Gala yakin dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Jika ada seseorang yang menginginkannya mati.Gala bangkit berdiri. Tatapannya tajam melihat ke arah makanan yang tersaji di atas meja makan. Beruntungnya belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulut Gala. "Aku harus lebih berhati-hati lagi!" monolog Gala dengan tatapan serius.____Danil menatap terkejut saat baru kembali ke rumah. Pemuda tampan itulah yang membukakan pintu rumah untuknya. Keringat dingin seketika membahasi sekujur tubuh Danil.Sepersekian detik Danil mematung di depan pintu rumah. Menatap pada Gala yang tengah melemparkan senyuman kepadanya dengan wajah yang sedikit malas khas seorang yang baru bangun dari tidur."Ayah, kenapa pulang larut malam sekali?" seloroh Gala terdengar malas. Ke
"Gala kamu kenapa?" seloroh Wisnu.Gala terseret kembali dari lamunannya. Sekarang ia sudah menemukan siapa wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Jawaban yang sudah sangat jelas sekali.Tidak terasa sudut mata Gala pun telah basah. Cepat ia mengusap genangan itu agar tidak berjejak. Ia tidak ingin Wisnu melihat hal itu.Bagaimana tidak sakit, menemukan wanita yang telah melahirkannya tetapi dalam perpisahan yang menyakitkan. Hanya sebait kenangan yang bisa Gala ingat. Jika Asma juga tidak kalah sayangnya kepadanya. Hingga hampir gila saat Nada mengambil Gala dari kehidupannya."Aku banyak sekali bersalah pada Asma." Helaan nafas Wisnu terdengar jelas. Suaranya yang menggelar terdengar penuh kesedihan.Kerongkongan Gala terasa kering. Hanya sedikit ia menelan salivanya. Selebihnya, tatapan matanya tidak beralih sedikitpun dari Wisnu."Memangnya kesalahan apa yang sudah Om Wisnu lakukan?" ucap Gala."Banyak Gala. Kesalahanku sudah tidak termaafkan oleh Asma." Tatapan mata Wisnu meli