"Tidak tolong lepaskan aku!" teriak suara menggelegar itu mengalihkan semua tatapan mata ke arah ujung jalan menuju Villa. Seorang lelaki berambut gondrong yang hampir menutupi seluruh bagian wajahnya meronta tak kala seorang pekerja di perkebunan menarik tubuhnya paksa menuju halaman Villa."Lepaskan aku sialan!" sentak lelaki berambut gondrong yang sama sekali tidak dihiraukan oleh lelaki bertubuh tegap itu. "Tuan, saya mohon Tuan, lepaskan adik saya!" seru seorang wanita berjalan cepat mengekori langkah lelaki yang menyeret tubuh Wak Sarto. Dengan berlinang air mata, Ibu Fatimah terus memohon.Lelaki bertubuh tegap itu menghempaskan tubuh Wak Sarto di depan para lelaki berambut gondrong yang berbaris di depan halaman Villa.Danil memperhatikan dengan seksama lelaki dengan wajah yang tertutup oleh sedikit rambutnya itu. Perlahan Danil menurunkan langkah kakinya dari anak tangga menuju halaman. "Lelaki ini yang sudah mengatakannya kepadaku," lirih Danil mengacungkan jari telunjukn
Matahari telah sepenggalan naik. Dokter pun sudah mengizinkan Umi untuk dibawa pulang setelah melakukan pengecekan pada keadaannya. Tapi Asma masih belum ingin beranjak dari dalam ruangan. Wajahnya terlihat gusar, seperti sedang menunggu seseorang.Umi mendesah lesu. Wanita yang Menyadarkan tubuhnya pada ujung ranjang itu menatap pada Asma. "Bagaimana kalau kita pulang saja duluan, As?" sela Umi memecah keheningan yang tercipta.Wanita yang duduk pada bangku sofa yang berada di dalam ruangan itupun mengalihkan tatapannya. "Tapi kemarin Bang Wisnu sudah berjanji akan menemani kita pulang, Bu!" keluh Asma penuh keyakinan. "Sepertinya Tuan Wisnu ada urusan mendadak Nyonya. Jadi beliau tidak bisa menemani Nyonya," celetuk Hamzah yang sudah menunggu lebih dari tiga puluh menit yang lalu untuk mengantarkan Umi dan Asma kembali ke kampungnya.Asma mengalihkan tatapannya pada Hamzah. Ada kekecewaan yang terlukis di sana. Namun ia tetap berharap jika Wisnu akan datang menemuinya. Ia yakin Wis
Hari berlalu begitu cepat. hampir satu minggu setelah kepulangan Asma dari Jakarta Wisnu tidak kunjung kembali. Membuat wanita itupun semakin khawatir. Apalagi Akbar bersama dengan Wisnu. Nomor ponsel Wisnu pun sama sekali tidak bisa dihubungi, semakin membuat Asma dilanda ketakutan.Pagi-pagi sekali Asma telah mengemasi barang-barangnya. Ia yakin pasti ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya."As, apakah kamu yakin akan pergi ke Jakarta?" tanya Umi yang duduk pada bibir ranjang. Sejak beberapa menit yang lalu Wanita yang masih terlihat lemas itu terus memperhatikan Asma. "Iya Umi, aku harus mencari Akbar dan Bang Wisnu. Aku yakin pasti Abang membawa Akbar ke Jakarta. Karena Tuan Sangir sangat menyayangi cucunya," tutur Asma tanpa menolah sedikitpun kepada Umi. Ia sibuk menyiapkan beberapa potong baju yang ia masukkan ke dalam tasnya."Kenapa kamu tidak menunggunya pulang, As?" lirih Umi."Tidak Umi, aku sudah tidak bisa bersabar lagi." Asma menoleh sesaat pada Umi.Umi
Langkah Asma tertatih saat turun dari bus. Beruntungnya ada Ustaz Azhar yang setia menemaninya. Lelaki itu menuntun Asma duduk pada bangku yang berada di terminal kota."As, kamu makan dulu ya! Dari tadi sore kamu belum makan," tutur Ustaz Azhar terlihat khawatir. Asma menggeleng lembut. Wajahnya kini terlihat sangat pucat dengan tatapan menerawang jauh. Mungkin karena seharian perutnya belum terisi makanan."Tidak, As, kamu harus makan," ucap Ustaz Azhar. "Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa," imbuhnya. Kekhawatiran itu terlihat jelas dari tatapan Ustaz Azhar kepada Asma."Tunggu di sini! Aku akan beli makan untuk kamu," ucap Ustaz Azhar menyentuh lembut bahu Asma. Sebelum ia melangkahkan kakinya cepat menuju kedai yang terletak di terminal bus.Beberapa saat kemudian, Ustaz Azhar kembali dengan nasi bungkus yang ia beli serta sebotol air mineral. Ia segera membuka nasi dan mulai menyuapkannya pada Asma."Tidak, Ustaz, biar aku makan sendiri saja," tolak Asma. Ia mengambil alih sendok
BRUAKPintu pagar rumah mewah Tuan Sangir dibanting kasar oleh petugas keamanan rumah tersebut. Asma diusir paksa karena mengamuk di dalam rumah.Bruak! Bruak!"Buka pintunya! Cepat buka pintunya! kembalikan anakku," teriak Asma memukuli pagar tinggi rumah Tuan Sangir. Tenaganya mendadak menjadi sangat kuat sekali. Ustaz Azhar hampir saja kualahan menahan tubuh Asma yang terus mengamuk."Asma tenang, As!" Ustaz Azhar berusaha untuk menenangkan Asma. Ia menyentuh lembut baju Asma yang berguncang hebat."Mereka telah menipuku, Ustaz! Mereka telah mengambil anakku!" Tangis Asma memecah keheningan malam. Sayangnya pengendara yang berlalu lalang di jalan besar rumah Tuan Sangir hanya memperhatikan Asma sekilas.Tidak terasa sudut mata Ustaz Azhar telah basah. Dengan cepat lelaki itu mengusap sudut matanya. Satu tangannya memutar tubuh Asma ke arahnya."Sabar, As, sabar! Tidak ada gunanya kamu seperti ini." Ustaz Azhar menahan tubuh Asma yang berguncang sekuat mungkin. Perlahan tenaga wanit
Kepulan aroma lezat dari masakan yang baru saja matang menyerukan ke udara. Nada mencoba makanan yang baru saja ia masak seujung sendok. "Lumayan!" monolognya pada dirinya sendiri. Ini adalah kali pertama ia mencoba memasak untuk Wisnu. Karena selama ini pekerjaan itu telah dilakukan oleh para pembantu yang berada di rumah Tuan Sangir. Hampir semua yang melayani Wisnu adalah Bik Tum. Kecuali soal ranjang.Dering ponsel yang berada di atas meja makan mengalihkan tatapan Nada untuk sesaat. Ia melirik benda pintar yang sedang berdering di sana lalu mematikan kompornya."Ayah!" Lirih Nada saya membaca nama Tuan Sangir pada layar ponsel yang berkedip. "Halo," sapa Nada pada Tuan Sangir yang berada di balik telepon setelah menekan tombol hijau."Bagaimana kabar kalian di Bali, Nad?" tanya Tuan Sangir terdengar begitu bersemangat.Nada membuang nafas berat. Wajahnya berubah lesu. Ia menarik tubuhnya duduk pada bangku meja makan. "Sepertinya Mas Wisnu belum bisa melupakan wanita itu, ayah!
Sejak tadi Nada terus mengawasi lelaki yang duduk di depan sofa televisi. Tidak ada hal yang lain yang Wisnu lakukan sepanjang hari. Kecuali duduk di depan layar televisi yang menyala dengan benak yang entah kemana. Ia akan tersadar jika suara tangisan Akbar menggema, atau Nada membutuhkan bantuannya.Kedua mata Nada tidak berkedip sama sekali. Ia masih berdiri di ambang pintu memikirkan ucapan Danil. Apa yang lelaki itu katakan memang ada benarnya. Percuma Wisnu kini ada berada bersama Nada, jika hati Wisnu masih bersama Asma. Hati Nada semakin diremas-remas dan terasa sakit sekali.Perlahan Nada menyeret langkah kakinya gontai menghampiri Wisnu. Lelaki itu tergeragap saat tiba-tiba Nada menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku di sampingnya."Nad, kamu kapan pulang?" seloroh Wisnu gugup. Memaksakan senyuman pada kedua sudut bibirnya menyambut kedatangan Nada."Berurusan, Mas!" jawab Nada dengan suara lesu."Mana Akbar, Mas?" tanya Nada yang tidak menemukan balita itu bersama Wisnu."A
"Makanlah, As! Jangan siksa dirimu seperti ini," pinta Umi menyodorkan makanan ke dekat bibir Asma. Netranya penuh dengan embun yang tertahan. Wanita dengan kerudung yang berantakan itu hanya terdiam. Menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Bibirnya semakin pucat, dengan lingkaran hitam yang memenuhi pada sekeliling matanya.Umi membuang nafas berat. Hatinya semakin hancur melihat keadaan Asma. Setelah ia mengetahui tentang perjanjian antara Wisnu dan Tuan Sangir, Asma menjadi wanita yang seperti kehilangan kewarasan. Ia membisu dan tidak mau makan. Sepanjang hari ia hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Sesekali ia mengamuk, berteriak menyerukan nama putra semata wayangnya."Umi!" Wanita bergamis hitam itu terkejut saat sebuah tangan menyadarkannya dari lamunan. Ia menoleh pada Rani yang berdiri di belakang punggungnya."Biar aku saja yang menyuapkan makan untuk Mbak Asma," ucap Rani. Umi mengdongak menatap pada Rani. "Tidak usah, Ran. Biar Umi saja yang menyuapi Mbak kamu,