Degupan jantung Wisnu berpacu dua kali lebih cepat. Tatapannya sedikitpun tidak beralih dari lelaki bertubuh jangkung yang sedang membuka tiap lembar buku catatan milik Tuan Sangir. Wisnu semakin penasaran, karena tidak ada ekspresi apapun yang Danil tunjukan. Jika lelaki itu tidak tahu apapun tentang masalalu yang telah terjadi. Setidaknya ada ekspresi terkejut yang muncul di wajahnya. Plak!Suara buku yang ditutup dengan keras membuat Wisnu tergeragap. Ia menarik tubuhnya duduk tegap, di depan Danil. Tetapi kegusaran terlihat begitu jelas di wajahnya. Sekalipun ia berusaha untuk menutupinya perasaan tidak karuan itu."Danil apakah ...!""Aku sudah tahu semua ini sejak dulu," ucap Danil bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Kedua mata Wisnu membulat penuh, seperti tidak percaya dengan kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Danil."Ba-bagaimana bisa?" Wisnu terbata. Ia merasa ditipu mentah-mentah oleh Tuan Sangir dan Danil yang selama ini sudah merahasiakan darinya."Te
Danil menjingkat saat Bianca mengopres sudut bibirnya yang memar. Wajahnya mendelik kesal menatap pada Bianca."Pelan-pelan Bianca!" cetus Danil dengan nada setengah menyentak."Tadi juga sudah pelan-pelan, Danil!" protes janda muda itu menjauhkan kompres dari wajah Danil untuk sesaat. "Lagian ngapain sih kalian ribut. Sudah pada tua juga masih suka berantem," gerutu Bianca melanjutkan kalimatnya.Danil berdesis. Jemarinya memijat-mijat kecil pada bagian sudut bibirnya yang terasa perih. "Coba tadi kalau security tidak buru-buru datang ke sini pasti ada korban yang harus dilarikan ke rumah sakit," oceh Bianca. Ia kembali mengompres sudut bibir dan pelipis Danil yang terluka. Tinjuan Wisnu cukup membuat bibir lelaki itu sedikit koyak."Memang sebenarnya apa sih yang kalian perebutkan?"Danil menarik tubuhnya menjauh dari Bianca. Matanya mendelik, menatap tajam. "Memangnya mulut kamu itu tidak bisa diam apa?" cebik Danil meradang. "Bibirku ini sudah sangat sakit sekali, jadi jangan mem
Suara teriakan dan tangisan Natasya membuat Wisnu terhenyak. Lelaki itu segera melepaskan genggaman tangan Asma dan berhambur menuju ke arah pintu kamar."Astagfirullahaldzim, Natasya!" Wisnu berdecak dengan wajah terkejut. Degupan jantungnya berpacu dua kali lebih cepat, melihat Natasya bersimpuh di atas lantai, bersimbah darah tidak jauh dari depan pintu kamar Natasya."Mas, cepat tolong aku Mas!" rengek Natasya berurai air mata. Ia sadar jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada dirinya."Ya Allah, Natasya. Bagaimana bisa semua ini terjadi!" Wisnu berlari cepat menghampiri Natasya.Lelaki berlesung pipi itu tampak bingung. Ia segera menggendong Natasya ke dalam pelukannya dan membawa wanita itu menuju mobil yang terparkir di garasi rumah."Mas, cepat Mas! Ini sangat sakit sekali," rengek Natasya merintih. Wajahnya meringis menahan kesakitan. Satu tangannya memegangi bagaian punggungnya."Ah, sial!" Wisnu berdecak. Ia lupa juga telah mencabut kunci mobilnya."Tunggu Nat, aku ambil
"Pasien masih belum sadarkan diri. Natasya mengalami banyak sekali pendarahan. Beruntungnya kami masih bisa menolong keduanya." Dokter Gia menjeda ucapannya. Menjatuhkan tatapan serius pada Wisnu. "Saat pertama kali melihat keadaan Natasya, saya pikir saya harus melakukan pilihan. Untuk menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungannya atau justru menyelamatkan Natasya. Puji syukur, Tuhan masih memberikan kesempatan untuk saya menyelamatkan keduanya." Senyuman Dokter Gia terlukis pada wajahnya. Begitu juga dengan Wisnu yang tanpa sadar membalas senyuman Dokter Gia dengan wajah lega."Lalu kapan Natasya akan sadar, Dok?" tanya Wisnu.Sejenak Dokter Gia terdiam dengan wajah berpikir. "Mungkin besok pagi!" ucapnya seraya mengendikan bahunya. "Saat ini Natasya masih berada dalam pengaruh obat.""Baiklah, terimakasih Dokter, sudah menyelamatkan anak dan istri saya," tutur Wisnu seraya mengulurkan tangannya kepada Dokter Gia.Wanita berkacamata tebal itu mengangguk lembut. Membalas uluran t
"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas tindakan yang anak saya lakukan." Wanita berseragam putih yang berdiri di depan Danil membungkukkan tubuhnya beberapa kali. Penyesalan tergambar jelas dari wajah wanita yang hampir seluruh rambutnya dipenuhi oleh uban itu. "Iya Dokter Mahira. Tidak masalah. Justru aku sangat berterima kasih kepada anda. Atas sikap anda yang tegas dan tanpa pandang bulu untuk menegakkan keadilan." Danil menjeda ucapannya. Menjatuhkan tatapan lekat pada Dokter Mahira. Pemilik rumah sakit tempat Natasya melahirkan.Helaan nafas Dokter Mahira terdengar berat. Perlahan ia mengangkat wajahnya menatap pada Danil yang berdiri tidak terlalu jauh' dari tempatnya berada."Saya hanya tidak ingin rumah sakit yang baru Dokter Mahira rintis ini akan mendapatkan citra buruk. Jika saja kejadian seperti ini benar-benar akan terjadi." Danil melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap tajam pada Dokter Mahira."Iya Tuan Danil. Saya benar-benar tidak tahu jika putri saya Gi
Plak!Telapak tangan Natasya memanas. Giginya bergemelutuk kesal. Sorot matanya tajam tertuju pada Dokter Gia."Maafkan aku Nat! Aku tidak bisa melakukannya. Ibu tahu semua ini!" Mohon Dokter Gia bersungguh-sungguh."Aku tidak mau tahu kamu harus mengembalikan uang yang sudah aku berikan kepadamu!" decih Natasya meradang. Seraya menggendong bayi yang masih merah di dalam pelukannya.Wanita berseragam putih dengan kacamata tebal itu hanya terdiam. Menyembunyikan wajahnya dari balik helaian rambut yang ia biarkan tergerai. Bahunya merosot, lesu."Aku akan mengembalikan uang itu!" ucapnya setelah beberapa saat terdiam. "Tetapi tidak sekarang!" suara Dokter Gia terdengar lirih.Sebelum Dokter Gia melakukan pekerjaannya, Natasya sudah memberikan dua puluh persen dari uang yang sudah ia janjikan pada Dokter Gia. Tapi sayangnya rencana itu diketahui oleh Danil yang selama ini terus mengawasi gerak-gerik Natasya."Kapan? Kapan kamu akan mengembalikannya? Jika kamu tidak segera mengembalikanny
Kedua mata Danil memanas. Waktu seolah berhenti berputar. Tangannya yang masih memegangi secarik kertas hasil tes DNA itu gemetaran."Tuan Danil, are you oke?" seloroh Dokter Antoni membuat Danil tergeragap."Oh, iya, aku baik-baik saja!" jawab Danil cepat. Jari telunjuknya mengusap sudut matanya yang terasa basah. Lalu meletakan secarik kertas yang berada di tangannya di atas meja."Jadi apakah itu berarti pemilik DNA ini adalah anak saya, Dok?" Danil menegaskan kerisauan yang melanda hatinya.Dada Danil bergemuruh. Sesak dan haru bercampur menjadi satu memenuhi dadanya. Antara tidak percaya dengan hasil yang Dokter Antoni katakan kepadanya.Dahi Dokter Antoni berkerut seketika. "Apakah Tuan Danil tidak mengetahui pemilik DNA ini?" lelaki itu menjatuhkan tatapan penasaran. Dari pernyataan yang Danil lontarkan, terdengar sangat ambigu sekali. "Lalu hasil tes DNA ini milik siapa?" Dokter Antoni menaikan kedua alisnya."Oh, tidak!" Jawab Danil cepat. Ia lupa jika Dokter Antoni tidak meng
"Apa kamu hamil anakku?" ucap Danil terkejut. "Tidak, itu tidak mungkin terjadi!" tegas Danil menggelengkan kepalanya.Wajah Bianca tercekat, saat senyuman sinis justru tersungging dari bibir Danil. Sesaat Danil membuang tatapannya dari Bianca yang mematung di hadapannya dengan wajah menegang."Ini anak kamu Danil! Kenapa kamu ...!" Bianca terbata menjelaskan pada Danil. Butiran bening berjatuhan membasahi pipinya menanbah sebuah keyakinannya."Apa kamu bilang, anakku?" Danil menyambar alat penguji tes kehamilan yang berada di tangan Bianca."Danil!" sentak Bianca terkejut dengan tindakan Danil. Kedua mata wanita itu membulat penuh."Anakku? Bagaimana bisa kamu mengatakan jika janin itu adalah anakku?" Danil mendekatkan wajahnya pada Bianca. Tatapannya tajam, seperti ingin menguliti wanita bertubuh sintal yang berdiri di depannya saat itu juga."Bisa saja janin yang ada di dalam rahim kamu bukanlah anakku. Bagaimana jika janin itu adalah anak dari lelaki lain yang tidur bersama kamu!"