Perlahan lengan kekar yang menahan tubuh Natasya menarik tubuhnya bangkit berdiri tegak. Ia pikir, dirinya akan jatuh. Ternyata takdir berkata lain."Kamu tidak apa?" Suara tidak asing itu kembali terdengar. Membuat debaran dalam jantung Natasya berdegup semakin kencang. Tapi ia masih setia memejamkan matanya. Ragu untuk membuka, takut jika seseorang yang telah menolongnya adalah lelaki yang tidak asing itu."Nat, kamu tidak apa-apa, kan?" Seseorang menyentuh bahu Natasya. Setelah suara Desta masuk ke dalam indra pendengarannya.Perlahan Natasya membuka matanya. Benar saja, suara itu memang milik lelaki yang tidak asing seperti yang ia duga."Sayang, ayo!" ucap suara manja seorang wanita yang melingkarkan tangannya pada lengan kekar Danil.Sejenak Danil dan Natasya saling bersitatap. Entah mengapa melihat Danil sedang bersama wanita berambut kecoklatan itu hatinya semakin perih. Selama ini lelaki bertubuh jangkung itu sangat tergila-gila kepada Natasya. Apapun akan Danil berikan pada
"Bik, halo!" Wisnu menaikkan sedikit nada suaranya. Saat suara Bibik menghilang di balik telepon. Sambungan telepon itu mendadak sudah putus. Wajah Wisnu nampak panik.Sejenak Wisnu berpikir. Tidak seperti biasanya asisten rumah tangganya yang bekerja di rumah yang Natasya tempati menghubunginya saat ia berada di rumah Asma. Sebelum wanita itu berkerja untuk Wisnu menemani Natasya, Wisnu sudah berpesan untuk tidak menghubunginya jika dirinya sedang berada di rumah Asma. Tentunya agar Asma tidak mencurigai apapun."Ada apa ini?" guman Wisnu dengan wajah berpikir. Kecemasan tergambar pada wajah Wisnu. Benaknya tertuju pada kehamilan Natasya.Pelan tangan Wisnu memutar gagang pintu kamar Asma. Membuka sedikit pintu berdinding abu-abu. Dari sela pintu Wisnu dapat melihat Asma tengah tertidur pulas dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Wisnu menghilangkan nafas panjang. Wajahnya nampak lega. Semenjak kehamilan Asma yang semakin membesar, wanita itu memiliki kebiasaan untuk dipij
Bibik sudah pulang beberapa saat yang lalu. Wisnu yang telah memintanya. Ia ingin memiliki waktu bersama Natasya. Pasti begitu juga keinganan Natasya. Hanya saja, wanita itu tidak lagi terlalu bersemangat untuk menuntut pada Wisnu. Mungkin karena ia sudah lelah terus-menerus memohon kepada Wisnu untuk menemaninya. Satu minggu, lelaki itu akan menginap di rumahnya. Tapi setelah itu, dia tidak akan pernah datang lagi. Kecuali minggu depan di hari yang sama. Setiap kali Natasya menuntut keadilan dari Wisnu, lelaki itu pasti akan mengelak. Baginya pernikahan yang terjadi bukan karena keinginannya. Melainkan keinganan Natasya sendiri.Dada Wisnu bergerak naik turun. Beberapa kali ia menghela nafas panjang untuk mengisi kerongkongan yang terasa sesak. Menatap Natasya tergulai lemas dengan wajah pucat, mendadak ia merasa sangat bersalah sekali. Selama ini ia telah menghukum Natasya atas cinta yang tidak ia inginkan."Pergilah, aku baik-baik saja. Temani saja istrimu!" ucap Natasya membuyark
"Oke!" Wisnu membalikkan tubuhnya secara sempurna ke arah Natasya. Hampir saja wanita itu melompat dari lantai tiga rumah sakit. Degupan jantung Natasya memburu. Dadanya bergerak naik turun. Perlahan ia menurunkan kakinya dari atas bingkai jendela yang menghadap langsung ke arah halaman parkir rumah sakit. Lalu menangis tergugu dengan wajah tertunduk.Helaan nafas panjang terdengar, memecah keheningan di dalam ruangan berpendingin tempat Natasya di rawat. Wisnu melangkahkan kakinya mendekati Natasya yang menangis, menarik tubuh wanita berbadan dua itu kedalam pelukanku."Jangan tinggalkan aku, Mas! Aku sangat mencintai kamu!" Isak Natasya. "Apakah bukti cintaku kurang untuk kamu, Mas!" Bahu wanita yang berada di dalam pelukan Wisnu bergetar hebat."Sudah, jangan menangis. Kamu harus ingat kata dokter. Jika kamu sedih maka bayi yang ada di dalam perutmu juga akan ikut sedih," lirih Wisnu. Satu tangannya mengusap perut Natasya yang membesar. Disusul tangan Natasya yang memegangi tanga
Asma mempercepat langkah kakinya. Meskipun ia tidak bisa berlari dengan cepat seperti orang pada umumnya. Perutnya yang cukup membesar, membuatnya harus lebih berhati-hati. Takut terpleset dan terjatuh.Jarak antara Asma dan rumah yang berada di ujung lorong cukup jauh. Hampir ada lima belas meter. Ada empat rumah yang berjajar sepanjang jalan. Rumah kelima itu adalah rumah kosong, tempat terakhir Asma melihat sosok seorang bocah lelaki yang postur tubuhnya hampir mirip sekali dengan Gala yang masuk ke dalam rumah tidak berpenghuni itu.Senja menguning di tepi langit barat. Cahaya memudar hampir bersatu dengan gelap. Asma mengatur nafasnya yang hampir saja putus saat ia tiba di depan salah satu rumah elite yang tidak berpenghuni. Rumput-rumput setinggi mata kaki tumbuh di sekitar halaman rumah.Padangan Asma menyapu kesekeliling. Tidak adanya penerangan sedikitpun. Membuat Asma kesulitan untuk menatap. Beruntungnya langit yang menguning, masih bisa menolong Asma.Langka kaki Asma mera
Tubuh Asma sekali menjauh dari Gala. Ia merasa tidak ada yang salah dengan ucapannya. Tapi tatapan Gala begitu menusuknya. Seperti ada kalimat yang menyingung perasaannya."Ehm, Bibik tau ini pasti sangat sulit sekali untuk kamu." Asma memelankan intonasi nada suaranya. Hingga terdengar sangat berhati-hati sekali. "Tapi, kita tidak bisa melakukan apapun, kecuali mengikhlaskan apa yang sudah Allah gariskan. Percayalah padaku. Ibumu sudah tenang di alam sana, Gala." "Apa?" Gala membeliakkan kedua matanya. Tangan Asma yang hendak menyentuh bahu Gala pun terhenti. Bahkan tukang bakso yang sedang meracik bakso untuk pengunjung lain terkesiap, mengalihkan tatapannya pada Gala dan Asma. Begitu juga dengan dua orang pengunjung yang baru datang. Mengarahkan tatapannya pada Asma dan Gala."Jadi maksud Bibik ibuku sudah meninggal?" cetus Gala menarik wajahnya pada Asma. Dadanya mendadak terasa sesak sekali. Seperti ada sebuah pisau yang baru saja mengiris-irisnya.Dahi Asma mengerut. Pelipisnya
Kepala Wisnu terasa bising. Ucapan Asma menusuk hingga ke dalam hatinya. Terasa sangat sakit sekali. Harusnya Asma bisa menjaga ucapannya, sekalipun dia menolak kebaikan Wisnu. Jika seperti ini, rasa ingin berbagi hati semakin keras berbisik di dalam hati Wisnu.Getaran ponsel yang berada di tangannya menyadarkan Wisnu dari lamunan. Matanya tertuju pada layar ponsel yang berkedip. Nama huruf N tertulis pada layar ponsel yang berkedip.Sejenak Wisnu berpikir. Ia tidak segera mengangkat panggilan itu. Tatapannya tertuju pada layar ponsel yang menyala-nyala, sementara jemarinya ragu untuk menekan tombol hijau pada sudut layar.Ribuan rengekan Natasya sudah memenuhi kepala Wisnu. Seolah ia tahu apa yang akan gadis di balik telepon itu akan lakukan jika ia mengangkat panggilanya.Sambungan telepon telah mati. Wisnu membiarkannya dan tidak ingin mengangkatnya. Hatinya terlalu lelah, ia butuh waktu sendiri. Merasakan sesaknya dada yang dipenuhi bayangan Asma.Dreeg ...Tatapan Wisnu beralih
Natasya bergegas bangkit dari sofa yang berada di depan layar televisi. Ia bisa menebak siapa tamu yang sedang mengetuk pintu di luar rumah. Pasti dia adalah lelaki yang telah menerima pesan yang ia kirimkan lewat aplikasi berwarna hijau itu.Sebelum membuka pintu, Natasya mengikat rambut panjangnya yang tergerai. Memperlihatkan leher jenjangnya. Menarik sedikit pakaiannya dibagian dadanya. Hingga dada besarnya sedikit menyembul hingga tampan belahannya.Setelah memastikan jika penampilannya sudah sempurna. Natasya menekan gagang pintu ke dalam, dan pintu ganda rumah itupun terbuka. Seperti apa yang ada di dalam pikiran Natasya. Lelaki berlesung pipi itu sudah berdiri di luar pintu rumahnya."Kenapa kamu mengunci pintu rumah?" tanya Wisnu dengan wajah sedikit kesal."Maaf!" lirih Natasya dengan nada manja. "Aku terpaksa menguncinya, soalnya Bibik sedang tidak ada di rumah. Dia pamit untuk ke supermarket untuk membeli berapa bahan makanan," ungkap Natasya memasang wajah memelas.Wisnu