Pijatan tangan Danil cukup membuat Natasya lega. Entah mengapa mendadak perutnya sarasa diaduk-aduk, sangat mual. Melihat makanan yang berada di atas meja. Ia sama sekali tidak bernafsu, justru membuat perutnya terasa tidak enak."Bagaimana, apakah sudah lega?" tanya Danil. Setelah Natasya memuntahkan seluruh isi perutnya. Hanya air, karena sejak kemarin perut' gadis itupun belum memakan' apapun. Dengan tangan yang lemas, Natasya menyingkirkan tangan Danil dari atas tengkuk lehernya. Menyalakan air kran yang keluar dari atas wastafel untuk membersihkan tempat pencucian piring itu dan mengusap bibirnya."Kita ke dokter, ya!" seru Danil. Wajahnya nampak sangat khawatir sekali melihat keadaan Natasya yang tidak kunjung membaik.Natasya mencuci kedua tangannya pada kucuran air yang berada di atas wastafel. Lalu matikannya. Tanpa menjawab ia berlalu meninggalkan Danil yang mencemaskan keadaannya. Sejak gadis itu kabur dan dibawa pulang ke rumahnya. Wajah Natasya nampak semakin pucat dan k
Sudah hampir satu jam Gala menunggu jemputan, tapi supir pribadi Danil belum juga datang. Bahkan sekolah tempatnya belajar sudah sepi dan pintu pagar sekolah pun sudah dikunci oleh satpam sekolah sejak beberapa menit yang lalu.Bukan hal asing jika supir pribadi Danil tidak menjemputnya saat pulang sekolah. Hampir sering lelaki itu melakukannya. Tetapi Gala memilih diam, dan tidak pernah sekalipun ia melaporkannya kepada Danil. Satu hal, dia tidak ingin terjadi keributan antara ayah angkatnya dan sopir pribadinya. Seringnya Gala tidak dijemput, membuat bocah lelaki itu memiliki jalan tikus untuk sampai ke rumahnya. Jadi, jika supir itu tidak menjemputnya, Gala akan pulang sendiri melalui jalan tikus. Jalan yang sama, dimana ia menemukan Akbar dalam keadaan mabuk di depan rumah kosong tempatnya berteduh.Mata Gala menatap ke kiri dan ke kanan jalan. Satu tangannya memegangi perutnya yang keroncongan, rasa lapar sudah mendera sejak beberapa saat yang lalu. Apalagi panas yang menyengat,
"Terimakasih Ayah, besok pagi aku akan pulang ke rumah pagi-pagi sekali," jawab Gala. Agar seseorang yang berada di balik telepon tidak mengkhawatirkannya. "Tidak usah. Besok Ayah akan menjemput kamu ke sana. Kamu kirimkan saja alamat rumah itu," jawab Danil dari balik telepon.Wajah Gala berubah. Wisnu menatap penasaran pada penyebab perubahan wajah Gala. Ia sama sekali tidak bisa mendengar apa yang sedang seseorang dibalik telepon bicarakan pada Gala."Apakah hal itu tidak merepotkan, Ayah?" lirih Gala mengigit bibir bawahnya. Selama ini Danil selalu sibuk dengan pekerjaannya mengurus semua perusahaan Tuan Seno. Yang kelak akan menjadi milik Gala juga. Begitulah pikirnya. Padahal hal itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Karena Danil akan menguasai semuanya."Tidak, katakan saja di mana alamat rumahnya. Besok Ayah akan menjemput kamu sekalian berangkat kerja," balas Danil.Gala menyebutkan alamat tempat tinggal Wisnu pada Danil. Lalu mengucapakan salam pada Danil sebelum ia mengak
Beberapa kali Gala mengucang tubuh Wisnu yang tidur di atas sofa. Hingga lelaki itupun terbangun."Tuan, Bik Asma mengigau terus!" ucap Gala dengan wajah panik. Tangannya terus mengucang tubuh Wisnu.Cepat Wisnu menyadarkan dirinya. Tidak peduli kepalanya seperti berputar-putar karena terkejut Gala membangunkannya. Ia bergegas turun dari bangku sofa dan berjalan menuju ranjang Asma. Wisnu mengatur nafasnya untuk sesaat. Ia tidak ingin mengagetkan Asma yang merancau. Perlahan Wisnu membangunkan Asma, mengucang pelan bahunya dan sesekali menepuk lembut pipi Asma."As, bangun sayang!" lirih Wisnu."Akbar!" teriak Asma tersadar. Kedua matanya membulat, nafasnya terengah-engah. Entah apa yang baru saja memenuhi alam bawah sadarnya. Yang pasti wajah Asma terlihat sangat ketakutan sekali."Sayang minum' dulu!" perintah Wisnu menyodorkan segelas air putih pada Asma. Yang ia ambil dari atas nakas. Wajahnya nampak sangat khawatir sekali menatap pada Asma.Asma membuang tatapannya dari Wisnu. W
"Tuan mengenal ayahku?" Gala menoleh pada Wisnu yang berdiri di sampingnya. Memasang wajah terkejut."I-iya aku mengenalnya!" jawab Wisnu tanpa menoleh sedikitpun pada Gala. Netranya mengawasi lelaki yang turun dari dalam mobil."Gala!" sapa Danil melemparkan senyuman hangat pada Gala. Berjalan menghampiri Gala dan Wisnu yang berdiri di depan pintu pagar rumah."Danil jadi Gala adalah ...!" Wisnu seperti tidak percaya. Jika bocah lelaki yang sudah menolong istrinya tidak lain adalah anak Danil."Iya, Gala ada adalah anakku!" Danil merangkul bahu Gala ke dalam pelukannya setelah tiba di beranda rumah.Wisnu tercengang. Jari telunjuknya mengacung ke arah Danil dan Gala yang berdiri saling mensejajari. "Ya Tuhan, semua seperti kebetulan!" Senyuman Danil terukir. Satu tangannya menepuk bahu Danil."Iya, takdir memang membuat kita selalu takjub," balas Danil tersenyum hangat."Kenapa dengan Asma, aku denger ada sesuatu yang terjadi?" tanya Danil.Gurat pada wajah Wisnu mendadak berubah pi
"Aku, aku tidak bisa mengantarkan Nona," balas Gala dengan tatapan wajah terpaksa. Ia takut jika yang ia lakukan salah.Kekecewaan terlukis jelas pada wajah Natasya seketika. "Ayolah aku mohon!" lirihnya dengan suara lemah. "Kamu harus menolongku!" mohon Natasya terisak. Butiran air mata mengalir deras. Ia menyadari jika dirinya telah berbadan dua, dengan gejala-gejala yang dialaminya. Meksipun dirinya belum melakukan tes kehamilan."Nona sedang sakit, jadi lebih baik Nona di sini saja," ucap Gala. "Tubuh Nona juga demam," imbuhnya.Sentuhan tangan Natasya yang terasa begitu hangat menempel pada tangan Gala. Membuat Gala menduga jika Natasya juga mengalami demam. Meksipun ia belum memastikannya. Tetapi wajahnya yang tidak baik-baik saja, begitu mudah untuk Gala menerkanya."Nona tunggu di sini, aku akan menghubungi ayah!" tutur Gala hendak bangkit dari bangku sofa. Wajahnya panik. Tetapi sayangnya Natasya menarik tangan Gala hingga kembali duduk. "Jangan, jangan lakukan itu!" cegah N
Waktu seperti melambat. Suara-suara ramai yang memenuhi lorong menuju ruang ICU sama sekali tidak dapat Danil dengar. Indra pendengarannya dipenuhi oleh kekhawatirannya pada keadaan Natasya. Terkaan itu semakin membuatnya takut, tubuhnya semakin bergetar hebat.Suara derit pintu yang terbuka menyadarkan Danil dari lamunan. Bergegas lelaki itu bangkit dari bangku tunggu yang berada di luar ruang ICU, menghampiri seorang lelaki yang muncul dari balik pintu ruangan yang terbuka. Setelah lampu merah yang berada di atas pintu mati."Bagaimana dengan keadaan Pasien, Dok?" tanya Danil memburui. Wajahnya menegang, cemas. "Kalau boleh tahu ada hubungan apa anda dengan pasien?" jawab lelaki berseragam putih itu dengan ramah."Saya, saya ... Ehm, saya adalah suaminya," jawab Danil terbata. Wajahnya nampak berpikir keras. Takut jika salah berucap. Ia terpaksa mengaku sebagai suami Natasya.Tiba-tiba lelaki yang berada di depan Danil mengulurkan tangannya. Danil memasang wajah terkejut."Apa ini,
Bubur ayam sudah tersaji di atas nampan yang berada di atas meja makan. Aroma khas makanan dengan tekstur lembut itu menyeruak ke udara bersama dengan kepulan asap putih yang menguar bersatu bersama udara.Bibik masih sibuk menyiapkan segelas susu hangat untuk Asma. Sejak kemarin, wanita itu muntah-muntah dan menolak untuk makanan. Katanya, nafsu makannya mendadak bilang. Tapi menurut Bibik jika ia juga membuat segelas susu hangat, setidaknya jika Asma menolak memakan' bubur ayam buatannya, dia masih bisa meminum susu hangat.Lelaki dengan kemeja berwarna putih berjalan ke arah dapur. Netranya menatap ke arah meja makan. Sementara jemarinya menautkan kancing pada pergelangan tangan kemeja yang ia kenakan. "Sudah siap, Bik?" tanya Wisnu mendekati meja makan. Menatap pada bubur ayam yang mengepulkan asap putih dan aroma lezat ke udara."Sudah Tuan!" balas Bibik sekilas menatap ke arah Wisnu, seraya meletakkan segelas susu hangat di atas nampan. Tepat di samping mangkuk bubur ayam yang