"Aku, aku tidak bisa mengantarkan Nona," balas Gala dengan tatapan wajah terpaksa. Ia takut jika yang ia lakukan salah.Kekecewaan terlukis jelas pada wajah Natasya seketika. "Ayolah aku mohon!" lirihnya dengan suara lemah. "Kamu harus menolongku!" mohon Natasya terisak. Butiran air mata mengalir deras. Ia menyadari jika dirinya telah berbadan dua, dengan gejala-gejala yang dialaminya. Meksipun dirinya belum melakukan tes kehamilan."Nona sedang sakit, jadi lebih baik Nona di sini saja," ucap Gala. "Tubuh Nona juga demam," imbuhnya.Sentuhan tangan Natasya yang terasa begitu hangat menempel pada tangan Gala. Membuat Gala menduga jika Natasya juga mengalami demam. Meksipun ia belum memastikannya. Tetapi wajahnya yang tidak baik-baik saja, begitu mudah untuk Gala menerkanya."Nona tunggu di sini, aku akan menghubungi ayah!" tutur Gala hendak bangkit dari bangku sofa. Wajahnya panik. Tetapi sayangnya Natasya menarik tangan Gala hingga kembali duduk. "Jangan, jangan lakukan itu!" cegah N
Waktu seperti melambat. Suara-suara ramai yang memenuhi lorong menuju ruang ICU sama sekali tidak dapat Danil dengar. Indra pendengarannya dipenuhi oleh kekhawatirannya pada keadaan Natasya. Terkaan itu semakin membuatnya takut, tubuhnya semakin bergetar hebat.Suara derit pintu yang terbuka menyadarkan Danil dari lamunan. Bergegas lelaki itu bangkit dari bangku tunggu yang berada di luar ruang ICU, menghampiri seorang lelaki yang muncul dari balik pintu ruangan yang terbuka. Setelah lampu merah yang berada di atas pintu mati."Bagaimana dengan keadaan Pasien, Dok?" tanya Danil memburui. Wajahnya menegang, cemas. "Kalau boleh tahu ada hubungan apa anda dengan pasien?" jawab lelaki berseragam putih itu dengan ramah."Saya, saya ... Ehm, saya adalah suaminya," jawab Danil terbata. Wajahnya nampak berpikir keras. Takut jika salah berucap. Ia terpaksa mengaku sebagai suami Natasya.Tiba-tiba lelaki yang berada di depan Danil mengulurkan tangannya. Danil memasang wajah terkejut."Apa ini,
Bubur ayam sudah tersaji di atas nampan yang berada di atas meja makan. Aroma khas makanan dengan tekstur lembut itu menyeruak ke udara bersama dengan kepulan asap putih yang menguar bersatu bersama udara.Bibik masih sibuk menyiapkan segelas susu hangat untuk Asma. Sejak kemarin, wanita itu muntah-muntah dan menolak untuk makanan. Katanya, nafsu makannya mendadak bilang. Tapi menurut Bibik jika ia juga membuat segelas susu hangat, setidaknya jika Asma menolak memakan' bubur ayam buatannya, dia masih bisa meminum susu hangat.Lelaki dengan kemeja berwarna putih berjalan ke arah dapur. Netranya menatap ke arah meja makan. Sementara jemarinya menautkan kancing pada pergelangan tangan kemeja yang ia kenakan. "Sudah siap, Bik?" tanya Wisnu mendekati meja makan. Menatap pada bubur ayam yang mengepulkan asap putih dan aroma lezat ke udara."Sudah Tuan!" balas Bibik sekilas menatap ke arah Wisnu, seraya meletakkan segelas susu hangat di atas nampan. Tepat di samping mangkuk bubur ayam yang
Di dalam ruangan berdinding serba putih. Dengan aroma obat-obatan yang menusuk pangkal hidung. Wisnu menunggu dengan perasaan gusar. Sejak beberapa menit yang lalu, Dokter Riana yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri semasa sekolah membawa Asma masuk ke ruangan lain. Ruangan yang di pisahkan oleh tirai berwarna hijau yang masih berada di dalam satu ruangan. Sementara Wisnu menunggu pada bangku meja kerja Dokter Riana.Sayup-sayup Wisnu mendengar apa yang Dokter cantik yang memiliki dua anak itu tertawa kecil. Entah apa yang sedang Dokter Riana lakukan di dalam ruangan bertirai hijau dengan Asma. Hingga Wisnu tidak boleh melihatnya.Cepat Wisnu mengalihkan tatapannya, saat Dokter Riana menarik tirai yang menjadi penyekat antara ruang pemeriksaan dan ruang konsultasi."Silahkan ibu Asma!" tutur Dokter Riana terdengar begitu ramah. Sekilas ia menatap pada seseorang yang berada di dalam ruang pemeriksaan.Tinggal tirai penyekat yang hanya sebatas mata kaki. Membuat Wisnu dapat melihat
Cepat, Wisnu menarik pergelangan tangan Natasya menjauh dari pintu rumah. Segera ia menutup daun pintu rumah kembali. Sebelum Asma melihat kehadiran gadis itu di rumahnya. Memorinya kembali teringat saat Asma marah kepadanya di kantin kantor hanya karena keberadaan Natasya."Apa yang kamu lakukan di sini, Nat?" decih Wisnu menjatuhkan tatapan kesal. Sesekali matanya melirik ke arah pintu rumah. Takut jika tiba-tiba Asma muncul dari sana.Butiran bening berjatuhan membahasi pipi Natasya. Bahunya bergerak naik turun. Wisnu yang berdiri di hadapannya semakin dibuat bingung dengan sikap Natasya.Satu tangan Wisnu menyugar rambutnya hingga berantakan. Kepalanya serasa berdeyut seketika. Firasat buruk diam-diam menyelinap."Cepat katakan Natasya, jangan buat aku bingung seperti ini!" desak Wisnu kesal. Ia ingin buru-buru kembali ke kamar Asma dan segera menyelesaikan urusannya dengan istrinya.Natasya mengangkat wajahnya, menatap pada Wisnu. Hidungnya merah, suara isakannya terdengar sumban
Degupan jantung Wisnu masih berdebar tidak beraturan. Tubuhnya lemas, bersandar pada pintu kamar Asma yang tertutup. Perlahan butiran bening jatuh membasahi pipinya. Cepat Wisnu menghapus air mata dari pipinya. Meskipun dia tidak bisa menghapus luka di dalam dadanya.Sekali lagi Wisnu terus berusaha untuk menguatkan diri. Ia telah bersumpah tidak akan pernah melepaskan Asma. Sekalipun wanita yang berada di dalam kamar itu bersikukuh untuk berpisah."Oke, jika Abang tidak mau melepaskan aku sekarang karena kehamilanku ini. Setelah anak ini lahir, aku ingin kita berpisah. Jadi tidak ada alasan lagi untuk Abang menahan aku!" pekik Asma dengan mata merah dan wajah meradang.Tatapan Asma begitu serius. Saat mengucapkan kalimat-kalimat yang mengiris hati Wisnu. Seketika itu juga porak poranda semua harapan di hati Wisnu."Tidak, As, aku tidak akan pernah melepaskan kamu. Sekalipun aku harus mati!" lirih Wisnu pada dirinya sendiri. Saat ucapan Asma terputar kembali di dalam kepalanya.Hari t
Tubuh Natasya jatuh dalam pelukan Wisnu. Dengan kasar, Wisnu menepis tangan Natasya yang hendak menusuk tepat pada perutnya sendiri hingga benda tajam yang akan ia gunakan menusuk perutnya itu jatuh di lantai.Natasya terisak dalam pelukan Wisnu. Hampir saja adegan bunuh diri yang ia lakukan, benar-benar akan merenggut nyawanya. Jika saja Wisnu memilih untuk mengabaikan tidakkan itu."Aku tidak berbohong Mas! Demi Tuhan, kita sudah melakukannya!" tangis Natasya pecah. Degupan jantungnya bertalu-talu, semakin cepat. Begitu juga dengan jantung Wisnu yang seketika seperti berhenti berdetak. Ini adalah kali ke dua ia mencegah percobaan bunuh diri yang akan Natasya lakukan.Wisnu tidak menjawab. Ingin sekali ia lari dari kenyataan ini. Tapi ia tidak bisa membiarkan Natasya mati bunuh diri. Jika saja janin yang berada di rahim Natasya adalah anaknya, ia akan merasa sangat berdosa sekali. Meskipun ia sama sekali tidak pernah mencintai gadis itu.Bibir Wisnu gemetar. Wajahnya mendadak pucat.
Langkah Wisnu panjang-panjang menuju kamar yang berada di lantai bawah. Tanpa permisi, Wisnu membuka pintu kamar. Seorang wanita berbalut selimut terbaring di atas ranjang. Matanya terpejam, sepertinya sedang tidur dengan cool fever yang menempel pada keningnya.Seperti memegang bara api saat Wisnu menempelkan telapak tangannya pada kening Asma. Seketika itu juga kedua mata Asma terbuka Karena merasa ada yang menyentuhnya."Abang!" lirihnya dengan suara lemah. Matanya berkedip sesaat lalu terpejam kembali."Ada apa Abang ke sini?" lirih Asma dengan mata terpejam. Setiap kali membuka mata kepalanya terasa berputar-putar."Kamu harus segera dibawa ke rumah sakit, As!" ucap Wisnu memburu. Ia hendak meraih tubuh Asma ke dalam gendongannya."Tidak Bang, aku tidak mau!" Asma menyingkirkan tangan Wisnu yang menempel pada tubuhnya dengan cepat.Wisnu berdecak, menatap iba pada Asma. Wajahnya memerah, pasti karena panas tubuhnya yang tinggi."As, kamu harus ke rumah sakit sayang. Badan kamu pa