Ah, aku benci! Aku benci karena masih terus bertahan di keadaan seperti ini.
Aku bangkit dari duduk. Melepas pegangan Bude Fitri. Lalu berdiri berjalan menuju tempat Hasan. Bocah itu tampak sangat kurus. Ia juga menunjukkan sorot mata kebingungan begitu aku berjongkok dan memeluknya.Ya, aku memeluknya. Memeluk bocah yang tak tahu menahu dan beberapa kali sempat menjadi kekesalan hatiku. Tanpa berkata apa-apa. Kuangkat Hasan dan membawanya dalam gendongan menuju tempat di mana ada Mas Bram dan Lastri duduk. Kuletakkan Hasan di antara mereka. Lastri yang tadinya menegang penuh emosi, seketika diam melihat sikapku. Begitu pun dengan Mas Bram. Kedua alisnya bertaut. Kebingungan.Sudah saatnya mengakhiri drama."Kalian berdua, menikahlah," ujarku akhirnya."Ngomong apa kamu, Dek?" Mas Bram tampak tak suka."Iya. Kamu dan Lastri. Kalian berdua, menikahlah."Kutatap bergantian wajah LastFatih dan Inamah saling pandang. Terkejut satu sama lain. Tak menyangka bisa bertemu di tempat ini. Setelah Inamah berusaha mengasingkan diri dari orang-orang yang dikenalnya. Rupanya takdir membawa jalan lain. Begitu pun dengan Fatih. Tak tahu bahwa pekerjaan barunya membuat ia kembali bertemu dengan Inamah. Padahal, tadinya ia hanya mencari beberapa bungkus nasi untuk dibagikan. Rupanya bukan hanya nasi. Kenangan masa lalu itu kembali hadir dalam kehidupan. Fatih mengalihkan pandang menatap ke arah luar jendela. Begitupun dengan Inamah. Perempuan itu menatap ke bawah lantai. Menjaga hatinya dan tidak melepas kendalinya hingga menjadi liar. Bagaimanapun, dulu ia sempat memendam rasa. "Maaf, apakah nasinya masih ada? Saya lagi butuh," ujar Fatih setelah berhasil meredam debaran. Andai Inamah tahu, hati lelaki itu masih seperti dulu. Mengaguminya dalam diam. "Butuh berapa bungkus? Kebetulan hari ini ada sedekah jumat. Mas boleh ambil bera
"Dua puluh bungkus, apa nggak kebanyakan? Bener nggak, Nduk, buat dibagiin? Jangan asal percaya gitu?" tanya Bude Ningsih. Inamah menggeleng. Ia mulai memasukkan nasi kotak ke dalam kantung kresek. Pesanan Fatih tadi. Sekalian brosur terkait sedekah jumat yang ia selipkan. "Enggak Bude. Inamah kenal baik sama orangnya." Bude Ningsih mengerutkan dahi. Kenal baik? Atau, jangan-jangan calon suaminya Inamah? Begitu pikir Bude. Tingkat keingintahuannya semakin tumbuh. Dilihatnya Inamah berlalu sambil membawa kantung kresek berisi kotak nasi. Bude Ningsih menajamkan penglihatan. Tak lupa kedua telinganya ia pasang baik-baik. Demi mendapat informasi lebih. *** Inamah menyerahkan kantung kresek berisi kotak nasi kepada Fatih. Termasuk lembaran brosur terkait donasi untuk sedekah nasi di hari jumat. Tak lupa pula ia berikan. "In!" panggil Fatih."Iya, Mas?"
Langit menggelap. Awan berbentuk gumpalan besar nan hitam membungkus rapat kota Gresik. Perlahan, rintik hujan begerak turun. Membasahi jalanan yang kering.Di dalam kendaraannya. Fatih tersenyum tipis. Jemarinya bergerak membuka layar gawai. Di aplikasi yang berwarna hijau. Inamah mengirim sebaris pesan. Satu buah alamat yang akan menjadi tempat tinggal baru Fatih selama di Kota Gresik ini. [Saya sudah pulang, Mas, karena sudah waktunya kedai tutup. Ini alamat rumah yang akan dikontrakkan. Mas Fatih bisa mendatangi rumahnya langsung. Saya sudah sampaikan pada yang punya.] Begitu tulis Inamah. [Terima kasih banyak.] Tiga kata itu Fatih kirim sebagai balasan. Tak mungkin ia menggoda atau berkata apa-apa lagi pada Inamah. Ia harus menjaga diri dan juga hatinya. Agar tak bergerak liar dan semakin mendamba pada perempuan beranak satu itu. Menjelang Magrib. Kendaraan Fatih menerobos rintik hujan yang
Fatih yang sedang fokus mencari sosok Inamah mendadak jadi malu sendiri. Karena pertanyaan itu terlontar, saking lamanya ia tak kunjung memesan. Justeru sibuk mengamati sekitar. "Nasi pecel sama bali telur, ada?" tanyanya. Bude Ningsih mengangguk. "Ada. Minumnya, apa?" "Air putih saja," jawab Fatih. Ia kemudian duduk. Di bangku paling ujung. Menghadap langsung dengan tempat nasi. Bude Ningsih segera melayaninya. Sementara Kedua mata Fatih kembali menyisir sekeliling. "Nyari siapa, Mas?" tanya Bude Ningsih lagi-lagi memergoki Fatih. "Ah, enggak," elak Fatih sambil tersenyum. Sebenarnya ia sedang mencari Inamah. Karena ia ingin mengucapkan terima kasih langsung pada perempuan itu. Namun, sejak tadi ia belum melihatnya. Fatih juga belum ke tempat kontrakan. Ia semalan kembali menyiapkan barang-barang di Yayasan. "Mbak Inamah datengnya siang," ucap Bude Ningsih tanpa
"Saya serius dan ini bukan main-main. Saya tunggu jawaban kamu seminggu lagi. Semoga sudah ada kabar baik. Diterima atau ditolak. Saya akan berusaha untuk ikhlas." Suara Mas Fatih terdengar sungguh-sungguh. Ya Allah. Pemuda ini. Kenapa dia masih saja memiliki niat tulus itu. Bertahun-tahun lamanya dan tawarannya masih sama. Tak berubah. Kucoba menstabilkan debaran aneka rasa dalam dada yang membuncah. "Maaf, Mas. Tapi, apakah saya boleh bertanya sesuatu?" tanyaku sambil meremas lutut sendiri yang berbalut gamis. Sungguh aku sudah berusaha meredam debaran dengan terus melafalkan istigfar berulang kali. "Iya, kenapa?" "Apakah Mas Fatih sudah menikah?" tanyaku takut-takut. "Piye, tho, Nduk!" Bude Ningsih menepuk punggungku. Disusul tawa Mas Fatih yang berderai. Apakah aku salah bicara? Maksudku, bukankah wajar jika aku bertanya seperti itu? Aku hanya ingin memastikan saja. Khawatir
"Bude ....""Iya?" "Inamah malu. Usia Inamah nggak muda lagi. Apalagi status janda ini ...."Dadaku terasa sesak. Memikirkan jika bersanding dengan Mas Fatih, tentu aku sangat bahagia sekali. Tapi, apa komentar orang-orang nanti? Termasuk Bu Nyai dan Abah Yai. Aku tak sanggup. Takut jika mempermalukan mereka. "Apa salahnya dengan status janda?""Nggak salah. Cuman Inamah takut.""Takut? Ketakutan datang dari hati kamu, Nduk. Sudah, ayo istigfar. Nggak baik menunda-nunda kebaikan. Jika sudah ada yang datang menawarkan kepastian, kenapa mesti menyiksa diri dengan bertahan dalam ketakutan?" Bude mengusap pelan punggungku. "Bude tahu kamu perempuan yang baik. Maka dari itu, Allah datangkan lelaki yang baik lagi solih untuk kamu. Sudahlah, dengar kata Bude. Sudah waktunya kamu bahagia, Nduk." Tak terasa bulir bening melesak keluar dari mataku. Aku sangat baha
"Sudah ada jawabannya, bukan? Tak perlu ditunda lagi, Inamah." I ... ini, maksudnya apa?"Nduk." Aku menoleh. Bu Nyai memanggil. Membuatku semakin gugup tak terkira. Kudekati dengan segera lalu menyalami perempuan berwajah teduh itu. Beliau memandangku seraya tersenyum ramah. Lima tahun berselang dan wajah Bu Nyai masih saja sama. Seperti tak berubah. Bersih juga berkharisma. Membuatku tak hanya segan karena gelarnya, tapi ... entahlah. "Saya buka kunci dulu," ujarku lembut. Bu Nyai mengangguk. Sementara, dari ekor mataku, terlihat jelas sekali Mas Fatih diam membelakangi kami. Ia berdiri menatap ke arah tanaman dalam pot. *** Tak lama, pasca membuka kunci pintu rumah. Bude Ningsih datang mengetuk pintu. Di tangannya sudah banyak aneka kantong kresek yang rupanya begitu dibuka, isinya adalah aneka kudapan. Kue kering dan basah. Berikut dengan beberapa buah. Ditatanya di atas piring lalu menyajik
Bahagia itu, selalu datang dengan caranya sendiri. Aku bukan bicara tentang lamaran yang telah Mas Fatih lakukan padaku. Tapi, aku bicara tentang rasa bahagia yang entah sejak kapan telah hilang bersama luka lama. Meski sayatan itu perlahan mengering, tetap saja bekasnya tak mudah untuk hilang.Jika bukan karena Kia. Mungkin, akan lebih lama lagi bagiku untuk bisa sembuh dari percaya pada seorang laki-laki. "Jadi, nanti kalau Ummi menikah, Kia punya Ayah?" tanya putri kecilku suatu hari. Aku mengangguk pelan. "Kalau begitu, Kia pingin Ummi menikah. Biar Kia punya Ayah," tambahnya. *** Sehari pasca lamaran itu. Aku tetap menjalankan kegiatanku. Berjualan di kedai rumah makan bersama Bude Ningsih. Hari pernikahan telah ditetapkan. Dua minggu dari sekarang. Mungkin, jika aku belum pernah menikah sebelumnya. Hari-hari menjelang pernikahan saat ini, tentulah menjadi hari yang paling mendebarkan. Atau bahkan, ingin untuk disegerak