"Dua puluh bungkus, apa nggak kebanyakan? Bener nggak, Nduk, buat dibagiin? Jangan asal percaya gitu?" tanya Bude Ningsih.
Inamah menggeleng. Ia mulai memasukkan nasi kotak ke dalam kantung kresek. Pesanan Fatih tadi. Sekalian brosur terkait sedekah jumat yang ia selipkan."Enggak Bude. Inamah kenal baik sama orangnya."Bude Ningsih mengerutkan dahi.Kenal baik? Atau, jangan-jangan calon suaminya Inamah? Begitu pikir Bude. Tingkat keingintahuannya semakin tumbuh.Dilihatnya Inamah berlalu sambil membawa kantung kresek berisi kotak nasi. Bude Ningsih menajamkan penglihatan. Tak lupa kedua telinganya ia pasang baik-baik. Demi mendapat informasi lebih.***Inamah menyerahkan kantung kresek berisi kotak nasi kepada Fatih. Termasuk lembaran brosur terkait donasi untuk sedekah nasi di hari jumat. Tak lupa pula ia berikan."In!" panggil Fatih."Iya, Mas?"Langit menggelap. Awan berbentuk gumpalan besar nan hitam membungkus rapat kota Gresik. Perlahan, rintik hujan begerak turun. Membasahi jalanan yang kering.Di dalam kendaraannya. Fatih tersenyum tipis. Jemarinya bergerak membuka layar gawai. Di aplikasi yang berwarna hijau. Inamah mengirim sebaris pesan. Satu buah alamat yang akan menjadi tempat tinggal baru Fatih selama di Kota Gresik ini. [Saya sudah pulang, Mas, karena sudah waktunya kedai tutup. Ini alamat rumah yang akan dikontrakkan. Mas Fatih bisa mendatangi rumahnya langsung. Saya sudah sampaikan pada yang punya.] Begitu tulis Inamah. [Terima kasih banyak.] Tiga kata itu Fatih kirim sebagai balasan. Tak mungkin ia menggoda atau berkata apa-apa lagi pada Inamah. Ia harus menjaga diri dan juga hatinya. Agar tak bergerak liar dan semakin mendamba pada perempuan beranak satu itu. Menjelang Magrib. Kendaraan Fatih menerobos rintik hujan yang
Fatih yang sedang fokus mencari sosok Inamah mendadak jadi malu sendiri. Karena pertanyaan itu terlontar, saking lamanya ia tak kunjung memesan. Justeru sibuk mengamati sekitar. "Nasi pecel sama bali telur, ada?" tanyanya. Bude Ningsih mengangguk. "Ada. Minumnya, apa?" "Air putih saja," jawab Fatih. Ia kemudian duduk. Di bangku paling ujung. Menghadap langsung dengan tempat nasi. Bude Ningsih segera melayaninya. Sementara Kedua mata Fatih kembali menyisir sekeliling. "Nyari siapa, Mas?" tanya Bude Ningsih lagi-lagi memergoki Fatih. "Ah, enggak," elak Fatih sambil tersenyum. Sebenarnya ia sedang mencari Inamah. Karena ia ingin mengucapkan terima kasih langsung pada perempuan itu. Namun, sejak tadi ia belum melihatnya. Fatih juga belum ke tempat kontrakan. Ia semalan kembali menyiapkan barang-barang di Yayasan. "Mbak Inamah datengnya siang," ucap Bude Ningsih tanpa
"Saya serius dan ini bukan main-main. Saya tunggu jawaban kamu seminggu lagi. Semoga sudah ada kabar baik. Diterima atau ditolak. Saya akan berusaha untuk ikhlas." Suara Mas Fatih terdengar sungguh-sungguh. Ya Allah. Pemuda ini. Kenapa dia masih saja memiliki niat tulus itu. Bertahun-tahun lamanya dan tawarannya masih sama. Tak berubah. Kucoba menstabilkan debaran aneka rasa dalam dada yang membuncah. "Maaf, Mas. Tapi, apakah saya boleh bertanya sesuatu?" tanyaku sambil meremas lutut sendiri yang berbalut gamis. Sungguh aku sudah berusaha meredam debaran dengan terus melafalkan istigfar berulang kali. "Iya, kenapa?" "Apakah Mas Fatih sudah menikah?" tanyaku takut-takut. "Piye, tho, Nduk!" Bude Ningsih menepuk punggungku. Disusul tawa Mas Fatih yang berderai. Apakah aku salah bicara? Maksudku, bukankah wajar jika aku bertanya seperti itu? Aku hanya ingin memastikan saja. Khawatir
"Bude ....""Iya?" "Inamah malu. Usia Inamah nggak muda lagi. Apalagi status janda ini ...."Dadaku terasa sesak. Memikirkan jika bersanding dengan Mas Fatih, tentu aku sangat bahagia sekali. Tapi, apa komentar orang-orang nanti? Termasuk Bu Nyai dan Abah Yai. Aku tak sanggup. Takut jika mempermalukan mereka. "Apa salahnya dengan status janda?""Nggak salah. Cuman Inamah takut.""Takut? Ketakutan datang dari hati kamu, Nduk. Sudah, ayo istigfar. Nggak baik menunda-nunda kebaikan. Jika sudah ada yang datang menawarkan kepastian, kenapa mesti menyiksa diri dengan bertahan dalam ketakutan?" Bude mengusap pelan punggungku. "Bude tahu kamu perempuan yang baik. Maka dari itu, Allah datangkan lelaki yang baik lagi solih untuk kamu. Sudahlah, dengar kata Bude. Sudah waktunya kamu bahagia, Nduk." Tak terasa bulir bening melesak keluar dari mataku. Aku sangat baha
"Sudah ada jawabannya, bukan? Tak perlu ditunda lagi, Inamah." I ... ini, maksudnya apa?"Nduk." Aku menoleh. Bu Nyai memanggil. Membuatku semakin gugup tak terkira. Kudekati dengan segera lalu menyalami perempuan berwajah teduh itu. Beliau memandangku seraya tersenyum ramah. Lima tahun berselang dan wajah Bu Nyai masih saja sama. Seperti tak berubah. Bersih juga berkharisma. Membuatku tak hanya segan karena gelarnya, tapi ... entahlah. "Saya buka kunci dulu," ujarku lembut. Bu Nyai mengangguk. Sementara, dari ekor mataku, terlihat jelas sekali Mas Fatih diam membelakangi kami. Ia berdiri menatap ke arah tanaman dalam pot. *** Tak lama, pasca membuka kunci pintu rumah. Bude Ningsih datang mengetuk pintu. Di tangannya sudah banyak aneka kantong kresek yang rupanya begitu dibuka, isinya adalah aneka kudapan. Kue kering dan basah. Berikut dengan beberapa buah. Ditatanya di atas piring lalu menyajik
Bahagia itu, selalu datang dengan caranya sendiri. Aku bukan bicara tentang lamaran yang telah Mas Fatih lakukan padaku. Tapi, aku bicara tentang rasa bahagia yang entah sejak kapan telah hilang bersama luka lama. Meski sayatan itu perlahan mengering, tetap saja bekasnya tak mudah untuk hilang.Jika bukan karena Kia. Mungkin, akan lebih lama lagi bagiku untuk bisa sembuh dari percaya pada seorang laki-laki. "Jadi, nanti kalau Ummi menikah, Kia punya Ayah?" tanya putri kecilku suatu hari. Aku mengangguk pelan. "Kalau begitu, Kia pingin Ummi menikah. Biar Kia punya Ayah," tambahnya. *** Sehari pasca lamaran itu. Aku tetap menjalankan kegiatanku. Berjualan di kedai rumah makan bersama Bude Ningsih. Hari pernikahan telah ditetapkan. Dua minggu dari sekarang. Mungkin, jika aku belum pernah menikah sebelumnya. Hari-hari menjelang pernikahan saat ini, tentulah menjadi hari yang paling mendebarkan. Atau bahkan, ingin untuk disegerak
"Kenapa mata Ummi berair? Ummi sedih?""Enggak, Sayang.""Tapi, kenapa mata Ummi berair begini?"Kia mengusap sudut mataku. Kubalas perlakuan Kia dengan mendekap erat tubuhnya. "Ummi bahagia, Sayang," ujarku pelan. "Kia juga bahagia. Kata Nenek, Kia mau punya Abah baru hehe."Kia terkekeh. Sementara aku, mendadak jadi malu sendiri. Teringat hari pernikahanku yang tinggal seminggu lagi.Surat undangan telah dicetak. Mas Fatih yang mengantarnya sendiri padaku. Tentu saja di kedai, bukan di rumah. Karena tak ingin timbul fitnah di antara aku dan dia. Meski Bude Ningsih selalu menemani, tapi, aku tak nyaman saja jika berinteraksi di rumah. Bu Nyai sering menghubungiku via telepon. Menanyai perkembanganku tentang persiapan menuju pernikahan. Padahal, aku tak banyak mempersiapkan apa-apa. Hanya rajin merawat diri saja. Meski tak lagi muda ditambah statusku yang janda. Aku harus tetap menjaga bentuk dan aroma tubuh. Karena ingin memberi yang terbaik untuk suamiku nanti. Bu Nyai juga berp
Sepi dan tak terawat. Itulah yang kurasakan begitu masuk ke dalam rumah Mas Bram. Tak banyak perabot yang ia miliki. Bahkan, televisinya jauh dari yang kupunya di rumah. Apalagi, tak kulihat Mbak Lastri keluar meski sudah lima menit kami duduk. Hanya Mas Bram dan Hasan saja. Suguhan pun berupa air minum tanpa ada cemilan apapun. Bukan tengah mengoreksi kehidupannya sekarang, tapi Mas Bram seakan hidup dalam kesedihan. "Kamu apa kabar, Dek?" tanya Mas Bram. "Alhamdulillah baik, Mas. Kamu sendiri apa kabar?" tanyaku balik."Baik, Dek." Mas Bram menjawab pertanyaanku, tapi kedua matanya fokus pada Kia. Aku tahu, ia ingin sekali mendekat pada putrinya, tapi entah kenapa Kia justeru tak mau turun. Hanya duduk diam memeluk erat lengan kiriku. "Mbak Lastri mana?" tanyaku. "Lastri ... Dia, sudah tidak ada, Dek."Degh!"Maksudnya, Mas?" tanyaku terkejut. Mas Bram mengangkat wajah. Ia mengangguk p