"Aku cuman mau ngasih tahu kalau dia kamu manfaatkan, Mas! Biar sadar! Biar melek! Dia yang jadi benalu hubungan kita!"
Suara Lastri terdengar hingga ke ujung gang. Tak peduli dengan pandangan orang-orang. Kuikuti saja langkah kaki menyusul ke mana Mas Bram dan Lastri pergi. Kurang ajar sekali mereka. Tak tahu malu. Sudah tahu suasana sedang berduka. Bahkan makam ibu pun masih basah. Aku akan membuat perhitungan."Mbak In, ada apa?"Kuangkat kepala, Bu Yana tetanggaku bertanya."Nggak papa, Bu. Ada urusan.""Tapi, itu. Si Lastri teriak-teriak dijalan sambil diseret Bram? Ada apa, Mbak?" tanyanya lagi.Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. Bukan saatnya untuk menyiakan kesempatan."Iya, ada urusan. Saya pamit sebentar, Bu."Kembali kulangkahkan kaki semakin cepat karena jarakku dengan Mas Bram tertinggal jauh. Beberapa yang bertanya tak kuhiraukan. Memilih bungkam saja lKulangkahkan kaki kembali menuju kediaman almarhum ibu mertua. Meninggalkan rumah Bude Sri juga beberapa informasi yang berhasil kudapat dari sana. Ya Rabb, jika benar semua yang Bude Sri katakan. Sungguh aku telah menyesal tak menemani ibu mertua hingga ia berjumpa ajal. Banyak pertanyaan yang kuhimpun dalam benak. Kehidupanku, seakan dikelilingi oleh orang-orang bermuka dua. Bahkan, kini aku tak tahu lagi pada siapa harus percaya. Terus saja kulangkahkan kaki, membawa remukan hati yang terluka. Dalam kepalaku terbayang sudah wajah Mas Bram. Dia benar-benar keterlaluan.Tak mau mengulur waktu. Aku ingin menyelesaikan hari ini juga. Apapun itu. Kulangkahkan kaki hingga tanpa terasa telah tiba di kediaman ibu. Saat aku di ambang pintu, entah kenapa seakan disambut dengan beragam tatapan penuh pertanyaan. Beberapa pelayat memang tinggal sedikit, tapi jumlah saudara yang datang, semakin bertambah saja. Sungguh, rasanya di depan mukaku ini san
"Aku tak perlu menjelaskan lagi bagaimana masa laluku bersama Lastri, Dek. Sama saja Mas membuka luka lama."Mas Bram menatapku. "Mas akui, Mas sudah salah karena menjalin kembali hubungan dengan Lastri. Ya, karena Hasan ada di antara kami. Meski Mas tahu, dan baru tahu juga dari kamu, bahwa anak hasil hubungan di luar nikah. Sama sekali tidak bernasab pada bapak biologisnya." Mas Bram mengatur napas. Ia seperti mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ucapan."Tapi ... bagaimana pun itu. Ia darah daging, Mas. Mas bingung, Dek. Mas nggak bisa." Mas Bram terisak. Kukerutkan dahiku, kenapa ia sensitif sekali membahas Hasan?"Mas sangat menyesal. Mas salah. Lastri salah. Tapi, Hasan ...?" Mas Bram mendongak. Kedua matanya berkaca-kaca. Ah, aku benci! Hatiku terluka melihat ia menangis begini. Kubuang pandangan ke sisi lain. Ya Allah, hubungan seperti apa ini?"Lastri dat
"Aira? Ummi Shafa?" Tergesa aku datang menghampiri dua tamu itu. Dan seketika, pelukan hangat kudapatkan begitu aku tiba di antara mereka. "Kenapa mesti repot-repot datang kemari?" tanyaku tak enak. "Nggak papa. Maaf, ya, baru datang. Jadi nggak bisa melihat almarhumah ibu mertua kamu." Ummi Shafa tersenyum lembut. Kedua matanya yang teduh mengingatkanku. Membuat memori di labirin kepala terbuka. Dulu, beliau yang menggantikan almarhumah ibu dan bapak. Sebagai orang tua yang disegani, di hari pernikahanku bersama Mas Bram. Beliau, seperti kataku di awal. Sudah kuanggap sebagai ibu sendiri. "Sabar, ya, Nduk." Ummi Shafa menggenggam tanganku. Aku mengangguk. Sorot matanya seolah memberiku kekuatan. Sudah sangat lama sekali beliau tak kemari. "Mbak Inamah kenapa nggak pamit dulu sama Aira? Pergi nggak bilang-bilang."Aira memajukan bibirny
Malam hari bakda salat Isya. "Kita pergi sekarang, Mas. Ayo ke rumah Lastri." Mas Bram menatapku, bergantian sambil menoleh ke belakang. Ada Bude Fitri yang sengaja kuajak. "Kenapa ajak Bude Fitri?" Mas Bram keberatan. "Sebagai saksi. Aku butuh saksi atas apa yang nanti Lastri katakan.""Tapi, Dek ...,""Mas bilang mau jujur? Mau terbuka semuanya? Kenapa justeru sekarang keberatan?"Mas Bram menatap lesu. Jelas saja ia tak ingin mengungkit masalah Lastri. Tapi, ini harus dilakukan. Nasi sudah menjadi bubur. Meski terlambat untuk memperbaiki, tapi aku butuh penjelasan. "Sudah, ayo!" seruku kemudian berlalu lebih dulu. *** Aku, Mas Bram dan Bude Fitri berjalan mendatangi kontrakan Bu Yuyun. Rumah yang ditempati Lastri. Semakin dekat langkah ini ke rumah perempuan penggoda itu, semakin banyak slide dari memori masa laluku yang terbuka.
Ah, aku benci! Aku benci karena masih terus bertahan di keadaan seperti ini. Aku bangkit dari duduk. Melepas pegangan Bude Fitri. Lalu berdiri berjalan menuju tempat Hasan. Bocah itu tampak sangat kurus. Ia juga menunjukkan sorot mata kebingungan begitu aku berjongkok dan memeluknya.Ya, aku memeluknya. Memeluk bocah yang tak tahu menahu dan beberapa kali sempat menjadi kekesalan hatiku. Tanpa berkata apa-apa. Kuangkat Hasan dan membawanya dalam gendongan menuju tempat di mana ada Mas Bram dan Lastri duduk. Kuletakkan Hasan di antara mereka. Lastri yang tadinya menegang penuh emosi, seketika diam melihat sikapku. Begitu pun dengan Mas Bram. Kedua alisnya bertaut. Kebingungan.Sudah saatnya mengakhiri drama. "Kalian berdua, menikahlah," ujarku akhirnya. "Ngomong apa kamu, Dek?" Mas Bram tampak tak suka. "Iya. Kamu dan Lastri. Kalian berdua, menikahlah." Kutatap bergantian wajah Last
Fatih dan Inamah saling pandang. Terkejut satu sama lain. Tak menyangka bisa bertemu di tempat ini. Setelah Inamah berusaha mengasingkan diri dari orang-orang yang dikenalnya. Rupanya takdir membawa jalan lain. Begitu pun dengan Fatih. Tak tahu bahwa pekerjaan barunya membuat ia kembali bertemu dengan Inamah. Padahal, tadinya ia hanya mencari beberapa bungkus nasi untuk dibagikan. Rupanya bukan hanya nasi. Kenangan masa lalu itu kembali hadir dalam kehidupan. Fatih mengalihkan pandang menatap ke arah luar jendela. Begitupun dengan Inamah. Perempuan itu menatap ke bawah lantai. Menjaga hatinya dan tidak melepas kendalinya hingga menjadi liar. Bagaimanapun, dulu ia sempat memendam rasa. "Maaf, apakah nasinya masih ada? Saya lagi butuh," ujar Fatih setelah berhasil meredam debaran. Andai Inamah tahu, hati lelaki itu masih seperti dulu. Mengaguminya dalam diam. "Butuh berapa bungkus? Kebetulan hari ini ada sedekah jumat. Mas boleh ambil bera
"Dua puluh bungkus, apa nggak kebanyakan? Bener nggak, Nduk, buat dibagiin? Jangan asal percaya gitu?" tanya Bude Ningsih. Inamah menggeleng. Ia mulai memasukkan nasi kotak ke dalam kantung kresek. Pesanan Fatih tadi. Sekalian brosur terkait sedekah jumat yang ia selipkan. "Enggak Bude. Inamah kenal baik sama orangnya." Bude Ningsih mengerutkan dahi. Kenal baik? Atau, jangan-jangan calon suaminya Inamah? Begitu pikir Bude. Tingkat keingintahuannya semakin tumbuh. Dilihatnya Inamah berlalu sambil membawa kantung kresek berisi kotak nasi. Bude Ningsih menajamkan penglihatan. Tak lupa kedua telinganya ia pasang baik-baik. Demi mendapat informasi lebih. *** Inamah menyerahkan kantung kresek berisi kotak nasi kepada Fatih. Termasuk lembaran brosur terkait donasi untuk sedekah nasi di hari jumat. Tak lupa pula ia berikan. "In!" panggil Fatih."Iya, Mas?"
Langit menggelap. Awan berbentuk gumpalan besar nan hitam membungkus rapat kota Gresik. Perlahan, rintik hujan begerak turun. Membasahi jalanan yang kering.Di dalam kendaraannya. Fatih tersenyum tipis. Jemarinya bergerak membuka layar gawai. Di aplikasi yang berwarna hijau. Inamah mengirim sebaris pesan. Satu buah alamat yang akan menjadi tempat tinggal baru Fatih selama di Kota Gresik ini. [Saya sudah pulang, Mas, karena sudah waktunya kedai tutup. Ini alamat rumah yang akan dikontrakkan. Mas Fatih bisa mendatangi rumahnya langsung. Saya sudah sampaikan pada yang punya.] Begitu tulis Inamah. [Terima kasih banyak.] Tiga kata itu Fatih kirim sebagai balasan. Tak mungkin ia menggoda atau berkata apa-apa lagi pada Inamah. Ia harus menjaga diri dan juga hatinya. Agar tak bergerak liar dan semakin mendamba pada perempuan beranak satu itu. Menjelang Magrib. Kendaraan Fatih menerobos rintik hujan yang