Silih bergantian para pelayat yang datang. Berbela sungkawa atas meninggalnya Ani, mertua Inamah. Hingga hampir tengah hari, Bram belum juga tampak batang hidungnya. Selama itu pula, Inamah harus menerima tamu seorang diri.
"Ibu mertuamu sakit apa, sih, Nduk?" tanya salah seorang pelayat."Kata Mas Bram, stroke sama darah tinggi." Inamah menjawab setahunya saja."Waktu dibawa ke rumah sakit. Ibu lihat kamu ndak ada, ke mana?" sahut ibu-ibu yang lain.Inamah tersenyum tipis. Duh. Harus jawab apa?"Kamu ini gimana, sih. Yuk. Kata Bram, 'kan istrinya sedang ada di Pondok. Iya, Nduk?"Degh!Inamah menatap ke arah perempuan muda seumuran bibinya yang menjawab barusan.Jadi, Mas Bram tahu selama ini aku di pondok? Batin Inamah.Bude Fitri yang tanpa sengaja mencuri dengar pembicaraan itu mendadak penasaran."Eng, i-iya, Bu." Inamah menjawab terba"Aku cuman mau ngasih tahu kalau dia kamu manfaatkan, Mas! Biar sadar! Biar melek! Dia yang jadi benalu hubungan kita!"Suara Lastri terdengar hingga ke ujung gang. Tak peduli dengan pandangan orang-orang. Kuikuti saja langkah kaki menyusul ke mana Mas Bram dan Lastri pergi. Kurang ajar sekali mereka. Tak tahu malu. Sudah tahu suasana sedang berduka. Bahkan makam ibu pun masih basah. Aku akan membuat perhitungan."Mbak In, ada apa?" Kuangkat kepala, Bu Yana tetanggaku bertanya. "Nggak papa, Bu. Ada urusan.""Tapi, itu. Si Lastri teriak-teriak dijalan sambil diseret Bram? Ada apa, Mbak?" tanyanya lagi.Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. Bukan saatnya untuk menyiakan kesempatan."Iya, ada urusan. Saya pamit sebentar, Bu."Kembali kulangkahkan kaki semakin cepat karena jarakku dengan Mas Bram tertinggal jauh. Beberapa yang bertanya tak kuhiraukan. Memilih bungkam saja l
Kulangkahkan kaki kembali menuju kediaman almarhum ibu mertua. Meninggalkan rumah Bude Sri juga beberapa informasi yang berhasil kudapat dari sana. Ya Rabb, jika benar semua yang Bude Sri katakan. Sungguh aku telah menyesal tak menemani ibu mertua hingga ia berjumpa ajal. Banyak pertanyaan yang kuhimpun dalam benak. Kehidupanku, seakan dikelilingi oleh orang-orang bermuka dua. Bahkan, kini aku tak tahu lagi pada siapa harus percaya. Terus saja kulangkahkan kaki, membawa remukan hati yang terluka. Dalam kepalaku terbayang sudah wajah Mas Bram. Dia benar-benar keterlaluan.Tak mau mengulur waktu. Aku ingin menyelesaikan hari ini juga. Apapun itu. Kulangkahkan kaki hingga tanpa terasa telah tiba di kediaman ibu. Saat aku di ambang pintu, entah kenapa seakan disambut dengan beragam tatapan penuh pertanyaan. Beberapa pelayat memang tinggal sedikit, tapi jumlah saudara yang datang, semakin bertambah saja. Sungguh, rasanya di depan mukaku ini san
"Aku tak perlu menjelaskan lagi bagaimana masa laluku bersama Lastri, Dek. Sama saja Mas membuka luka lama."Mas Bram menatapku. "Mas akui, Mas sudah salah karena menjalin kembali hubungan dengan Lastri. Ya, karena Hasan ada di antara kami. Meski Mas tahu, dan baru tahu juga dari kamu, bahwa anak hasil hubungan di luar nikah. Sama sekali tidak bernasab pada bapak biologisnya." Mas Bram mengatur napas. Ia seperti mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ucapan."Tapi ... bagaimana pun itu. Ia darah daging, Mas. Mas bingung, Dek. Mas nggak bisa." Mas Bram terisak. Kukerutkan dahiku, kenapa ia sensitif sekali membahas Hasan?"Mas sangat menyesal. Mas salah. Lastri salah. Tapi, Hasan ...?" Mas Bram mendongak. Kedua matanya berkaca-kaca. Ah, aku benci! Hatiku terluka melihat ia menangis begini. Kubuang pandangan ke sisi lain. Ya Allah, hubungan seperti apa ini?"Lastri dat
"Aira? Ummi Shafa?" Tergesa aku datang menghampiri dua tamu itu. Dan seketika, pelukan hangat kudapatkan begitu aku tiba di antara mereka. "Kenapa mesti repot-repot datang kemari?" tanyaku tak enak. "Nggak papa. Maaf, ya, baru datang. Jadi nggak bisa melihat almarhumah ibu mertua kamu." Ummi Shafa tersenyum lembut. Kedua matanya yang teduh mengingatkanku. Membuat memori di labirin kepala terbuka. Dulu, beliau yang menggantikan almarhumah ibu dan bapak. Sebagai orang tua yang disegani, di hari pernikahanku bersama Mas Bram. Beliau, seperti kataku di awal. Sudah kuanggap sebagai ibu sendiri. "Sabar, ya, Nduk." Ummi Shafa menggenggam tanganku. Aku mengangguk. Sorot matanya seolah memberiku kekuatan. Sudah sangat lama sekali beliau tak kemari. "Mbak Inamah kenapa nggak pamit dulu sama Aira? Pergi nggak bilang-bilang."Aira memajukan bibirny
Malam hari bakda salat Isya. "Kita pergi sekarang, Mas. Ayo ke rumah Lastri." Mas Bram menatapku, bergantian sambil menoleh ke belakang. Ada Bude Fitri yang sengaja kuajak. "Kenapa ajak Bude Fitri?" Mas Bram keberatan. "Sebagai saksi. Aku butuh saksi atas apa yang nanti Lastri katakan.""Tapi, Dek ...,""Mas bilang mau jujur? Mau terbuka semuanya? Kenapa justeru sekarang keberatan?"Mas Bram menatap lesu. Jelas saja ia tak ingin mengungkit masalah Lastri. Tapi, ini harus dilakukan. Nasi sudah menjadi bubur. Meski terlambat untuk memperbaiki, tapi aku butuh penjelasan. "Sudah, ayo!" seruku kemudian berlalu lebih dulu. *** Aku, Mas Bram dan Bude Fitri berjalan mendatangi kontrakan Bu Yuyun. Rumah yang ditempati Lastri. Semakin dekat langkah ini ke rumah perempuan penggoda itu, semakin banyak slide dari memori masa laluku yang terbuka.
Ah, aku benci! Aku benci karena masih terus bertahan di keadaan seperti ini. Aku bangkit dari duduk. Melepas pegangan Bude Fitri. Lalu berdiri berjalan menuju tempat Hasan. Bocah itu tampak sangat kurus. Ia juga menunjukkan sorot mata kebingungan begitu aku berjongkok dan memeluknya.Ya, aku memeluknya. Memeluk bocah yang tak tahu menahu dan beberapa kali sempat menjadi kekesalan hatiku. Tanpa berkata apa-apa. Kuangkat Hasan dan membawanya dalam gendongan menuju tempat di mana ada Mas Bram dan Lastri duduk. Kuletakkan Hasan di antara mereka. Lastri yang tadinya menegang penuh emosi, seketika diam melihat sikapku. Begitu pun dengan Mas Bram. Kedua alisnya bertaut. Kebingungan.Sudah saatnya mengakhiri drama. "Kalian berdua, menikahlah," ujarku akhirnya. "Ngomong apa kamu, Dek?" Mas Bram tampak tak suka. "Iya. Kamu dan Lastri. Kalian berdua, menikahlah." Kutatap bergantian wajah Last
Fatih dan Inamah saling pandang. Terkejut satu sama lain. Tak menyangka bisa bertemu di tempat ini. Setelah Inamah berusaha mengasingkan diri dari orang-orang yang dikenalnya. Rupanya takdir membawa jalan lain. Begitu pun dengan Fatih. Tak tahu bahwa pekerjaan barunya membuat ia kembali bertemu dengan Inamah. Padahal, tadinya ia hanya mencari beberapa bungkus nasi untuk dibagikan. Rupanya bukan hanya nasi. Kenangan masa lalu itu kembali hadir dalam kehidupan. Fatih mengalihkan pandang menatap ke arah luar jendela. Begitupun dengan Inamah. Perempuan itu menatap ke bawah lantai. Menjaga hatinya dan tidak melepas kendalinya hingga menjadi liar. Bagaimanapun, dulu ia sempat memendam rasa. "Maaf, apakah nasinya masih ada? Saya lagi butuh," ujar Fatih setelah berhasil meredam debaran. Andai Inamah tahu, hati lelaki itu masih seperti dulu. Mengaguminya dalam diam. "Butuh berapa bungkus? Kebetulan hari ini ada sedekah jumat. Mas boleh ambil bera
"Dua puluh bungkus, apa nggak kebanyakan? Bener nggak, Nduk, buat dibagiin? Jangan asal percaya gitu?" tanya Bude Ningsih. Inamah menggeleng. Ia mulai memasukkan nasi kotak ke dalam kantung kresek. Pesanan Fatih tadi. Sekalian brosur terkait sedekah jumat yang ia selipkan. "Enggak Bude. Inamah kenal baik sama orangnya." Bude Ningsih mengerutkan dahi. Kenal baik? Atau, jangan-jangan calon suaminya Inamah? Begitu pikir Bude. Tingkat keingintahuannya semakin tumbuh. Dilihatnya Inamah berlalu sambil membawa kantung kresek berisi kotak nasi. Bude Ningsih menajamkan penglihatan. Tak lupa kedua telinganya ia pasang baik-baik. Demi mendapat informasi lebih. *** Inamah menyerahkan kantung kresek berisi kotak nasi kepada Fatih. Termasuk lembaran brosur terkait donasi untuk sedekah nasi di hari jumat. Tak lupa pula ia berikan. "In!" panggil Fatih."Iya, Mas?"
Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin
Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg
Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi. "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be