"Terima kasih .... " Cup.Dengan gerakan super cepat, Dinda mencium pipi Arya dan langsung berlari ke kamar mandi. Gadis itu berlari sambil menahan malu. Ia tidak mengira jika pada akhirnya, berani melakukan hal itu. Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Arya terkesima. Ia tidak mengira jika Dinda akan menghadiahinya sebuah ciuman kilat. Dipegangnya pipi tempat Dinda mendaratkan bibir lembutnya. Ia tersenyum simpul sambil berharap, semoga ke depan, akan banyak hadiah ciuman kilat dari Dinda untuknya. Tidak hanya kilat, tapi ia berharap lebih. Lebih dalam, lama dan intens.Guyuran air dari dalam kamar mandi menyadarkan Arya. Pria itu segera menata tas yang sudah penuh dengan barang bawaan yang dibawa oleh kedua orang tuanya semalam. "Karena kamu cuma menginap sehari, jadi barang bawaannya tidak lebih dari satu tas ini," ujar Arya begitu melihat Dinda berjalan keluar dari kamar mandi. Pria itu membawa keluar tas itu dan memberi isyarat Dinda untuk segera merapikan rambu
Dinda masih memikirkan alasan untuk menolak permintaan Arya, sedangkan Arya terus mengikis jarak di antara mereka. Andaikan Dinda dapat menemukan satu alasan bagus untuk menunda keinginan Arya saat ini.Tok. Tok. Tok.Dan Tuhan mendengar harapan Dinda. Anggun sedang berdiri tidak sabar di depan pintu kamar Arya."Arya! Tolong bantu Mama sekarang."Arya langsung menghentikan aksinya. Dengan kesal, ia terpaksa membawa tubuhnya menjauh dari Dinda. Tanpa mengucap sepatah kata, ia pergi meninggalkan Dinda sendiri.Helaan napas lega Dinda memenuhi kamar Arya. Berulang kali Dinda mengucap kata syukur, karena sudah berhasil menunda keinginan Arya meski itu karena kedatangan tiba-tiba sang mama mertua. -0-Fahri membawa mobilnya cukup kencang. Rengekan Mita yang terus menerus , membuatnya menyerah. Istrinya terus mendesak agar mereka berkunjung ke rumah mertuanyaa."Aku kangen sama Dinda. Ayo, kita kesana." Rengekan Mita untuk ke sekian kalinya membuat tidur siang Fahri tidak nyenyak. "Bukann
"Mita!" Dinda melihat gelagat tidak biasanya dari sahabat yang kini sudah menjadi kakak iparnya itu."Sssh! Apa sih?" Mita melupakan wajahnya yang kian lama kian memerah dan gerakannya yang semakin membuat Dinda curiga."Ayolah. Gua tau lu bohong. Sudah terjadi sesuatu'kan?" Dinda terus mendesak. "Oke. Lu nggak mau cerita, gua tanya sendiri ke kakak ipar gua." Dinda berdiri dan langsung mengambil ancang-ancang mengejar Fahri yang kala itu sedang membawa tumpukan kotak makanan."Eeh!!!" Dengan sigap, Mita menarik lengan Dinda hingga gadis itu terhuyung ke belakang. "Jangan berisik! Ntar gua ceritain. Lu duduk baik-baik en diem-diem di sini. Gua mau ke dapur dulu."Dinda menatap kepergian Mita dengan penuh curiga. Perasaannya mengatakan jika telah terjadi sesuatu pada Mita, dan ia ingin tahu apa itu?"Kenapa?" Suara Arya sangat mengejutkan Dinda. "Jangan penasaran dengan hidup orang lain. Menyibukkan diri dengan hidupnya sendiri adalah sesuatu yang lebih baik dilakukan."Dinda berdecih
Dinda mengerjapkan kedua matanya. Sesuatu yang berat tengah memeluknya. Sangat erat. Hendak berteriak namun ia langsung mengurungkan niatnya saat ia sadar milik siapa lengan ramping yang berotot itu. Wajahnya tiba-tiba kembali memerah saat ia teringat sebab ia berakhir dalam keadaan seperti sekarang.Ciuman hangat Arya masih sangat melekat di kepalanya, dan rasanya pun masih membekas. Ia, secara tidak sengaja menyentuh bibirnya yang terasa bengkak. Bagaimana tidak, pria yang tengah memeluknya sekarang, terus menghujani bibirnya dan hampir seluruh wajahnya, dengan ciuman, seakan mereka tidak akan bertemu lagi."Kenapa baru sekarang? Seharusnya sudah kita mulai dari setelah ijab itu..." gumam Arya tidak jelas sambil menghujani wajah Dinda dengan ciuman. Arya kembali ke bibir Dinda. Ia ternyata tidak bisa jauh dari sini.Dinda hanya memejamkan matanya karena tidak tahu harus berbuat apa. Kata menikmati mungkin bisa mewakili semua.Tangan Arya mulai bergerilya kemana-mana membuat Dinda ta
Hasan mengirim pesan singkat tengah malam, membuat Arya buru-buru bangun, lebih pagi dari yang diinginkannya semula. Dikecupnya kening Dinda begitu lama. Rasanya enggan meninggalkan istri cantiknya sedemikian cepat.Kecupan Arya yang begitu lama, membangunkan Dinda."Mas? Mau kemana?" Suara serak Dinda mengiringi netranya yang terbuka perlahan. Ia merenggangkan badannya sesaat sebelum bangkit dari tidur. Buru-buru Arya menutupi bagian tubuh Dinda yang terbuka. Ia takut tergoda lagi, lalu mangkir dari janji yang sudah ia buat pada Hasan."Aku pergi dulu.""Kemana?""Kampus.""Kampus? Hah?!! Sidang???" Dinda langsung terjingkat kaget. Ia mengira hari ini adalah hari rabu, jadwalnya maju sidang skripsi."Bukan. Ada yang harus aku selesaikan. Ini tentang musuh besarmu. Mega.""Bu Mega?" Dinda tidak yakin. Apakah perempuan itu membuat ulah lagi? "Aku belum bertemu dengan rektor. Seharusnya kami bertemu kemarin, tapi karena kamu sakit jadi ditunda dulu." "Baiklah.""Baik-baik di rumah. J
Arya akhirnya kembali ke kampus ekonomi., diikuti Hasan Sepanjang perjalanan menuju parkir mobil, Arya dan Hasan terlibat diskusi singkat. Kehadiran Hasan di ruang rektor, sungguh di luar dugaannya. "Memang sudah direncanakan atau rencana dadakan?" Arya membuka pintu mobilnya ketika mereka tiba di pelataran parkir gedung rektorat. Sorot matanya penuh selidik membuat Hasan mau tidak mau menghentikan langkahnya.Hasan terkekeh. Jujur ia sendiri tidak pernah berencana melakukan hal ini. Namun, entah mengapa ia merasa perlu untuk menambahkan bukti guna memperkuat data pelanggaran yang telah dilakukan oleh Mega. "Maafkan jika Pak Arya tidak berkenan dengan apa yang saya lakukan barusan." Hasan setengah membungkukkan badannya, bermaksud meminta maaf. "Oh tentu tidak. Tidak keberatan sama sekali, Pak Hasan. Hanya saja, bukti itu- bagaimana Pak Hasan mendapatkannya?" Bukti yang diserahkan Hasan ke Anwar mengganggu Arya."Mita yang memberikannya kepada saya kemarin. Ia berpikir mungkin saj
Mega tengah sibuk dengan tabletnya ketika pintu ruangannya diketuk demikian keras dari luar. Dengan bersungut dan memaki tamu tak diundang itu, ia berjalan dengan malas ke arah pintu. Wajahnya tidak berubah bahkan semakin kesal ketika wajah yang terlihat olehnya, adalah wajah pamannya sendiri."Ada apa lagi, Om?" Mega kembali ke kursinya. Ia kembali memegang tabletnya tanpa melihat bagaimana tegangnya wajah sang paman."Kamuuuu ... !!" Zulkifli sekuat tenaga menahan amarahnya. Bagaimana pun ia saat ini sedang berada di komplek ruang dosen. Sangat tidak baik jika ia meluapkan kemarahan yang sejak tadi ia tahan. Nama baiknya tetap harus dijaga.Mega mengacuhkan teguran pria berusia 50 tahun itu. Seperti tidak ada masalah yang sangat penting, Ia kembali sibuk dengan tabletnya. "Kamu seperti sudah bosan untuk mengajar di sini."Kalimat itu ternyata berhasil menarik perhatian Mega. Wanita itu sontak mengangkat wajah dan meletakkan tabletnya. "Mengapa Om bisa berkata seperti itu? Aku masih
"Mak-Maksud Om apa? Aku nggak ngerti." Mega mulai panik. Ia bisa merasakan hal yang buruk akan menimpa dirinya, namun tetap berusaha mengabaikan."Om buru-buru. Kamu tunggu saja. Cepat atau lambat, kamu akan tahu hasilnya."Mega menatap ponselnya yang kembali gelap. Mungkin sudah waktunya ia berpikir ulang, lebih tepat memikirkan ulang semua hal yang pernah ia lakukan. Tentang kasus penganiayaan yang sudah ia lakukan beberapa waktu lalu, pada mahasiswinya yang sekaligus menantu cucu kesayangan pemilik universitas tempatnya bekerja.Haruskah ia menghubungi papanya?Mega terus saja menatap layar ponselnya yang masih gelap. Ada rasa bimbang tapi ada juga dorongan dalam dirinya untuk melakukan itu. Ia mulai membuat skenario sendiri. Jika ia meminta bantuan orang tuanya, apakah itu tidak akan menimbulkan pertanyaan? Mungkinkah ia akan dapat bantuan secara cuma-cuma atau justru ia akan diinterogasi?"Bu Mega! Di sini rupanya. Saya cari sekeliling kampus sampai jalan ke rektorat, ternyata ma
"Mega Sandrina," gumam Arya pelan. "Apa yang dia lakukan di sini?"Arya terus mengamati gerakan Mega yang masih asyik berbicara dengan sekumpulan mahasiswa. Tidak lama kemudian, Mega berbalik kembali masuk ke mobil putihnya. Mobil itu berjalan pelan keluar dari area koperasi mahasiswa, lalu melesat ke arah fakultas ekonomiKening Arya kembali mengernyit. "Kenapa ke fakultas ekonomi? Jangan-jangan dugaan Dinda benar?"Sosok pria yang pernah dengan Arya sewaktu mereka di Inggris, ternyata tidak mengarah ke Arya. Pria itu masuk ke koperasi mahasiswa lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas untuk digandakan. Arya kembali menjalankan mobilnya. Pikirannya dipenuhi dengan nama Mega. Apa yang perempuan itu lakukan di kampus ini? Pertanyaan ini terus hilir mudik di kepala Arya, membuat dirinya tidak sabar untuk menghubungi Rudy."Ya. Selamat Siang, Pak Arya.""Ada Mega Sandrina di kampus. Apakah ada tujuan dirinya kembali kemari?"Rudy terkejut. "Bu Mega? Mega Sandrina maksud Pak Arya?""Betu
Arya mengusap lembut kepala Dinda. "Bagaimana ya mengatakannya?" Arya bersikap seolah dirinya berada dalam kebingungan yang sangat. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Wajah panik Dinda membuatnya urung meneruskan drama dadakannya."Bukan soal siapa atau orang, melainkan mengapa perekrutan itu dilakukan ketika saya masih berada di luar negeri."Arya mengajak Dinda untuk duduk di sofa yang memang sengaja diletakkan di samping pintu balkon kamarnya."Siapa?" Dinda menjadi penasaran."Siapa lagi kalau bukan mereka yang ada di kampus."Dinda mencebikkan bibirnya. "Kalau nggak niat cerita ya udah nggak usah cerita. Saya kan jadi sebel." Dinda melepaskan pelukan Arya."Yaaa, kenapa marah?" Arya tidak mengerti dengan perubahan ekspresi di wajah Dinda yang begitu drastis. "Nggak marah, cuma kesel. Sebel." "Merasa kesel dan sebel pasti ada alasan di belakangnya. Apa itu tidak sesuai dengan tebakan kamu?"Dengan polosnya, Dinda mengangguk. "Saya kira dia yang malas saya sebutkan namany
Rasa was-was yang dirasakan Mita menular ke Dinda. Secara tidak sadar, perhatian Dinda kini beralih pada sosok pria tinggi yang sepertinya sengaja menutupi wajahnya dengan topi berwarna hitam. Pria itu mulai menyadari jika kehadirannya sudah diketahui Dinda. Ia memutar tubuhnya secepat mungkin, berpura-pura sibuk memilih jam yang dipajang di toko yang berada tepat di belakangnya."Buruan cabut aja deh, Din. Gua takut kenapa-kenapa." Mita mendorong kereta belanja dengan sekuat tenaga. Dalam pikirannya, mereka harus segera meninggalkan supermarket ini. Tidak ada Fahri atau Arya di samping mereka, membuat Mita bersikap sangat waspada, terlebih lagi mereka membawa dua bocah, yang sejak kedatangan mereka, sudah menarik banyak perhatian terutama Brilian.Dinda mengangguk setuju. Mereka bergegas menuju meja kasir yang kosong, untuk kemudian meninggalkan supermarket itu. Bulir keringat bermunculan di kening Mita. Ia sungguh gugup. Takut jika kejadian buruk akan menimpa mereka. Ia membawa mo
Suasana tegang melingkupi ruangan Arya. Yusna mengusap keringat yang mulai memenuhi keningnya, sedangkan Burhan menatap nanar pemuda tampan di hadapannya, yang memiliki aura tak kalah menyeramkan dengan pemilik yayasan."Bagaimana?" Arya masih setia menunggu penjelasan kedua pria paruh baya di depannya. Batin Burhan masih terjadi pergulatan batin. Ia tidak ingin mengaku salah karena dalam kacamatanya, mengaku salah berarti salah. Ia tidak sudi mengakui kesalahannya di depan pemuda belum matang di depannya."Saya mengadakan perekrutan ini bukan tanpa pertimbangan, Pak Arya. Semua berdasarkan permintaan masing-masing fakultas. Ada banyak dosen yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Jika kita tidak cepat mencari calon pengganti mereka, saya khawatir ini berpengaruh pada jumlah serapan mahasiswa baru tahun depan."Yusna mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Burhan tidak jauh berbeda dengan pemikirannya. Mereka harus mempersiapkan calon pengganti lebih awal beberapa bulan sebelum
Rudy mengikuti Arya dari belakang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang rektor muda. Tentang kabar Dinda dan putra mereka, termasuk kehidupan yang keluarga kecil itu jalani selama pendidikan di Inggris. Namun, aura Arya mencegahnya untuk bertanya apapun. Bibirnya seperti dikunci paksa.Keduanya kembali ke ruangan rektor. Sekretaris memberi beberapa dokumen kepada Rudy, untuk selanjutnya disampaikan kepada Arya.Rudy berhenti sejenak untuk mengecek dokumen apa saja yang diterimanya, sebelum diserahkan kepada Arya. "Yusna dan Burhan." Arya menggumam dan gumamannya berhasil mengalihkan perhatian Rudy."Ada yang harus saya lakukan, Pak Arya?" Rudy mendekat dan meletakkan dokumen yang sudah ia periksa."Apa yang mereka lakukan selama aku berada di luar negeri?" Tatapan lurus Arya membuat Rudy sontak mendekat."Saya sudah berusaha menjelaskan beberapa hal kepada beliau berdua, Pak, Akan tetapi, mereka justru menilai saya sebagai perusuh dan tidak mengerti kebutuhan kampus saat i
Dinda baru saja selesai membantu Anggun menyiapkan sarapan pagi bersama Mita, saat dilihatnya Arya sudah berpakaian rapi dengan tas kerjanya. 'Bukannya ke kampus besok? Kenapa berubah? Pagi banget lagi?' Netra Dinda mengikuti kemana pun Arya bergerak. "Pergi kemana? Ke kantor?" Akhirnya Dinda tidak tahan juga untuk bertanya. Wajah Arya yang sangat serius cukup mengganggunya."Ke kampus dulu." Arya mendekat ke arah Dinda, lalu mengecup kening istrinya. "Ada sesuatu yang harus diselesaikan.""Mendadak sekali."Arya mengangguk. "Nanti malam saja ceritanya," bisiknya di telinga Dinda sembari memberi kecupan lembut di sana."Penting banget?" Dinda sepertinya tidak rela jika suaminya itu kembali ke rutinitasnya sebagai dosen."Sangat penting."Dinda mulai menerka-nerka urusan apa yang dimaksud suaminya. Jangan-jangan sosok yang disebut Mita kemarin?"Jangan pergi sebelum sarapan. Hari ini sangat spesial karena dimasak oleh tiga wanita cantik di rumah ini. Kalau kamu tolak, bakal rugi dan k
Mega? Kembali? Wanita itu berada di tempat yang sama dengan mantan dosen pembimibingnya untuk kedua kali? Dinda mengerjapkan kedua netranya. Ia hanya menatap Mita kosong."Tsk. Bener kan tebakan gua. Lu bakal kaget.""Ngapain dia balik lagi ke kampus? Apa belum dipecat?" Dinda mendadak merasa kesal. Mungkinkah Arya sudah membohonginya? Mita tertawa kecil melihat kening Dinda berkerut-kerut. "Pak Arya nggak akan pernah bohong sama elu. Beliau tipikal setia sampai akhirat."Dinda tersipu malu. "Gua sebenernya nggak pa-pa juga kalau dia balik lagi ke kampus.""Serius?" Mita sontak memutar badannya. "Asal doi bukan jadi dosen aja. Balik ke kampus kan tidak selamanya dia balik jadi dosen lagi. Kali aja pas ketemu sama elu, dia numpang lewat atau nganterin temen atau sodaranya yang mau daftar di sana jadi maba.""Bisa jadi juga. Gua begini karena gua masih kesel aja sama dia. Kenapa orang seperti dia malah awet di muka bumi ini, sih?""Hush! Nggak boleh ngomong begitu. Kali aja Tuhan mau
"Mama!!"Teriakan Brilian membuat Dinda langsung memutar tubuhnya dan dengan gerakan super cepat kaki-kakinya yang panjang dan jenjang sudah mengantarkannya ke depan pintu teras. Ia melihat Brilian menangis dalam gendongan Arya.Dinda mendekat ke arah dua pria penting dalam hidupnya. Dinda menyentuh lembut pundak suaminya. Tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun, Arya menceritakan sebab musabah Brilian menangis histeris. "Saking besarnya dia melompati ini hingga jatuh terjerembab di situ." Arya menunjuk ke dinding pemisah antara teras rumah dan pekarangan rumah setinggi enam puluh senti, dan lokasi tempat Brilian jatuh."Mana anak tampan Mama?" Dinda mencoba melihat wajah putranya. Brilian, demi mendengar suara lembut sang mama, langsung mengangkat wajahnya. Ia berusaha keras menahan tangisannya yanga berujung pada cegukan.Dinda tersenyum geli. "Nggak apa-apa kalau masih ingin menangis. Tuh, lihat. Om Fahri sudah berhasil menangkap tikusnya."Dari kejauhan tampak Fahri memegang ta
Fahriza masih tertegun di jok belakang. Ia masih tetap menatap ke arah bocah laki-laki yang ditunjukkan mamanya. "Sayang... Kamu tidak ikut turun?" Panggilan Mita membuyarkan lamunan Fahriza. Bocah kecil itu keluar dengan terburu-buru, lalu lari menghambur mencari sang nenek"Nenek!"panggil Fahriza heboh. Ia tidak mempedulikan beberapa tamu yang tengah duduk berbincang dengan Dermawan. Fahriza tiba-tiba berhenti di tengah ruang tamu. Netranya menabrak sosok asing yang tidak pernah ia temui sebelumnya.'Mengapa Papa ada dua?' gumam Fahriza keheranan. Perhatian Fahriza terpusat pada sosok yang sedang menuruni tangga. Pria tinggi, putih dan sangat tampan. Sekilas memang mirip papanya, tapi jika dilihat lebih dalam, pria dewasa itu lebih tampan dari papanya. Mita yang berjalan di belakang Fahriza menatap penuh heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa, Za? Ada hantu? Mana? Biar Mama pukul pakai tas Mama ini." Mita megusap lembut pucuk kepala Fahriza."Mama!""Ya, Sayang.""Mengapa Papa