Hasan mengirim pesan singkat tengah malam, membuat Arya buru-buru bangun, lebih pagi dari yang diinginkannya semula. Dikecupnya kening Dinda begitu lama. Rasanya enggan meninggalkan istri cantiknya sedemikian cepat.Kecupan Arya yang begitu lama, membangunkan Dinda."Mas? Mau kemana?" Suara serak Dinda mengiringi netranya yang terbuka perlahan. Ia merenggangkan badannya sesaat sebelum bangkit dari tidur. Buru-buru Arya menutupi bagian tubuh Dinda yang terbuka. Ia takut tergoda lagi, lalu mangkir dari janji yang sudah ia buat pada Hasan."Aku pergi dulu.""Kemana?""Kampus.""Kampus? Hah?!! Sidang???" Dinda langsung terjingkat kaget. Ia mengira hari ini adalah hari rabu, jadwalnya maju sidang skripsi."Bukan. Ada yang harus aku selesaikan. Ini tentang musuh besarmu. Mega.""Bu Mega?" Dinda tidak yakin. Apakah perempuan itu membuat ulah lagi? "Aku belum bertemu dengan rektor. Seharusnya kami bertemu kemarin, tapi karena kamu sakit jadi ditunda dulu." "Baiklah.""Baik-baik di rumah. J
Arya akhirnya kembali ke kampus ekonomi., diikuti Hasan Sepanjang perjalanan menuju parkir mobil, Arya dan Hasan terlibat diskusi singkat. Kehadiran Hasan di ruang rektor, sungguh di luar dugaannya. "Memang sudah direncanakan atau rencana dadakan?" Arya membuka pintu mobilnya ketika mereka tiba di pelataran parkir gedung rektorat. Sorot matanya penuh selidik membuat Hasan mau tidak mau menghentikan langkahnya.Hasan terkekeh. Jujur ia sendiri tidak pernah berencana melakukan hal ini. Namun, entah mengapa ia merasa perlu untuk menambahkan bukti guna memperkuat data pelanggaran yang telah dilakukan oleh Mega. "Maafkan jika Pak Arya tidak berkenan dengan apa yang saya lakukan barusan." Hasan setengah membungkukkan badannya, bermaksud meminta maaf. "Oh tentu tidak. Tidak keberatan sama sekali, Pak Hasan. Hanya saja, bukti itu- bagaimana Pak Hasan mendapatkannya?" Bukti yang diserahkan Hasan ke Anwar mengganggu Arya."Mita yang memberikannya kepada saya kemarin. Ia berpikir mungkin saj
Mega tengah sibuk dengan tabletnya ketika pintu ruangannya diketuk demikian keras dari luar. Dengan bersungut dan memaki tamu tak diundang itu, ia berjalan dengan malas ke arah pintu. Wajahnya tidak berubah bahkan semakin kesal ketika wajah yang terlihat olehnya, adalah wajah pamannya sendiri."Ada apa lagi, Om?" Mega kembali ke kursinya. Ia kembali memegang tabletnya tanpa melihat bagaimana tegangnya wajah sang paman."Kamuuuu ... !!" Zulkifli sekuat tenaga menahan amarahnya. Bagaimana pun ia saat ini sedang berada di komplek ruang dosen. Sangat tidak baik jika ia meluapkan kemarahan yang sejak tadi ia tahan. Nama baiknya tetap harus dijaga.Mega mengacuhkan teguran pria berusia 50 tahun itu. Seperti tidak ada masalah yang sangat penting, Ia kembali sibuk dengan tabletnya. "Kamu seperti sudah bosan untuk mengajar di sini."Kalimat itu ternyata berhasil menarik perhatian Mega. Wanita itu sontak mengangkat wajah dan meletakkan tabletnya. "Mengapa Om bisa berkata seperti itu? Aku masih
"Mak-Maksud Om apa? Aku nggak ngerti." Mega mulai panik. Ia bisa merasakan hal yang buruk akan menimpa dirinya, namun tetap berusaha mengabaikan."Om buru-buru. Kamu tunggu saja. Cepat atau lambat, kamu akan tahu hasilnya."Mega menatap ponselnya yang kembali gelap. Mungkin sudah waktunya ia berpikir ulang, lebih tepat memikirkan ulang semua hal yang pernah ia lakukan. Tentang kasus penganiayaan yang sudah ia lakukan beberapa waktu lalu, pada mahasiswinya yang sekaligus menantu cucu kesayangan pemilik universitas tempatnya bekerja.Haruskah ia menghubungi papanya?Mega terus saja menatap layar ponselnya yang masih gelap. Ada rasa bimbang tapi ada juga dorongan dalam dirinya untuk melakukan itu. Ia mulai membuat skenario sendiri. Jika ia meminta bantuan orang tuanya, apakah itu tidak akan menimbulkan pertanyaan? Mungkinkah ia akan dapat bantuan secara cuma-cuma atau justru ia akan diinterogasi?"Bu Mega! Di sini rupanya. Saya cari sekeliling kampus sampai jalan ke rektorat, ternyata ma
"Papa tahu darimana berita itu? Itu semua tidak benar, Pa. Tidak benar!" Ulang Mega. Ia tidak pernah mengira jika orang tuanya mengetahui kejadian itu, mengingat dirinya sendiri tidak pernah bercerita tentang pekerjaan dan kegiatannya di kampus."Bagaimana papa tahu itu bukan urusan kamu, tapi yang perlu kamu tahu bahwa apa yang sudah kamu lakukan itu sudah mencoreng nama besar keluarga. Kamu tahu itu?!" Mega terdiam. Nafsunya ingin menyela tapi bibirnya tertutup rapat."Kamu kira kamu hidup sendiri di dunia ini? Hingga kamu bisa berbuat seenaknya dan semau-mu sendiri?' Tatapan Haris menggambarkan jika ia sangat ingin menerkam putrinya. Mengapa putrinya bisa berbuat sembarangan seperti itu, mengganggu kehidupan orang dengan tindakan bar-bar seperti kemarin?"Apa yang terlintas dalam benakmu, hah?! Hingga kamu merendahkan dirimu sedemikian rupa, hanya demi seorang pria yang sama sekali tidak mencintaimu?""Siapa bilang Pak Arya tidak mencintaiku? Dia mencintaiku, Pa, hanya saja, dia s
“TUHAAAAAN!!!! Kalau sampai pendadaran besok, gua nggak lulus lagi. Gua mau merit sama siapa aja yang ngajak gua nikah duluan!!!!”Sebuah teriakan terdengar dari salah satu kamar, rumah besar bercat putih yang terletak di komplek perumahan elit kota J. seiring berhentinya teriakan itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di atas langit. Awan hitam mendadak menyelimuti kota J.“Dindaaaaaa!!!” Suara gedoran dan teriakan di depan pintu kamar Dinda terdengar tak kalah keras.“Apaaa?!”“Jangan ngomong yang nggak-nggak! Kalau beneran gimana? Sapa yang mau nikah sama lu! Anak bau kencur sok-sokan minta nikah!”“Apaan sih, Kak! Yang nikahkan Dinda, kenapa kakak yang sewot?”Perang mulut tak berujung antara dua bersaudara, kembali mewarnai suasana Jumat siang di rumah Broto Handjoyo, seorang saudagar kain dan pemilik peternakan sapi yang berjumlah ratusan ekor.****Hari ini adalah kali kedua Dinda, gadis cantik berusia 22 tahun, maju sidang skipsi. Sayangnya, sama dengan sidang pertama satu bu
Sosok tinggi dengan postur ideal berkulit putih melintas di depan ruangan perpus pusat. Kedua netranya terpaku pada seorang gadis yang sedang berdiri, terpaku di depan papan pengumuman, di samping pintu masuk perpus pusat yang berada tepat di belakang gedung rektorat, Universitas Panca Satrya.Raut wajah gadis itu tidak bisa ditebak. Namun yang jelas, wajah itu jauh dari kebahagiaan. Ada sorot kecewa di kedua netra gadis itu. Beberapa menit kemudian, gadis itu membalikkan badannya, menatap ke atas langit, lalu menghembuskan napasnya dengan kasar.Gadis itu kemudian melangkah, berhenti sebentar lalu menendang sebuah kerikil yang kebetulan berada tepat di depannya.Sosok tinggi itu mengernyitkan keningnya. Ia seperti pernah melihat gadis itu. Bukannya gadis itu yang kemarin dinyatakan sebagai satu-satunya peserta sidang skripsi yang tidak lulus? Bukannya ia yang menjadi salah satu dosen pengujinya?Saat ia ingin mengikuti dari belakang, tiba-tiba seorang pria menghampiri dan menepuk pu
Dinda duduk terpengkur di meja perpus. Kepalanya benar-benar pusing. Pengunduran jadwal sidang skripsi diundur hampir tiga bulan. Itu artinya ia harus menambah satu semester lagi. Gadis itu mengacak-acak poninya, lalu meniupnya ke atas. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan.Apa yang akan ia lakukan selama satu semester itu? Masa iya dirinya melewatkan satu semester hanya untuk menunggu sidang skripsi? Sekian juta dikeluarkan hanya untuk sidang skripsi? Benar-benar sebuah pemborosan.Teringat kenyataan satu bulan yang lalu, bahwa dirinya tidak lulus sidang untuk yang kedua kali, dan semua itu karena dosen pembimbingnya sendiri yang memberi nilai D, membuat Dinda kembali kesal. Ingin rasanya ia menarik konde sang dosen lepas dari tempatnya, lalu mencaci maki, mengirim sumpah serapah semua hewan yang ada di kebun binatang Ragunan.“Sabar.” Sebuah tepukan kecil di pundaknya, membuat Dinda segera mendongakkan kepalanya. Perasaan Dinda tidak enak.“Ape lu?!!!” tanya Dinda sengit. Ia melihat