"Papa tahu darimana berita itu? Itu semua tidak benar, Pa. Tidak benar!" Ulang Mega. Ia tidak pernah mengira jika orang tuanya mengetahui kejadian itu, mengingat dirinya sendiri tidak pernah bercerita tentang pekerjaan dan kegiatannya di kampus."Bagaimana papa tahu itu bukan urusan kamu, tapi yang perlu kamu tahu bahwa apa yang sudah kamu lakukan itu sudah mencoreng nama besar keluarga. Kamu tahu itu?!" Mega terdiam. Nafsunya ingin menyela tapi bibirnya tertutup rapat."Kamu kira kamu hidup sendiri di dunia ini? Hingga kamu bisa berbuat seenaknya dan semau-mu sendiri?' Tatapan Haris menggambarkan jika ia sangat ingin menerkam putrinya. Mengapa putrinya bisa berbuat sembarangan seperti itu, mengganggu kehidupan orang dengan tindakan bar-bar seperti kemarin?"Apa yang terlintas dalam benakmu, hah?! Hingga kamu merendahkan dirimu sedemikian rupa, hanya demi seorang pria yang sama sekali tidak mencintaimu?""Siapa bilang Pak Arya tidak mencintaiku? Dia mencintaiku, Pa, hanya saja, dia s
Arya meneguk kopi pahit yang baru saja disajikan Dinda. Kemeja lengan panjang sudah begitu rapi melekat di tubuhnya. Angannya melayang ke percakapan antara dirinya dengan Anwar. Kepalanya terkadang menggeleng ke kanan beberapa kali. Netranya terpejam beberapa saat, dan terbuka kembali, kemudian kembali menyesap cairan hitam yang mengepulkan asap putih di depannya."Ada masalah di kampus?" Dinda sudah duduk di seberang Arya.Arya mengangkat kedua bahunya. "Sulit tidak sulit. Mudah tidak mudah. Tergantung bagaimana cara menelaahnya dan merumuskan langkah-langkah yang harus diambil untuk penyelesaiannya."Dinda berdecak. "Ribet amat. Tinggal diketok aja palunya. Selesai.""Maunya begitu, tapi ..." Arya mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku lebih memilih untuk memecatnya secepat mungkin. Tidak usah bertele-tele.""Ya sudah. Pecat saja. Betewe, kakek sudah tahu?"Arya mengangguk. "Papa yang cerita. Baru tahu tadi malam."Dinda manggut-manggut. "Terus? Masalahnya dimana?""Kakek menyerahkan
"Ada yang bisa menjelaskan kepada saya?" Arya menatap tajam Hasan. Hasan menghela napas. Apa yang ia takutkan kemarin, benar-benar terjadi. "Saya tidak bisa menjelaskan apa pun, Pak Arya. Sumber yang tepat ada di hadapan Pak Arya, dan beliau-lah yang lebih pantas untuk menjelaskan yang terjadi pagi ini."Hasan tidak ingin namanya terlibat dalam kasus Mega. Dari awal, ia sudah tidak ingin terlibat jauh, namun keputusan Zulkifli kemarin sore, suka tidak suka, membuatnya berhadapan dengan Arya."Saya sudah mengajukan keberatan tapi beliau masih bersikukuh dengan idenya ini. Jadi, saya mohon maaf, Pak Arya. Saya tidak bisa menjelaskan apa-pun."Zulkifli hanya tertunduk lesu. Ia tidak mengira, pria muda di depannya begitu mengerikan saat ini. Dulu, ia mengira akan sangat mudah mempengaruhi. Kenyataannya, ia justru tidak dapat berbuat apa-apa."Saya sudah memberi peringatan kepada Pak Anwar mengenai hal ini. Tepat dua hari yang lalu, kami bertukar pikiran. Namun kenyataannya, beliau tidak
Tiga puluh menit berlalu. Arya dan Hasan duduk menyimak pernyataan Zulkifli. Hanya ada mereka bertiga di ruangan transit. Wajah Zulkifli tampak pasrah, sedangkan Arya tidak berekspresi sama sekali. Datar dan dingin. "Saya tidak akan melakukan ini tanpa jaminan apa pun. Saya akan mempertaruhkan karir saya di sini. Jika dia tidak mau melakukan hal yang saya perintahkan padanya kemarin malam, maka hari ini juga, saya akan menyerahkan surat pengunduran diri saya sebagai salah satu staf pengajar di kampus ini."Hasan langsung bangkit dari duduknya. "Pak Zul! Anda tidak sepatutnya melakukan pengorbanan begitu besar untuk kasus ini.""Tidak, Pak Hasan. Saya harus melakukan ini. Ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab saya karena telah membawa orang yang salah, yang integritasnya begitu rendah dan tidak memiliki jiwa pengabdian yang tinggi. Dua hal yang sangat penting, yang harus dimiliki oleh seorang pendidik."Hasan terhenyak. Dalam hati, ia mengumpat Mega. Betapa gadis itu sangat berun
"Mengapa baru sekarang?" celetuk Arya setelah Mega pergi dari ruang sidang. "Hah?' Hasan merasa aneh dengan celetukan Arya."Jika dia mengajukan surat ini jauh sebelum peristiwa buruk itu menimpa Dinda, mungkin saja tidak akan ada proses hukum untuknya."Mak-Maksud Pak Arya, Pak Arya tetap ingin memproses ini lewat jalur hukum?"Arya memutar tubuhnya hingga kini mereka berdua saling berhadapan. "Apakah Pak Hasan tidak merasa aneh dengan pengajuan surat pengunduran ini? Mengapa baru sekarang diberikan? Kepada saya pula? Bukankah itu aneh? Bisakah saya mengatakan mereka sedang berusaha untuk menyuap saya?"Hasan semakin terpaku dengan pernyataan Arya. "Ta-Tapi, Pak Arya. Bisa saja Pak Zul menyuruh keponakannya untuk meminta maaf kepada anda dan istri terkait perbuatannya beberapa waktu lalu. Dan salah satu bentuk permintaan maafnya adalah mengundurkan diri.""Di saat saya berkeinginan untuk membawa masalah ini ke jalur hukum?""Jadi-benar, kalau Pak Arya tetap memproses perbuatan Bu Me
"Karena dia sudah tidak ada di kampus lagi?" bisik Arya lebih pelan dari sebelumnya."Ya kan sudah sangat jelas, Mas. Menjelang sore begini, masa iya dia ngajar."Arya menatap gemas Dinda. "Bukannya tadi sudah saya bilang, ceritanya nanti kalau pas mau tidur. Sekarang kita makan-makan dulu. Setidaknya, biarkan suami kamu ini menikmati hidangan enak sebanyak ini."Dinda langsung terdiam begitu Arya menyerahkan piring ke hadapannya. Mau tidak mau, Dinda berdiri dan mulai mengisi piring."Makan besar beneran ini," sindir Dani melihat piring Arya yang menggunung akibat ulah Dinda.Dinda hanya nyengir kuda."Sini makan bareng. Saya suapin sekalian?" Arya mengambil piring Dinda dan bersiap menyuapkan suapan pertama ke istrinya."Nggak, ah.""Lagian, siapa yang suruh mengambil begitu banyak sampai penuh begini?""Katanya mau makan besar, jadi ya ini," ujar Dinda sembari menunjuk ke arah piring di hadapan Arya.Ketukan di pintu menghentikan debat kecil Arya dan Dinda. Tidak seperti biasanya. D
"Jadi?" Dinda mengulangi pertanyaannya."Tentu saja jadi. Tinggal menunggu tiket pesawat saja."Dinda terdiam. Ia lupa jika Arya akan melanjutkan studinya ke luar negeri. Ia mulai bimbang. Kehidupannya sebagai sepasang suami istri bersama Arya baru saja dimulai. Ia merasa masih membutuhkan bimbingan kedua orang tuanya. Bagaimana pun, Arya masih orang asing baginya. Ia takut tidak dapat mengimbangi kepribadian Arya yang begitu sempurna di matanya."Kenapa?" Arya menangkap ketakutan Dinda. Ia meraih kedua tangan Dinda. "Tidak akan lama. Saya akan berusaha secepat mungkin untuk menyelesaikan studi. Itulah mengapa saya menyegerakan untuk menikahi kamu, supaya kita dapat mengenal satu sama lain lebih cepat.""Tapi, itu berarti kan kita harus jauh dari papa dan mama selama ... " Dinda tidak sanggup meneruskan kalimatnya."Kamu takut?" Arya menatap Dinda begitu dalam.Dinda bergeming. Ia tidak dapat menutupi perasaannya. "Kalau begitu, mungkin kamu lebih baik di sini saja. Biar saya sendiri
Arya menaikkan kecepatan mobilnya. "Kalau seperti ini, kapan nyampe-nya." Lama kelamaan ia merasa gemas melihat kendaraan Fahri seolah jalan di tempat. Mobil sedan putih milik Broto yang malam itu dikendarai Arya, melesat menyalip mobil Fahri. Pujasera yang dituju sudah berada seratus meter di depan mereka.*Lu dimana?Suara di ujung sana membuat Mita terpaku. Ia tidak yakin. Benarkah itu suara Dinda?*Lu sariawan? Ato ini yang jawab kakak ipar? Dinda semakin kesal karena Mita tidak kunjung menjawab pertanyaannya."I-Iya-Iya. Lu berisik banget. Kenapa emang?" Hati Mita menjadi hangat. Rasa galau dan gelisah yang ia rasakan sebelumnya, menguap begitu saja.*Ikutin mobil yang baru aja ngelewatin mobil kalian."Mita sibuk mengamati mobil yang berjalan di depannya. "Itu mobil siapa?""Papa." Fahri mengamati Mita yang keheranan menatap mobil yang baru saja mendahului mereka. "Emang kenapa?""Papa? Papa ngajakin kita jalan-jalan? Papa ikut kita jalan-jalan?" Mita tidak dapat menyembunyikan
"Mega Sandrina," gumam Arya pelan. "Apa yang dia lakukan di sini?"Arya terus mengamati gerakan Mega yang masih asyik berbicara dengan sekumpulan mahasiswa. Tidak lama kemudian, Mega berbalik kembali masuk ke mobil putihnya. Mobil itu berjalan pelan keluar dari area koperasi mahasiswa, lalu melesat ke arah fakultas ekonomiKening Arya kembali mengernyit. "Kenapa ke fakultas ekonomi? Jangan-jangan dugaan Dinda benar?"Sosok pria yang pernah dengan Arya sewaktu mereka di Inggris, ternyata tidak mengarah ke Arya. Pria itu masuk ke koperasi mahasiswa lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas untuk digandakan. Arya kembali menjalankan mobilnya. Pikirannya dipenuhi dengan nama Mega. Apa yang perempuan itu lakukan di kampus ini? Pertanyaan ini terus hilir mudik di kepala Arya, membuat dirinya tidak sabar untuk menghubungi Rudy."Ya. Selamat Siang, Pak Arya.""Ada Mega Sandrina di kampus. Apakah ada tujuan dirinya kembali kemari?"Rudy terkejut. "Bu Mega? Mega Sandrina maksud Pak Arya?""Betu
Arya mengusap lembut kepala Dinda. "Bagaimana ya mengatakannya?" Arya bersikap seolah dirinya berada dalam kebingungan yang sangat. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Wajah panik Dinda membuatnya urung meneruskan drama dadakannya."Bukan soal siapa atau orang, melainkan mengapa perekrutan itu dilakukan ketika saya masih berada di luar negeri."Arya mengajak Dinda untuk duduk di sofa yang memang sengaja diletakkan di samping pintu balkon kamarnya."Siapa?" Dinda menjadi penasaran."Siapa lagi kalau bukan mereka yang ada di kampus."Dinda mencebikkan bibirnya. "Kalau nggak niat cerita ya udah nggak usah cerita. Saya kan jadi sebel." Dinda melepaskan pelukan Arya."Yaaa, kenapa marah?" Arya tidak mengerti dengan perubahan ekspresi di wajah Dinda yang begitu drastis. "Nggak marah, cuma kesel. Sebel." "Merasa kesel dan sebel pasti ada alasan di belakangnya. Apa itu tidak sesuai dengan tebakan kamu?"Dengan polosnya, Dinda mengangguk. "Saya kira dia yang malas saya sebutkan namany
Rasa was-was yang dirasakan Mita menular ke Dinda. Secara tidak sadar, perhatian Dinda kini beralih pada sosok pria tinggi yang sepertinya sengaja menutupi wajahnya dengan topi berwarna hitam. Pria itu mulai menyadari jika kehadirannya sudah diketahui Dinda. Ia memutar tubuhnya secepat mungkin, berpura-pura sibuk memilih jam yang dipajang di toko yang berada tepat di belakangnya."Buruan cabut aja deh, Din. Gua takut kenapa-kenapa." Mita mendorong kereta belanja dengan sekuat tenaga. Dalam pikirannya, mereka harus segera meninggalkan supermarket ini. Tidak ada Fahri atau Arya di samping mereka, membuat Mita bersikap sangat waspada, terlebih lagi mereka membawa dua bocah, yang sejak kedatangan mereka, sudah menarik banyak perhatian terutama Brilian.Dinda mengangguk setuju. Mereka bergegas menuju meja kasir yang kosong, untuk kemudian meninggalkan supermarket itu. Bulir keringat bermunculan di kening Mita. Ia sungguh gugup. Takut jika kejadian buruk akan menimpa mereka. Ia membawa mo
Suasana tegang melingkupi ruangan Arya. Yusna mengusap keringat yang mulai memenuhi keningnya, sedangkan Burhan menatap nanar pemuda tampan di hadapannya, yang memiliki aura tak kalah menyeramkan dengan pemilik yayasan."Bagaimana?" Arya masih setia menunggu penjelasan kedua pria paruh baya di depannya. Batin Burhan masih terjadi pergulatan batin. Ia tidak ingin mengaku salah karena dalam kacamatanya, mengaku salah berarti salah. Ia tidak sudi mengakui kesalahannya di depan pemuda belum matang di depannya."Saya mengadakan perekrutan ini bukan tanpa pertimbangan, Pak Arya. Semua berdasarkan permintaan masing-masing fakultas. Ada banyak dosen yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Jika kita tidak cepat mencari calon pengganti mereka, saya khawatir ini berpengaruh pada jumlah serapan mahasiswa baru tahun depan."Yusna mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Burhan tidak jauh berbeda dengan pemikirannya. Mereka harus mempersiapkan calon pengganti lebih awal beberapa bulan sebelum
Rudy mengikuti Arya dari belakang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang rektor muda. Tentang kabar Dinda dan putra mereka, termasuk kehidupan yang keluarga kecil itu jalani selama pendidikan di Inggris. Namun, aura Arya mencegahnya untuk bertanya apapun. Bibirnya seperti dikunci paksa.Keduanya kembali ke ruangan rektor. Sekretaris memberi beberapa dokumen kepada Rudy, untuk selanjutnya disampaikan kepada Arya.Rudy berhenti sejenak untuk mengecek dokumen apa saja yang diterimanya, sebelum diserahkan kepada Arya. "Yusna dan Burhan." Arya menggumam dan gumamannya berhasil mengalihkan perhatian Rudy."Ada yang harus saya lakukan, Pak Arya?" Rudy mendekat dan meletakkan dokumen yang sudah ia periksa."Apa yang mereka lakukan selama aku berada di luar negeri?" Tatapan lurus Arya membuat Rudy sontak mendekat."Saya sudah berusaha menjelaskan beberapa hal kepada beliau berdua, Pak, Akan tetapi, mereka justru menilai saya sebagai perusuh dan tidak mengerti kebutuhan kampus saat i
Dinda baru saja selesai membantu Anggun menyiapkan sarapan pagi bersama Mita, saat dilihatnya Arya sudah berpakaian rapi dengan tas kerjanya. 'Bukannya ke kampus besok? Kenapa berubah? Pagi banget lagi?' Netra Dinda mengikuti kemana pun Arya bergerak. "Pergi kemana? Ke kantor?" Akhirnya Dinda tidak tahan juga untuk bertanya. Wajah Arya yang sangat serius cukup mengganggunya."Ke kampus dulu." Arya mendekat ke arah Dinda, lalu mengecup kening istrinya. "Ada sesuatu yang harus diselesaikan.""Mendadak sekali."Arya mengangguk. "Nanti malam saja ceritanya," bisiknya di telinga Dinda sembari memberi kecupan lembut di sana."Penting banget?" Dinda sepertinya tidak rela jika suaminya itu kembali ke rutinitasnya sebagai dosen."Sangat penting."Dinda mulai menerka-nerka urusan apa yang dimaksud suaminya. Jangan-jangan sosok yang disebut Mita kemarin?"Jangan pergi sebelum sarapan. Hari ini sangat spesial karena dimasak oleh tiga wanita cantik di rumah ini. Kalau kamu tolak, bakal rugi dan k
Mega? Kembali? Wanita itu berada di tempat yang sama dengan mantan dosen pembimibingnya untuk kedua kali? Dinda mengerjapkan kedua netranya. Ia hanya menatap Mita kosong."Tsk. Bener kan tebakan gua. Lu bakal kaget.""Ngapain dia balik lagi ke kampus? Apa belum dipecat?" Dinda mendadak merasa kesal. Mungkinkah Arya sudah membohonginya? Mita tertawa kecil melihat kening Dinda berkerut-kerut. "Pak Arya nggak akan pernah bohong sama elu. Beliau tipikal setia sampai akhirat."Dinda tersipu malu. "Gua sebenernya nggak pa-pa juga kalau dia balik lagi ke kampus.""Serius?" Mita sontak memutar badannya. "Asal doi bukan jadi dosen aja. Balik ke kampus kan tidak selamanya dia balik jadi dosen lagi. Kali aja pas ketemu sama elu, dia numpang lewat atau nganterin temen atau sodaranya yang mau daftar di sana jadi maba.""Bisa jadi juga. Gua begini karena gua masih kesel aja sama dia. Kenapa orang seperti dia malah awet di muka bumi ini, sih?""Hush! Nggak boleh ngomong begitu. Kali aja Tuhan mau
"Mama!!"Teriakan Brilian membuat Dinda langsung memutar tubuhnya dan dengan gerakan super cepat kaki-kakinya yang panjang dan jenjang sudah mengantarkannya ke depan pintu teras. Ia melihat Brilian menangis dalam gendongan Arya.Dinda mendekat ke arah dua pria penting dalam hidupnya. Dinda menyentuh lembut pundak suaminya. Tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun, Arya menceritakan sebab musabah Brilian menangis histeris. "Saking besarnya dia melompati ini hingga jatuh terjerembab di situ." Arya menunjuk ke dinding pemisah antara teras rumah dan pekarangan rumah setinggi enam puluh senti, dan lokasi tempat Brilian jatuh."Mana anak tampan Mama?" Dinda mencoba melihat wajah putranya. Brilian, demi mendengar suara lembut sang mama, langsung mengangkat wajahnya. Ia berusaha keras menahan tangisannya yanga berujung pada cegukan.Dinda tersenyum geli. "Nggak apa-apa kalau masih ingin menangis. Tuh, lihat. Om Fahri sudah berhasil menangkap tikusnya."Dari kejauhan tampak Fahri memegang ta
Fahriza masih tertegun di jok belakang. Ia masih tetap menatap ke arah bocah laki-laki yang ditunjukkan mamanya. "Sayang... Kamu tidak ikut turun?" Panggilan Mita membuyarkan lamunan Fahriza. Bocah kecil itu keluar dengan terburu-buru, lalu lari menghambur mencari sang nenek"Nenek!"panggil Fahriza heboh. Ia tidak mempedulikan beberapa tamu yang tengah duduk berbincang dengan Dermawan. Fahriza tiba-tiba berhenti di tengah ruang tamu. Netranya menabrak sosok asing yang tidak pernah ia temui sebelumnya.'Mengapa Papa ada dua?' gumam Fahriza keheranan. Perhatian Fahriza terpusat pada sosok yang sedang menuruni tangga. Pria tinggi, putih dan sangat tampan. Sekilas memang mirip papanya, tapi jika dilihat lebih dalam, pria dewasa itu lebih tampan dari papanya. Mita yang berjalan di belakang Fahriza menatap penuh heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa, Za? Ada hantu? Mana? Biar Mama pukul pakai tas Mama ini." Mita megusap lembut pucuk kepala Fahriza."Mama!""Ya, Sayang.""Mengapa Papa