"Karena dia sudah tidak ada di kampus lagi?" bisik Arya lebih pelan dari sebelumnya."Ya kan sudah sangat jelas, Mas. Menjelang sore begini, masa iya dia ngajar."Arya menatap gemas Dinda. "Bukannya tadi sudah saya bilang, ceritanya nanti kalau pas mau tidur. Sekarang kita makan-makan dulu. Setidaknya, biarkan suami kamu ini menikmati hidangan enak sebanyak ini."Dinda langsung terdiam begitu Arya menyerahkan piring ke hadapannya. Mau tidak mau, Dinda berdiri dan mulai mengisi piring."Makan besar beneran ini," sindir Dani melihat piring Arya yang menggunung akibat ulah Dinda.Dinda hanya nyengir kuda."Sini makan bareng. Saya suapin sekalian?" Arya mengambil piring Dinda dan bersiap menyuapkan suapan pertama ke istrinya."Nggak, ah.""Lagian, siapa yang suruh mengambil begitu banyak sampai penuh begini?""Katanya mau makan besar, jadi ya ini," ujar Dinda sembari menunjuk ke arah piring di hadapan Arya.Ketukan di pintu menghentikan debat kecil Arya dan Dinda. Tidak seperti biasanya. D
"Jadi?" Dinda mengulangi pertanyaannya."Tentu saja jadi. Tinggal menunggu tiket pesawat saja."Dinda terdiam. Ia lupa jika Arya akan melanjutkan studinya ke luar negeri. Ia mulai bimbang. Kehidupannya sebagai sepasang suami istri bersama Arya baru saja dimulai. Ia merasa masih membutuhkan bimbingan kedua orang tuanya. Bagaimana pun, Arya masih orang asing baginya. Ia takut tidak dapat mengimbangi kepribadian Arya yang begitu sempurna di matanya."Kenapa?" Arya menangkap ketakutan Dinda. Ia meraih kedua tangan Dinda. "Tidak akan lama. Saya akan berusaha secepat mungkin untuk menyelesaikan studi. Itulah mengapa saya menyegerakan untuk menikahi kamu, supaya kita dapat mengenal satu sama lain lebih cepat.""Tapi, itu berarti kan kita harus jauh dari papa dan mama selama ... " Dinda tidak sanggup meneruskan kalimatnya."Kamu takut?" Arya menatap Dinda begitu dalam.Dinda bergeming. Ia tidak dapat menutupi perasaannya. "Kalau begitu, mungkin kamu lebih baik di sini saja. Biar saya sendiri
Arya menaikkan kecepatan mobilnya. "Kalau seperti ini, kapan nyampe-nya." Lama kelamaan ia merasa gemas melihat kendaraan Fahri seolah jalan di tempat. Mobil sedan putih milik Broto yang malam itu dikendarai Arya, melesat menyalip mobil Fahri. Pujasera yang dituju sudah berada seratus meter di depan mereka.*Lu dimana?Suara di ujung sana membuat Mita terpaku. Ia tidak yakin. Benarkah itu suara Dinda?*Lu sariawan? Ato ini yang jawab kakak ipar? Dinda semakin kesal karena Mita tidak kunjung menjawab pertanyaannya."I-Iya-Iya. Lu berisik banget. Kenapa emang?" Hati Mita menjadi hangat. Rasa galau dan gelisah yang ia rasakan sebelumnya, menguap begitu saja.*Ikutin mobil yang baru aja ngelewatin mobil kalian."Mita sibuk mengamati mobil yang berjalan di depannya. "Itu mobil siapa?""Papa." Fahri mengamati Mita yang keheranan menatap mobil yang baru saja mendahului mereka. "Emang kenapa?""Papa? Papa ngajakin kita jalan-jalan? Papa ikut kita jalan-jalan?" Mita tidak dapat menyembunyikan
“TUHAAAAAN!!!! Kalau sampai pendadaran besok, gua nggak lulus lagi. Gua mau merit sama siapa aja yang ngajak gua nikah duluan!!!!”Sebuah teriakan terdengar dari salah satu kamar, rumah besar bercat putih yang terletak di komplek perumahan elit kota J. seiring berhentinya teriakan itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di atas langit. Awan hitam mendadak menyelimuti kota J.“Dindaaaaaa!!!” Suara gedoran dan teriakan di depan pintu kamar Dinda terdengar tak kalah keras.“Apaaa?!”“Jangan ngomong yang nggak-nggak! Kalau beneran gimana? Sapa yang mau nikah sama lu! Anak bau kencur sok-sokan minta nikah!”“Apaan sih, Kak! Yang nikahkan Dinda, kenapa kakak yang sewot?”Perang mulut tak berujung antara dua bersaudara, kembali mewarnai suasana Jumat siang di rumah Broto Handjoyo, seorang saudagar kain dan pemilik peternakan sapi yang berjumlah ratusan ekor.****Hari ini adalah kali kedua Dinda, gadis cantik berusia 22 tahun, maju sidang skipsi. Sayangnya, sama dengan sidang pertama satu bul
Sosok tinggi dengan postur ideal berkulit putih melintas di depan ruangan perpus pusat. Kedua netranya terpaku pada seorang gadis yang sedang berdiri, terpaku di depan papan pengumuman, di samping pintu masuk perpus pusat yang berada tepat di belakang gedung rektorat, Universitas Panca Satrya.Raut wajah gadis itu tidak bisa ditebak. Namun yang jelas, wajah itu jauh dari kebahagiaan. Ada sorot kecewa di kedua netra gadis itu. Beberapa menit kemudian, gadis itu membalikkan badannya, menatap ke atas langit, lalu menghembuskan napasnya dengan kasar.Gadis itu kemudian melangkah, berhenti sebentar lalu menendang sebuah kerikil yang kebetulan berada tepat di depannya.Sosok tinggi itu mengernyitkan keningnya. Ia seperti pernah melihat gadis itu. Bukannya gadis itu yang kemarin dinyatakan sebagai satu-satunya peserta sidang skripsi yang tidak lulus? Bukannya ia yang menjadi salah satu dosen pengujinya?Saat ia ingin mengikuti dari belakang, tiba-tiba seorang pria menghampiri dan menepuk pun
Dinda duduk terpengkur di meja perpus. Kepalanya benar-benar pusing. Jadwal sidang skripsi diundur tiga bulan. Itu artinya, ia harus menambah satu semester lagi. Gadis itu mengacak-acak poninya, lalu meniupnya ke atas. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan.Apa yang akan ia lakukan selama satu semester itu? Masa iya dirinya melewatkan satu semester hanya untuk menunggu sidang skripsi? Sekian juta dikeluarkan hanya untuk sidang skripsi? Benar-benar sebuah pemborosan.Teringat kenyataan satu bulan yang lalu, bahwa dirinya tidak lulus sidang untuk yang kedua kali, dan semua itu karena dosen pembimbingnya sendiri yang memberi nilai D, membuat Dinda kembali kesal. Ingin rasanya ia menarik konde sang dosen lepas dari tempatnya, lalu mencaci maki, mengirim sumpah serapah semua hewan yang ada di kebun binatang Ragunan.“Sabar.” Sebuah tepukan kecil di pundaknya, membuat Dinda segera mendongakkan kepalanya. Perasaan Dinda tidak enak.“Ape lu?!!!” tanya Dinda sengit. Ia melihat rivalnya sudah be
Broto Handjoyo sudah tiba di tempat pertemuan, bersama Sari. Mereka masih menanti kedatangan seseorang. Tidak lama kemudian, sosok yang mereka nantikan tiba. Broto yang belum pernah bertemu sebelumnya, tidak mengenali ketika seorang pria muda melangkah mendekati tempat dia berada.“Selamat Siang. Maaf saya datang terlambat.” Arya menghampiri Broto, dan mengajak pria paruh baya itu untuk berjabat tangan. Wajah Broto begitu terkejut melihat kedatangan Arya. “Kamu …?” Ia sampai tidak dapat melanjutkan kalimatnya.“Iya, Om. Saya Arya. Putra Pak Dermawan.” Senyum manis merekah di wajah Arya, tanpa ia sadari.“Oh. Ya-ya-ya.” Broto tertawa lebar, menepuk punggung tangan Arya berulang kali. “Kapan kembali ke Indonesia?”“Sudah lama, Om. Tiga tahun yang lalu. Saya ambil kuliah di Indonesia, tapi mengambil kursus sebentar di Inggris.”“Oh. Bagus-bagus. Tau begini, mengapa tidak makan malam di rumah kita aja ya, Ma?”“Lain kali juga nggak pa-pa, Pa. Toh juga ke depannya akan sering ke rumah. K
Dinda terpaksa menunggu kedatangan Seno. Seno mengaku sedang membeli rokok di warung depan kampus saat ditelpon Dinda. Setengah jam berlalu, tapi batang hidung Seno belum juga tampak. Dinda mulai uring-uringan. Ia sendirian di kampus. Mita sudah pulang lebih dulu karena harus mengantarkan mamanya berobat.Dinda kembali mencoba menghubungi Seno, setelah tujuh kali panggilannya ditolak. Kali ini, nada sambung terdengar cukup lama.“Halo.” Akhirnya terdengar suara di ujung sana, akan tetapi suara yang terdengar bukanlah suara Seno.“Ha-lo?” Dinda menjadi ragu-ragu. Ia kembali melihat nomor yang ia hubungi. Namanya tidak berubah. Tetaplah Seno sahabatnya, tapi mengapa suaranya lain? Apakah telah terjadi sesuatu pada sahabatnya? Apakah Seno telah mengalami kecelakaan dan sekarang yang menjawab telponnya adalah orang yang sedang berusaha menolong Seno?“Iya, halo.” Suara itu benar-benar terdengar asing di telinga Dinda. “Apakah Seno baik-baik saja? Apakah ini orang lain? Atau …” Dinda tidak