"Kalian bicara apa?" Fahri dan Arya menatap istri masing-masing. Meminta penjelasan lebih lanjut soal 'anak' yang baru saja mereka singgung. "Itu-tadi kan kita sedang bicara soal prinsip hidup. Nah, ternyata Dinda pengen punya banyak anak biar nggak kesepian, Pak Arya," terang Mita sedikit terbata."Ya bukan cuma saya saja, kok. Mita juga pengen punya banyak anak. Dia bilang jangan sampai anaknya mengalami masa kegelapan dan kesepian seperti dirinya."Fahri langsung berdeham, sedang Arya tiba-tiba sibuk meregangkan jari-jari tangannya. Alam pikiran kedua pria itu membentuk bayangan yang berbeda. Yang jelas keduanya memiliki pertanyaan yang sama, apakah itu pertanda jika pasangan mereka akan memanfaatkan kebersamaan mereka saat ini, sebagai waktu yang sangat tepat untuk mewujudkan keluarga kecil mereka?"Kenapa malah pada diam?" Mita keheranan melihat tingkah suami dan saudara iparnya, yang justru diam, tidak bereaksi berlebih seperti bayangannya."Lapar mungkin, Mit. Kita makan dulu
Arya masih terpaku mendengar perintah Sari. Tidak yakin dengan pemahamannya sendiri, ia berusaha mencari penegasan dari mertuanya itu.A : "Ma? Maksudnya Arya cukup cari tahu sendiri atau membawa Dinda ke ..."S : "Cek sendiri dulu saja."Arya berpikir mungkin ia harus memberitahu soal ini pada Dinda.A : "Baik, Ma.Pembicaraan singkat yang membawa keraguan dan sedikit rasa bahagia dalam diri Arya. Bagaimana cara menyuruh Dinda melakukan perintah ibu mertua? Apakah tidak sebaiknya ia menceritakan soal ini kepada Dinda?Arya mengacak rambutnya. Masalah sepele seperti ini justru membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Ditatapnya wajah Dinda yang masih begitu damai, terlelap dalam mimpi indahnya. Mungkinkah Dinda memimpikan apa yang sedang menjadi dugaan ibu mertuanya?Merasa sedikit tertekan, Arya memilih untuk mengguyur tubuhnya dengan air hangat, berharap itu dapat mengurai ketegangan di dalam kepalanya.Dinda meregangkan otot punggungnya. Kedua netranya mulai terbuka seiring dengan
"Dokter Obgyn.""Hah?! Ngapain ke sana? Saya kan hanya sedikit demam. Nggak lebih," tolak Dinda mentah-mentah. Ia merasa aneh mendengar jawaban Arya."Kata Fahri, yang ada di dekat sini hanya dokter itu. Kalau harus cari dokter umum, kejauhan. Dokter obgyn juga bisa memberi resep demam biasa. Intinya, kita periksa saja keadaan kamu. Pasti beliau akan merekomendasikan obat terbaik sesuai yang kamu rasakan. Jika ternyata kamu hanya demam biasa karena kelelahan, biasanya dapat vitamin aja."Dinda hendak membantah lagi, namun keributan dari kamar Mita membuatnya terdiam. Arya mencolek lengan Dinda, meminta sang istri untuk segera mengambilkan dirinya sarapan."Kamu harus makan banyak pagi ini. Siapa tahu nanti antri.""Kan bisa beli cemilan.""Kita nggak tahu makanan-makanan di sini halal atau nggak untuk kita."Kembali mendesah, Dinda mengakhiri percakapan itu dengan mengisi piringnya dengan begitu banyak nasi. Ia mengambil mangkuk dan mulai mengisi mangkuk kecil berwarna coklat. Arya t
"Selamat! Sebentar lagi, Pak Arya akan menjadi Ayah." Tangan putih sang dokter mengangsur ke depan, menyalami Arya yang masih bingung, mencerna kalimat barusan. Senyum tulus tidak lupa diberikan oleh Rizky.Dinda yang semula ternganga langsung tertawa kecil. "Dokter bercanda pasti. Masa iya saya hamil?"Ia tidak dapat menerima mentah-mentah kabar baik itu. Pernikahannya dengan Arya belum ada satu bulan masa iya dia langsung hamil. Berbeda dengan Arya. Rasa hangat mulai merayap ke dalam hatinya. Ayah? Benar ia akan segera menjadi ayah? "Saya tidak bermimpi?" Arya menyangsikan namun besar harapannya itu kabar nyata.Rizky mengangguk. Dokter muda itu memberi isyarat agar sang perawat memberikan test pack yang tadi digunakan untuk mengetes kandungan hormon hCG pada urine Dinda."Dua garis merah ini menunjukkan jika Ibu Dinda positif hamil. Usia kandungannya masih sangat dini. Sekitar satu minggu. Jadi, pesan saya jangan bekerja terlalu berat. Hindari mengangkat beban yang berat. Serahka
Tujuh bulan berlalu. Kehamilan Dinda semakin besar. Berbagai macam petuah mempersiapkan kelahiran bayi mulai pagi hingga malam datang, terus saja didengungkan Anggun kepada Arya. Ia terus mewanti-wanti agar putra keduanya itu mulai mengatur jadwal yang mendukungnya menjadi suami siaga."Duh, Mama. Setiap hari itu saja yang dibicarakan. Arya sampai membuat buku sendiri untuk mencatat semua nasihat Mama." Arya segera mengeluarkan sebuah buku catatan berukuran tanggung dari tas kerjanya, lalu menyodorkan buku ke hadapan Anggun.Anggun tersenyum senang. "Anak pintar!""Tapi, kenapa cuma Arya saja yang dapat kuliah beginian?""Nah! Kamu protes?" Salah satu alis Anggun meninggi. "Yang kelahirannya sudah dekat kan kamu, kalau kakakmu masih enam minggu lagi. .""Yaa, Mama. Dulu waktu Dinda hamil muda, Mama juga begini. Segala macam diributin. Yang inilah-yang itulah," sungut Arya sebal. Tiba-tiba ia merasa telah diperlakukan tidak adil oleh Anggun. Ia tidak pernah melihat Fahri mengalami hal
Dengan sangat terpaksa, Dinda harus menyetujui usul Arya yang disertai dengan sedikit ancaman jika ia akan melapor kepada Sari soal ini. Nama Sari sangat keramat bagi Dinda, khususnya saat-saat seperti ini. Ia tidak mau proses persalinannya nanti menjadi tidak lancar, karena membuat suami dan mamanya menaruh kesal padanya. Ia ingin semuanya kelak berjalan lancar dan damai.Fahri menyanggah kepala Mita yang kini tertidur pulas di sampingnya. "Begini kok masih mau lanjut belanja."Arya terkekeh. "Biasalah. Tidak mengukur kemampuan. Maunya jalan terus padahal kaki-kaki sudah bengkak semua.""Bukan begitu, Mas. Maksud kita itu, biar sekalian jalan. Jadi besok-besok nggak usah belanja lagi," jelas Dinda yang masih terjaga. Ia memegang perutnya sambil sedikit meringis. Seketika ia ingat dengan pesan dari instruktur senam hamilnya, untuk menarik napas ketika kontraksi mulai dirasakan."Ada apa?" Arya rupanya menangkap gerakan Dinda. Ia melihat dengan tatapan khawatir."Nggak apa-apa. Seperti
Dinda berjalan mengitari kamarnya. Rasa sakit mulai sering dirasakan. Untuk mengurangi rasa sakit, ia memilih untuk berjalan-jalan. Melihat pemandangan kebun belakang kediaman mertuanya, Dinda tiba-tiba ingin melihat kolam ikan di sudut taman. Ia berjalan keluar kamar lalu mengarahkan kakinya ke ruang keluarga yang langsung terhubung dengan kebun belakang."Kamu mau kemana?" Arya tiba-tiba mencegat Dinda."Mau kesana," tunjuk Dinda ke sudut taman. "Nggak kesakitan lagi?" Akhirnya, Arya memutuskan untuk menemani istrinya. Ia menggandeng tangan kiri Dinda, karena tangan Dinda sibuk mengusap perut besarnya. "Masih. Lebih sering malah. Apa mungkin malam nanti lahirannya?" "Kamu takut?""Sedikit. Gimana kalau nanti nggak kuat ngeden?" Hal yang sangat dikhawatirkan selama ini. Ia tidak mau menjalani operasi caesar. Ia sebelas dua belas dengan Mita. Sama-sama takut dioperasi."Bisa. Pasti bisa. Dedek bayinya diajakin ngomong terus.""Udah. Sudah sejak umur 3 bulan, tapi keliatannya posisi
"Jangan lupa bawakan tas hijau.""Tas?" Arya belum paham kemana arah perintah kakaknya."Tsk. Cari saja tas warna hijau di samping meja rias."Dengan masih memegang ponsel, Arya bergegas ke kamar Fahri. Ia mencari tas hijau yang dimaksud dan berhasil menemukannya."Ada?" Fahri berjalan hillir mudik di depan resepsionis. Ia sedang mengurus kamar untuk Mita. "Done. Harus diantar sekarang?" Pria ini masih belum menyadari kepanikan yang dialami sang kakak."Satu abad lagi, bolehlah.""Ya udah kalau begitu ...""Jelas sekaranglah! Berangkat segera! Dinda tidak perlu ikut. Jangan cerita apapun!""Bagaimana bisa, orang sejak tadi dia menguping," sahut Arya melirik Dinda yang mengikutinya kemana pun dirinya melangkah."Pokoknya, suruh dia diam di rumah saja. Takutnya istrimu ikut panik.""Dia sudah panik." Arya mengusir Dinda secara halus namun, Dinda bergeming. Sorot matanya memaksa Arya untuk menceritakan apa yang sedang dibicarakan."Terserahlah. Sekarang segeralah meluncur kemari. Mama su
Suasana tegang melingkupi ruangan Arya. Yusna mengusap keringat yang mulai memenuhi keningnya, sedangkan Burhan menatap nanar pemuda tampan di hadapannya, yang memiliki aura tak kalah menyeramkan dengan pemilik yayasan."Bagaimana?" Arya masih setia menunggu penjelasan kedua pria paruh baya di depannya. Batin Burhan masih terjadi pergulatan batin. Ia tidak ingin mengaku salah karena dalam kacamatanya, mengaku salah berarti salah. Ia tidak sudi mengakui kesalahannya di depan pemuda belum matang di depannya."Saya mengadakan perekrutan ini bukan tanpa pertimbangan, Pak Arya. Semua berdasarkan permintaan masing-masing fakultas. Ada banyak dosen yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Jika kita tidak cepat mencari calon pengganti mereka, saya khawatir ini berpengaruh pada jumlah serapan mahasiswa baru tahun depan."Yusna mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Burhan tidak jauh berbeda dengan pemikirannya. Mereka harus mempersiapkan calon pengganti lebih awal beberapa bulan sebelum
Rudy mengikuti Arya dari belakang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang rektor muda. Tentang kabar Dinda dan putra mereka, termasuk kehidupan yang keluarga kecil itu jalani selama pendidikan di Inggris. Namun, aura Arya mencegahnya untuk bertanya apapun. Bibirnya seperti dikunci paksa.Keduanya kembali ke ruangan rektor. Sekretaris memberi beberapa dokumen kepada Rudy, untuk selanjutnya disampaikan kepada Arya.Rudy berhenti sejenak untuk mengecek dokumen apa saja yang diterimanya, sebelum diserahkan kepada Arya. "Yusna dan Burhan." Arya menggumam dan gumamannya berhasil mengalihkan perhatian Rudy."Ada yang harus saya lakukan, Pak Arya?" Rudy mendekat dan meletakkan dokumen yang sudah ia periksa."Apa yang mereka lakukan selama aku berada di luar negeri?" Tatapan lurus Arya membuat Rudy sontak mendekat."Saya sudah berusaha menjelaskan beberapa hal kepada beliau berdua, Pak, Akan tetapi, mereka justru menilai saya sebagai perusuh dan tidak mengerti kebutuhan kampus saat i
Dinda baru saja selesai membantu Anggun menyiapkan sarapan pagi bersama Mita, saat dilihatnya Arya sudah berpakaian rapi dengan tas kerjanya. 'Bukannya ke kampus besok? Kenapa berubah? Pagi banget lagi?' Netra Dinda mengikuti kemana pun Arya bergerak. "Pergi kemana? Ke kantor?" Akhirnya Dinda tidak tahan juga untuk bertanya. Wajah Arya yang sangat serius cukup mengganggunya."Ke kampus dulu." Arya mendekat ke arah Dinda, lalu mengecup kening istrinya. "Ada sesuatu yang harus diselesaikan.""Mendadak sekali."Arya mengangguk. "Nanti malam saja ceritanya," bisiknya di telinga Dinda sembari memberi kecupan lembut di sana."Penting banget?" Dinda sepertinya tidak rela jika suaminya itu kembali ke rutinitasnya sebagai dosen."Sangat penting."Dinda mulai menerka-nerka urusan apa yang dimaksud suaminya. Jangan-jangan sosok yang disebut Mita kemarin?"Jangan pergi sebelum sarapan. Hari ini sangat spesial karena dimasak oleh tiga wanita cantik di rumah ini. Kalau kamu tolak, bakal rugi dan k
Mega? Kembali? Wanita itu berada di tempat yang sama dengan mantan dosen pembimibingnya untuk kedua kali? Dinda mengerjapkan kedua netranya. Ia hanya menatap Mita kosong."Tsk. Bener kan tebakan gua. Lu bakal kaget.""Ngapain dia balik lagi ke kampus? Apa belum dipecat?" Dinda mendadak merasa kesal. Mungkinkah Arya sudah membohonginya? Mita tertawa kecil melihat kening Dinda berkerut-kerut. "Pak Arya nggak akan pernah bohong sama elu. Beliau tipikal setia sampai akhirat."Dinda tersipu malu. "Gua sebenernya nggak pa-pa juga kalau dia balik lagi ke kampus.""Serius?" Mita sontak memutar badannya. "Asal doi bukan jadi dosen aja. Balik ke kampus kan tidak selamanya dia balik jadi dosen lagi. Kali aja pas ketemu sama elu, dia numpang lewat atau nganterin temen atau sodaranya yang mau daftar di sana jadi maba.""Bisa jadi juga. Gua begini karena gua masih kesel aja sama dia. Kenapa orang seperti dia malah awet di muka bumi ini, sih?""Hush! Nggak boleh ngomong begitu. Kali aja Tuhan mau
"Mama!!"Teriakan Brilian membuat Dinda langsung memutar tubuhnya dan dengan gerakan super cepat kaki-kakinya yang panjang dan jenjang sudah mengantarkannya ke depan pintu teras. Ia melihat Brilian menangis dalam gendongan Arya.Dinda mendekat ke arah dua pria penting dalam hidupnya. Dinda menyentuh lembut pundak suaminya. Tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun, Arya menceritakan sebab musabah Brilian menangis histeris. "Saking besarnya dia melompati ini hingga jatuh terjerembab di situ." Arya menunjuk ke dinding pemisah antara teras rumah dan pekarangan rumah setinggi enam puluh senti, dan lokasi tempat Brilian jatuh."Mana anak tampan Mama?" Dinda mencoba melihat wajah putranya. Brilian, demi mendengar suara lembut sang mama, langsung mengangkat wajahnya. Ia berusaha keras menahan tangisannya yanga berujung pada cegukan.Dinda tersenyum geli. "Nggak apa-apa kalau masih ingin menangis. Tuh, lihat. Om Fahri sudah berhasil menangkap tikusnya."Dari kejauhan tampak Fahri memegang ta
Fahriza masih tertegun di jok belakang. Ia masih tetap menatap ke arah bocah laki-laki yang ditunjukkan mamanya. "Sayang... Kamu tidak ikut turun?" Panggilan Mita membuyarkan lamunan Fahriza. Bocah kecil itu keluar dengan terburu-buru, lalu lari menghambur mencari sang nenek"Nenek!"panggil Fahriza heboh. Ia tidak mempedulikan beberapa tamu yang tengah duduk berbincang dengan Dermawan. Fahriza tiba-tiba berhenti di tengah ruang tamu. Netranya menabrak sosok asing yang tidak pernah ia temui sebelumnya.'Mengapa Papa ada dua?' gumam Fahriza keheranan. Perhatian Fahriza terpusat pada sosok yang sedang menuruni tangga. Pria tinggi, putih dan sangat tampan. Sekilas memang mirip papanya, tapi jika dilihat lebih dalam, pria dewasa itu lebih tampan dari papanya. Mita yang berjalan di belakang Fahriza menatap penuh heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa, Za? Ada hantu? Mana? Biar Mama pukul pakai tas Mama ini." Mita megusap lembut pucuk kepala Fahriza."Mama!""Ya, Sayang.""Mengapa Papa
Jawaban jujur Fahriza membuat Anggun tidak dapat menahan tawanya. Namun, demi menjaga wibawa Mita di hadapan putrinya sendiri, Anggun berusaha keras untuk meredam tawanya.A: "Oh. Mama ngomel. Mama ngomelin apa kalau Nenek boleh tahu?"F: "Ehm. Apa ya?"Fahriza ingin menjawab tapi melihat ekspresi Mita yang mengerikan, bocah kecil itu memutar badannya hingga Mita tidak dapat melihat wajahnya.A: "Halo?" F: "Iya, Nenek. Fahriza masih di sini. Nenek tunggu dulu. Fahriza sedang memikirkan jawaban yang benar."Jawaban Fahriza mengundang tawa Anggun. Bocah kecil itu begitu pintar, mencari alasan. Tampaknya, kepandaian Mita dalam bersilat lidah menurun kepada Fahriza.A: "Baiklah. Nenek akan sabar menanti jawaban kamu, tapi jangan lama-lama karena Nenek masih harus membungkus kado untuk tamu spesial yang akan datang menjenguk Nenek."Netra Fahriza yang bulat menjadi semakin bulat saat gadis kecil itu mendengar kata 'kado' dan 'tamu spesial, yang baru saja diucapkan Anggun.F: "Kado? Tamu sp
"Mama! Kakak mau itu." Teriak Brilian ketika kaki kecilnya baru saja turun dari gendongan Arya. "Mainan lagi? Bukannya kemarin Papa baru saja beliin Kakak mobil balap?" Dinda menggandeng tangan kecil putra pertamanya itu, mengikuti sang suami yang berjalan ke tempat pengambilan bagasi sebelum meninggalkan bandara."Tapi, Kakak beyum punya yang kayak itu..." ujar Brilian dengan bahasanya yang masih cadel. "Gimana kalau kita pulang ke rumah dulu? Papa takutnya Om Fahri sudah menyiapkan hadiah untuk Kakak." "Om Fayi peyit. Suka bohong."Dinda terkekeh. Ia teringat dengan janji Fahri yang hendak mengunjungi dirinya dan Arya. Namun, sampai dua tahun mereka tinggal di Inggris, Fahri tidak juga menepati janjinya, membuat Mita terus saja merengek agar dirinya segera pulang ke Indonesia."Nggak. Om Fahri pasti sudah beli sesuatu untuk Kakak. Hanya saja, Om Fahri masih repot, jadi belum bisa kirim hadiahnya." Alhasil, sepanjang jalan Dinda dan Arya mendengar omelan penuh kekesalan Brilian.
Suasana kediaman Dermawan begitu ramai. Bagaimana tidak, hari itu diadakan acara syukuran sekaligus akiqah kelahiran dua cucunya. Seluruh tetangga di komplek mereka undang, tanpa kecuali. Bahkan tukang martabak, es doger dan tukang sate yang sering mangkal di dekat rumah mereka juga ikut hadir.Malam itu menjadi malam bahagia semua orang. Broto dan Sari pun hadir, termasuk orang tua Mita, Candra dan Susan. Kedua bayi mungil itu tidur pulas di boks masing-masing. Mereka sama sekali tidak terganggu. Pun saat keduanya diajak keliling setelah acara potong rambut. Kedua bayi itu hanya bergerak sedikit lalu kembali tidur. Dermawan mengadakan acara itu secara besar-besaran sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Tuhan memberikan dua cucu sekaligus kepadanya dan Anggun, dan memiliki dua menantu yang sama-sama pintar dan cantik. Acara berlangsung meriah dan khidmat selama hampir dua jam. Menjelang sore, tamu mulai berkurang hingga tersisa keluarga besar beserta besan-besan Dermawan."Khusus