Dinda tidak segera menjawab pertanyaan Dermawan, melainkan melirik ke arah Arya. Dengan cepat, Arya menggelengkan kepalanya, meminta Dinda untuk tidak mengatakan jika ia akan menghadiri sidang besok lusa."Tidak ada apa-apa, Pa. Kita berdua berencana ke rumah Mita"."Benar kamu sudah sehat? Benar-benar sehat?" Dermawan tidak mengalihkan tatapannya dari wajah Dinda, yang menurutnya masih terlihat pucat."Iya, Pa. Istirahat di rumah, pasti lebih cepat lagi sembuhnya." Dinda berharap dapat keluar malam ini juga. Toh dirinya sudah tidak kenapa-kenapa lagi."Besok. Sudah tidak bisa ditawar lagi!" Arya langsung membungkam Dinda,memutus harapan Dinda yang ingin segera meninggalkan rumah sakit. Anggun mengeluarkan satu kotak kue kesukaan Dinda. "Mama dengar kamu sangat suka dengan ini. Jadi, Mama langsung beli dua. Kalau nanti habis, minta Arya untuk datang ke toko itu lagi.""Iya, Ma." Dinda hanya menjawab singkat. Semangatnya menguap seiring dengan penolakan Arya atas permintaannya yang in
"Terima kasih .... " Cup.Dengan gerakan super cepat, Dinda mencium pipi Arya dan langsung berlari ke kamar mandi. Gadis itu berlari sambil menahan malu. Ia tidak mengira jika pada akhirnya, berani melakukan hal itu. Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Arya terkesima. Ia tidak mengira jika Dinda akan menghadiahinya sebuah ciuman kilat. Dipegangnya pipi tempat Dinda mendaratkan bibir lembutnya. Ia tersenyum simpul sambil berharap, semoga ke depan, akan banyak hadiah ciuman kilat dari Dinda untuknya. Tidak hanya kilat, tapi ia berharap lebih. Lebih dalam, lama dan intens.Guyuran air dari dalam kamar mandi menyadarkan Arya. Pria itu segera menata tas yang sudah penuh dengan barang bawaan yang dibawa oleh kedua orang tuanya semalam. "Karena kamu cuma menginap sehari, jadi barang bawaannya tidak lebih dari satu tas ini," ujar Arya begitu melihat Dinda berjalan keluar dari kamar mandi. Pria itu membawa keluar tas itu dan memberi isyarat Dinda untuk segera merapikan rambu
Dinda masih memikirkan alasan untuk menolak permintaan Arya, sedangkan Arya terus mengikis jarak di antara mereka. Andaikan Dinda dapat menemukan satu alasan bagus untuk menunda keinginan Arya saat ini.Tok. Tok. Tok.Dan Tuhan mendengar harapan Dinda. Anggun sedang berdiri tidak sabar di depan pintu kamar Arya."Arya! Tolong bantu Mama sekarang."Arya langsung menghentikan aksinya. Dengan kesal, ia terpaksa membawa tubuhnya menjauh dari Dinda. Tanpa mengucap sepatah kata, ia pergi meninggalkan Dinda sendiri.Helaan napas lega Dinda memenuhi kamar Arya. Berulang kali Dinda mengucap kata syukur, karena sudah berhasil menunda keinginan Arya meski itu karena kedatangan tiba-tiba sang mama mertua. -0-Fahri membawa mobilnya cukup kencang. Rengekan Mita yang terus menerus , membuatnya menyerah. Istrinya terus mendesak agar mereka berkunjung ke rumah mertuanyaa."Aku kangen sama Dinda. Ayo, kita kesana." Rengekan Mita untuk ke sekian kalinya membuat tidur siang Fahri tidak nyenyak. "Bukann
"Mita!" Dinda melihat gelagat tidak biasanya dari sahabat yang kini sudah menjadi kakak iparnya itu."Sssh! Apa sih?" Mita melupakan wajahnya yang kian lama kian memerah dan gerakannya yang semakin membuat Dinda curiga."Ayolah. Gua tau lu bohong. Sudah terjadi sesuatu'kan?" Dinda terus mendesak. "Oke. Lu nggak mau cerita, gua tanya sendiri ke kakak ipar gua." Dinda berdiri dan langsung mengambil ancang-ancang mengejar Fahri yang kala itu sedang membawa tumpukan kotak makanan."Eeh!!!" Dengan sigap, Mita menarik lengan Dinda hingga gadis itu terhuyung ke belakang. "Jangan berisik! Ntar gua ceritain. Lu duduk baik-baik en diem-diem di sini. Gua mau ke dapur dulu."Dinda menatap kepergian Mita dengan penuh curiga. Perasaannya mengatakan jika telah terjadi sesuatu pada Mita, dan ia ingin tahu apa itu?"Kenapa?" Suara Arya sangat mengejutkan Dinda. "Jangan penasaran dengan hidup orang lain. Menyibukkan diri dengan hidupnya sendiri adalah sesuatu yang lebih baik dilakukan."Dinda berdecih
Dinda mengerjapkan kedua matanya. Sesuatu yang berat tengah memeluknya. Sangat erat. Hendak berteriak namun ia langsung mengurungkan niatnya saat ia sadar milik siapa lengan ramping yang berotot itu. Wajahnya tiba-tiba kembali memerah saat ia teringat sebab ia berakhir dalam keadaan seperti sekarang.Ciuman hangat Arya masih sangat melekat di kepalanya, dan rasanya pun masih membekas. Ia, secara tidak sengaja menyentuh bibirnya yang terasa bengkak. Bagaimana tidak, pria yang tengah memeluknya sekarang, terus menghujani bibirnya dan hampir seluruh wajahnya, dengan ciuman, seakan mereka tidak akan bertemu lagi."Kenapa baru sekarang? Seharusnya sudah kita mulai dari setelah ijab itu..." gumam Arya tidak jelas sambil menghujani wajah Dinda dengan ciuman. Arya kembali ke bibir Dinda. Ia ternyata tidak bisa jauh dari sini.Dinda hanya memejamkan matanya karena tidak tahu harus berbuat apa. Kata menikmati mungkin bisa mewakili semua.Tangan Arya mulai bergerilya kemana-mana membuat Dinda ta
Hasan mengirim pesan singkat tengah malam, membuat Arya buru-buru bangun, lebih pagi dari yang diinginkannya semula. Dikecupnya kening Dinda begitu lama. Rasanya enggan meninggalkan istri cantiknya sedemikian cepat.Kecupan Arya yang begitu lama, membangunkan Dinda."Mas? Mau kemana?" Suara serak Dinda mengiringi netranya yang terbuka perlahan. Ia merenggangkan badannya sesaat sebelum bangkit dari tidur. Buru-buru Arya menutupi bagian tubuh Dinda yang terbuka. Ia takut tergoda lagi, lalu mangkir dari janji yang sudah ia buat pada Hasan."Aku pergi dulu.""Kemana?""Kampus.""Kampus? Hah?!! Sidang???" Dinda langsung terjingkat kaget. Ia mengira hari ini adalah hari rabu, jadwalnya maju sidang skripsi."Bukan. Ada yang harus aku selesaikan. Ini tentang musuh besarmu. Mega.""Bu Mega?" Dinda tidak yakin. Apakah perempuan itu membuat ulah lagi? "Aku belum bertemu dengan rektor. Seharusnya kami bertemu kemarin, tapi karena kamu sakit jadi ditunda dulu." "Baiklah.""Baik-baik di rumah. J
Arya akhirnya kembali ke kampus ekonomi., diikuti Hasan Sepanjang perjalanan menuju parkir mobil, Arya dan Hasan terlibat diskusi singkat. Kehadiran Hasan di ruang rektor, sungguh di luar dugaannya. "Memang sudah direncanakan atau rencana dadakan?" Arya membuka pintu mobilnya ketika mereka tiba di pelataran parkir gedung rektorat. Sorot matanya penuh selidik membuat Hasan mau tidak mau menghentikan langkahnya.Hasan terkekeh. Jujur ia sendiri tidak pernah berencana melakukan hal ini. Namun, entah mengapa ia merasa perlu untuk menambahkan bukti guna memperkuat data pelanggaran yang telah dilakukan oleh Mega. "Maafkan jika Pak Arya tidak berkenan dengan apa yang saya lakukan barusan." Hasan setengah membungkukkan badannya, bermaksud meminta maaf. "Oh tentu tidak. Tidak keberatan sama sekali, Pak Hasan. Hanya saja, bukti itu- bagaimana Pak Hasan mendapatkannya?" Bukti yang diserahkan Hasan ke Anwar mengganggu Arya."Mita yang memberikannya kepada saya kemarin. Ia berpikir mungkin saj
Mega tengah sibuk dengan tabletnya ketika pintu ruangannya diketuk demikian keras dari luar. Dengan bersungut dan memaki tamu tak diundang itu, ia berjalan dengan malas ke arah pintu. Wajahnya tidak berubah bahkan semakin kesal ketika wajah yang terlihat olehnya, adalah wajah pamannya sendiri."Ada apa lagi, Om?" Mega kembali ke kursinya. Ia kembali memegang tabletnya tanpa melihat bagaimana tegangnya wajah sang paman."Kamuuuu ... !!" Zulkifli sekuat tenaga menahan amarahnya. Bagaimana pun ia saat ini sedang berada di komplek ruang dosen. Sangat tidak baik jika ia meluapkan kemarahan yang sejak tadi ia tahan. Nama baiknya tetap harus dijaga.Mega mengacuhkan teguran pria berusia 50 tahun itu. Seperti tidak ada masalah yang sangat penting, Ia kembali sibuk dengan tabletnya. "Kamu seperti sudah bosan untuk mengajar di sini."Kalimat itu ternyata berhasil menarik perhatian Mega. Wanita itu sontak mengangkat wajah dan meletakkan tabletnya. "Mengapa Om bisa berkata seperti itu? Aku masih
Suasana kediaman Dermawan begitu ramai. Bagaimana tidak, hari itu diadakan acara syukuran sekaligus akiqah kelahiran dua cucunya. Seluruh tetangga di komplek mereka undang, tanpa kecuali. Bahkan tukang martabak, es doger dan tukang sate yang sering mangkal di dekat rumah mereka juga ikut hadir.Malam itu menjadi malam bahagia semua orang. Broto dan Sari pun hadir, termasuk orang tua Mita, Candra dan Susan. Kedua bayi mungil itu tidur pulas di boks masing-masing. Mereka sama sekali tidak terganggu. Pun saat keduanya diajak keliling setelah acara potong rambut. Kedua bayi itu hanya bergerak sedikit lalu kembali tidur. Dermawan mengadakan acara itu secara besar-besaran sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Tuhan memberikan dua cucu sekaligus kepadanya dan Anggun, dan memiliki dua menantu yang sama-sama pintar dan cantik. Acara berlangsung meriah dan khidmat selama hampir dua jam. Menjelang sore, tamu mulai berkurang hingga tersisa keluarga besar beserta besan-besan Dermawan."Khusus
"M-Mas....!" seru Mita lebih keras karena Fahri masih tertegun dengan suara tangisan bayi yang baru saja ia dengar."Eh? Gimana? Sakit?" Ia langsung mendekatkan dirinya.Mita memejamkan kedua netranya. Ia kembali mengatur napasnya. Gelombang rasa sakit yang datang bertubi-tubi, tidak memberikan waktu sedikit pun untuk Mita beristirahat.Bulir keringat berdatangan memenuhi dahinya. Ia mulai merasa rasa mulas yang sangat hebat. "Nggak kuat. Sakit." Rintihan Mita membuat Fahri panik. "Kita operasi saja kalau begitu.""Hush! Nggak mau! Sakit.""Lah. Katanya tadi sakit. Nggak kuat. Ya udah kalau begitu operasi saja.""Nggak mau."Anggun yang tadi sudah berada di luar bilik Mita, kembali masuk. "Kenapa?" "Sakit, Ma." Wajah Mita sudah tidak seperti sebelumnya. Ia terlihat berusaha kuat untuk menahan rasa sakitnya akibat kontraksinya yang meningkat.Fahri panik dan menekan tombol berulang kali. Seorang perawat datang. "Bagaimana, Pak?""Sakit, Sus. Istri saya merasa sakit lagi.""Oh. Saya pe
"Bayinya sehat. Semoga bayinya sehat dan kuat ya, Bu Dinda." Ucapan yang samar terdengar, mengejutkan Mita. "Hah?! Itu Dinda yang dimaksud istri Pak Arya, bukan? Dinda sudah lahiran? Beneran udah lahiran?" Kedua netra Mita membola sempurna. Rasa bahagia tiba-tiba datang menyelimuti dirinya. Namun, dirinya tidak seratus persen yakin. "Terus Pak Arya kemana? Masa iya nggak nemenin Dinda lahiran?"Fahri tertegun. Masa iya, adik iparnya sudah melahirkan? Cepat sekali. Ia baru saja bertemu dengan Arya, dan tidak mengatakan apapun, kecuali ia harus segera menemani Mita."Dinda yang lain mungkin. Tadi masih aman-aman aja kok. Dia duduk di dalam nggak ikut keluar. Cuma da-da-da doang.'"Benarkah?" Mita tidak mau percaya begitu saja. Tiba-tiba satu tonjolan muncul di perutnya. Seakan mengerti kode yang diberikan dari dalam perutnya, Mita mengangkat alis kanannya. "Kalian ... ?""Apa? Kami tidak menyembunyikan sesuatu." Ia merasa pertanyaan itu diajukan padanya. Arya tadi mengantarkan tas ini
Mita masih menunggu kedatangan dokter kandungannya. Kali ini, ia merasa perutnya mengejang sesaat. Ada mulas yang tiba-tiba datang. Mita mendesis. Sakit apa ini? Perut bagian belakangnya terasa tegang. Kandungannya terasa turun sedikit, membuat Mita takut. Rasanya seperti akan jatuh.Mita mencari sosok Fahri, tapi tak kunjung ia temukan. "Kemana, sih? Istri sedang seperti ini kok malah pelesiran kemana-mana.""Dokter Susan sedang dalam perjalanan kemari." Perawat yang usianya nyaris separuh baya itu kembali masuk dan mengganti alas tidur Mita yang sudah basah dengan yang baru. "Kenapa sekarang terasa mulas ya, Sus?""Mulas?"Mita hanya mengangguk. Perutnya terasa begitu melilit, mulas seperti ingin buang air besar. Pertama hanya terasa mulas sebentar, kemudian rasa itu hilang. Namun, tidak berapa lama, rasa yang sama datang kembali, membuat Mita tidak lagi meringis, tapi sekaligus mendesis."Sudah sejak tadi atau baru saja?""Baru aja nih, Sus, dan sekarang aduh..." Mita memejamkan k
"Jangan lupa bawakan tas hijau.""Tas?" Arya belum paham kemana arah perintah kakaknya."Tsk. Cari saja tas warna hijau di samping meja rias."Dengan masih memegang ponsel, Arya bergegas ke kamar Fahri. Ia mencari tas hijau yang dimaksud dan berhasil menemukannya."Ada?" Fahri berjalan hillir mudik di depan resepsionis. Ia sedang mengurus kamar untuk Mita. "Done. Harus diantar sekarang?" Pria ini masih belum menyadari kepanikan yang dialami sang kakak."Satu abad lagi, bolehlah.""Ya udah kalau begitu ...""Jelas sekaranglah! Berangkat segera! Dinda tidak perlu ikut. Jangan cerita apapun!""Bagaimana bisa, orang sejak tadi dia menguping," sahut Arya melirik Dinda yang mengikutinya kemana pun dirinya melangkah."Pokoknya, suruh dia diam di rumah saja. Takutnya istrimu ikut panik.""Dia sudah panik." Arya mengusir Dinda secara halus namun, Dinda bergeming. Sorot matanya memaksa Arya untuk menceritakan apa yang sedang dibicarakan."Terserahlah. Sekarang segeralah meluncur kemari. Mama su
Dinda berjalan mengitari kamarnya. Rasa sakit mulai sering dirasakan. Untuk mengurangi rasa sakit, ia memilih untuk berjalan-jalan. Melihat pemandangan kebun belakang kediaman mertuanya, Dinda tiba-tiba ingin melihat kolam ikan di sudut taman. Ia berjalan keluar kamar lalu mengarahkan kakinya ke ruang keluarga yang langsung terhubung dengan kebun belakang."Kamu mau kemana?" Arya tiba-tiba mencegat Dinda."Mau kesana," tunjuk Dinda ke sudut taman. "Nggak kesakitan lagi?" Akhirnya, Arya memutuskan untuk menemani istrinya. Ia menggandeng tangan kiri Dinda, karena tangan Dinda sibuk mengusap perut besarnya. "Masih. Lebih sering malah. Apa mungkin malam nanti lahirannya?" "Kamu takut?""Sedikit. Gimana kalau nanti nggak kuat ngeden?" Hal yang sangat dikhawatirkan selama ini. Ia tidak mau menjalani operasi caesar. Ia sebelas dua belas dengan Mita. Sama-sama takut dioperasi."Bisa. Pasti bisa. Dedek bayinya diajakin ngomong terus.""Udah. Sudah sejak umur 3 bulan, tapi keliatannya posisi
Dengan sangat terpaksa, Dinda harus menyetujui usul Arya yang disertai dengan sedikit ancaman jika ia akan melapor kepada Sari soal ini. Nama Sari sangat keramat bagi Dinda, khususnya saat-saat seperti ini. Ia tidak mau proses persalinannya nanti menjadi tidak lancar, karena membuat suami dan mamanya menaruh kesal padanya. Ia ingin semuanya kelak berjalan lancar dan damai.Fahri menyanggah kepala Mita yang kini tertidur pulas di sampingnya. "Begini kok masih mau lanjut belanja."Arya terkekeh. "Biasalah. Tidak mengukur kemampuan. Maunya jalan terus padahal kaki-kaki sudah bengkak semua.""Bukan begitu, Mas. Maksud kita itu, biar sekalian jalan. Jadi besok-besok nggak usah belanja lagi," jelas Dinda yang masih terjaga. Ia memegang perutnya sambil sedikit meringis. Seketika ia ingat dengan pesan dari instruktur senam hamilnya, untuk menarik napas ketika kontraksi mulai dirasakan."Ada apa?" Arya rupanya menangkap gerakan Dinda. Ia melihat dengan tatapan khawatir."Nggak apa-apa. Seperti
Tujuh bulan berlalu. Kehamilan Dinda semakin besar. Berbagai macam petuah mempersiapkan kelahiran bayi mulai pagi hingga malam datang, terus saja didengungkan Anggun kepada Arya. Ia terus mewanti-wanti agar putra keduanya itu mulai mengatur jadwal yang mendukungnya menjadi suami siaga."Duh, Mama. Setiap hari itu saja yang dibicarakan. Arya sampai membuat buku sendiri untuk mencatat semua nasihat Mama." Arya segera mengeluarkan sebuah buku catatan berukuran tanggung dari tas kerjanya, lalu menyodorkan buku ke hadapan Anggun.Anggun tersenyum senang. "Anak pintar!""Tapi, kenapa cuma Arya saja yang dapat kuliah beginian?""Nah! Kamu protes?" Salah satu alis Anggun meninggi. "Yang kelahirannya sudah dekat kan kamu, kalau kakakmu masih enam minggu lagi. .""Yaa, Mama. Dulu waktu Dinda hamil muda, Mama juga begini. Segala macam diributin. Yang inilah-yang itulah," sungut Arya sebal. Tiba-tiba ia merasa telah diperlakukan tidak adil oleh Anggun. Ia tidak pernah melihat Fahri mengalami hal
"Selamat! Sebentar lagi, Pak Arya akan menjadi Ayah." Tangan putih sang dokter mengangsur ke depan, menyalami Arya yang masih bingung, mencerna kalimat barusan. Senyum tulus tidak lupa diberikan oleh Rizky.Dinda yang semula ternganga langsung tertawa kecil. "Dokter bercanda pasti. Masa iya saya hamil?"Ia tidak dapat menerima mentah-mentah kabar baik itu. Pernikahannya dengan Arya belum ada satu bulan masa iya dia langsung hamil. Berbeda dengan Arya. Rasa hangat mulai merayap ke dalam hatinya. Ayah? Benar ia akan segera menjadi ayah? "Saya tidak bermimpi?" Arya menyangsikan namun besar harapannya itu kabar nyata.Rizky mengangguk. Dokter muda itu memberi isyarat agar sang perawat memberikan test pack yang tadi digunakan untuk mengetes kandungan hormon hCG pada urine Dinda."Dua garis merah ini menunjukkan jika Ibu Dinda positif hamil. Usia kandungannya masih sangat dini. Sekitar satu minggu. Jadi, pesan saya jangan bekerja terlalu berat. Hindari mengangkat beban yang berat. Serahka