Maya memutuskan untuk kembali bekerja dengan perasaan yang was-was. Meskipun sari sudah memberikan saran pada Maya untuk mengambil cuti, tapi Maya merasa dirinya baik-baik saja.
Perlakuan Andi yang liar, membuat Maya merasa tidak nyaman selama hampir sebulan terakhir ini. Kalau saja tidak ada Sari sahabatnya, dan Raka seseorang yang selalu muncul bak pangeran kuda putih yang menyelamatkan putri raja dari ancaman penyihir jahat, mungkin Maya tidak akan kuat menjalani hidup ini. "Kamu yakin mau berangkat kerja?" Tanya sari saat Maya bersiap untuk pergi ke kantor. "Aku, harus yakin sar. Aku gak mau hidupku terus di penuhi ketakutan seperti ini." Jawabnya. Sari tersenyum sambil memberikan pelukan semangat kepada sahabatnya itu. "Makasih sar, kamu selalu membantu ku." Bisik Maya sambil berpamitan. Sari melambaikan tangan di muka pintu. Melihat sahabatnya yang pergi berjalan kaki menuju halte pemberhentian bus yang ada di depan jalan utama. Perasaan khawatir menyergap hati Sari. Ia memutuskan untuk menelepon orang yang selalu membantu Maya belakangan ini. Raka. "Halo Raka." Sapa Sari. "Halo kenapa sar?" "Hari ini kamu sibuk gak?" "Aku, cuma ada meeting sebentar sampai jam sepuluh. selepas itu aku santai. Kenapa sar?" Tanya Raka. "Aku, khawatir dengan Maya. dia maksa untuk berangkat kerja, dan sekarang sudah pergi ke kantor." Raka mengangguk seolah sari bisa melihat ekspresinya. "Ok kamu tenang aja, selama Maya di kantor dia aman." Jawab Raka. Sari mengerutkan kening. Ia heran kenapa Raka bisa begitu yakin. "Kamu serius?" "Iya aku serius. aku jamin." jawab Raka pasti. Dengan hati yang sedikit tenang, Sari menutup telepon sambil berfikir, kenapa Raka bisa berkata sebegitu yakinnya. Sari dan Maya memang belum begitu mengenal Raka. Maya dan Raka bertemu di kondisi yang tidak di sengaja. Lalu, mereka selalu bertemu dan semakin dekat. Padahal mereka belum tahu siapa sebenarnya Raka? *** "Maya, kamu bisa keruangan saya." Ucap salah seorang atasan langsung Maya di kantor tempatnya bekerja. Maya mengangguk sambil berdiri meninggalkan meja kerjanya. Maya masuk ke dalam sebuah ruangan bertuliskan manager area di depan pintu masuk nya. Hatinya sedikit tegang, ia takut kalau-kalau ia berbuat salah dan ia tidak menyadari itu. "Silahkan duduk." Ucap Pak Subroto. Maya mengangguk lalu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan manager area nya itu. "Ada apa pak?" Tanya Maya ragu. "Oh enggak may, saya cuma mau tanya bagaimana kondisi kamu setelah sebulan kerja disini. Saya juga belum mengenal baik kamu kan?" Tanya lelaki yang memiliki badan tegap walaupun uban sudah hampir memenuhi rambutnya. "Saya, sangat bersyukur pak bisa mendapatkan pekerjaan disini dan saya sangat kerasan." Pak Subroto tersenyum. Ada Kerut di bagian matanya yang tertarik. "Syukurlah, saya cuma mau memastikan kalau pekerjaan kamu lancar dan baik-baik saja. Karena, setelah tiga bulan masa training kamu berakhir, saya punya rencana untuk memindahkan kamu ke kantor cabang yang ada di Semarang. Kamu bersedia kalau nanti kamu saya pindahkan ke Semarang?" Tanya pak Subroto lagi. Maya terdiam sebentar mendengar pertanyaan mendadak ini. Benaknya tentu beradu argumen, ia ingin sekali memulai kehidupan. Kehidupan rumah tangga nya dan babak baru setelah perceraian dengan Andi nanti, pasti akan lebih berat. "Begitu ya pak? apa saya harus menjawab sekarang pak?" Tanya Maya ragu. "Tidak perlu sekarang may. kamu hanya cukup memikirkan matang-matang keputusan kamu dulu. Karena memang kami mencari orang yang tepat untuk mengembangkan perusahaan ini di cabang semarang. Dan saya rasa, kamu adalah orang yang tepat." Maya mengangguk, menghargai penilaian manager area nya ini. "Baik pak terimakasih sebelumnya. Saya harus memikirkan ini terlebih dahulu saya minta waktu untuk menjawabnya." Pak Subroto mengangguk. "Baiklah may, saya rasa cuma itu yang bisa saya tanyakan. Selamat bekerja kembali." Ucap nya sembari mempersilahkan Maya keluar dari ruangannya. Maya kembali ke meja kerjanya dengan perasaan yang tidak karuan. Langkahnya gontai. entah kenapa ia ingin sekali menghubungi Raka untuk membicarakan hal ini. Padahal, Andi adalah masih menjadi suami sah nya dalam proses perceraiannya. "Raka." Gumamnya pelan sambil menjatuhkan badannya ke kursi. Maya segera mengambil handphonenya, lalu mencari kontak Raka di handphone nya. "Halo, Raka." Tanya Maya. "Halo... may, nanti aku telepon kamu balik ya." Jawab Raka berbisik. Hati Maya mencelos mendengarnya. Tanpa Maya tahu, Raka Memang sedang ditengah rapat di kantornya. "Oh baik, maaf aku mengganggu." Jawabnya sambil mematikan telepon. Raka kembali menyimpan handphonenya. Lalu, sedetik kemudian dering teleponnya berbunyi. Nomor tidak dikenal yang meneleponnya. "Halo ..." Maya mengangkat teleponnya ragu. "MAYA! KELUAR KAMU AKU DI LOBI KANTOR MU!" Jelas sekali suara Andi. Suara Andi yang membentak keras sampai Maya harus menjauhkan teleponnya dari telinga. "Mas--Mau apa lagi kamu datang?" Ucap Maya pelan. "CEPAT KELUAR! ATAU AKU AKAN PERMALUKAN KAMU DISINI!" Maya terdiam sebentar, kaki nya gemetar. Tapi, dengan ragu, Maya memutuskan untuk turun ke lobi dan menemui Andi. Sosok yang beberapa hari ini mengancam dan membabi buta, sudah berdiri di meja resepsionis, di tahan dua orang satpam yang menjaga nya agar tidak masuk. Maya menarik nafas pelan, ia berjalan menghampiri Andi yang sudah melihatnya. "May. Ayo ikut aku!" Tanpa ragu, Andi menarik tangan Maya menerobos dua orang satpam yang menjegalnya. "Mas! stop mas!" Maya mencoba meronta melepas tangan Andi. Tapi sayangnya, cengkeraman tangan Andi begitu keras. Mau tidak mau, Maya mengikuti langkah Andi, keluar dari kantornya dan dibawa masuk ke dalam mobilnya kali ini tanpa orang yang membantu tanpa penjagaan dari Raka dan Sari. Maya di bawa oleh Andi, pergi meninggalkan kantornya. *** Maya mendelik ke sekitar. Duduknya tidak nyaman, tapi setidaknya hati nya lega karena Andi membawa nya ke tempat umum, ke sebuah cafe yang jaraknya hampir setengah jam dari kantor Maya. Walaupun agak sedikit jauh, tapi Maya merasa tempat ini akan aman baginya, kalaupun Andi berbuat sesuatu yang jahat, Maya hanya tinggal teriak, meminta tolong pada orang-orang yang penuh mengisi meja-meja di cafe ini. "May, lihat aku." Ucap Andi tegas. Maya mengangkat wajahnya ragu. "Kamu tega melaporkan aku ke polisi? Aku ini masih suami kamu may." Maya tidak kuasa menahan air matanya. "Maya. Amaya. Aku melakukan ini, karena aku ingin..." Andi menarik nafas pelan. Tiba-tiba ia memegangi tangan Maya dengan lembut. "Aku ingin memperbaiki hubungan rumah tangga kita." DEG... Maya benar-benar tidak menyangka, Andi berbicara seperti itu. Apalagi, Maya sempat melihat manik mata Andi yang sudah berlinangan air mata. entahlah Maya merasa ketulusan dari genggaman tangan Andi saat ini. "Aku minta maaf kemarin aku marah. aku emosi aku kesal. Aku tahu surat permohonan cerai dari aku itu, yang membuat kamu akhirnya pergi. Tapi aku gila may. aku gila sendirian di rumah!" Andi memelankan suaranya. Maya terisak pelan. ia tidak lagi berani menatap mata Andi. "May tolong, maaf in aku. Tolong kamu pulang ya. Kita rujuk kita ga usah cerai." Maya yang naif, tentunya merasa ucapan Andi ini adalah tulus. Hatinya sempat merasakan kehangatan yang dulu pernah hilang. Andi yang di kenalnya dulu, mungkin saja sudah kembali dari khilaf nya. Tapi, trauma di diri Maya, membuatnya kesulitan mengambil keputusan saat ini. "Mas, aku ..." Maya mencoba menenangkan suaranya. "Aku ingin percaya sama kamu. Tapi..." Andi menggenggam semakin erat tangan Maya. "Aku janji may. DEMI TUHAN ... Aku janji aku akan mencintai kamu lagi seperti dulu. Aku gak peduli kalau pun kamu tidak bisa memberikan aku keturunan sekalipun, aku akan tetap mencintai kamu." Dada Maya berdegup begitu kencang. Permasalah ini lah yang memang membuat Andi semakin hari semakin dingin. Keturunan. Maya dan Andi memang sudah menikah sepuluh tahun dan belum diberikan keturunan. Itulah yang membuat Andi ingin menceraikan Maya. Maya menarik tangannya. "Aku belum bisa percaya kamu mas. Buktikan kalau kamu memang ingin kembali menata rumah tangga kita." Ucap Maya. Andi mengangguk. Ia mengembuskan nafasnya pelan. "Baik, kasih aku waktu seminggu. Aku minta waktu kamu seminggu ini. kamu pulang selama seminggu saja, supaya aku bisa membuktikan kalau aku benar-benar ingin memperbaiki rumah tangga ku." Lagi-lagi di kepala Maya teringat sosok Raka. Ia sangat ingin membicarakan ini dengan Raka sebelum ia mengambil keputusan. Tapi, Andi yang terus mendesaknya, dan Raka yang sepertinya tidak bisa di ganggu, membuat Maya harus memberikan keputusannya saat ini juga. "Baik. Antar aku kembali ke kantor. Aku harus tetap kerja, sepulang kerja aku akan pulang ke rumah kita." Jawab Maya tegas. Andi tersenyum sambil mengusap tangan Maya. "Terimakasih may. aku janji. " Ucapnya. ***Sepanjang hari, setelah Maya bertemu Andi dan menyetujui untuk kembali ke rumahnya, Maya semakin memikirkan apa langkah yang seharusnya ia ambil. Maya menyetujui ucapan Andi untuk pulang kerumahnya, hanya agar Andi bisa cepat pergi dan Maya bisa kembali lagi ke kantor dengan selamat siang tadi. Kali ini, ketika waktu pulang kerja semakin dekat, Maya semakin gelisah, ketakutan dan entah kenapa kali ini ada perasaan bimbang di hatinya. Perlakuan Andi tadi, kata-kata manisnya, membuai keyakinan Maya kalau Andi memang sudah berubah. Mungkin karena ia sempat di tahan di kantor polisi beberapa hari lalu, pikir Maya. Raka, orang yang paling ingin di temuinya sehari ini, bahkan belum memberikan kabar kepada Maya. Maya ingin sekali bercerita soal ini kepada Raka. "Mbak, suami nya sudah nunggu di lobi." Lamunan Maya buyar ketika seorang satpam masuk ke ruangannya dan memberi tahukan info kalau Andi yang tadi siang membuat keributan di lobi kantor nya sudah tiba. Maya mengerjap, ia meli
Rumah yang sempat ditinggalkan Maya, belum berubah sama sekali. Semuanya masih sama. Walaupun hatinya masih ragu, akhirnya Maya memutuskan untuk pulang bersama Andi sepulang kerja. "Selamat datang kembali Maya." Ucap Andi sambil tersenyum. Maya tahu keputusan nya ini bukanlah keputusan yang terbaik. Maya hanya berfikir untuk memberikan Andi satu lagi kesempatan sebelum dirinya mengambil keputusan untuk bersama dengan Andi lagi atau benar-benar berpisah untuk selamanya. "Terimakasih" Gumam Maya sambil berjalan melewati beberapa ruangan di rumah lamanya ini. Tidak bisa di pungkiri, ada rasa rindu di hati Maya saat ia melihat lagi setiap ruangan di rumah yang sudah mengisi harinya selama tujuh tahun pernikahan nya dengan Andi. Dulu, ketika awal pernikahan, Andi adalah pribadi yang baik, romantis dan penuh perhatian. Sampai kemudian, sikapnya berubah setelah tahun ke tiga pernikahan.Bu Ratna, ibu mertua Maya yang terus menerus menanyakan soal momongan kepada Andi, mulai merubah sik
Maya mengelap keringat di dahinya sambil memandang meja makan yang telah tertata rapi. Piring porselen dengan motif bunga mawar, sendok dan garpu yang berkilau, serta mangkuk sup yang mengepulkan uap hangat berisi sup ayam kesukaan suaminya, Andi. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke-7, dan Maya telah berusaha keras untuk memastikan semuanya sempurna.Maya adalah seorang wanita berusia 34 tahun dengan wajah lembut dan mata yang selalu memancarkan kebaikan. Meskipun usianya bertambah, kecantikannya tetap terjaga, terlihat dari senyum yang selalu ia kenakan meski di tengah kepedihan. Ia mengenakan gaun berwarna biru muda yang dipilihnya dengan hati-hati pagi tadi, berharap Andi akan memperhatikan dan mungkin, hanya mungkin, memujinya.Tepat saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, Maya mendengar suara derap kaki di pintu depan. Ia memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan dan berdiri dengan gugup menanti kedatangan Andi. Pintu terbuka dengan suara berderit, dan
Maya memandangi kertas di tangannya dengan perasaan campur aduk. Malam telah semakin larut, dan bunyi jam di ruang tamu berdetak pelan, seolah menghitung setiap detik yang berlalu. Isi amplop itu ternyata adalah surat perceraian yang Andi ajukan. Ia merasa terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Pagi harinya, Maya terbangun dengan perasaan tak tenang. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai, menerangi kamar yang terasa begitu dingin dan asing. Andi telah bangun lebih awal seperti biasa, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Maya duduk di tepi tempat tidur, memegangi surat itu dengan tangan yang masih gemetar. Di ruang tamu, Andi sedang duduk dengan tenang, menyeruput kopi sambil membaca koran. Ketika Maya masuk, ia bahkan tidak menoleh. Jantung Maya berdegup kencang, dan ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk menghadapi kenyataan yang pahit. "Mas, apa maksudnya ini?" tanya Maya dengan suara yang hampir berbisik, menahan air mata yang sudah mulai mengalir di pi
Di saat yang sama, seseorang mendengar suara gaduh dari gang tersebut. Langkah kaki mendekat dengan cepat, dan tiba-tiba ada seorang pria lain yang menerobos masuk, mendorong penyerang Maya hingga terjatuh. "Apa yang kau lakukan?!" bentak pria itu, memukul penyerang hingga terlempar ke tanah. Penyerang itu melarikan diri, meninggalkan Maya yang terengah-engah dan gemetar. Pria penyelamat itu mendekati Maya dengan wajah khawatir. "Kamu baik-baik saja?" Maya mengangguk pelan, masih shock. "Ya, terima kasih... Kamu siapa?" Pria itu tersenyum lembut. "Aku Raka. Aku kebetulan lewat dan mendengar teriakanmu." Maya mencoba bangkit, namun kakinya masih lemas. Raka membantunya berdiri dan membawanya ke tempat yang lebih aman. Mereka duduk di sebuah bangku taman, dan Raka menawari Maya air dari botol yang dibawanya. "Kamu harus lebih berhati-hati. Ini daerah yang agak rawan," kata Raka. Maya mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Terima kasih banyak, Raka. Aku tidak tahu apa yan
Maya kembali ke rumah Sari dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega bahwa Raka ada di sana untuk membantunya, namun bayangan Andi yang marah masih menghantui pikirannya. Sari menyambut mereka dengan wajah khawatir, segera mendekati Maya. "Maya, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?" tanya Sari dengan cemas. Maya menceritakan kejadian di taman, dan Sari terlihat marah dan khawatir sekaligus. "Andi sudah keterlaluan. Kita harus melaporkannya ke polisi." Maya mengangguk pelan. "Aku tahu, Sari. Tapi aku takut. Aku takut Andi akan melakukan sesuatu yang lebih buruk." Raka menatap Maya dengan tegas. "Kita tidak bisa membiarkan dia terus menerormu. Aku akan menemanimu ke kantor polisi besok. Kamu tidak perlu takut lagi." Maya merasa sedikit lebih tenang dengan dukungan Raka dan Sari. Malam itu, ia tidur di kamar tamu dengan perasaan was-was, namun tekadnya semakin kuat untuk melindungi dirinya sendiri.Esok harinya, Maya, Raka, dan Sari pergi ke kantor polisi. Maya memberikan lapora
Ketika polisi datang, suasana di rumah Sari penuh dengan ketegangan. Raka dan Andi masih bergulat di lantai, namun dengan cepat polisi memisahkan mereka dan memborgol Andi. Maya, yang gemetar di sudut ruangan, merasa sedikit lega melihat Andi akhirnya dibawa pergi. Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Setelah polisi pergi, Maya, Sari, dan Raka duduk bersama di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Malam itu begitu panjang, dan mereka tahu bahwa ini belum berakhir. Pagi harinya, Maya bangun dengan perasaan campur aduk. Meskipun Andi telah ditangkap, bayangan dan ketakutan akan dirinya masih menghantui. Maya memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup dan mencoba mencari cara untuk meraih kebebasan yang selama ini ia rindukan. Di kantor, Maya berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus kembali pada kejadian malam sebelumnya. Sari menghubungi Maya di siang hari, memastikan bahwa ia baik-baik saja. "Maya, aku sudah bicara dengan pengacara lagi. Mereka akan membantu kita untu
Maya merasa gelisah sepanjang malam, tak bisa tidur dengan tenang. Setiap suara kecil membuatnya terlonjak, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Andi yang mengancam. Sari dan Raka mencoba menenangkan Maya, namun ketakutan masih menyelimuti dirinya. Keesokan paginya, Maya, Sari, dan Raka duduk di ruang tamu, memikirkan langkah selanjutnya. Sari menyeduh kopi untuk semua orang, sementara Raka memeriksa kembali keamanan rumah. "Kita harus tetap waspada," kata Raka dengan suara serius. "Aku sudah menghubungi polisi lagi dan mereka berjanji akan meningkatkan patroli di sekitar rumah ini." Maya mengangguk lemah. "Aku hanya ingin semua ini segera berakhir. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini." Sari memegang tangan Maya erat. "Kamu tidak sendirian, Maya. Kita akan melalui ini bersama. Kita harus tetap kuat." *** Beberapa hari berlalu dengan ketegangan yang terus menghantui. Suatu pagi, saat Maya membuka pintu depan untuk mengambil surat, ia menemukan sebuah
Rumah yang sempat ditinggalkan Maya, belum berubah sama sekali. Semuanya masih sama. Walaupun hatinya masih ragu, akhirnya Maya memutuskan untuk pulang bersama Andi sepulang kerja. "Selamat datang kembali Maya." Ucap Andi sambil tersenyum. Maya tahu keputusan nya ini bukanlah keputusan yang terbaik. Maya hanya berfikir untuk memberikan Andi satu lagi kesempatan sebelum dirinya mengambil keputusan untuk bersama dengan Andi lagi atau benar-benar berpisah untuk selamanya. "Terimakasih" Gumam Maya sambil berjalan melewati beberapa ruangan di rumah lamanya ini. Tidak bisa di pungkiri, ada rasa rindu di hati Maya saat ia melihat lagi setiap ruangan di rumah yang sudah mengisi harinya selama tujuh tahun pernikahan nya dengan Andi. Dulu, ketika awal pernikahan, Andi adalah pribadi yang baik, romantis dan penuh perhatian. Sampai kemudian, sikapnya berubah setelah tahun ke tiga pernikahan.Bu Ratna, ibu mertua Maya yang terus menerus menanyakan soal momongan kepada Andi, mulai merubah sik
Sepanjang hari, setelah Maya bertemu Andi dan menyetujui untuk kembali ke rumahnya, Maya semakin memikirkan apa langkah yang seharusnya ia ambil. Maya menyetujui ucapan Andi untuk pulang kerumahnya, hanya agar Andi bisa cepat pergi dan Maya bisa kembali lagi ke kantor dengan selamat siang tadi. Kali ini, ketika waktu pulang kerja semakin dekat, Maya semakin gelisah, ketakutan dan entah kenapa kali ini ada perasaan bimbang di hatinya. Perlakuan Andi tadi, kata-kata manisnya, membuai keyakinan Maya kalau Andi memang sudah berubah. Mungkin karena ia sempat di tahan di kantor polisi beberapa hari lalu, pikir Maya. Raka, orang yang paling ingin di temuinya sehari ini, bahkan belum memberikan kabar kepada Maya. Maya ingin sekali bercerita soal ini kepada Raka. "Mbak, suami nya sudah nunggu di lobi." Lamunan Maya buyar ketika seorang satpam masuk ke ruangannya dan memberi tahukan info kalau Andi yang tadi siang membuat keributan di lobi kantor nya sudah tiba. Maya mengerjap, ia meli
Maya memutuskan untuk kembali bekerja dengan perasaan yang was-was. Meskipun sari sudah memberikan saran pada Maya untuk mengambil cuti, tapi Maya merasa dirinya baik-baik saja. Perlakuan Andi yang liar, membuat Maya merasa tidak nyaman selama hampir sebulan terakhir ini. Kalau saja tidak ada Sari sahabatnya, dan Raka seseorang yang selalu muncul bak pangeran kuda putih yang menyelamatkan putri raja dari ancaman penyihir jahat, mungkin Maya tidak akan kuat menjalani hidup ini. "Kamu yakin mau berangkat kerja?" Tanya sari saat Maya bersiap untuk pergi ke kantor. "Aku, harus yakin sar. Aku gak mau hidupku terus di penuhi ketakutan seperti ini." Jawabnya. Sari tersenyum sambil memberikan pelukan semangat kepada sahabatnya itu. "Makasih sar, kamu selalu membantu ku." Bisik Maya sambil berpamitan. Sari melambaikan tangan di muka pintu. Melihat sahabatnya yang pergi berjalan kaki menuju halte pemberhentian bus yang ada di depan jalan utama. Perasaan khawatir menyergap h
Maya merasa gelisah sepanjang malam, tak bisa tidur dengan tenang. Setiap suara kecil membuatnya terlonjak, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Andi yang mengancam. Sari dan Raka mencoba menenangkan Maya, namun ketakutan masih menyelimuti dirinya. Keesokan paginya, Maya, Sari, dan Raka duduk di ruang tamu, memikirkan langkah selanjutnya. Sari menyeduh kopi untuk semua orang, sementara Raka memeriksa kembali keamanan rumah. "Kita harus tetap waspada," kata Raka dengan suara serius. "Aku sudah menghubungi polisi lagi dan mereka berjanji akan meningkatkan patroli di sekitar rumah ini." Maya mengangguk lemah. "Aku hanya ingin semua ini segera berakhir. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini." Sari memegang tangan Maya erat. "Kamu tidak sendirian, Maya. Kita akan melalui ini bersama. Kita harus tetap kuat." *** Beberapa hari berlalu dengan ketegangan yang terus menghantui. Suatu pagi, saat Maya membuka pintu depan untuk mengambil surat, ia menemukan sebuah
Ketika polisi datang, suasana di rumah Sari penuh dengan ketegangan. Raka dan Andi masih bergulat di lantai, namun dengan cepat polisi memisahkan mereka dan memborgol Andi. Maya, yang gemetar di sudut ruangan, merasa sedikit lega melihat Andi akhirnya dibawa pergi. Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Setelah polisi pergi, Maya, Sari, dan Raka duduk bersama di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Malam itu begitu panjang, dan mereka tahu bahwa ini belum berakhir. Pagi harinya, Maya bangun dengan perasaan campur aduk. Meskipun Andi telah ditangkap, bayangan dan ketakutan akan dirinya masih menghantui. Maya memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup dan mencoba mencari cara untuk meraih kebebasan yang selama ini ia rindukan. Di kantor, Maya berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus kembali pada kejadian malam sebelumnya. Sari menghubungi Maya di siang hari, memastikan bahwa ia baik-baik saja. "Maya, aku sudah bicara dengan pengacara lagi. Mereka akan membantu kita untu
Maya kembali ke rumah Sari dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega bahwa Raka ada di sana untuk membantunya, namun bayangan Andi yang marah masih menghantui pikirannya. Sari menyambut mereka dengan wajah khawatir, segera mendekati Maya. "Maya, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?" tanya Sari dengan cemas. Maya menceritakan kejadian di taman, dan Sari terlihat marah dan khawatir sekaligus. "Andi sudah keterlaluan. Kita harus melaporkannya ke polisi." Maya mengangguk pelan. "Aku tahu, Sari. Tapi aku takut. Aku takut Andi akan melakukan sesuatu yang lebih buruk." Raka menatap Maya dengan tegas. "Kita tidak bisa membiarkan dia terus menerormu. Aku akan menemanimu ke kantor polisi besok. Kamu tidak perlu takut lagi." Maya merasa sedikit lebih tenang dengan dukungan Raka dan Sari. Malam itu, ia tidur di kamar tamu dengan perasaan was-was, namun tekadnya semakin kuat untuk melindungi dirinya sendiri.Esok harinya, Maya, Raka, dan Sari pergi ke kantor polisi. Maya memberikan lapora
Di saat yang sama, seseorang mendengar suara gaduh dari gang tersebut. Langkah kaki mendekat dengan cepat, dan tiba-tiba ada seorang pria lain yang menerobos masuk, mendorong penyerang Maya hingga terjatuh. "Apa yang kau lakukan?!" bentak pria itu, memukul penyerang hingga terlempar ke tanah. Penyerang itu melarikan diri, meninggalkan Maya yang terengah-engah dan gemetar. Pria penyelamat itu mendekati Maya dengan wajah khawatir. "Kamu baik-baik saja?" Maya mengangguk pelan, masih shock. "Ya, terima kasih... Kamu siapa?" Pria itu tersenyum lembut. "Aku Raka. Aku kebetulan lewat dan mendengar teriakanmu." Maya mencoba bangkit, namun kakinya masih lemas. Raka membantunya berdiri dan membawanya ke tempat yang lebih aman. Mereka duduk di sebuah bangku taman, dan Raka menawari Maya air dari botol yang dibawanya. "Kamu harus lebih berhati-hati. Ini daerah yang agak rawan," kata Raka. Maya mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Terima kasih banyak, Raka. Aku tidak tahu apa yan
Maya memandangi kertas di tangannya dengan perasaan campur aduk. Malam telah semakin larut, dan bunyi jam di ruang tamu berdetak pelan, seolah menghitung setiap detik yang berlalu. Isi amplop itu ternyata adalah surat perceraian yang Andi ajukan. Ia merasa terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Pagi harinya, Maya terbangun dengan perasaan tak tenang. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai, menerangi kamar yang terasa begitu dingin dan asing. Andi telah bangun lebih awal seperti biasa, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Maya duduk di tepi tempat tidur, memegangi surat itu dengan tangan yang masih gemetar. Di ruang tamu, Andi sedang duduk dengan tenang, menyeruput kopi sambil membaca koran. Ketika Maya masuk, ia bahkan tidak menoleh. Jantung Maya berdegup kencang, dan ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk menghadapi kenyataan yang pahit. "Mas, apa maksudnya ini?" tanya Maya dengan suara yang hampir berbisik, menahan air mata yang sudah mulai mengalir di pi
Maya mengelap keringat di dahinya sambil memandang meja makan yang telah tertata rapi. Piring porselen dengan motif bunga mawar, sendok dan garpu yang berkilau, serta mangkuk sup yang mengepulkan uap hangat berisi sup ayam kesukaan suaminya, Andi. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke-7, dan Maya telah berusaha keras untuk memastikan semuanya sempurna.Maya adalah seorang wanita berusia 34 tahun dengan wajah lembut dan mata yang selalu memancarkan kebaikan. Meskipun usianya bertambah, kecantikannya tetap terjaga, terlihat dari senyum yang selalu ia kenakan meski di tengah kepedihan. Ia mengenakan gaun berwarna biru muda yang dipilihnya dengan hati-hati pagi tadi, berharap Andi akan memperhatikan dan mungkin, hanya mungkin, memujinya.Tepat saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, Maya mendengar suara derap kaki di pintu depan. Ia memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan dan berdiri dengan gugup menanti kedatangan Andi. Pintu terbuka dengan suara berderit, dan