Share

DIBALIK SEBUAH KESULITAN

Di saat yang sama, seseorang mendengar suara gaduh dari gang tersebut. Langkah kaki mendekat dengan cepat, dan tiba-tiba ada seorang pria lain yang menerobos masuk, mendorong penyerang Maya hingga terjatuh.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak pria itu, memukul penyerang hingga terlempar ke tanah.

Penyerang itu melarikan diri, meninggalkan Maya yang terengah-engah dan gemetar. Pria penyelamat itu mendekati Maya dengan wajah khawatir. "Kamu baik-baik saja?"

Maya mengangguk pelan, masih shock. "Ya, terima kasih... Kamu siapa?"

Pria itu tersenyum lembut. "Aku Raka. Aku kebetulan lewat dan mendengar teriakanmu."

Maya mencoba bangkit, namun kakinya masih lemas. Raka membantunya berdiri dan membawanya ke tempat yang lebih aman. Mereka duduk di sebuah bangku taman, dan Raka menawari Maya air dari botol yang dibawanya.

"Kamu harus lebih berhati-hati. Ini daerah yang agak rawan," kata Raka.

Maya mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Terima kasih banyak, Raka. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang."

Raka tersenyum hangat. "Tidak masalah. Kamu ingin aku mengantarmu pulang?"

Maya ragu sejenak, namun akhirnya setuju. Mereka berjalan bersama menuju rumah Sari, dan sepanjang perjalanan, Maya merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Raka.

***

Ketika mereka tiba di rumah Sari, Maya mengundang Raka masuk untuk minum teh sebagai ucapan terima kasih. Sari yang melihat kedatangan Maya dengan seorang pria merasa sedikit terkejut, namun segera mengerti setelah mendengar cerita Maya.

"Kamu benar-benar beruntung, Maya. Raka, terima kasih sudah membantu sahabatku," kata Sari dengan tulus.

Raka mengangguk. "Tidak perlu berterima kasih. Aku senang bisa membantu".

Malam itu, setelah Raka pulang, Maya dan Sari duduk bersama di ruang tamu. Sari memegang tangan Maya erat, berusaha menenangkan sahabatnya yang masih terlihat shock.

"Maya, kamu benar-benar harus lebih berhati-hati," kata Sari dengan suara penuh perhatian. "Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Raka tidak muncul."

Maya mengangguk pelan. "Aku tahu, Sari. Ini semua terasa begitu menakutkan. Aku tidak pernah merasa seketakutan ini sebelumnya."

Sari memeluk Maya erat. "Kita akan melalui ini bersama. Kamu tidak sendirian."

Maya merasakan sedikit ketenangan dari pelukan sahabatnya. Setelah beberapa saat, mereka berdua duduk kembali di sofa, mencoba mengalihkan pikiran dengan menonton acara televisi. Namun, pikiran Maya masih melayang ke kejadian yang baru saja dialaminya.

Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk kembali bekerja meskipun perasaan takut masih menghantui. Di kantor, ia berusaha fokus pada pekerjaannya, namun bayangan kejadian malam itu terus membayangi pikirannya. Ketika jam makan siang tiba, Maya duduk sendirian di sudut kantin, menatap kosong pada makanan di hadapannya.

Raka tiba-tiba muncul dan duduk di depan Maya dengan senyum hangat. "Hai, Maya. Boleh aku duduk di sini?"

Maya tersenyum lemah. "Tentu, Raka. Terima kasih lagi atas bantuannya semalam."

Raka menggeleng. "Jangan khawatirkan itu. Aku senang bisa membantu. Bagaimana keadaanmu hari ini?"

Maya menghela napas. "Masih merasa cemas, tapi aku harus terus bergerak. Aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai hidupku."

Raka mengangguk mengerti. "Itu sikap yang baik. Jika kamu butuh teman untuk berbicara atau apa pun, aku di sini untukmu."

Maya merasa terharu dengan perhatian Raka. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, mencoba mengalihkan perhatian Maya dari masalahnya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Maya merasa sedikit lebih ringan.

Setelah pulang kerja, Maya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumah Sari untuk menghilangkan stres. Saat berjalan di sepanjang jalur setapak, Maya tiba-tiba merasa seperti diikuti lagi. Ia mempercepat langkahnya, mencoba melihat siapa yang mengikutinya.

Ketika Maya berbalik, ia melihat sosok Andi berdiri tidak jauh darinya. Jantung Maya berdetak kencang, dan ia merasakan ketakutan yang sama seperti malam sebelumnya. Andi mendekat dengan langkah cepat dan ekspresi marah di wajahnya.

"Maya, kita perlu bicara," katanya dengan nada dingin.

Maya mundur beberapa langkah, merasa terpojok. "Andi, kita sudah berbicara. Apa lagi yang kamu inginkan?"

Andi meraih lengan Maya dengan kasar. "Kamu pikir kamu bisa meninggalkanku begitu saja? Kita belum selesai."

Maya mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Andi, namun ia terlalu kuat. "Andi, lepaskan aku! Kamu menyakitiku!"

Andi semakin keras mencengkeram lengan Maya, wajahnya mendekat dengan marah. "Kamu tidak akan bisa lari dariku. Kamu milikku!"

Maya merasa putus asa, air matanya mulai mengalir. Namun, sebelum Andi bisa melakukan lebih banyak lagi, sebuah suara lantang terdengar dari belakang.

"Lepaskan dia sekarang juga!"

Andi berbalik dan melihat Raka berdiri beberapa meter dari mereka dengan ekspresi tegas. Andi mendengus, namun tetap melepaskan cengkeramannya pada Maya.

"Ini bukan urusanmu," kata Andi dengan suara tajam.

Raka melangkah mendekat. "Itu urusan saya jika dia dalam bahaya. Pergi sekarang atau saya akan memanggil polisi."

Andi menatap Raka dengan tajam, namun akhirnya mundur. "Ini belum selesai, Maya," katanya sebelum berbalik dan pergi dengan langkah berat.

Maya jatuh ke tanah, gemetar dan menangis. Raka segera mendekat, memeluk Maya dengan lembut. "Kamu baik-baik saja? Apa dia menyakitimu?"

Maya menggeleng, masih menangis. "Terima kasih, Raka. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi tanpa kamu."

Raka mengusap punggung Maya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Maya. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan melalui ini bersama."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status