Di saat yang sama, seseorang mendengar suara gaduh dari gang tersebut. Langkah kaki mendekat dengan cepat, dan tiba-tiba ada seorang pria lain yang menerobos masuk, mendorong penyerang Maya hingga terjatuh.
"Apa yang kau lakukan?!" bentak pria itu, memukul penyerang hingga terlempar ke tanah. Penyerang itu melarikan diri, meninggalkan Maya yang terengah-engah dan gemetar. Pria penyelamat itu mendekati Maya dengan wajah khawatir. "Kamu baik-baik saja?" Maya mengangguk pelan, masih shock. "Ya, terima kasih... Kamu siapa?" Pria itu tersenyum lembut. "Aku Raka. Aku kebetulan lewat dan mendengar teriakanmu." Maya mencoba bangkit, namun kakinya masih lemas. Raka membantunya berdiri dan membawanya ke tempat yang lebih aman. Mereka duduk di sebuah bangku taman, dan Raka menawari Maya air dari botol yang dibawanya. "Kamu harus lebih berhati-hati. Ini daerah yang agak rawan," kata Raka. Maya mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Terima kasih banyak, Raka. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang." Raka tersenyum hangat. "Tidak masalah. Kamu ingin aku mengantarmu pulang?" Maya ragu sejenak, namun akhirnya setuju. Mereka berjalan bersama menuju rumah Sari, dan sepanjang perjalanan, Maya merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Raka. *** Ketika mereka tiba di rumah Sari, Maya mengundang Raka masuk untuk minum teh sebagai ucapan terima kasih. Sari yang melihat kedatangan Maya dengan seorang pria merasa sedikit terkejut, namun segera mengerti setelah mendengar cerita Maya. "Kamu benar-benar beruntung, Maya. Raka, terima kasih sudah membantu sahabatku," kata Sari dengan tulus. Raka mengangguk. "Tidak perlu berterima kasih. Aku senang bisa membantu". Malam itu, setelah Raka pulang, Maya dan Sari duduk bersama di ruang tamu. Sari memegang tangan Maya erat, berusaha menenangkan sahabatnya yang masih terlihat shock. "Maya, kamu benar-benar harus lebih berhati-hati," kata Sari dengan suara penuh perhatian. "Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Raka tidak muncul." Maya mengangguk pelan. "Aku tahu, Sari. Ini semua terasa begitu menakutkan. Aku tidak pernah merasa seketakutan ini sebelumnya." Sari memeluk Maya erat. "Kita akan melalui ini bersama. Kamu tidak sendirian." Maya merasakan sedikit ketenangan dari pelukan sahabatnya. Setelah beberapa saat, mereka berdua duduk kembali di sofa, mencoba mengalihkan pikiran dengan menonton acara televisi. Namun, pikiran Maya masih melayang ke kejadian yang baru saja dialaminya. Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk kembali bekerja meskipun perasaan takut masih menghantui. Di kantor, ia berusaha fokus pada pekerjaannya, namun bayangan kejadian malam itu terus membayangi pikirannya. Ketika jam makan siang tiba, Maya duduk sendirian di sudut kantin, menatap kosong pada makanan di hadapannya. Raka tiba-tiba muncul dan duduk di depan Maya dengan senyum hangat. "Hai, Maya. Boleh aku duduk di sini?" Maya tersenyum lemah. "Tentu, Raka. Terima kasih lagi atas bantuannya semalam." Raka menggeleng. "Jangan khawatirkan itu. Aku senang bisa membantu. Bagaimana keadaanmu hari ini?" Maya menghela napas. "Masih merasa cemas, tapi aku harus terus bergerak. Aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai hidupku." Raka mengangguk mengerti. "Itu sikap yang baik. Jika kamu butuh teman untuk berbicara atau apa pun, aku di sini untukmu." Maya merasa terharu dengan perhatian Raka. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, mencoba mengalihkan perhatian Maya dari masalahnya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Maya merasa sedikit lebih ringan. Setelah pulang kerja, Maya memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumah Sari untuk menghilangkan stres. Saat berjalan di sepanjang jalur setapak, Maya tiba-tiba merasa seperti diikuti lagi. Ia mempercepat langkahnya, mencoba melihat siapa yang mengikutinya. Ketika Maya berbalik, ia melihat sosok Andi berdiri tidak jauh darinya. Jantung Maya berdetak kencang, dan ia merasakan ketakutan yang sama seperti malam sebelumnya. Andi mendekat dengan langkah cepat dan ekspresi marah di wajahnya. "Maya, kita perlu bicara," katanya dengan nada dingin. Maya mundur beberapa langkah, merasa terpojok. "Andi, kita sudah berbicara. Apa lagi yang kamu inginkan?" Andi meraih lengan Maya dengan kasar. "Kamu pikir kamu bisa meninggalkanku begitu saja? Kita belum selesai." Maya mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Andi, namun ia terlalu kuat. "Andi, lepaskan aku! Kamu menyakitiku!" Andi semakin keras mencengkeram lengan Maya, wajahnya mendekat dengan marah. "Kamu tidak akan bisa lari dariku. Kamu milikku!" Maya merasa putus asa, air matanya mulai mengalir. Namun, sebelum Andi bisa melakukan lebih banyak lagi, sebuah suara lantang terdengar dari belakang. "Lepaskan dia sekarang juga!" Andi berbalik dan melihat Raka berdiri beberapa meter dari mereka dengan ekspresi tegas. Andi mendengus, namun tetap melepaskan cengkeramannya pada Maya. "Ini bukan urusanmu," kata Andi dengan suara tajam. Raka melangkah mendekat. "Itu urusan saya jika dia dalam bahaya. Pergi sekarang atau saya akan memanggil polisi." Andi menatap Raka dengan tajam, namun akhirnya mundur. "Ini belum selesai, Maya," katanya sebelum berbalik dan pergi dengan langkah berat. Maya jatuh ke tanah, gemetar dan menangis. Raka segera mendekat, memeluk Maya dengan lembut. "Kamu baik-baik saja? Apa dia menyakitimu?" Maya menggeleng, masih menangis. "Terima kasih, Raka. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi tanpa kamu." Raka mengusap punggung Maya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Maya. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan melalui ini bersama." ***Maya kembali ke rumah Sari dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega bahwa Raka ada di sana untuk membantunya, namun bayangan Andi yang marah masih menghantui pikirannya. Sari menyambut mereka dengan wajah khawatir, segera mendekati Maya. "Maya, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?" tanya Sari dengan cemas. Maya menceritakan kejadian di taman, dan Sari terlihat marah dan khawatir sekaligus. "Andi sudah keterlaluan. Kita harus melaporkannya ke polisi." Maya mengangguk pelan. "Aku tahu, Sari. Tapi aku takut. Aku takut Andi akan melakukan sesuatu yang lebih buruk." Raka menatap Maya dengan tegas. "Kita tidak bisa membiarkan dia terus menerormu. Aku akan menemanimu ke kantor polisi besok. Kamu tidak perlu takut lagi." Maya merasa sedikit lebih tenang dengan dukungan Raka dan Sari. Malam itu, ia tidur di kamar tamu dengan perasaan was-was, namun tekadnya semakin kuat untuk melindungi dirinya sendiri.Esok harinya, Maya, Raka, dan Sari pergi ke kantor polisi. Maya memberikan lapora
Ketika polisi datang, suasana di rumah Sari penuh dengan ketegangan. Raka dan Andi masih bergulat di lantai, namun dengan cepat polisi memisahkan mereka dan memborgol Andi. Maya, yang gemetar di sudut ruangan, merasa sedikit lega melihat Andi akhirnya dibawa pergi. Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Setelah polisi pergi, Maya, Sari, dan Raka duduk bersama di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Malam itu begitu panjang, dan mereka tahu bahwa ini belum berakhir. Pagi harinya, Maya bangun dengan perasaan campur aduk. Meskipun Andi telah ditangkap, bayangan dan ketakutan akan dirinya masih menghantui. Maya memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup dan mencoba mencari cara untuk meraih kebebasan yang selama ini ia rindukan. Di kantor, Maya berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus kembali pada kejadian malam sebelumnya. Sari menghubungi Maya di siang hari, memastikan bahwa ia baik-baik saja. "Maya, aku sudah bicara dengan pengacara lagi. Mereka akan membantu kita untu
Maya merasa gelisah sepanjang malam, tak bisa tidur dengan tenang. Setiap suara kecil membuatnya terlonjak, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Andi yang mengancam. Sari dan Raka mencoba menenangkan Maya, namun ketakutan masih menyelimuti dirinya. Keesokan paginya, Maya, Sari, dan Raka duduk di ruang tamu, memikirkan langkah selanjutnya. Sari menyeduh kopi untuk semua orang, sementara Raka memeriksa kembali keamanan rumah. "Kita harus tetap waspada," kata Raka dengan suara serius. "Aku sudah menghubungi polisi lagi dan mereka berjanji akan meningkatkan patroli di sekitar rumah ini." Maya mengangguk lemah. "Aku hanya ingin semua ini segera berakhir. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini." Sari memegang tangan Maya erat. "Kamu tidak sendirian, Maya. Kita akan melalui ini bersama. Kita harus tetap kuat." *** Beberapa hari berlalu dengan ketegangan yang terus menghantui. Suatu pagi, saat Maya membuka pintu depan untuk mengambil surat, ia menemukan sebuah
Maya memutuskan untuk kembali bekerja dengan perasaan yang was-was. Meskipun sari sudah memberikan saran pada Maya untuk mengambil cuti, tapi Maya merasa dirinya baik-baik saja. Perlakuan Andi yang liar, membuat Maya merasa tidak nyaman selama hampir sebulan terakhir ini. Kalau saja tidak ada Sari sahabatnya, dan Raka seseorang yang selalu muncul bak pangeran kuda putih yang menyelamatkan putri raja dari ancaman penyihir jahat, mungkin Maya tidak akan kuat menjalani hidup ini. "Kamu yakin mau berangkat kerja?" Tanya sari saat Maya bersiap untuk pergi ke kantor. "Aku, harus yakin sar. Aku gak mau hidupku terus di penuhi ketakutan seperti ini." Jawabnya. Sari tersenyum sambil memberikan pelukan semangat kepada sahabatnya itu. "Makasih sar, kamu selalu membantu ku." Bisik Maya sambil berpamitan. Sari melambaikan tangan di muka pintu. Melihat sahabatnya yang pergi berjalan kaki menuju halte pemberhentian bus yang ada di depan jalan utama. Perasaan khawatir menyergap h
Sepanjang hari, setelah Maya bertemu Andi dan menyetujui untuk kembali ke rumahnya, Maya semakin memikirkan apa langkah yang seharusnya ia ambil. Maya menyetujui ucapan Andi untuk pulang kerumahnya, hanya agar Andi bisa cepat pergi dan Maya bisa kembali lagi ke kantor dengan selamat siang tadi. Kali ini, ketika waktu pulang kerja semakin dekat, Maya semakin gelisah, ketakutan dan entah kenapa kali ini ada perasaan bimbang di hatinya. Perlakuan Andi tadi, kata-kata manisnya, membuai keyakinan Maya kalau Andi memang sudah berubah. Mungkin karena ia sempat di tahan di kantor polisi beberapa hari lalu, pikir Maya. Raka, orang yang paling ingin di temuinya sehari ini, bahkan belum memberikan kabar kepada Maya. Maya ingin sekali bercerita soal ini kepada Raka. "Mbak, suami nya sudah nunggu di lobi." Lamunan Maya buyar ketika seorang satpam masuk ke ruangannya dan memberi tahukan info kalau Andi yang tadi siang membuat keributan di lobi kantor nya sudah tiba. Maya mengerjap, ia meli
Rumah yang sempat ditinggalkan Maya, belum berubah sama sekali. Semuanya masih sama. Walaupun hatinya masih ragu, akhirnya Maya memutuskan untuk pulang bersama Andi sepulang kerja. "Selamat datang kembali Maya." Ucap Andi sambil tersenyum. Maya tahu keputusan nya ini bukanlah keputusan yang terbaik. Maya hanya berfikir untuk memberikan Andi satu lagi kesempatan sebelum dirinya mengambil keputusan untuk bersama dengan Andi lagi atau benar-benar berpisah untuk selamanya. "Terimakasih" Gumam Maya sambil berjalan melewati beberapa ruangan di rumah lamanya ini. Tidak bisa di pungkiri, ada rasa rindu di hati Maya saat ia melihat lagi setiap ruangan di rumah yang sudah mengisi harinya selama tujuh tahun pernikahan nya dengan Andi. Dulu, ketika awal pernikahan, Andi adalah pribadi yang baik, romantis dan penuh perhatian. Sampai kemudian, sikapnya berubah setelah tahun ke tiga pernikahan.Bu Ratna, ibu mertua Maya yang terus menerus menanyakan soal momongan kepada Andi, mulai merubah sik
Maya mengelap keringat di dahinya sambil memandang meja makan yang telah tertata rapi. Piring porselen dengan motif bunga mawar, sendok dan garpu yang berkilau, serta mangkuk sup yang mengepulkan uap hangat berisi sup ayam kesukaan suaminya, Andi. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke-7, dan Maya telah berusaha keras untuk memastikan semuanya sempurna.Maya adalah seorang wanita berusia 34 tahun dengan wajah lembut dan mata yang selalu memancarkan kebaikan. Meskipun usianya bertambah, kecantikannya tetap terjaga, terlihat dari senyum yang selalu ia kenakan meski di tengah kepedihan. Ia mengenakan gaun berwarna biru muda yang dipilihnya dengan hati-hati pagi tadi, berharap Andi akan memperhatikan dan mungkin, hanya mungkin, memujinya.Tepat saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, Maya mendengar suara derap kaki di pintu depan. Ia memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan dan berdiri dengan gugup menanti kedatangan Andi. Pintu terbuka dengan suara berderit, dan
Maya memandangi kertas di tangannya dengan perasaan campur aduk. Malam telah semakin larut, dan bunyi jam di ruang tamu berdetak pelan, seolah menghitung setiap detik yang berlalu. Isi amplop itu ternyata adalah surat perceraian yang Andi ajukan. Ia merasa terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Pagi harinya, Maya terbangun dengan perasaan tak tenang. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai, menerangi kamar yang terasa begitu dingin dan asing. Andi telah bangun lebih awal seperti biasa, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Maya duduk di tepi tempat tidur, memegangi surat itu dengan tangan yang masih gemetar. Di ruang tamu, Andi sedang duduk dengan tenang, menyeruput kopi sambil membaca koran. Ketika Maya masuk, ia bahkan tidak menoleh. Jantung Maya berdegup kencang, dan ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk menghadapi kenyataan yang pahit. "Mas, apa maksudnya ini?" tanya Maya dengan suara yang hampir berbisik, menahan air mata yang sudah mulai mengalir di pi
Rumah yang sempat ditinggalkan Maya, belum berubah sama sekali. Semuanya masih sama. Walaupun hatinya masih ragu, akhirnya Maya memutuskan untuk pulang bersama Andi sepulang kerja. "Selamat datang kembali Maya." Ucap Andi sambil tersenyum. Maya tahu keputusan nya ini bukanlah keputusan yang terbaik. Maya hanya berfikir untuk memberikan Andi satu lagi kesempatan sebelum dirinya mengambil keputusan untuk bersama dengan Andi lagi atau benar-benar berpisah untuk selamanya. "Terimakasih" Gumam Maya sambil berjalan melewati beberapa ruangan di rumah lamanya ini. Tidak bisa di pungkiri, ada rasa rindu di hati Maya saat ia melihat lagi setiap ruangan di rumah yang sudah mengisi harinya selama tujuh tahun pernikahan nya dengan Andi. Dulu, ketika awal pernikahan, Andi adalah pribadi yang baik, romantis dan penuh perhatian. Sampai kemudian, sikapnya berubah setelah tahun ke tiga pernikahan.Bu Ratna, ibu mertua Maya yang terus menerus menanyakan soal momongan kepada Andi, mulai merubah sik
Sepanjang hari, setelah Maya bertemu Andi dan menyetujui untuk kembali ke rumahnya, Maya semakin memikirkan apa langkah yang seharusnya ia ambil. Maya menyetujui ucapan Andi untuk pulang kerumahnya, hanya agar Andi bisa cepat pergi dan Maya bisa kembali lagi ke kantor dengan selamat siang tadi. Kali ini, ketika waktu pulang kerja semakin dekat, Maya semakin gelisah, ketakutan dan entah kenapa kali ini ada perasaan bimbang di hatinya. Perlakuan Andi tadi, kata-kata manisnya, membuai keyakinan Maya kalau Andi memang sudah berubah. Mungkin karena ia sempat di tahan di kantor polisi beberapa hari lalu, pikir Maya. Raka, orang yang paling ingin di temuinya sehari ini, bahkan belum memberikan kabar kepada Maya. Maya ingin sekali bercerita soal ini kepada Raka. "Mbak, suami nya sudah nunggu di lobi." Lamunan Maya buyar ketika seorang satpam masuk ke ruangannya dan memberi tahukan info kalau Andi yang tadi siang membuat keributan di lobi kantor nya sudah tiba. Maya mengerjap, ia meli
Maya memutuskan untuk kembali bekerja dengan perasaan yang was-was. Meskipun sari sudah memberikan saran pada Maya untuk mengambil cuti, tapi Maya merasa dirinya baik-baik saja. Perlakuan Andi yang liar, membuat Maya merasa tidak nyaman selama hampir sebulan terakhir ini. Kalau saja tidak ada Sari sahabatnya, dan Raka seseorang yang selalu muncul bak pangeran kuda putih yang menyelamatkan putri raja dari ancaman penyihir jahat, mungkin Maya tidak akan kuat menjalani hidup ini. "Kamu yakin mau berangkat kerja?" Tanya sari saat Maya bersiap untuk pergi ke kantor. "Aku, harus yakin sar. Aku gak mau hidupku terus di penuhi ketakutan seperti ini." Jawabnya. Sari tersenyum sambil memberikan pelukan semangat kepada sahabatnya itu. "Makasih sar, kamu selalu membantu ku." Bisik Maya sambil berpamitan. Sari melambaikan tangan di muka pintu. Melihat sahabatnya yang pergi berjalan kaki menuju halte pemberhentian bus yang ada di depan jalan utama. Perasaan khawatir menyergap h
Maya merasa gelisah sepanjang malam, tak bisa tidur dengan tenang. Setiap suara kecil membuatnya terlonjak, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Andi yang mengancam. Sari dan Raka mencoba menenangkan Maya, namun ketakutan masih menyelimuti dirinya. Keesokan paginya, Maya, Sari, dan Raka duduk di ruang tamu, memikirkan langkah selanjutnya. Sari menyeduh kopi untuk semua orang, sementara Raka memeriksa kembali keamanan rumah. "Kita harus tetap waspada," kata Raka dengan suara serius. "Aku sudah menghubungi polisi lagi dan mereka berjanji akan meningkatkan patroli di sekitar rumah ini." Maya mengangguk lemah. "Aku hanya ingin semua ini segera berakhir. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini." Sari memegang tangan Maya erat. "Kamu tidak sendirian, Maya. Kita akan melalui ini bersama. Kita harus tetap kuat." *** Beberapa hari berlalu dengan ketegangan yang terus menghantui. Suatu pagi, saat Maya membuka pintu depan untuk mengambil surat, ia menemukan sebuah
Ketika polisi datang, suasana di rumah Sari penuh dengan ketegangan. Raka dan Andi masih bergulat di lantai, namun dengan cepat polisi memisahkan mereka dan memborgol Andi. Maya, yang gemetar di sudut ruangan, merasa sedikit lega melihat Andi akhirnya dibawa pergi. Namun, kelegaan itu hanya sesaat. Setelah polisi pergi, Maya, Sari, dan Raka duduk bersama di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Malam itu begitu panjang, dan mereka tahu bahwa ini belum berakhir. Pagi harinya, Maya bangun dengan perasaan campur aduk. Meskipun Andi telah ditangkap, bayangan dan ketakutan akan dirinya masih menghantui. Maya memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup dan mencoba mencari cara untuk meraih kebebasan yang selama ini ia rindukan. Di kantor, Maya berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus kembali pada kejadian malam sebelumnya. Sari menghubungi Maya di siang hari, memastikan bahwa ia baik-baik saja. "Maya, aku sudah bicara dengan pengacara lagi. Mereka akan membantu kita untu
Maya kembali ke rumah Sari dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega bahwa Raka ada di sana untuk membantunya, namun bayangan Andi yang marah masih menghantui pikirannya. Sari menyambut mereka dengan wajah khawatir, segera mendekati Maya. "Maya, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?" tanya Sari dengan cemas. Maya menceritakan kejadian di taman, dan Sari terlihat marah dan khawatir sekaligus. "Andi sudah keterlaluan. Kita harus melaporkannya ke polisi." Maya mengangguk pelan. "Aku tahu, Sari. Tapi aku takut. Aku takut Andi akan melakukan sesuatu yang lebih buruk." Raka menatap Maya dengan tegas. "Kita tidak bisa membiarkan dia terus menerormu. Aku akan menemanimu ke kantor polisi besok. Kamu tidak perlu takut lagi." Maya merasa sedikit lebih tenang dengan dukungan Raka dan Sari. Malam itu, ia tidur di kamar tamu dengan perasaan was-was, namun tekadnya semakin kuat untuk melindungi dirinya sendiri.Esok harinya, Maya, Raka, dan Sari pergi ke kantor polisi. Maya memberikan lapora
Di saat yang sama, seseorang mendengar suara gaduh dari gang tersebut. Langkah kaki mendekat dengan cepat, dan tiba-tiba ada seorang pria lain yang menerobos masuk, mendorong penyerang Maya hingga terjatuh. "Apa yang kau lakukan?!" bentak pria itu, memukul penyerang hingga terlempar ke tanah. Penyerang itu melarikan diri, meninggalkan Maya yang terengah-engah dan gemetar. Pria penyelamat itu mendekati Maya dengan wajah khawatir. "Kamu baik-baik saja?" Maya mengangguk pelan, masih shock. "Ya, terima kasih... Kamu siapa?" Pria itu tersenyum lembut. "Aku Raka. Aku kebetulan lewat dan mendengar teriakanmu." Maya mencoba bangkit, namun kakinya masih lemas. Raka membantunya berdiri dan membawanya ke tempat yang lebih aman. Mereka duduk di sebuah bangku taman, dan Raka menawari Maya air dari botol yang dibawanya. "Kamu harus lebih berhati-hati. Ini daerah yang agak rawan," kata Raka. Maya mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Terima kasih banyak, Raka. Aku tidak tahu apa yan
Maya memandangi kertas di tangannya dengan perasaan campur aduk. Malam telah semakin larut, dan bunyi jam di ruang tamu berdetak pelan, seolah menghitung setiap detik yang berlalu. Isi amplop itu ternyata adalah surat perceraian yang Andi ajukan. Ia merasa terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Pagi harinya, Maya terbangun dengan perasaan tak tenang. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai, menerangi kamar yang terasa begitu dingin dan asing. Andi telah bangun lebih awal seperti biasa, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Maya duduk di tepi tempat tidur, memegangi surat itu dengan tangan yang masih gemetar. Di ruang tamu, Andi sedang duduk dengan tenang, menyeruput kopi sambil membaca koran. Ketika Maya masuk, ia bahkan tidak menoleh. Jantung Maya berdegup kencang, dan ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk menghadapi kenyataan yang pahit. "Mas, apa maksudnya ini?" tanya Maya dengan suara yang hampir berbisik, menahan air mata yang sudah mulai mengalir di pi
Maya mengelap keringat di dahinya sambil memandang meja makan yang telah tertata rapi. Piring porselen dengan motif bunga mawar, sendok dan garpu yang berkilau, serta mangkuk sup yang mengepulkan uap hangat berisi sup ayam kesukaan suaminya, Andi. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke-7, dan Maya telah berusaha keras untuk memastikan semuanya sempurna.Maya adalah seorang wanita berusia 34 tahun dengan wajah lembut dan mata yang selalu memancarkan kebaikan. Meskipun usianya bertambah, kecantikannya tetap terjaga, terlihat dari senyum yang selalu ia kenakan meski di tengah kepedihan. Ia mengenakan gaun berwarna biru muda yang dipilihnya dengan hati-hati pagi tadi, berharap Andi akan memperhatikan dan mungkin, hanya mungkin, memujinya.Tepat saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, Maya mendengar suara derap kaki di pintu depan. Ia memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan dan berdiri dengan gugup menanti kedatangan Andi. Pintu terbuka dengan suara berderit, dan