Share

PERJALANAN BARU KEHIDUPAN MAYA

Maya memandangi kertas di tangannya dengan perasaan campur aduk. Malam telah semakin larut, dan bunyi jam di ruang tamu berdetak pelan, seolah menghitung setiap detik yang berlalu. Isi amplop itu ternyata adalah surat perceraian yang Andi ajukan. Ia merasa terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung.

Pagi harinya, Maya terbangun dengan perasaan tak tenang. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai, menerangi kamar yang terasa begitu dingin dan asing. Andi telah bangun lebih awal seperti biasa, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Maya duduk di tepi tempat tidur, memegangi surat itu dengan tangan yang masih gemetar.

Di ruang tamu, Andi sedang duduk dengan tenang, menyeruput kopi sambil membaca koran. Ketika Maya masuk, ia bahkan tidak menoleh. Jantung Maya berdegup kencang, dan ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk menghadapi kenyataan yang pahit.

"Mas, apa maksudnya ini?" tanya Maya dengan suara yang hampir berbisik, menahan air mata yang sudah mulai mengalir di pipinya.

Andi meletakkan koran dan memandang Maya dengan tatapan dingin. "Kita sudah tidak cocok lagi, Maya. Aku ingin berpisah. Surat itu adalah langkah pertama."

Maya terdiam, kata-kata Andi terasa seperti pisau yang menusuk hati. "Kenapa, Mas? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

Andi menghela napas panjang, lalu berdiri dan mendekati Maya. "Ini bukan tentang apa yang kamu lakukan atau tidak lakukan. Aku hanya tidak bisa terus hidup seperti ini. Kita tidak bahagia, dan aku butuh perubahan."

Maya merasakan hatinya hancur berkeping-keping. "Aku masih mencintaimu, Mas. Kita bisa mencoba memperbaikinya. Kita bisa bicara, pergi ke konselor, apa saja..."

Andi menggeleng. "Sudah terlambat, Maya. Aku sudah memutuskan."

Maya jatuh berlutut di lantai, memegangi kaki Andi sambil menangis. "Tolong, Mas. Jangan lakukan ini. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

Andi melepaskan cengkeraman Maya dengan kasar. "Berhenti bersikap seperti ini. Kamu hanya membuat semuanya lebih sulit. Aku akan memberikanmu waktu untuk pindah. Temukan tempat lain untuk tinggal."

Maya terisak, menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mengubah keputusan Andi. Ia merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Dalam hatinya, ada rasa sakit yang begitu dalam hingga sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.

***

Setelah Andi pergi bekerja, Maya duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah surat perceraian yang masih dipegangnya. Suara ketukan di pintu depan membangunkannya dari lamunan. Dengan langkah berat, Maya membuka pintu dan melihat sahabat lamanya, Sari, berdiri di sana dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Maya, ada apa? Aku mendapat firasat buruk dan memutuskan untuk datang," kata Sari, memeluk Maya erat.

Maya tidak bisa lagi menahan air mata. Ia menceritakan semuanya kepada Sari, mulai dari perlakuan Andi hingga surat perceraian yang baru saja diterimanya. Sari mendengarkan dengan penuh perhatian, wajahnya berubah menjadi serius.

"Kamu tidak bisa tinggal di sini, Maya. Kamu harus mencari tempat yang aman," kata Sari dengan tegas. "Kamu bisa tinggal di rumahku sementara waktu."

Maya menggeleng pelan. "Aku tidak tahu harus bagaimana, Sari. Hidupku terasa hancur."

Sari memegang tangan Maya erat-erat. "Kamu harus kuat, Maya. Kita akan melewati ini bersama. Kamu tidak sendirian."

Sari membantu Maya mengemas beberapa barang penting dan pakaian secukupnya. Maya masih terkejut dan sedih, namun kehadiran Sari memberikan sedikit kekuatan. Mereka meninggalkan rumah itu dengan perasaan campur aduk, Maya merasa seperti meninggalkan seluruh kehidupannya di belakang.

Di rumah Sari, Maya diberikan kamar tamu yang nyaman. Sari berusaha menghiburnya dengan cerita-cerita lucu dan perhatian kecil, namun Maya tetap merasa kosong. Malam itu, Maya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit sambil merenungkan masa depan yang tidak pasti.

***

Beberapa hari kemudian...

Maya mulai mencari pekerjaan baru untuk mendukung dirinya. Dengan dukungan Sari, ia berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai asisten administrasi di sebuah kantor kecil. Pekerjaan itu memberikan Maya sedikit harapan dan rasa mandiri, namun luka di hatinya belum sembuh.

Suatu sore, Maya menerima panggilan telepon dari Andi. Suaranya terdengar datar dan formal. "Kita perlu bertemu untuk menyelesaikan beberapa hal," katanya.

Maya merasa tegang, namun ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus dihadapinya. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor Maya. Ketika Maya tiba, Andi sudah duduk di salah satu meja, menunggu dengan ekspresi tak terbaca.

Maya duduk di hadapan Andi, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?"

Andi mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya dan meletakkannya di meja. "Ini adalah daftar properti dan aset yang harus kita bagi. Aku ingin menyelesaikan ini secepat mungkin."

Maya melihat daftar itu dengan perasaan campur aduk. "Aku tidak butuh apa-apa darimu, Mas. Aku hanya ingin kita bisa berpisah dengan baik."

Andi menatapnya dengan tajam. "Ini bukan tentang apa yang kamu butuhkan, ini tentang apa yang harus dilakukan. Kita harus mengikuti prosedur."

Percakapan mereka berlangsung tegang, penuh dengan ketegangan yang terpendam. Maya merasa semakin kecil dan tidak berarti di hadapan Andi, yang tampak begitu dingin dan tidak peduli. Setelah menyelesaikan percakapan mereka, Maya merasa lega bisa meninggalkan kafe itu.

Namun, saat Maya berjalan keluar dari kafe, ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Ia mempercepat langkahnya, merasa panik. Ketika ia menoleh, ia melihat bayangan seseorang di belakangnya, namun terlalu gelap untuk melihat dengan jelas. Perasaan takut mulai menyelimuti Maya, dan ia berlari menuju tempat yang lebih terang.

Di tengah kebingungan dan ketakutan, Maya merasakan sebuah tangan kasar menariknya ke dalam gang yang gelap. Ia berteriak, namun suaranya teredam oleh tangan yang menutup mulutnya. Dalam kegelapan, Maya hanya bisa melihat sepasang mata yang menatapnya dengan intens.

"Diam atau aku akan membuatmu menyesal," bisik suara serak di telinganya.

Maya merasa ketakutan yang mencekam. Ia berusaha melawan, namun pria itu terlalu kuat. Dalam kegelapan gang, Maya merasakan dunia di sekelilingnya semakin menyempit, dan ia merasa terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status