Share

Bab 3. Inisial 'Ra'

Saat seorang suami menunjukkan gelagat aneh dan sikap tak biasa, saat itulah rasa gelisah akan membawa pikiran istri pada banyak praduga.

Alya menunjukkan wajah datar agar suaminya tidak waspada terhadapnya, sehingga dia bisa lebih mudah mencari pembuktian lain. "Mas, kamu sudah bangun? Memangnya ada hal penting apa sampai kamu mau bangun? Perasaan tadi kamu bilang mau tidur lagi karena masih capek. Habis makan saja langsung tidur lagi, padahal kamu selalu takut kalau punya perut buncit."

Ardi mendekat dengan senyum kaku. "Sejak kapan kamu berdiri di situ, Al?" Jelas tampak wajah gusar. Pria itu menatap istrinya menunggu jawaban.

Alya membalas tatapan itu sejenak, lantas menghela nafas. "Ehm, baru saja. Aku baru saja menyuruh Mbok Sari memandikan bayi itu karena aku belum berani."

Ardi mengusap wajahnya kasar sambil mendes4h lega. "Oh, tadi panggilan dari direktur yang menyuruhku cepat meninjau proyek luar kota lagi."

"Padahal kamu baru saja pulang, Mas. Direktur kamu itu pria atau wanita? Kudengar ada direktur baru bulan lalu."

Ardi melebarkan mata sambil menelan salivanya. "Ehm, pria. Ya beginilah resikonya kalau mau naik jabatan. Kita harus kerja keras membuat prestasi dan koneksi. Kamu pasti mengerti, kan?" Pria itu tersenyum lebar.

Alya terdiam sesat. "Apa harus kamu kerja sekeras itu? Apalagi terus saja ditempatkan di bagian proyek luar kota. Apa kamu nggak kasihan padaku, Mas. Rumah ini sepi kalau malam. Apalagi sekarang musim hujan, aku benar-benar nggak mau sendiri."

"Kan sekarang aku sudah bawa seorang anak pulang. Kamu nggak akan kesepian lagi, Sayang. Kalau masih sepi suruh Mbok Sari nginep di sini. Aku melakukan semua ini juga untukmu, Al. Memangnya buat siapa lagi? Kalau aku sukses, kamu juga yang akan bahagia."

"Aku nggak pernah nuntut kamu harus punya jabatan tinggi, Mas. Dan bayi itu juga anak orang. Aku pengennya merawat anak kita. Bagaimana kalau kita mulai progam hamil. Mas nggak usah pakai pengaman lagi. Apalagi sebentar lagi kita akan pulang kampung, setidaknya aku nggak ditanya lagi soal anak kalau sudah hamil." Alya mencoba memancing reaksi suaminya.

"Maafkan Mas, Al. Aku belum siap. Mas harap kamu bisa mengerti." Ardi memeluk istrinya, dia juga mengecup kepala Alya.

"Mas, kondisi ekonomi kita ini lebih dari siap. Memangnya kamu belum siap dari segi apa?" Alya membalas pelukan itu. Dia sangat berharap jawaban ya dari suaminya.

"Belum siap karena aku masih ingin menikmati masa berduaan denganmu, Al sayang. Apa kamu nggak pengen kita senang-senang dulu tanpa gangguan siapa pun? Lagi pula psikologi orang itu nggak bisa dipaksa. Tunggu sampai aku nggak terlalu sibuk." Ardi masih memeluk istrinya.

Alya hanya mendesah lirih. Biasanya kata-kata seperti itu bagai alunan musik rindu dalam hati, tapi kini? Hati wanita itu malah semakin pilu.

"Tapi kita sudah setahun dan teman-temanku malah sudah ada yang punya anak dua atau tiga. Aku sangat berharap buah cinta kita, Mas. Kenapa buah cinta harus ditunda?"

Ardi melepas pelukannya. Dia mengecup kening istrinya lembut. Lantas tersenyum lebar. "Kita bahas besok lagi ya, Sayang."

Ardi lantas masuk ke kamar mandi. Pria itu ingin menghindari cecaran istrinya.

Alya menghentak nafasnya kuat. "Aku ingin tau kenapa kamu belum siap punya anak selama ini, Mas," gumamnya lirih.

Setelah memastikan suaminya masuk kamar mandi, lantas Alya mengambil ponsel Ardi yang tadi ditaruh di meja dekat sliding door balkon. 

'Disandi?' Alya memasukkan beberapa angka tanggal pernikahan mereka, tanggal lahirnya dan Ardi, semua gagal. 

Belum sampai Alya berhasil membuka ponsel suaminya, pintu kamar mandi dibuka. Alya gugup dan segera meletakkan ponsel itu di tempat semula. Dia bergegas pura-pura membuka lemari.

"Mas, nggak jadi mandi?" 

"Oh, mau ambil ponsel. Ada yang harus aku hubungi." Ardi menyambar ponselnya dan kembali masuk kamar mandi.

Alya memutuskan keluar dari kamar. Di depan pintu, Pak Karto membawa koper Ardi.

"Bu, ini punya bapak masih ada di bagasi mobil."

"Taruh saja, Pak. Terimakasih." 

Alya membawa koper itu kembali masuk kamar. Dia bergegas membuka koper itu sebelum Ardi keluar dari kamar mandi. Barangkali ada petunjuk yang bisa membuat praduganya meruncing pada jawaban.

Alya membongkar-bongkar isi koper. Tampak seperti biasa saat suaminya pulang dari luar kota.

"Tidak ada yang aneh. Semua pakaian Mas Ardi yang kotor dan bersih dicampur, tapi ...."

Alya mengendus bau lain di beberapa baju suaminya. Wangi parfum bukan punya suaminya, dan sangat jelas jika itu parfum wanita. Lantas Alya mencari bau parfum yang sama di pakaian suaminya. Hampir semua kemeja ada bau parfum itu. 

Lantas Alya mengecek perlengkapan lain suaminya di tas kecil yang berisi parfum, pelembab, body lotion, alat cukur dan lainnya. Wanita itu menemukan parfum yang sama seperti saat berangkat. Karena dia sendiri yang packing.

'Masih parfum sama, tapi bau parfum siapa di kemeja suamiku?' batin Alya termangu dengan tatapan kosong.

Diluar perkiraan, ternyata Ardi mandi tidak lama. Dia keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya dengan handuk.

"Sedang apa kamu, Sayang?" Ardi terkejut seolah ketakutan saat melihat istrinya membongkar koper.

Alya cepat menoleh. Dia melihat perubahan ekspresi suaminya itu, tapi tetap tenang.

"Memangnya apalagi, Mas? Ya mau beresin baju kotor kamu ini. Kenapa selalu dicampur? Akan aku bawa ke bawah, sekalian mau lihat bayi itu." Dia membawa baju-baju kotor itu.

Ardi bernafas lega.

Langkah Alya tertahan dan kembali berbalik.

"Mas, siapa nama anak itu?"

Ardi membolakan matanya. Dia mengingat sang ibu bayi itu menyebut nama saat ingin pergi. "Daffa. Ya, Daffa."

Alya memicing. "Ehm, teman kamu itu yang belanja semua perlengkapan bayinya, Mas? Dia pasti sangat menyayangi istri dan anaknya. Semua yang dipilih kualitasnya baik."

Ardi tersenyum kaku. "Ya, dia memang sayang sama istri dan anaknya. Hanya saja, ehm .... Hanya saja saat ini dia sedang tidak bisa mengurus anaknya sementara waktu. Jadi, kamu harus punya rasa belas kasih yang besar untuk merawat anak itu."

Kata sayang anak istri yang keluar dari mulut Ardi seolah bagai bilah sembilu yang meny4yat dada Alya. Entah kenapa, mungkin karena praduganya sangat kuat hingga wanita itu merasa nyeri mendengarnya.

"Aku jadi ingin ketemu orang tua Daffa, Mas. Besok aku ikut jenguk ibunya Daffa, ya?"

Ardi gelagapan. "Oh. Bo-leh. Kapan kalau aku ada waktu, karena mereka ada di luar kota saat ini dan aku juga sangat sibuk."

Dada Alya kembali bagai dihantam palu, sakit, sesak. "Luar kota, ya? Sayang sekali."

"Sudah sana kamu bawa baju itu ke bawah. Dan pastikan anak itu nggak nangis. Kalau sampai dia kenapa-napa. Ehm, aku nggak enak sama temanku itu."

"Ya, Mas." Alya melanjutkan langkahnya.

Saat Alya tak terlihat lagi, Ardi langsung menutup pintunya. Pria itu lantas menghubungi seseorang.

"Aku baru saja mandi. Bagaimana kondisimu sekarang, apa masih pusing?"

..........

"Ya, sudah. Sore ini juga aku akan ke sana."

Ardi lantas berganti pakaian lain. Dia packing baju-baju bersih sendiri. Tak lama pria itu turun membawa koper.

Alya sedang duduk di sofa ruang tengah bersama Mbok Sari yang menggendong bayi itu.

Mata Alya melebar saat melihat suaminya turun dengan sebuah koper. Dia lantas beranjak.

"Kamu mau ke mana, Mas?" Alya mendekati suaminya.

Ardi tampak tergesa. "Ada perintah mendadak. Masalah proyek di luar kota kembali memanas. Masih ada sengketa lahan yang sulit diselesaikan. Jadi Mas terpaksa harus berangkat lagi. Kamu nggak apa-apa 'kan, Sayang? Maafkan, Mas harus biarkan kamu sendirian lagi." 

Alya memeluk suaminya dengan isakan lirih. Bahkan dia belum puas memeluk pria yang sangat dirindukannya itu. "Apa harus sekarang, nggak bisa besok? Kamu nggak kangen sama aku, Mas? Tiga bulan, Mas. Itu bukan waktu singkat. Apalagi kamu sangat sulit dihubungi."

Ardi memeluk erat istrinya. "Maaf, Alya. Kali ini Mas janji akan cepat pulang. Kemarin memang sinyalnya yang sangat sulit karena di daerah terpencil. Tapi kali ini pesan kamu akan selalu Mas balas dengan cepat kok. Mas juga akan sering vidio call sama kamu."

"Atau aku ikut saja, Mas? Aku bisa merawat Daffa di sana. Dari pada aku di sini sendirian. Ya Mas, aku boleh ikut, ya?" Alya ingin tahu apa benar suaminya ke luar kota karena pekerjaan atau melakukan hal lain.

Ardi menelan salivanya berat. Dia berkedip-kedip memikirkan sesuatu. Apa dia akan membolehkan istrinya ikut?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status