Beranda / Pernikahan / Dibalik Diamnya Istri Ternyata .... / Bab 4. Apa Sudah Ada yang Memberi Kehangatan

Share

Bab 4. Apa Sudah Ada yang Memberi Kehangatan

Jantung Alya berdetak kencang menunggu jawaban suaminya. Jika memang Ardi suami normal, pasti akan senang saat istrinya ikut ke luar kota. Apalagi kali ini hanya pulang sebentar tak sempat mengurai rindu. Mungkinkah suaminya tak lagi punya h4srat padanya, atau ada yang mengh4ngatkannya selama ini sampai dia sedingin itu padanya?

"Aku ikut ke luar kota, ya Mas? Janji nggak akan ganggu kerja kamu. Aku cuma pengen dekat sama kamu saja. Soal Daffa aku bisa kok urus dia di sana? Please ... jangan tinggalin aku sendiri kali ini. Banyak kok suami yang bawa anak istri saat kerja di luar kota dalam durasi waktu lama." Sungguh, dada Alya takut merangkai kata itu. Dia takut karena takut mendapat penolakan suaminya. 

Masih posisi memeluk Ardi, Alya mengepalkan tangan kuat di belakang punggung suaminya. Kepalanya ditekan kuat pada d4da bid4ng Ardi. Dia memeluk semakin kuat.

Ardi termangu belum menyahut, entah apa yang masih ada dalam pikirannya.

"Mas .... Apalagi kita belum sempat menghabiskan waktu berdua. Apa kamu nggak kangen sama aku? Biasanya kalau kamu pulang nggak pernah lepasin aku sampai seharian. Sekarang bahkan-" ucapan Alya terpotong saat Ardi mengurai pelukannya. Jantung Alya semakin tak karuan. Perasannya sangat tidak nyaman.

Ardi mengecup kening istrinya lembut. Lantas dia tersenyum lebar. "Kalau kamu ikut, di sana akan semakin repot. Kamu saja belum bisa memandikan Daffa. Mas hanya takut kamu malah akan kerepotan jika mengurus Daffa sendirian. Di rumah saja. Aku janji akan kembali secepatnya. Lagian di sana Mas juga terus ada di lokasi proyek dan belum tentu bisa pulang ke tempat tinggal setiap hari. Kamu hanya akan kecewa jika ikut pergi. Mas juga semakin khawatir jika kamu sendiri di luar kota nanti."

Bahasa Ardi terdengar lembut dan perhatian, tapi terasa seperti jarum yang menvsuk-nusvk dada Alya. Jelas, karena Alya yang berstatus istri ditolak dengan bahasa yang sangat lancar seolah tanpa beban.

Alya sedikit mundur dari Ardi. "Sepertinya kamu memang nggak kangen sama aku, Mas. Apa sudah ada yang mengisi disela lelahmu di sana? Sampai kamu pulang saja tak ingin menyentuhku. Atau kamu takut aku tahu sesuatu yang sedang kamu sembunyikan?" Wanita itu menghela nafas sambil mengusap ujung pelupuk matanya.

Ardi membelalak sejenak. Lantas cepat menguasai dirinya. Dia tersenyum kaku pada istrinya. "Memangnya aku bisa menyembunyikan apa darimu? Hanya kamu tempat keluh kesahku, Sayang. Jangan berpikir terlalu jauh hanya karena aku pulang sebentar saja. Aku benar-benar harus pergi karena masalah darurat, Sayang. Tolong mengertilah. Aku sangat mencintaimu, jadi hanya kamu yang mengisi hatiku. Nggak ada yang lain."

Alya mengangguk. "Hem, kamu hati-hati di sana. Jangan lupa kabari aku dan kalau aku mengirim pesan tolong dibalas. Sesibuk apa pun, yang aku tahu aturan pekerjaan pasti ada jam kerja. Meski lembut pun tetap akan ada waktu istirahat. Jadi jangan membuat aku berpikir jauh."

Ardi mengangguk sambil memegang bahu istrinya. "Kamu yang terbaik, aku sangat beruntung punya istri sepertimu. I love you, Alya. Jangan nangis lagi. Aku akan langsung menghubungimu bahkan sebelum sampai dia sana." Pria itu memegang hidung istrinya.

Biasanya Alya akan tersenyum sipu saat digoda suaminya seperti itu, tapi kali ini hatinya hambar tak ada respon berbunga-bunga.

Alya menyingkir dan memberi jalan suaminya. Dia sapu sisa cairan bening di pipinya dan menghela nafas dalam agar tak ada lagi air mata yang keluar.

"Aku berangkat dulu, Sayang." Ardi lantas menghampiri Daffa dalam gendongan Mbok Sari. Pria itu menatap Daffa dengan sorot mata penuh kasih sayang. Memainkan pipi dan hidung si bayi.

Alya menatap lekat sikap, raut wajah dan tatapan suaminya pada bayi itu. Tak hanya itu, jantungnya berdetak sangat kencang kala dia menatap suaminya dan si bayi secara bergantian. Sangat mirip. Jika dua pria beda usia itu didekatkan maka kejelasan kemiripan semakin nyata. 'Mas Ardi? Tidak mungkin ... Nggak! Nggak mungkin kalau kamu-' batinnya tercekat tak ingin melanjutkan pikirannya yang mulai merambah pada rasa sakit.

"Kamu baik-baik sama Tante Alya, ya, Daffa sayang. Jangan rewel. Kamu harus jadi anak baik. Nanti Pa- ... Nanti Om akan pulang secepatnya dan ... Setelah Mama kamu membaik maka kamu akan bertemu dengannya."

Mata Alya membulat. Hatinya ngilu. 'Mas, Ardi bilang Daffa sayang? Dan tadi dia akan mengatakan dirinya siapa pada Daffa? Aku akan cari tahu nanti. Pasti! Aku nggak mau hanya jadi istri pajangan saja!' jerit batin Alya.

"Ehem, Mas. Apa kamu begitu menyayangi Daffa? Sedekat apa kamu sama orang tuanya sampai kamu bersikap seperti ayah sendiri?" Alya sengaja bertanya demikian.

Ardi menarik tangannya dari wajah Daffa. Dia menelan salivanya berat dan menatap Alya dengan senyum lebar. "Aku hanya terenyuh dengan kondisi anak ini. Kasihan, makanya aku sangat iba. Apalagi aku sangat dekat dengan orang tuanya. Ya, dia teman Mas waktu SMA yang sangat akrab dekat, tapi dia pindah ke kota lain. Selama ini kami hanya berhubungan lewat media sosial, jadi Mas hanya lupa tidak bercerita tentang teman Mas yang itu." Pria itu tetap memutar jawaban.

"Oh, teman sangat dekat dengan Mas yang lupa nggak kamu ceritakan ya? Kalau begitu semoga aku bisa menyapa mereka. Aku titip salam pada orang tua Daffa. Bilang pada mereka kalau aku yang mengasuh Daffa ingin berkenalan dan kapan-kapan akan menjenguk." Alya tetap berusaha tegar. Dulu, suaminya selalu bercerita kalau ada temannya yang seperti ini dan itu. Bahkan teman yang tak Alya kenal juga tetap diceritakan untuk menumpahkan keluh kesah dan lelah saat pulang kerja. Dan fakta terbaru? Ardi lupa mengulas teman baik dan sangat dekatnya yang membuat dia mau berkorban mengasuh anak temannya itu. Apa itu masuk akal? Alya menolak dengan tegas pernyataan suaminya itu.

Ardi mengangguk kaku. "Hem, aku titip Daffa, Sayang." Pria itu menarik kopernya.

Alya mengangguk tak menjawab lisan.

Wanita itu tetap melakukan tugas istri mengantar suami sampai depan rumah. Mencivm punggung tangan sang imam lantas tersenyum kaku mengantar sang suami pergi dengan lajuan mobil yang dikendarainya sendiri.

Selepas kepergian suaminya.

"Hah!" Alya sedikit terhuyung.

"Anda baik-baik saja, Bu?" Mbok Sari tak berani meninggalkan majikannya yang tampak sendu dan pura-pura tegar itu. Dia wanita yang sudah mengenyam asam dan asinnya kehidupan, jadi telah membuat praduga kuat meski tak berani mengatakan.

Alya menggeleng. "Aku baik-baik saja, Mbok."

"Nanti malam simbok tidur sini saja ya, Bu. Temani Ibu kalau-kalau Daffa rewel."

Alya mengangguk. Wanita itu melangkah lunglai masuk rumah.

Belum sampai di ambang pintu, seorang kurir paket berhenti di depan gerbang.

"Paket!" serunya. 

Pak Karto berlari ke depan gerbang dan menerima paket itu.

"Atas nama Ibu Alya Fathiya? Ada paket untuk Ibu Alya."

Pak Karto menerima dan membawanya ke hadapan majikannya.

"Bu, ada paket, tapi kok tidak ada pengirim yang jelas. Tadi kurir asli kan, Bu, bukan palsu?"

Alya menerima dan langsung membongkar dengan tarikan kuat. Dadanya masih bergemuruh ditambah ada paket tanpa dia memesan sesuatu.

Alya tercengang dengan mata membulat lebar melihat isi paket dan ucapan salam secarik kertas itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status