Jantung Alya berdetak kencang menunggu jawaban suaminya. Jika memang Ardi suami normal, pasti akan senang saat istrinya ikut ke luar kota. Apalagi kali ini hanya pulang sebentar tak sempat mengurai rindu. Mungkinkah suaminya tak lagi punya h4srat padanya, atau ada yang mengh4ngatkannya selama ini sampai dia sedingin itu padanya?
"Aku ikut ke luar kota, ya Mas? Janji nggak akan ganggu kerja kamu. Aku cuma pengen dekat sama kamu saja. Soal Daffa aku bisa kok urus dia di sana? Please ... jangan tinggalin aku sendiri kali ini. Banyak kok suami yang bawa anak istri saat kerja di luar kota dalam durasi waktu lama." Sungguh, dada Alya takut merangkai kata itu. Dia takut karena takut mendapat penolakan suaminya. Masih posisi memeluk Ardi, Alya mengepalkan tangan kuat di belakang punggung suaminya. Kepalanya ditekan kuat pada d4da bid4ng Ardi. Dia memeluk semakin kuat. Ardi termangu belum menyahut, entah apa yang masih ada dalam pikirannya. "Mas .... Apalagi kita belum sempat menghabiskan waktu berdua. Apa kamu nggak kangen sama aku? Biasanya kalau kamu pulang nggak pernah lepasin aku sampai seharian. Sekarang bahkan-" ucapan Alya terpotong saat Ardi mengurai pelukannya. Jantung Alya semakin tak karuan. Perasannya sangat tidak nyaman. Ardi mengecup kening istrinya lembut. Lantas dia tersenyum lebar. "Kalau kamu ikut, di sana akan semakin repot. Kamu saja belum bisa memandikan Daffa. Mas hanya takut kamu malah akan kerepotan jika mengurus Daffa sendirian. Di rumah saja. Aku janji akan kembali secepatnya. Lagian di sana Mas juga terus ada di lokasi proyek dan belum tentu bisa pulang ke tempat tinggal setiap hari. Kamu hanya akan kecewa jika ikut pergi. Mas juga semakin khawatir jika kamu sendiri di luar kota nanti." Bahasa Ardi terdengar lembut dan perhatian, tapi terasa seperti jarum yang menvsuk-nusvk dada Alya. Jelas, karena Alya yang berstatus istri ditolak dengan bahasa yang sangat lancar seolah tanpa beban. Alya sedikit mundur dari Ardi. "Sepertinya kamu memang nggak kangen sama aku, Mas. Apa sudah ada yang mengisi disela lelahmu di sana? Sampai kamu pulang saja tak ingin menyentuhku. Atau kamu takut aku tahu sesuatu yang sedang kamu sembunyikan?" Wanita itu menghela nafas sambil mengusap ujung pelupuk matanya. Ardi membelalak sejenak. Lantas cepat menguasai dirinya. Dia tersenyum kaku pada istrinya. "Memangnya aku bisa menyembunyikan apa darimu? Hanya kamu tempat keluh kesahku, Sayang. Jangan berpikir terlalu jauh hanya karena aku pulang sebentar saja. Aku benar-benar harus pergi karena masalah darurat, Sayang. Tolong mengertilah. Aku sangat mencintaimu, jadi hanya kamu yang mengisi hatiku. Nggak ada yang lain." Alya mengangguk. "Hem, kamu hati-hati di sana. Jangan lupa kabari aku dan kalau aku mengirim pesan tolong dibalas. Sesibuk apa pun, yang aku tahu aturan pekerjaan pasti ada jam kerja. Meski lembut pun tetap akan ada waktu istirahat. Jadi jangan membuat aku berpikir jauh." Ardi mengangguk sambil memegang bahu istrinya. "Kamu yang terbaik, aku sangat beruntung punya istri sepertimu. I love you, Alya. Jangan nangis lagi. Aku akan langsung menghubungimu bahkan sebelum sampai dia sana." Pria itu memegang hidung istrinya. Biasanya Alya akan tersenyum sipu saat digoda suaminya seperti itu, tapi kali ini hatinya hambar tak ada respon berbunga-bunga. Alya menyingkir dan memberi jalan suaminya. Dia sapu sisa cairan bening di pipinya dan menghela nafas dalam agar tak ada lagi air mata yang keluar. "Aku berangkat dulu, Sayang." Ardi lantas menghampiri Daffa dalam gendongan Mbok Sari. Pria itu menatap Daffa dengan sorot mata penuh kasih sayang. Memainkan pipi dan hidung si bayi. Alya menatap lekat sikap, raut wajah dan tatapan suaminya pada bayi itu. Tak hanya itu, jantungnya berdetak sangat kencang kala dia menatap suaminya dan si bayi secara bergantian. Sangat mirip. Jika dua pria beda usia itu didekatkan maka kejelasan kemiripan semakin nyata. 'Mas Ardi? Tidak mungkin ... Nggak! Nggak mungkin kalau kamu-' batinnya tercekat tak ingin melanjutkan pikirannya yang mulai merambah pada rasa sakit. "Kamu baik-baik sama Tante Alya, ya, Daffa sayang. Jangan rewel. Kamu harus jadi anak baik. Nanti Pa- ... Nanti Om akan pulang secepatnya dan ... Setelah Mama kamu membaik maka kamu akan bertemu dengannya." Mata Alya membulat. Hatinya ngilu. 'Mas, Ardi bilang Daffa sayang? Dan tadi dia akan mengatakan dirinya siapa pada Daffa? Aku akan cari tahu nanti. Pasti! Aku nggak mau hanya jadi istri pajangan saja!' jerit batin Alya. "Ehem, Mas. Apa kamu begitu menyayangi Daffa? Sedekat apa kamu sama orang tuanya sampai kamu bersikap seperti ayah sendiri?" Alya sengaja bertanya demikian. Ardi menarik tangannya dari wajah Daffa. Dia menelan salivanya berat dan menatap Alya dengan senyum lebar. "Aku hanya terenyuh dengan kondisi anak ini. Kasihan, makanya aku sangat iba. Apalagi aku sangat dekat dengan orang tuanya. Ya, dia teman Mas waktu SMA yang sangat akrab dekat, tapi dia pindah ke kota lain. Selama ini kami hanya berhubungan lewat media sosial, jadi Mas hanya lupa tidak bercerita tentang teman Mas yang itu." Pria itu tetap memutar jawaban. "Oh, teman sangat dekat dengan Mas yang lupa nggak kamu ceritakan ya? Kalau begitu semoga aku bisa menyapa mereka. Aku titip salam pada orang tua Daffa. Bilang pada mereka kalau aku yang mengasuh Daffa ingin berkenalan dan kapan-kapan akan menjenguk." Alya tetap berusaha tegar. Dulu, suaminya selalu bercerita kalau ada temannya yang seperti ini dan itu. Bahkan teman yang tak Alya kenal juga tetap diceritakan untuk menumpahkan keluh kesah dan lelah saat pulang kerja. Dan fakta terbaru? Ardi lupa mengulas teman baik dan sangat dekatnya yang membuat dia mau berkorban mengasuh anak temannya itu. Apa itu masuk akal? Alya menolak dengan tegas pernyataan suaminya itu. Ardi mengangguk kaku. "Hem, aku titip Daffa, Sayang." Pria itu menarik kopernya. Alya mengangguk tak menjawab lisan. Wanita itu tetap melakukan tugas istri mengantar suami sampai depan rumah. Mencivm punggung tangan sang imam lantas tersenyum kaku mengantar sang suami pergi dengan lajuan mobil yang dikendarainya sendiri. Selepas kepergian suaminya. "Hah!" Alya sedikit terhuyung. "Anda baik-baik saja, Bu?" Mbok Sari tak berani meninggalkan majikannya yang tampak sendu dan pura-pura tegar itu. Dia wanita yang sudah mengenyam asam dan asinnya kehidupan, jadi telah membuat praduga kuat meski tak berani mengatakan. Alya menggeleng. "Aku baik-baik saja, Mbok." "Nanti malam simbok tidur sini saja ya, Bu. Temani Ibu kalau-kalau Daffa rewel." Alya mengangguk. Wanita itu melangkah lunglai masuk rumah. Belum sampai di ambang pintu, seorang kurir paket berhenti di depan gerbang. "Paket!" serunya. Pak Karto berlari ke depan gerbang dan menerima paket itu. "Atas nama Ibu Alya Fathiya? Ada paket untuk Ibu Alya." Pak Karto menerima dan membawanya ke hadapan majikannya. "Bu, ada paket, tapi kok tidak ada pengirim yang jelas. Tadi kurir asli kan, Bu, bukan palsu?" Alya menerima dan langsung membongkar dengan tarikan kuat. Dadanya masih bergemuruh ditambah ada paket tanpa dia memesan sesuatu. Alya tercengang dengan mata membulat lebar melihat isi paket dan ucapan salam secarik kertas itu."Apa ini? Kenapa ada yang mengirim pakaian bayi laki-laki ke rumah ini? Apa Mas Ardi sengaja memberi tahu temannya alamat ini? Tapi dia tidak mengatakan apa pun tadi. Bahkan dia berpesan agar jangan sampai ada yang tahu keberadaan bayi itu. Jangan sampai seorang pun. Lantas ini?" Alya menggeleng dengan dada sesak. [Titip anakku sebentar saja. Dan maaf, aku pinjam suamimu. Oh, maaf ini bukan pinjam.] Catatan dalam bungkusan itu juga tanpa nama. Hanya ada huruf 'R' di ujung paper note itu. "Bu." Pak Karto menehan Alya yang terhuyung. "Hah. Hah. Hah. Mas Ardi ...." Alya lemas dalam pegangan Pak Karto. "Pak, kita bawa Bu Alya masuk dulu." Mbok Sari sangat cemas lihat keadaan majikannya. Alya di dudukan di sofa ruang tengah. Wanita langsung tergeletak bersandar lemas dengan tatapan kosong ke depan. Dia masih memegang secarik note tadi. Pak Karto lantas membawa masuk pakaian bayi yang tadi terlepas dari pegangan Alya. "Istighfar, Bu. Ini semua belum pasti seperti apa. Misa jadi ini h
Kejutan? Jika itu kejutan manis, semua istri sangat menantikannya. Namun, ini kejutan pait yang Alya harus telan dengan isakan.Di sebuah restoran terdekat dengan perusahaan itu. Alya memilih private room agar bisa lebih leluasa bicara."Aku sudah memesan semuanya ini untukmu, Sind. Anggap ini traktiran karena lama kita nggak ketemu." Alya masih tersenyum dengan melihat bibirnya.Sindy menghela nafasnya. "Katakan saja, aku ada di pihakmu karena kita sama-sama wanita. Sebenarnya sudah lama aku ingin datang ke rumahmu, tapi aku terlalu sibuk karena ada pergantian CEO baru. Semua dirombak. Ini salah itu salah. Huh! Aku sampai hampir frustasi. Dan aku juga mengkhawatirkan suamimu. Dia libur terlalu lama. Ya, memang itu jatah cuti tahunan, tapi CEO baru ini nggak suka karyawan model seperti itu." "CEO baru? Ternyata aku salah dengar. Dia pasti laki-laki, jadi jauh dan keluar dari kecurigaanku." "Sebenarnya apa yang terjadi pada kamu dan Ardi? Kenapa bisa dia cuti dan sulit dihubungi sama
Wanita bisa sangat setia dan menjadi goyah lantas dingin tergantung bagaimana pasangannya.Alya telah turun di sebuah hotel sederhana. Tak seperti yang mereka lihat. Jabatan suaminya tak setinggi itu dan uang yang diberikan sang suami juga tidak banyak. Uang yang dipakai Alya saat ini adalah hasil dari tabungannya. "Ini cukup." Alya mengedar pandangan di kamar hotel standard room yang di pesannya. Lantas dia duduk di sisi r4njang untuk melepas penat.Ini sudah petang dan Alya memutuskan untuk memulai besok lagi sejak pagi. Dia juga butuh istirahat dan saat ini sangat ingin sendiri duduk meringkuk, larut dengan gejolak rasa dan kalutnya pikiran.Seperti sekarang ini, Alya menggeser duduknya hingga bersandar pada headboard. Dia tekuk lututnya dan meringkuk dengan tangan memeluk dua kaki itu. Kepalanya direbahkan bertumpu dua lutut. Pandangan kosong.'Mas, apa mencintaimu dengan tulus serta setia saja tidak cukup? Benarkah dengan apa yang mereka katakan jika aku memang tak layak dipanda
Wanita itu merem4s tangannya. Dia benar-benar menahan sakit. D4danya seperti ada tusvkan jarum begitu banyak dan tak berhenti. Sesekali seolah ada bilah pisau yang meny4yat jika dia membayangkan kalau ... kalau saja nanti benar-benar mendapati suami yang dicintainya sedang bersama wanita lain.Alya menunduk dengan tangan bertaut di atas pangkuan. Bulir-bulir bening telah menetes membasahi tangan yang bergetar itu.Pria di sisinya melebarkan mata. Dia mencebik malas tak mau ada drama lagi. "Van! Percepat lagi! Wanita ini sudah kes4kitan. Aku tidak mau dia pingsan atau kenapa di mobilku!" seru pria tampan berahang tegas itu. Pria itu lantas menatap tajam Alya yang tak menatapnya sedari tadi. Tangannya mengepal kuat karena gumpalan gemuruh rasa yang muncul. Aneh, sangat aneh. Kenapa ada wanita yang tak merespon keberadaannya? Dia tak terima dan semakin geram.Alya menoleh. Dia menatap sesaat si pemilik mata elang itu, lantas memalingkan pandangannya. "Terima kasih," lirihnya bergetar. D
"Kamu sudah dapat data-data wanita itu, Van?""Sudah, Tuan." Ivan menyodorkan tablet pada tuannya.Pria itu mengernyit dan menatap sekian lama data wanita itu. Bersuami. Seperti ada besitan rasa kecewa samar yang terlintas di d4danya."Ehem! Jadi suaminya bekerja di perusahaan kita?" Pria itu sedikit mengendorkan dasi."Iya, Tuan. Dan suaminya baru mengajukan cuti selama beberapa hari ini."Pria itu merapikan jasnya. Tak ada kata lagi yang keluar. ---Sebelum Alya bertemu dengan dengan pria itu, dia terlebih dahulu dibantu seorang wanita untuk berganti baju di salah satu ruangan. Tak hanya baju, Alya juga disediakan sendal slop flat.'Baguslah, aku nggak perlu pakai pakaian penuh d4rah untuk berkeliling rumah sakit ini.' Alya tersenyum dengan mata berkaca membayangkan Ardi. Selangkah lagi dia telah mendekati kebenaran. Apa nanti benar-benar akan kuat? Harus kuat! Wanita itu terus menguatkan hatinya.Lantas Alya didorong kembali untuk menemui pria itu.Saat tiba di sebuah lobi. Sekele
Dunia Alya seketika runtuh. Rasa cinta yang telah dipupuk dan dirawat sekian lama itu kian menguap.Hatinya yang terpaut dalam suka duka kini terjerembab dalam luka yang dalam. Rasa cinta itu kini bagai petir yang menyambar menghancurkan hidupnya.Batinnya menjerit sakit. Dia telah terperangkap dalam lubang kekecewaan dan kepedihan.Nyeri .... Rasa itu bahkan tak bisa digambarkan lagi dalam lisannya. Cairan bening itu luruh tanpa iringan isakan."Alya!" teriak Bara dengan mata lebar. Dia gusar sendiri melihat reaksi wanita itu. Lantas, pria itu sengaja mendekat dan mencoba memahami apa yang ada dalam rekaman. Sebuah praduga telah dia simpan dalam pikiran.Alya mencoba menguatkan hati dan pikirannya. Jiwa raganya tak boleh tumbang di tempat yang salah. Wanita itu memungut puing-puing hatinya yang hancur. "Akh!" Seolah ada say4tan puing kaca di dad4nya. Wanita itu kini merangkup wajahnya dengan getaran isakan rendah. Bergetar, hingga bahunya bergerak.Bara menyuruh bawahannya yang lain
Istri pendarahan setelah melahirkan. Kata-kata itu terus terngiang dalam benak Alya. Yang jelas kata istri, dia juga istri Ardi. Namun, melahirkan? Dia malah tidak boleh hamil untuk saat ini. Lantas, benarkah wanita itu juga menyandang status istri untuk suaminya?'Mas ... tega kamu!' nyeri batin Alya.Alya merem4s kuat jas belakang milik Bara. Dia membekap kuat mulutnya agar tangisnya tidak pecah. Satu langkah tatih, Alya merapatkan dirinya ke punggung Bara. D4danya semakin sesak. Dia menekan kuat rahang dan bekapannya."Istrimu?" Bara mengulang tanya. Tatapannya tajam pada Ardi. Entah kenapa dia geram dan miris dengan pria yang ada di hadapannya itu.Ardi mengangguk. "Benar, Tuan. Baru beberapa hari ini dan keluarga saya jauh. Jadi terpaksa saya menjaganya sendiri. Tapi, saya aja segera masuk kerja lagi. Kebetulan kondisi istri saya juga telah membaik."Alya tak kuat lagi mendengar pengakuan lebih, tapi dia masih ingin mengetahui soal penghianatan suaminya selama ini. 'Tega kamu, Ma
Rasa cinta itu ... kita mampu menyakiti diri agar dia yang kita cintai tidak menangis. Bagaimana jika ada suami menggunakan kain sutra untuk membalut bel4ti tajam ke arah istrinya? Seperti Ardi. Ternyata kelembutannya tak semanis yang selama ini Alya rasakan.Sedang Bara, pria yang terusik hatinya tanpa sebab yang jelas. Sampai dia penasaran kenapa mau membuang waktu berharganya hanya untuk istri orang.---Sebelum Bara datang ke rumah sakit.Bara tinggal di hotel mewah selama menyelesaikan pekerjaan di daerah itu."Kapan jadwalku kembali ke pusat kota?""Nanti sore, Tuan.""Kalau begitu hari ini aku harus benar-benar melakukan pekerjaan dengan baik."Ivan mengangguk. "Akan saya atur sesuai keinginan Anda."Bara menatap pantulan dirinya pada cermin panjang. "Bagaimana menurutmu soal tindakanku kemarin pada wanita yang jelas bukan tanggung jawabku? Katakan yang benar!"Ivan menarik nafas dalam. "Maaf, Tuan. Anda sedikit berlebihan."Bara mengeratkan giginya. "Sudah kuduga. Aku hampir