Home / Pernikahan / Dibalik Diamnya Istri Ternyata .... / Bab 7. Mencari Posisi Suami

Share

Bab 7. Mencari Posisi Suami

Wanita bisa sangat setia dan menjadi goyah lantas dingin tergantung bagaimana pasangannya.

Alya telah turun di sebuah hotel sederhana. Tak seperti yang mereka lihat. Jabatan suaminya tak setinggi itu dan uang yang diberikan sang suami juga tidak banyak. Uang yang dipakai Alya saat ini adalah hasil dari tabungannya. 

"Ini cukup." Alya mengedar pandangan di kamar hotel standard room yang di pesannya. Lantas dia duduk di sisi r4njang untuk melepas penat.

Ini sudah petang dan Alya memutuskan untuk memulai besok lagi sejak pagi. Dia juga butuh istirahat dan saat ini sangat ingin sendiri duduk meringkuk, larut dengan gejolak rasa dan kalutnya pikiran.

Seperti sekarang ini, Alya menggeser duduknya hingga bersandar pada headboard. Dia tekuk lututnya dan meringkuk dengan tangan memeluk dua kaki itu. Kepalanya direbahkan bertumpu dua lutut. Pandangan kosong.

'Mas, apa mencintaimu dengan tulus serta setia saja tidak cukup? Benarkah dengan apa yang mereka katakan jika aku memang tak layak dipandang? Bisakah kamu jelaskan apa saja kekuranganku? Hingga aku bisa memperbaiki diri. Bukan malah mencari apa yang kamu inginkan pada wanita lain,' batin Alya miris.

Dering ponsel memecah lamunan Alya. Wanita itu gegas menyambar ponselnya di nakas. Dari suaminya. Ya, sesuai apa yang dikatakan saat berangkat, jika Ardi akan menelepon atau vidio call tak hanya membalas pesan.

Kali ini Ardi membuat panggilan telepon. Tak apa, malah Alya sangat beruntung. Jadi Ardi tidak tahu jika sekarang dia ada di daerah yang sama.

"Assalamualaikum, Mas." Alya membuat nada lembut seperti biasa.

"Wa'alaikumsalam, Sayang. Maaf, tadi dijalan Mas ketiduran. Aku baru saja sampai di luar kota dan langsung menghubungimu.

Bagaimana, apa kamu masih nangis?" Suara Ardi tak ada kejanggalan. Alya menajamkan rungunya juga tak ada suara lain.

"Hem, beginilah. Kamu nggak mau lihat sendiri aku menangis atau nggak sekarang?" Alya sengaja memancing, tapi dia yakin kalau Ardi akan menolak. Sungguh d4da Alya sangat sesak. Gejolak rasa terus mendesak hingga di pelupuk matanya.

Hening sejenak, hanya ada suara hembusan nafas berat Ardi.

"Maaf, Sayang, kamu harus bersedih sebentar. Aku juga nggak bisa lihat wajahmu karena nggak tega. Mas yakin kamu sedang nangis sekarang."

Alya memang sedang menangis. Tapi dia menangis karena kebohongan Ardi.

"Di mana Daffa?" Tiba-tiba Ardi malah membahas bayi itu.

"Aku masih lemas, jadi aku berikan pada Mbok Sari saja. Kamu nggak apa-apa 'kan kalau sementara Daffa juga juga dirawat sama Mbok Sari?"

"Nggak apa-apa, lah. Asal kamu nyaman dan Daffa baik-baik saja."

"Bagaimana kabar orang tua Daffa?" Alya menghembus nafas berat dari mulut dan berusaha agar suaranya tidak serak.

Hening sejenak. Alya menunggu dengan membekap mulutnya agar isakan itu tak meledak.

"Sudah lebih baik. Jika mereka sudah siap mengurus Daffa, aku akan segera mengembalikan Daffa pada mereka."

Alya mengangguk-anggukkan kepala dengan mata berkedip-kedip. "Dan kita siap punya anak sendiri, kan?"

Tak ada jawaban. Ardi tak mengeluarkan sahutan.

"Hem, Sayang. Aku dipanggil rekan kerja. Mas harus segera ke lokasi proyek. Nanti Mas akan hubungi kamu lagi." 

Sambungan dimatikan Ardi tanpa mengucap salam.

"Hah!" Alya menghentakan punggungnya di headboard. Dia melengkungkan bibirnya dengan kekehan miris. 

"Alya .... Alya. Bagaimana kamu akan menghadapi semua ini. Kamu telah melangkah sejauh ini apa nantinya sudah siap menerima kenyataan?" Dia tertawa kecil dengan isakan merutuki diri.

Tangisnya pecah. Wanita itu membekap mulutnya kuat sambil membungkuk hingga tersungkur. Sekian saat, dia menumpahkan sesak dadanya.

---

"Bagaimana Daffa, Mbok?"

"Alhamdulillah tidak rewel, Bu. Bagaimana dengan Ibu di sana? Ini baik-baik saja?" 

Alya mendesah berat. "Simbok jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Dan jika tidak baik, maka aku akan berusaha untuk selalu baik-baik saja. Aku pasti akan pulang secepatnya."

Sambungan diputus Alya setelah mengucap salam.

Mentari mulai menyengat, Alya berdiri di depan cermin panjang dan membenarkan jilbabnya. Wanita itu menghentak nafasnya kuat sambil menguatkan hati.

"Alya kamu pasti bisa melihat kenyataan sepahit apa pun!"

Wanita itu menyambar tas selempang hitam dan mulai melangkah.

Tahap pertama dia akan mendatangi pusat perbelanjaan sesuai dengan struk belanja suaminya itu. Alya telah melakukan dengan taksi.

Sekian saat melaju, Alya turun di tempat yang diharapkan.

Alya memegang struk belanja itu untuk memastikan sekali lagi.

"Nggak salah lagi ini tempatnya." Alya tidak masuk. Tujuannya datang ke tempat itu hanya untuk melihat bangunan-bangunan yang dimungkinkan bisa jadi tempat tinggal suaminya. Karena menurut perkiraannya, suaminya pasti akan belanja di tempat yang tidak jauh dari huniannya.

Disekitar itu ada hotel mewah, apartemen mewah dan apartemen bagus dengan kualitas dibawahnya yang kemungkinan gaji Ardi bisa menjangkau.

"Jika tebakanku benar, maka bisa jadi Mas Ardi ada di apartemen itu. Ok, sekarang aku akan ke rumah sakit itu dulu."

Alya memutar arah berjalan sambil membuat pesanan taksi. Taksi yang datang secepatnya belum bisa dia dapatkan. Masih harus menunggu sekian puluh menit lagi. Wanita itu kini melangkah gontai menyusuri jalan tanpa pikiran jernih.

Hati dan pikiran terus terpaku ada sosok suaminya. 'Mas .... Mas .... Mas ....' Hati itu terus menyebut nama suami dengan campuran rasa tak karuan. Hingga Alya tak sadar jika alur langkahnya tak benar.

Alya memakai Heels 7 cm. Dengan langkah segontai itu dia kurang keseimbangan.

"Akh!" Alya tergelincir kerikil, dia keseleo dan terhuyung miring ke arah jalan.

"Awas, Mbak!" teriak seorang.

Akan tetapi, ....

Ada sebuah mobil sedan yang telah melintas dan menghentikan mobilnya mendadak.

Ciitttt ...! 

Brukkk! Alya terserempet dan tersungkur.

"Akh!" Ponsel yang digenggam Alya juga terlempar.

Beberapa orang yang punya simpati berhambur mendekat.

Dari dalam mobil.

"Tuan, bagaimana ini?" Sang sekretaris menoleh menunggu perintah.

"Haish, kamu turun dan bawa dia masuk. Aku nggak mau banyak orang yang membuatku pusing! Lihat, wanita itu juga menangis membuat drama. Dia pasti punya rencana lain."

Seorang pria menghentakan punggungnya di sandaran kursi. Dia mencebik dan mendesis geram. Pikirannya ada praduga wanita itu akan memerasnya, seperti yang dilakukan orang pada umumnya. Menjatuhkan diri dan mencari keuntungan.

Sekretaris laki-laki itu gegas keluar.

"Maaf, kami juga kaget. Nona ini tadi tiba-tiba ingin jatuh saat kami melintas."

"Soal bagaimananya kalian urus nanti yang penting bahwa wanita ini ke rumah sakit segera!" Salah satu penolong angkat bicara.

"Ya, kamu obati dulu wanita ini, baru membahas duduk perkaranya!"

"Saya pasti akan bertanggung jawab. Permisi, Bapak-bapak dan Ibu-ibu."

Alya meringis dan menahan ngilu. Dia menangis. Bukan karena sakitnya luka di tangan dan kaki, tapi ... semiris itukah langkahnya hanya sekedar ingin mencari jawaban soal suaminya?

"Nona, silahkan ikut saya ke rumah sakit." Sekretaris itu mengulurkan tangan.

Alya hanya mendongak tak menjawab. Namun, beberapa orang memapahnya dan membantu masuk ke mobil itu. Dia tak seperti tak ada kekuatan untuk menolak.

Kini mobil melaju. Alya hanya diam dan bahkan tak menoleh pada pria yang duduk di sebelahnya. Wanita itu bersandar dan menatap arus jalan.

Sedang sang pria itu malah menatap intens wajah dan luka Alya. Dia masih ingat. Ya, sangat ingat betul dengan wajah wanita yang hampir terserempet di depan perusahaan miliknya kemarin.

'Dia terluka, tapi diam saja. Bukankah tadi dia menangis? Lantas kenapa sekarang diam? Pasti sedang merencanakan sesuatu. Heh, aku ingin lihat seperti apa orang yang berpakaian seperti ini. Semua tubuhnya dibungkus seperti bantal atau ... barang siap paket. Pasti karena dia tidak punya sesuatu yang dibanggakan, lantas semua disembunyikan!' batin pria itu dengan senyum sinis tipis.

"Mas, bisa ke rumah sakit XXXX?" Tiba-tiba Alya memecah keheningan.

"Bagaimana, Tuan?" Sang sekretaris menunggu persetujuan.

"Kamu ikuti saja kemauan dia dan selesaikan di sana!" 

Mobil melaju ke rumah sakit yang diinginkan Alya.

Kini, Alya menatap kondisi dirinya. Kaki dan tangannya terluka hingga warna merah membuat noda lebar di banyak titik gamisnya. Perih, tapi lebih perih sakit hatinya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Novia Nurlin
udah tau kondisi diri tidak fit dan banyak masalah, pergi dg hells 7 cm, pusing ambruk deh..., alya ini asli perempuan bodoh dan gak logis sama sekali... dungu atau rada oon ya.?
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
apa yg bisa diharapkan dari wanita yg tak lebih berharga dari babu bagi suaminya. dungu,tolol dan ceroboh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status