Wanita lembut? Baik? Mengalah? Semua itu akan Alya perankan untuk pria yang pantas mendapatkannya.Alya merem4s kuat sisi ranjang menunggu apa yang akan dikatakan suaminya. "Kalau Mas malu karena sudah keceplosan biar aku saja yang menjelaskan sama ayah ibu. Nggak masalah. Aku akan bilang kalau kita sengaja menunda kehamilan dan Daffa itu anak yang kamu bawa pulang."Terdengar suara decitan mobil. Sepertinya Ardi langsung menepi."Mas, kamu nggak apa-apa, kan?" teriak Alya.Nafas Ardi terdengar berat tersengal. "Alya sayang. Aku sudah jelas sangat mencintaimu, jadi apa pun yang akan aku lakukan nanti pasti demi kebahagiaan kita. Kamu jangan bertindak gegabah atau ceroboh dulu, tunggu aku pulang."Alya tersenyum miris. "Demi kebahagiaanku atau kebahagiaanmu?""Alya, kamu kenapa sih? Apa kamu masih sakit? Bentar lagi aku sampai. Sebentar banget. Habis itu aku antar kamu ke dokter. Jangan ngomong ngaco lagi."Panggilan ditutup Alya.Setelah itu, Alya lantas ke kamar mandi. Dia harus seg
Hati-hati kalau menyakiti hati istri. Wanita tak selemah itu.Alya telah membuat beberapa editan potongan rekaman kamera pengawas yang didapat. Satu potongan rekaman saat Ardi masuk ke rumah sakit membawa Tiara telah dikirim ke kontak suaminya, beserta pesan rangkaian kata.[Bagaimana kalau istrimu tahu apa yang telah kamu lakukan di belakangnya?][Mungkin lebih menarik kalau ayahmu saja yang tahu bagaimana anak laki-lakinya yang telah beristri malah menjadi suami wanita lain.]Alya menekan tombol kirim dengan tangan bergetar."Hah!" Akhirnya terkirim. Dia menunggu reaksi suaminya. Alya memegang kuat ponselnya sambil menoleh arah kamar mandi.Brakkk! Terdengar suara sangat keras."Akh!" Disusul teriakan Ardi."Mas! Kamu nggak apa-apa, Mas?!" teriak Alya. Pelan dia turun dari ranjang dan melangkah tertatih ke kamar mandi.Di kamar mandi, Ardi sedang bertelungkup dengan memegang pinggang dan meringis."Akh! Haish. Adduhh ....." Ardi kesakitan."Mas, kamu kenapa?" Alya tersenyum tipis, d
'Sudah cukup aku diam dan selalu menurut padamu. Cinta tulusku juga tak bisa kamu khianati begitu saja. Mari kita lihat, apa aku wanita b0doh seperti yang kamu katakan?' Alya tersenyum lebar dengan membinarkan mata menatap suaminya. "Boleh 'kan aku punya usaha sendiri? Modalnya nggak banyak, cuma sepuluh juta saja. Uang segitu pasti nggak berat 'kan, Mas."Ardi menelan salivanya berat. "Sepuluh juta? Kamu mau usaha apa pakai uang sebanyak itu?" Dia mulai panas dingin.Ardi kurang fokus, dia terus melirik layar ponselnya menunggu balasan dari pesan misterius itu. 'Kenapa dia nggak kirim pesan lagi?' batinnya gelisah.Alya tersenyum miring tipis menatap wajah gelisah suaminya. "Mas, kita lagi ngobrol. Kamu malah fokus sama ponsel terus. Kapan mau quality time?""O-oh ya, apa tadi?" gagap Ardi. Dia mengusap wajahnya kasar dengan dengkusan berat."Aku sudah ada rencana, dengan keahlian menjahit mau buat usaha sendiri. Tapi masa segitu banyak sih, Mas? Kan tabungan kamu banyak. Gaji kamu
Kecerdasan tidak bisa diukur di sisi belahan mana dia lahir. Alya, wanita cerdas itu kini membuat gebrakan aksi untuk sakit hatinya.Alya bersandar di pintu dengan memejamkan mata dan memegang dadanya. "Huuuufffff ....""Ada apa, Bu?" Mbok Sari yang sudah menidurkan Daffa beranjak dari tempat tidur.Alya menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Hanya ... Huh! Aku harus sabar lagi, Mbok. Tapi sabarku ini bukan berarti diam.""Simbok percaya kalau Ibu bisa mengatasi semuanya. Jangan ambil hati perkataan Bu Ratih. Percuma marah dengan orang seperti itu, kita hanya akan bertambah sakit hati."Sedang di luar kamar.Ratih memastikan dahulu jika pintu kamar depan ditutup rapat."Ibu butuh uang lima belas juta sekarang, Ardi. Bisa 'kan kamu transfer?""Lima belas juta? Bagaimana kalau sepuluh juta? Bulan ini aku banyak kebutuhan, Bu.""Ya sudah nggak apa-apa. Memangnya si Alya banyak maunya? Masih kamu kasih jatah seperti yang ibu bilang, kan? Jangan banyak-banyak. Dia itu wanita kampungan, jadi nggak
Sindy sengaja memesan di meja depan, bukan private room."Gimana kondisi istrimu, Ard? Sweet banget, suami teladan. Istri sakit sampai dibela-belain ambil cuti. Kamu mewakili suami terbaik di kantor kita," ucap teman laki-laki Ardi."Manteb, kalau aku jadi Alya pasti bakal kekepin Ardi terus tiap malam. Jarang banget dapat suami penyayang, nggak lirik kanan kiri." Sindy tersenyum kaku. Dalam hatinya Sindy ingin berkata tidak melirik kanan kiri kalau mau bertindak."Kalau aku sih mending cari orang buat jagain istri. Ada ibu, Kakak, adek. Sayang istri sih, tapi sayang juga kalau sampai nggak masuk kerja," sahut teman laki-laki lainnya.Ardi hanya tersenyum kaku. "Gimana lagi, di kota ini aku nggak ada keluarga. Kalau ada apa-apa ya cuma berdua aja. Katanya cinta, ya jangan cuma dilidah aja dong."Sindy mencebik kesal. Dia menoleh arah pintu berharap Alya segera datang.Dari arah pintu depan, sebuah langkah tegas telah menapaki arah meja makan Ardi dan Sindy. Jantung Alya berdetak kenca
Seseorang yang membuat jasa besar di kehidupan Alya, yang dipertemukan oleh takdir. Bara, pria itu kini ditemui Alya kembali. Sesuai janjinya kemarin, jika bertemu lagi di suatu tempat maka pura-pura tidak kenal karena urusan mereka telah usai.'Dia masih tampak menakutkan, sampai karyawannya menunduk seperti itu. Tapi orang kaku dan dingin ini masih lumayan baik. Kemarin dia mau membantuku, meski aslinya hanya karena gengsi dan takut aku menuntut atau mengumbar kecelakaan itu nw ranah publik,' batin Alya. Wanita itu berpikir jika yang dilakukan dengan alasan demikian.Bara menatap datar karyawannya itu. Lantas dia melihat arlojinya. Ternyata waktu istirahat masih 30 menit. "Jangan sampai terlambat kembali ke kantor. Aku tidak punya tempat untuk karyawan pemalas!""Baik, Tuan.""Kami akan segera menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor tepat waktu."Bara melirik tajam pada Ardi dan Alya.Ardi yang ditatap sedikit gugup. Lantas merapatkan diri pada istrinya."Kamu langsung pergi
Ardi menatap istrinya dengan buncahan banyak rasa. Emosi, gelisah, cemas dan banyak lagi. Wajah pria itu memerah dengan nafas berat.Alya lantas menoleh menatap suaminya. Dua pasang mata itu saling menatap sangat dalam. Alya menekan sorot mata kekecewaannya."Oh, beberapa hari yang lalu suamiku memang menemani istrinya yang melahirkan di rumah sakit. Ya, dia menemani is-tri-nya!" Alya menekan kata terakhir. Dia tersenyum miring pada suaminya.Ardi sedikit bernafas lega, Alya menjawab seperti itu. Setidaknya dia tidak akan jadi bulan-bulanan teman kantornya nanti. Dia hanya perlu mencari alasan dan rayuan agar Alya mau percaya dengan penjelasannya nanti.Bara membenarkan jasnya. "Van, aku tidak punya selera makan lagi Kamu urus pembayaran makanan mereka!" Pria itu beranjak sana berlalu dengan senyum tipis.Selepas Bara pergi."Huuuufffff .... Akhirnya Tuan Bara pergi juga. Sumpah aku merinding saat dia datang. Cuma hoki banget si Alya dapat uang segitu." Sindy menggeleng heran. Alya h
Kepedihan telah membangkitkan jiwa lemah istri tersakiti. Puing-puing rasa yang hancur berserak tak mau lagi menyatukan. Biarlah, patah dan hancur saja. Cermin retak saja tak bisa pulih seperti semula, apalagi hati terluka.Di depan Alya kini ada seorang wanita dengan tampilan glamor menyunggingkan senyum remeh padanya. Dia menyapa dan menyebut Alya. "Hay, maduku?" Ya, dia Tiara, wanita yang telah melahirkan anak suami Alya.Alya tercengang, d4danya bergemuruh hingga bergetar hebat. Tangannya mengepal dengan gigi mengerat kuat agak gejolak rasa di dadanya tak meluap.Di sudut ruangan itu Mbok Sari dan Pak Karto sengaja mendekat untuk bersiaga jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.Tiara mengayun satu langkah ke arah Alya."Kenapa masih diam saja? Apa tidak paham dengan sapaanku tadi? Maduku! Kamu adalah madu yang amat pait dalam hubunganku dengan Ardi. Oh ya, perkenalkan juga, aku wanita yang melahirkan Daffa. Bagaimana rasanya merawat anak dari wanita lain suamimu? Pasti san