Kecerdasan tidak bisa diukur di sisi belahan mana dia lahir. Alya, wanita cerdas itu kini membuat gebrakan aksi untuk sakit hatinya.Alya bersandar di pintu dengan memejamkan mata dan memegang dadanya. "Huuuufffff ....""Ada apa, Bu?" Mbok Sari yang sudah menidurkan Daffa beranjak dari tempat tidur.Alya menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Hanya ... Huh! Aku harus sabar lagi, Mbok. Tapi sabarku ini bukan berarti diam.""Simbok percaya kalau Ibu bisa mengatasi semuanya. Jangan ambil hati perkataan Bu Ratih. Percuma marah dengan orang seperti itu, kita hanya akan bertambah sakit hati."Sedang di luar kamar.Ratih memastikan dahulu jika pintu kamar depan ditutup rapat."Ibu butuh uang lima belas juta sekarang, Ardi. Bisa 'kan kamu transfer?""Lima belas juta? Bagaimana kalau sepuluh juta? Bulan ini aku banyak kebutuhan, Bu.""Ya sudah nggak apa-apa. Memangnya si Alya banyak maunya? Masih kamu kasih jatah seperti yang ibu bilang, kan? Jangan banyak-banyak. Dia itu wanita kampungan, jadi nggak
Sindy sengaja memesan di meja depan, bukan private room."Gimana kondisi istrimu, Ard? Sweet banget, suami teladan. Istri sakit sampai dibela-belain ambil cuti. Kamu mewakili suami terbaik di kantor kita," ucap teman laki-laki Ardi."Manteb, kalau aku jadi Alya pasti bakal kekepin Ardi terus tiap malam. Jarang banget dapat suami penyayang, nggak lirik kanan kiri." Sindy tersenyum kaku. Dalam hatinya Sindy ingin berkata tidak melirik kanan kiri kalau mau bertindak."Kalau aku sih mending cari orang buat jagain istri. Ada ibu, Kakak, adek. Sayang istri sih, tapi sayang juga kalau sampai nggak masuk kerja," sahut teman laki-laki lainnya.Ardi hanya tersenyum kaku. "Gimana lagi, di kota ini aku nggak ada keluarga. Kalau ada apa-apa ya cuma berdua aja. Katanya cinta, ya jangan cuma dilidah aja dong."Sindy mencebik kesal. Dia menoleh arah pintu berharap Alya segera datang.Dari arah pintu depan, sebuah langkah tegas telah menapaki arah meja makan Ardi dan Sindy. Jantung Alya berdetak kenca
Seseorang yang membuat jasa besar di kehidupan Alya, yang dipertemukan oleh takdir. Bara, pria itu kini ditemui Alya kembali. Sesuai janjinya kemarin, jika bertemu lagi di suatu tempat maka pura-pura tidak kenal karena urusan mereka telah usai.'Dia masih tampak menakutkan, sampai karyawannya menunduk seperti itu. Tapi orang kaku dan dingin ini masih lumayan baik. Kemarin dia mau membantuku, meski aslinya hanya karena gengsi dan takut aku menuntut atau mengumbar kecelakaan itu nw ranah publik,' batin Alya. Wanita itu berpikir jika yang dilakukan dengan alasan demikian.Bara menatap datar karyawannya itu. Lantas dia melihat arlojinya. Ternyata waktu istirahat masih 30 menit. "Jangan sampai terlambat kembali ke kantor. Aku tidak punya tempat untuk karyawan pemalas!""Baik, Tuan.""Kami akan segera menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor tepat waktu."Bara melirik tajam pada Ardi dan Alya.Ardi yang ditatap sedikit gugup. Lantas merapatkan diri pada istrinya."Kamu langsung pergi
Ardi menatap istrinya dengan buncahan banyak rasa. Emosi, gelisah, cemas dan banyak lagi. Wajah pria itu memerah dengan nafas berat.Alya lantas menoleh menatap suaminya. Dua pasang mata itu saling menatap sangat dalam. Alya menekan sorot mata kekecewaannya."Oh, beberapa hari yang lalu suamiku memang menemani istrinya yang melahirkan di rumah sakit. Ya, dia menemani is-tri-nya!" Alya menekan kata terakhir. Dia tersenyum miring pada suaminya.Ardi sedikit bernafas lega, Alya menjawab seperti itu. Setidaknya dia tidak akan jadi bulan-bulanan teman kantornya nanti. Dia hanya perlu mencari alasan dan rayuan agar Alya mau percaya dengan penjelasannya nanti.Bara membenarkan jasnya. "Van, aku tidak punya selera makan lagi Kamu urus pembayaran makanan mereka!" Pria itu beranjak sana berlalu dengan senyum tipis.Selepas Bara pergi."Huuuufffff .... Akhirnya Tuan Bara pergi juga. Sumpah aku merinding saat dia datang. Cuma hoki banget si Alya dapat uang segitu." Sindy menggeleng heran. Alya h
Kepedihan telah membangkitkan jiwa lemah istri tersakiti. Puing-puing rasa yang hancur berserak tak mau lagi menyatukan. Biarlah, patah dan hancur saja. Cermin retak saja tak bisa pulih seperti semula, apalagi hati terluka.Di depan Alya kini ada seorang wanita dengan tampilan glamor menyunggingkan senyum remeh padanya. Dia menyapa dan menyebut Alya. "Hay, maduku?" Ya, dia Tiara, wanita yang telah melahirkan anak suami Alya.Alya tercengang, d4danya bergemuruh hingga bergetar hebat. Tangannya mengepal dengan gigi mengerat kuat agak gejolak rasa di dadanya tak meluap.Di sudut ruangan itu Mbok Sari dan Pak Karto sengaja mendekat untuk bersiaga jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.Tiara mengayun satu langkah ke arah Alya."Kenapa masih diam saja? Apa tidak paham dengan sapaanku tadi? Maduku! Kamu adalah madu yang amat pait dalam hubunganku dengan Ardi. Oh ya, perkenalkan juga, aku wanita yang melahirkan Daffa. Bagaimana rasanya merawat anak dari wanita lain suamimu? Pasti san
Begitulah kalau bicara dengan orang egois. Jerit hati kita tak akan pernah bisa menembus keras hatinya. Percuma! Lebih baik diam atau melawan dengan cara pintar. Karena kesabaran istri tersakiti itu tak mungkin seperti menunggu bak tetesan air melubangi batu keras."Kalian berdua dengarkan aku baik-baik. Ayah dan ibuku yang baru kembali dari sini langsung mengabarkan pada dua keluarga besar soal ... Kehamilan rahasia Alya dan baru saja melahirkan. Lantas mereka berbondong-bondong datang kemari ingin melihat anak itu. Jadi, kalian harus bermain peran dengan baik. Urusan lain kita bicarakan setelah ini!" Ego Ardi terlalu tinggi. Selama ini Alya tak bisa melihat jelas karena tertutup sikap lembut pria itu.Alya menatap heran Ardi dengan dua alis terangkat. Dia menggeleng kecewa, ternyata seperti ini suaminya selama ini. Dia mengatur sekenario serta peran apik hingga banyak yang tertipu daya. "Mas, apa kamu nggak lelah membuat kebohongan lapis demi lapis. Apa kamu sama sekali nggak memiki
Kesabaran Alya tidaklah setipis tissue. Tissue tipis masih mampu menyerap air matanya. Wanita itu tidak ingin dirinya diperlakukan seenaknya hati oleh pria yang sama sekali tak pernah menjaga amanah rasa tulusnya. Sabar itu bukan Bod0h.Dilema memang, tapi jujur dan meneruskan kebohongan sama-sama akan terasa sakit bagi dua keluarga besar itu.Tiara berdiri di antara tatapan penuh tanya. Wanita itu sengaja memakai dress elegan dan heels. Wajahnya dia poles secantik mungkin. Bahkan pose berdirinya pun bak seorang model. 'Saatnya tampil,' batinnya.Ardi sudah panas dingin. Dia gelisah dengan terus melirik respon ayahnya pada kedatangan Tiara. 'Aku harus melakukan sesuatu. Jangan sampai ayah murka. Bisa gawat nanti,' batinnya.Sedang Alya mengedar pandangan pada pasang-pasang mata yang menyorot Tiara. Dia meremas tangannya yang berkeringat di atas pangkuan. 'Apa yang akan direncanakan Tiara, trik apa yang akan digunakan untuk mencari pengakuan pada status dirinya?' batinnya."Siapa kamu,
Selingkuh itu pilihan. Setia itu buah rasa cinta yang tulus.Seni kebohongan Ardi yang dibuat dari lapisan sikap lembut, kata-kata rayuan, dan alasan klasik telah retak. Bangkai yang dia sembunyikan mulai menyeruak baunya.Alya menghela nafas dalam. Dia masih ingin diam menyimak apa yang akan dilakukan Tiara lagi dan bagaimana respon Ardi.'Tiara! Kamu sungguh!' batin Ardi memekik geram.Tiara, wanita itu tak mau lagi mendapat posisi di belakang terlalu lama. Dia ingin segera mendapat pengakuan sebagai nyonya besar di rumah itu."Maaf, biarkan Daffa sama saya dulu, Yah." Tiara mengambil Daffa dari pangkuan ayah Ardi.Hadi masih menahan Daffa, dia menoleh pada Alya. "Alya, anakmu!'Akan tetapi, Alya malah menunduk hingga membuat jantung ayah Ardi berdetak kencang. "Maaf, ayah. Biar Mas Ardi yang menjelaskan."Tangan Ardi mengepal kuat dengan nafas menderu. Tatapannya taj4m pada aksi Tiara yang sangat nekat dan diamnya Alya.Satu hal besar yang membuat semua yang ada di sana tercengang,