Kejutan? Jika itu kejutan manis, semua istri sangat menantikannya. Namun, ini kejutan pait yang Alya harus telan dengan isakan.
Di sebuah restoran terdekat dengan perusahaan itu. Alya memilih private room agar bisa lebih leluasa bicara. "Aku sudah memesan semuanya ini untukmu, Sind. Anggap ini traktiran karena lama kita nggak ketemu." Alya masih tersenyum dengan melihat bibirnya. Sindy menghela nafasnya. "Katakan saja, aku ada di pihakmu karena kita sama-sama wanita. Sebenarnya sudah lama aku ingin datang ke rumahmu, tapi aku terlalu sibuk karena ada pergantian CEO baru. Semua dirombak. Ini salah itu salah. Huh! Aku sampai hampir frustasi. Dan aku juga mengkhawatirkan suamimu. Dia libur terlalu lama. Ya, memang itu jatah cuti tahunan, tapi CEO baru ini nggak suka karyawan model seperti itu." "CEO baru? Ternyata aku salah dengar. Dia pasti laki-laki, jadi jauh dan keluar dari kecurigaanku." "Sebenarnya apa yang terjadi pada kamu dan Ardi? Kenapa bisa dia cuti dan sulit dihubungi sama yang lain. Pake alesan kamu lagi. Saat aku lihat kamu tadi, aku benar-benar langsung nggak bisa mikir sebenarnya Ardi itu pria macam apa? Satu macam atau macam-macam? Kenapa pakai alasan istri sakit untuk ambil cuti? Nggak paham aku, Al? Kamu baik-baik saja, kan?" Alya menggeleng. "Sejak kapan Mas Ardi cuti?" "Hem, ya belum ada seminggu sih. Tapi ini pas banget di moment gawat darurat. CEO killer itu bisa meradang kalau Ardi nggak cepat masuk. Tamat riwayatnya! Dipecat secara tidak hormat sambil ditend4ng jauh dan dapat coretan merah nanti. Bakal susah cari kerjaan di tempat lain nanti." "Aku juga nggak tahu kalau Mas Ardi ambil cuti, Sind. Tiga bulan dia nggak pulang dan katanya sedang ada tugas kantor mengurus masalah proyek luar kota. Selama tiga bulan itu pun aku jarang komunikasi. Jika aku kirim pesan hari ini, bisa jadi berhari-hari atau seminggu baru dibalas. Alasannya sinyal dan sangat sibuk. Entahlah kenapa malah seperti ini?" Alya menyeka ujung pelupuk matanya dengan punggung tangan. Sindy yang hendak menyuap mengurungkan lagi. Dia sedikit menghentak sendoknya keras pada piring. "Tugas proyek luar kota? Ngayal banget. Nggak ada cerita Ardi dikirim ke luar kota, Al. Kamu itu jadi istri jangan terlalu percaya sama suami. Aku jadi penasaran memangnya Ardi kemana saja, terus ngapain? Atau ... dia ada masalah besar yang nggak mau kamu terlibat? Ah, entahlah. Yang aku kenal Ardi pria baik-baik dan nggak suka godain karyawan wanita selama ini. Aku nggak tahu harus berpikir mulai dari mana soal suamimu, Al. Dia misterius banget." "Biar aku saja yang mencari tahu. Kamu cukup kabari aku jika suamiku sudah mulai bekerja atau ada kabar apa pun yang menyangkut Mas Ardi. Aku belum mau menyimpulkan apa alasan Mas Ardi melakukan semua ini karena banyak puzzle yang harus aku satukan dulu." "Ok, sip. Dan sekarang baru nyadar 'kan, kalau kamu dilarang save kontakku karena apa? Karena dia nggak mau kamu punya mata-mata di tempat kerjanya. Semoga apa yang kamu temukan bukan kabar buruk. Ardi adalah Ardi yang kita kenal. Aku nggak rela jika wanita cantik dan tulus sepertimu dilukai pria yang bermuka dua." Sindy, dia wanita yang suka bicara apa adanya dan ada di pihak Alya. "Makasih, Sind. Aku senang kamu mau mengerti keadaanku." Alya menghembus nafas panjang dari mulut. "Percaya pada suamimu itu memang penting, karena kepercayaan memang yang dibutuhkan dalam berumah tangga. Tapi, jangan serta merta kamu loss 'kan saja suamimu. Pikiran positif itu harus, tapi kamu harus punya sisi waspada dan sedikit curiga. Selalu ikuti juga perasaanmu, karena firasat seorang istri pada suaminya sangat tajam." "Aku mengerti." Alya sengaja tidak menceritakan dahulu tentang Daffa pada Sindy karena tidak mau masalah merepet dan menyebar luas dahulu sebelum semua diketahui kebenarannya. Bantuan Sindy sangat berarti untuk Alya. Sekarang mereka sudah saling simpan nomor. --- Selepas menemui Sindy, Alya menuju ke pusat perbelanjaan. Dia telah membuat sebuah rencana lain dan sekarang harus membuat persiapan matang juga. Alya masuk ke sebuah swalayan, dia mendorong troli dan masuk ke lorong jajaran kebutuhan bayi. Ya, dia akan melengkapi bahkan membuat banyak stok susu, popok dan kebutuhan Daffa lainnya. "Eh ada Alya. Kamu ngapain ada di lorong ini? Mau beli susu bayi? Ehm, pasti buat kado. Ya, kan? Soalnya kamu saja nikah udah lama nggak hamil-hamil. Mana mungkin mendadak punya bayi tanpa hamidun." Seorang wanita yang juga ada di lorong itu memulai percakapan dengan nada dan kalimat sengit. Dia tetangga dengan jarak ruang lumayan jauh, tapi beberapa kali bertemu saat acara arisan. Alya menghela nafas dan tersenyum tipis. "Sore, Mbak. Selamat belanja." Hanya itu, dan Alya melanjutkan mendorong troli. Pandangannya fokus pada jajaran kaleng susu pada rak. Tetangga itu bersama orang lain. Mereka sama-sama membenci wanita cantik tapi terlalu diam dan punya suami tampan dan kaya. "Ehem! Eh, Bu. Kira-kira kenapa udah nikah setahun tapi perut masih datar dan cuma isi makanan?" Dia sengaja meninggikan suara karena tahu Alya masih di sisi mereka meski posisinya membelakangi. "Ya, kalau nggak mandul ya suaminya punya istri lain. Apalagi?" Disambut kikikan lirih. Deg! Dada Alya bagai kena tikaman pada luka yang masih mengaga. Mereka juga telah menabur garam. Perih, pikiran Alya kembali ingin mengarah pada apa yang mereka bicarakan. Sedang apa Ardi, di mana suaminya, dan bersama siapa sebenarnya? Hatinya semakin sesak. Wanita itu sebentar mendongak dengan hembusan nafas lirih dari mulut. 'Astagfirullah hal adzim. Sabarkanlah hati hambamu ini ya Allah ...,' rintih batinnya. Dia pasrahkan segalanya pada yang kuasa. "Harusnya sih dia istri orang kaya. Suaminya punya kerjaan kantoran dan posisi tinggi, tapi kenapa bisa malah kurusan? Pasti tiap hari makan ati. Makanya, Bu, kita itu jadi istri harus selalu jaga penampilan. Rawat wajah, pasang body ok, biar suami betah di rumah. Udah lama aku nggak lihat suaminya di rumah, eh sekarang ketemu-ketemu beli perlengkapan bayi sendirian lagi. Aneh banget, kan?" "Wah, kalau nggak buat kado berarti dia punya anak? Mungkin adopsi bayi kali biar nggak kesepian. Kalau gitu sekalian kita beli aja sesuatu buat tengok bayi dia nanti. Itung-itung jadi tetangga yang baik." "Ide bangus!" Suara mereka semakin samar karena Alya terus melangkah pelan mendorong troli sambil menurunkan beberapa perlengkapan bayi pada trolinya. Akan tetapi, Alya masih paham dengan apa yang mereka bicarakan. Biarlah mereka menyuarakan seperti apa pikirannya, karena Alya terlalu tangguh untuk mengumbar suara lantang meladeni orang seperti mereka. Susu, popok, minyak dan banyak lagi telah memenuhi bagasi taksi yang dipesan Alya. Wanita itu kembali ke rumah. --- Di rumah. "Mbok, maaf, beberapa hari ini Mbok Sari dan Pak Karto harus direpotkan soal Daffa. Aku akan pergi mencari jejak Mas Ardi. Jika ada yang datang, bilang saja aku sedang pergi ke luar kota dan tak paham urusannya. Jika ada yang tanya siapa bayi ini, jawaban saja anak keluarga simbok biar mereka nggak banyak tanya." "Baik, Bu." Dengan bergetar Alya meraih Daffa dari gendongan Mbok Sari. Wanita berhati lembut itu mencoba bersahabat dengan bayi yang membawa replika wajah suaminya. "Tetaplah di sini sampai kamu mendapat tempat yang tepat." Alya menatap intens wajah Daffa yang terlelap. --- Alya telah mengepak barang di koper. Dia siap untuk mencari keberadaan suaminya kini. Wanita memegang sebuah struk belanja dan kartu jaga pasien yang telah jelas berasal dari daerah yang sama. [Mas, apa kamu sudah sampai? Katanya mau telepon sebelum sampai, kenapa Samapi sekarang belum ada kabar?] Pesan terkirim pada sang suami. Alya memegang ponselnya dan menarik koper meninggalkan rumahnya.Wanita bisa sangat setia dan menjadi goyah lantas dingin tergantung bagaimana pasangannya.Alya telah turun di sebuah hotel sederhana. Tak seperti yang mereka lihat. Jabatan suaminya tak setinggi itu dan uang yang diberikan sang suami juga tidak banyak. Uang yang dipakai Alya saat ini adalah hasil dari tabungannya. "Ini cukup." Alya mengedar pandangan di kamar hotel standard room yang di pesannya. Lantas dia duduk di sisi r4njang untuk melepas penat.Ini sudah petang dan Alya memutuskan untuk memulai besok lagi sejak pagi. Dia juga butuh istirahat dan saat ini sangat ingin sendiri duduk meringkuk, larut dengan gejolak rasa dan kalutnya pikiran.Seperti sekarang ini, Alya menggeser duduknya hingga bersandar pada headboard. Dia tekuk lututnya dan meringkuk dengan tangan memeluk dua kaki itu. Kepalanya direbahkan bertumpu dua lutut. Pandangan kosong.'Mas, apa mencintaimu dengan tulus serta setia saja tidak cukup? Benarkah dengan apa yang mereka katakan jika aku memang tak layak dipanda
Wanita itu merem4s tangannya. Dia benar-benar menahan sakit. D4danya seperti ada tusvkan jarum begitu banyak dan tak berhenti. Sesekali seolah ada bilah pisau yang meny4yat jika dia membayangkan kalau ... kalau saja nanti benar-benar mendapati suami yang dicintainya sedang bersama wanita lain.Alya menunduk dengan tangan bertaut di atas pangkuan. Bulir-bulir bening telah menetes membasahi tangan yang bergetar itu.Pria di sisinya melebarkan mata. Dia mencebik malas tak mau ada drama lagi. "Van! Percepat lagi! Wanita ini sudah kes4kitan. Aku tidak mau dia pingsan atau kenapa di mobilku!" seru pria tampan berahang tegas itu. Pria itu lantas menatap tajam Alya yang tak menatapnya sedari tadi. Tangannya mengepal kuat karena gumpalan gemuruh rasa yang muncul. Aneh, sangat aneh. Kenapa ada wanita yang tak merespon keberadaannya? Dia tak terima dan semakin geram.Alya menoleh. Dia menatap sesaat si pemilik mata elang itu, lantas memalingkan pandangannya. "Terima kasih," lirihnya bergetar. D
"Kamu sudah dapat data-data wanita itu, Van?""Sudah, Tuan." Ivan menyodorkan tablet pada tuannya.Pria itu mengernyit dan menatap sekian lama data wanita itu. Bersuami. Seperti ada besitan rasa kecewa samar yang terlintas di d4danya."Ehem! Jadi suaminya bekerja di perusahaan kita?" Pria itu sedikit mengendorkan dasi."Iya, Tuan. Dan suaminya baru mengajukan cuti selama beberapa hari ini."Pria itu merapikan jasnya. Tak ada kata lagi yang keluar. ---Sebelum Alya bertemu dengan dengan pria itu, dia terlebih dahulu dibantu seorang wanita untuk berganti baju di salah satu ruangan. Tak hanya baju, Alya juga disediakan sendal slop flat.'Baguslah, aku nggak perlu pakai pakaian penuh d4rah untuk berkeliling rumah sakit ini.' Alya tersenyum dengan mata berkaca membayangkan Ardi. Selangkah lagi dia telah mendekati kebenaran. Apa nanti benar-benar akan kuat? Harus kuat! Wanita itu terus menguatkan hatinya.Lantas Alya didorong kembali untuk menemui pria itu.Saat tiba di sebuah lobi. Sekele
Dunia Alya seketika runtuh. Rasa cinta yang telah dipupuk dan dirawat sekian lama itu kian menguap.Hatinya yang terpaut dalam suka duka kini terjerembab dalam luka yang dalam. Rasa cinta itu kini bagai petir yang menyambar menghancurkan hidupnya.Batinnya menjerit sakit. Dia telah terperangkap dalam lubang kekecewaan dan kepedihan.Nyeri .... Rasa itu bahkan tak bisa digambarkan lagi dalam lisannya. Cairan bening itu luruh tanpa iringan isakan."Alya!" teriak Bara dengan mata lebar. Dia gusar sendiri melihat reaksi wanita itu. Lantas, pria itu sengaja mendekat dan mencoba memahami apa yang ada dalam rekaman. Sebuah praduga telah dia simpan dalam pikiran.Alya mencoba menguatkan hati dan pikirannya. Jiwa raganya tak boleh tumbang di tempat yang salah. Wanita itu memungut puing-puing hatinya yang hancur. "Akh!" Seolah ada say4tan puing kaca di dad4nya. Wanita itu kini merangkup wajahnya dengan getaran isakan rendah. Bergetar, hingga bahunya bergerak.Bara menyuruh bawahannya yang lain
Istri pendarahan setelah melahirkan. Kata-kata itu terus terngiang dalam benak Alya. Yang jelas kata istri, dia juga istri Ardi. Namun, melahirkan? Dia malah tidak boleh hamil untuk saat ini. Lantas, benarkah wanita itu juga menyandang status istri untuk suaminya?'Mas ... tega kamu!' nyeri batin Alya.Alya merem4s kuat jas belakang milik Bara. Dia membekap kuat mulutnya agar tangisnya tidak pecah. Satu langkah tatih, Alya merapatkan dirinya ke punggung Bara. D4danya semakin sesak. Dia menekan kuat rahang dan bekapannya."Istrimu?" Bara mengulang tanya. Tatapannya tajam pada Ardi. Entah kenapa dia geram dan miris dengan pria yang ada di hadapannya itu.Ardi mengangguk. "Benar, Tuan. Baru beberapa hari ini dan keluarga saya jauh. Jadi terpaksa saya menjaganya sendiri. Tapi, saya aja segera masuk kerja lagi. Kebetulan kondisi istri saya juga telah membaik."Alya tak kuat lagi mendengar pengakuan lebih, tapi dia masih ingin mengetahui soal penghianatan suaminya selama ini. 'Tega kamu, Ma
Rasa cinta itu ... kita mampu menyakiti diri agar dia yang kita cintai tidak menangis. Bagaimana jika ada suami menggunakan kain sutra untuk membalut bel4ti tajam ke arah istrinya? Seperti Ardi. Ternyata kelembutannya tak semanis yang selama ini Alya rasakan.Sedang Bara, pria yang terusik hatinya tanpa sebab yang jelas. Sampai dia penasaran kenapa mau membuang waktu berharganya hanya untuk istri orang.---Sebelum Bara datang ke rumah sakit.Bara tinggal di hotel mewah selama menyelesaikan pekerjaan di daerah itu."Kapan jadwalku kembali ke pusat kota?""Nanti sore, Tuan.""Kalau begitu hari ini aku harus benar-benar melakukan pekerjaan dengan baik."Ivan mengangguk. "Akan saya atur sesuai keinginan Anda."Bara menatap pantulan dirinya pada cermin panjang. "Bagaimana menurutmu soal tindakanku kemarin pada wanita yang jelas bukan tanggung jawabku? Katakan yang benar!"Ivan menarik nafas dalam. "Maaf, Tuan. Anda sedikit berlebihan."Bara mengeratkan giginya. "Sudah kuduga. Aku hampir
Suami selingkuh, lantas anak hasil selingkuhannya dibawa pulang agar dirawat Alya. Kini suaminya bilang pada keluarganya kalau anak itu adalah buah hati dan buah cinta mereka. Bagaimana cara Alya bisa menerima semua itu? Miris! Wanita dianjurkan untuk menjadi istri yang baik. Menjadi pelipur lara, tempat berkeluh kesah, dan jadi pengertian pada suami. Namun, jika seperti ini, haruskah Alya jadi istri jahat?Bahkan Bara pun tertawa lepas. "Baru kali ini aku tertarik pada drama rumah tangga. Jujur aku lebih suka nonton film trailer, tapi ... kamu membuatku sangat ingin tertawa. Ternyata drama rumah tangga selucu ini."Alya juga terkekeh dengan mata berkaca."Memang lucu. Sangat lucu. Aku saja terus menertawakan diriku. Lucu sekali!"Bara beranjak. Dia mendorong kursi roda ke dekat Alya."Selesaikan urusanmu dulu. Setidaknya kamu bisa menurunkan level kebod0hanmu di mata suamimu yang sangat pintar dan baik hati itu."Selang beberapa saat. Alya telah berganti pakaian. Dia juga memakai ma
'Urusan dengan Mas Ardi harus aku selesaikan dulu. Setelah itu aku sendiri yang akan membuka topeng suamiku pada keluarganya,' batin Alya."Kakimu kenapa, Alya? Ardi nggak bilang kamu terluka. Kamu istirahat dulu biar baikan." Hadi-ayah mertua Alya baru menyadari balutan perban di kaki menantunya."Makasih, Yah. Aku nggak apa-apa. Ini sudah membaik.""Wah, semakin aneh dunia ini. Untung Ibu datang tanpa kabar, jadi tahu seperti apa kelakuan istri Ardi sebenarnya. Ayah jangan terkecoh dengan luka kecil seperti itu, Ibu yakin itu karena kualat sama suami. Itu akibat istri bertingkah aneh-aneh di belakang suami. Pulang-pulang jadi pincang!" Ratih-ibu mertua yang selalu benci pada Alya."Maaf, Bu. Memang aku seperti apa?" Alya berjalan tertatih ke sofa, lalu duduk pelan."Bu, sudahlah. Kita hanya dulu kenapa Alya bisa mendapat luka ini.""Nggak bisa, Yah. Ibu tetap mau kasih tahu seperti apa dia. Ibu ini juga seorang istri, gak pernah punya tingkah seperti Alya."Hadi menghela nafas berat