Beranda / Pernikahan / Dibalik Diamnya Istri Ternyata .... / Bab 6. Kejutan Baru - Alya ke Rumah Sakit

Share

Bab 6. Kejutan Baru - Alya ke Rumah Sakit

Kejutan? Jika itu kejutan manis, semua istri sangat menantikannya. Namun, ini kejutan pait yang Alya harus telan dengan isakan.

Di sebuah restoran terdekat dengan perusahaan itu. Alya memilih private room agar bisa lebih leluasa bicara.

"Aku sudah memesan semuanya ini untukmu, Sind. Anggap ini traktiran karena lama kita nggak ketemu." Alya masih tersenyum dengan melihat bibirnya.

Sindy menghela nafasnya. "Katakan saja, aku ada di pihakmu karena kita sama-sama wanita. Sebenarnya sudah lama aku ingin datang ke rumahmu, tapi aku terlalu sibuk karena ada pergantian CEO baru. Semua dirombak. Ini salah itu salah. Huh! Aku sampai hampir frustasi. Dan aku juga mengkhawatirkan suamimu. Dia libur terlalu lama. Ya, memang itu jatah cuti tahunan, tapi CEO baru ini nggak suka karyawan model seperti itu." 

"CEO baru? Ternyata aku salah dengar. Dia pasti laki-laki, jadi jauh dan keluar dari kecurigaanku." 

"Sebenarnya apa yang terjadi pada kamu dan Ardi? Kenapa bisa dia cuti dan sulit dihubungi sama yang lain. Pake alesan kamu lagi. Saat aku lihat kamu tadi, aku benar-benar langsung nggak bisa mikir sebenarnya Ardi itu pria macam apa? Satu macam atau macam-macam? Kenapa pakai alasan istri sakit untuk ambil cuti? Nggak paham aku, Al? Kamu baik-baik saja, kan?"

Alya menggeleng. "Sejak kapan Mas Ardi cuti?"

"Hem, ya belum ada seminggu sih. Tapi ini pas banget di moment gawat darurat. CEO killer itu bisa meradang kalau Ardi nggak cepat masuk. Tamat riwayatnya! Dipecat secara tidak hormat sambil ditend4ng jauh dan dapat coretan merah nanti. Bakal susah cari kerjaan di tempat lain nanti."

"Aku juga nggak tahu kalau Mas Ardi ambil cuti, Sind. Tiga bulan dia nggak pulang dan katanya sedang ada tugas kantor mengurus masalah proyek luar kota. Selama tiga bulan itu pun aku jarang komunikasi. Jika aku kirim pesan hari ini, bisa jadi berhari-hari atau seminggu baru dibalas. Alasannya sinyal dan sangat sibuk. Entahlah kenapa malah seperti ini?" Alya menyeka ujung pelupuk matanya dengan punggung tangan.

Sindy yang hendak menyuap mengurungkan lagi. Dia sedikit menghentak sendoknya keras pada piring. "Tugas proyek luar kota? Ngayal banget. Nggak ada cerita Ardi dikirim ke luar kota, Al. Kamu itu jadi istri jangan terlalu percaya sama suami. Aku jadi penasaran memangnya Ardi kemana saja, terus ngapain? Atau ... dia ada masalah besar yang nggak mau kamu terlibat? Ah, entahlah. Yang aku kenal Ardi pria baik-baik dan nggak suka godain karyawan wanita selama ini. Aku nggak tahu harus berpikir mulai dari mana soal suamimu, Al. Dia misterius banget."

"Biar aku saja yang mencari tahu. Kamu cukup kabari aku jika suamiku sudah mulai bekerja atau ada kabar apa pun yang menyangkut Mas Ardi. Aku belum mau menyimpulkan apa alasan Mas Ardi melakukan semua ini karena banyak puzzle yang harus aku satukan dulu."

"Ok, sip. Dan sekarang baru nyadar 'kan, kalau kamu dilarang save kontakku karena apa? Karena dia nggak mau kamu punya mata-mata di tempat kerjanya. Semoga apa yang kamu temukan bukan kabar buruk. Ardi adalah Ardi yang kita kenal. Aku nggak rela jika wanita cantik dan tulus sepertimu dilukai pria yang bermuka dua." Sindy, dia wanita yang suka bicara apa adanya dan ada di pihak Alya.

"Makasih, Sind. Aku senang kamu mau mengerti keadaanku." Alya menghembus nafas panjang dari mulut.

"Percaya pada suamimu itu memang penting, karena kepercayaan memang yang dibutuhkan dalam berumah tangga. Tapi, jangan serta merta kamu loss 'kan saja suamimu. Pikiran positif itu harus, tapi kamu harus punya sisi waspada dan sedikit curiga. Selalu ikuti juga perasaanmu, karena firasat seorang istri pada suaminya sangat tajam."

"Aku mengerti." Alya sengaja tidak menceritakan dahulu tentang Daffa pada Sindy karena tidak mau masalah merepet dan menyebar luas dahulu sebelum semua diketahui kebenarannya.

Bantuan Sindy sangat berarti untuk Alya. Sekarang mereka sudah saling simpan nomor.

---

Selepas menemui Sindy, Alya menuju ke pusat perbelanjaan. Dia telah membuat sebuah rencana lain dan sekarang harus membuat persiapan matang juga.

Alya masuk ke sebuah swalayan, dia mendorong troli dan masuk ke lorong jajaran kebutuhan bayi. Ya, dia akan melengkapi bahkan membuat banyak stok susu, popok dan kebutuhan Daffa lainnya.

"Eh ada Alya. Kamu ngapain ada di lorong ini? Mau beli susu bayi? Ehm, pasti buat kado. Ya, kan? Soalnya kamu saja nikah udah lama nggak hamil-hamil. Mana mungkin mendadak punya bayi tanpa hamidun." Seorang wanita yang juga ada di lorong itu memulai percakapan dengan nada dan kalimat sengit. Dia tetangga dengan jarak ruang lumayan jauh, tapi beberapa kali bertemu saat acara arisan.

Alya menghela nafas dan tersenyum tipis.

"Sore, Mbak. Selamat belanja." Hanya itu, dan Alya melanjutkan mendorong troli.

Pandangannya fokus pada jajaran kaleng susu pada rak.

Tetangga itu bersama orang lain. Mereka sama-sama membenci wanita cantik tapi terlalu diam dan punya suami tampan dan kaya.

"Ehem! Eh, Bu. Kira-kira kenapa udah nikah setahun tapi perut masih datar dan cuma isi makanan?" Dia sengaja meninggikan suara karena tahu Alya masih di sisi mereka meski posisinya membelakangi.

"Ya, kalau nggak mandul ya suaminya punya istri lain. Apalagi?" Disambut kikikan lirih.

Deg! Dada Alya bagai kena tikaman pada luka yang masih mengaga. Mereka juga telah menabur garam. Perih, pikiran Alya kembali ingin mengarah pada apa yang mereka bicarakan. Sedang apa Ardi, di mana suaminya, dan bersama siapa sebenarnya? Hatinya semakin sesak. Wanita itu sebentar mendongak dengan hembusan nafas lirih dari mulut.

'Astagfirullah hal adzim. Sabarkanlah hati hambamu ini ya Allah ...,' rintih batinnya. Dia pasrahkan segalanya pada yang kuasa.

"Harusnya sih dia istri orang kaya. Suaminya punya kerjaan kantoran dan posisi tinggi, tapi kenapa bisa malah kurusan? Pasti tiap hari makan ati. Makanya, Bu, kita itu jadi istri harus selalu jaga penampilan. Rawat wajah, pasang body ok, biar suami betah di rumah. Udah lama aku nggak lihat suaminya di rumah, eh sekarang ketemu-ketemu beli perlengkapan bayi sendirian lagi. Aneh banget, kan?"

"Wah, kalau nggak buat kado berarti dia punya anak? Mungkin adopsi bayi kali biar nggak kesepian. Kalau gitu sekalian kita beli aja sesuatu buat tengok bayi dia nanti. Itung-itung jadi tetangga yang baik."

"Ide bangus!"

Suara mereka semakin samar karena Alya terus melangkah pelan mendorong troli sambil menurunkan beberapa perlengkapan bayi pada trolinya. Akan tetapi, Alya masih paham dengan apa yang mereka bicarakan.

Biarlah mereka menyuarakan seperti apa pikirannya, karena Alya terlalu tangguh untuk mengumbar suara lantang meladeni orang seperti mereka.

Susu, popok, minyak dan banyak lagi telah memenuhi bagasi taksi yang dipesan Alya. Wanita itu kembali ke rumah.

---

Di rumah. 

"Mbok, maaf, beberapa hari ini Mbok Sari dan Pak Karto harus direpotkan soal Daffa. Aku akan pergi mencari jejak Mas Ardi. Jika ada yang datang, bilang saja aku sedang pergi ke luar kota dan tak paham urusannya. Jika ada yang tanya siapa bayi ini, jawaban saja anak keluarga simbok biar mereka nggak banyak tanya."

"Baik, Bu."

Dengan bergetar Alya meraih Daffa dari gendongan Mbok Sari. Wanita berhati lembut itu mencoba bersahabat dengan bayi yang membawa replika wajah suaminya.

"Tetaplah di sini sampai kamu mendapat tempat yang tepat." Alya menatap intens wajah Daffa yang terlelap.

---

Alya telah mengepak barang di koper. Dia siap untuk mencari keberadaan suaminya kini. Wanita memegang sebuah struk belanja dan kartu jaga pasien yang telah jelas berasal dari daerah yang sama.

[Mas, apa kamu sudah sampai? Katanya mau telepon sebelum sampai, kenapa Samapi sekarang belum ada kabar?] Pesan terkirim pada sang suami.

Alya memegang ponselnya dan menarik koper meninggalkan rumahnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lilis Kaniasari
hayoh bangkit Alya jadilah wanita tegar dan kuat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status