Kejutan? Jika itu kejutan manis, semua istri sangat menantikannya. Namun, ini kejutan pait yang Alya harus telan dengan isakan.
Di sebuah restoran terdekat dengan perusahaan itu. Alya memilih private room agar bisa lebih leluasa bicara. "Aku sudah memesan semuanya ini untukmu, Sind. Anggap ini traktiran karena lama kita nggak ketemu." Alya masih tersenyum dengan melihat bibirnya. Sindy menghela nafasnya. "Katakan saja, aku ada di pihakmu karena kita sama-sama wanita. Sebenarnya sudah lama aku ingin datang ke rumahmu, tapi aku terlalu sibuk karena ada pergantian CEO baru. Semua dirombak. Ini salah itu salah. Huh! Aku sampai hampir frustasi. Dan aku juga mengkhawatirkan suamimu. Dia libur terlalu lama. Ya, memang itu jatah cuti tahunan, tapi CEO baru ini nggak suka karyawan model seperti itu." "CEO baru? Ternyata aku salah dengar. Dia pasti laki-laki, jadi jauh dan keluar dari kecurigaanku." "Sebenarnya apa yang terjadi pada kamu dan Ardi? Kenapa bisa dia cuti dan sulit dihubungi sama yang lain. Pake alesan kamu lagi. Saat aku lihat kamu tadi, aku benar-benar langsung nggak bisa mikir sebenarnya Ardi itu pria macam apa? Satu macam atau macam-macam? Kenapa pakai alasan istri sakit untuk ambil cuti? Nggak paham aku, Al? Kamu baik-baik saja, kan?" Alya menggeleng. "Sejak kapan Mas Ardi cuti?" "Hem, ya belum ada seminggu sih. Tapi ini pas banget di moment gawat darurat. CEO killer itu bisa meradang kalau Ardi nggak cepat masuk. Tamat riwayatnya! Dipecat secara tidak hormat sambil ditend4ng jauh dan dapat coretan merah nanti. Bakal susah cari kerjaan di tempat lain nanti." "Aku juga nggak tahu kalau Mas Ardi ambil cuti, Sind. Tiga bulan dia nggak pulang dan katanya sedang ada tugas kantor mengurus masalah proyek luar kota. Selama tiga bulan itu pun aku jarang komunikasi. Jika aku kirim pesan hari ini, bisa jadi berhari-hari atau seminggu baru dibalas. Alasannya sinyal dan sangat sibuk. Entahlah kenapa malah seperti ini?" Alya menyeka ujung pelupuk matanya dengan punggung tangan. Sindy yang hendak menyuap mengurungkan lagi. Dia sedikit menghentak sendoknya keras pada piring. "Tugas proyek luar kota? Ngayal banget. Nggak ada cerita Ardi dikirim ke luar kota, Al. Kamu itu jadi istri jangan terlalu percaya sama suami. Aku jadi penasaran memangnya Ardi kemana saja, terus ngapain? Atau ... dia ada masalah besar yang nggak mau kamu terlibat? Ah, entahlah. Yang aku kenal Ardi pria baik-baik dan nggak suka godain karyawan wanita selama ini. Aku nggak tahu harus berpikir mulai dari mana soal suamimu, Al. Dia misterius banget." "Biar aku saja yang mencari tahu. Kamu cukup kabari aku jika suamiku sudah mulai bekerja atau ada kabar apa pun yang menyangkut Mas Ardi. Aku belum mau menyimpulkan apa alasan Mas Ardi melakukan semua ini karena banyak puzzle yang harus aku satukan dulu." "Ok, sip. Dan sekarang baru nyadar 'kan, kalau kamu dilarang save kontakku karena apa? Karena dia nggak mau kamu punya mata-mata di tempat kerjanya. Semoga apa yang kamu temukan bukan kabar buruk. Ardi adalah Ardi yang kita kenal. Aku nggak rela jika wanita cantik dan tulus sepertimu dilukai pria yang bermuka dua." Sindy, dia wanita yang suka bicara apa adanya dan ada di pihak Alya. "Makasih, Sind. Aku senang kamu mau mengerti keadaanku." Alya menghembus nafas panjang dari mulut. "Percaya pada suamimu itu memang penting, karena kepercayaan memang yang dibutuhkan dalam berumah tangga. Tapi, jangan serta merta kamu loss 'kan saja suamimu. Pikiran positif itu harus, tapi kamu harus punya sisi waspada dan sedikit curiga. Selalu ikuti juga perasaanmu, karena firasat seorang istri pada suaminya sangat tajam." "Aku mengerti." Alya sengaja tidak menceritakan dahulu tentang Daffa pada Sindy karena tidak mau masalah merepet dan menyebar luas dahulu sebelum semua diketahui kebenarannya. Bantuan Sindy sangat berarti untuk Alya. Sekarang mereka sudah saling simpan nomor. --- Selepas menemui Sindy, Alya menuju ke pusat perbelanjaan. Dia telah membuat sebuah rencana lain dan sekarang harus membuat persiapan matang juga. Alya masuk ke sebuah swalayan, dia mendorong troli dan masuk ke lorong jajaran kebutuhan bayi. Ya, dia akan melengkapi bahkan membuat banyak stok susu, popok dan kebutuhan Daffa lainnya. "Eh ada Alya. Kamu ngapain ada di lorong ini? Mau beli susu bayi? Ehm, pasti buat kado. Ya, kan? Soalnya kamu saja nikah udah lama nggak hamil-hamil. Mana mungkin mendadak punya bayi tanpa hamidun." Seorang wanita yang juga ada di lorong itu memulai percakapan dengan nada dan kalimat sengit. Dia tetangga dengan jarak ruang lumayan jauh, tapi beberapa kali bertemu saat acara arisan. Alya menghela nafas dan tersenyum tipis. "Sore, Mbak. Selamat belanja." Hanya itu, dan Alya melanjutkan mendorong troli. Pandangannya fokus pada jajaran kaleng susu pada rak. Tetangga itu bersama orang lain. Mereka sama-sama membenci wanita cantik tapi terlalu diam dan punya suami tampan dan kaya. "Ehem! Eh, Bu. Kira-kira kenapa udah nikah setahun tapi perut masih datar dan cuma isi makanan?" Dia sengaja meninggikan suara karena tahu Alya masih di sisi mereka meski posisinya membelakangi. "Ya, kalau nggak mandul ya suaminya punya istri lain. Apalagi?" Disambut kikikan lirih. Deg! Dada Alya bagai kena tikaman pada luka yang masih mengaga. Mereka juga telah menabur garam. Perih, pikiran Alya kembali ingin mengarah pada apa yang mereka bicarakan. Sedang apa Ardi, di mana suaminya, dan bersama siapa sebenarnya? Hatinya semakin sesak. Wanita itu sebentar mendongak dengan hembusan nafas lirih dari mulut. 'Astagfirullah hal adzim. Sabarkanlah hati hambamu ini ya Allah ...,' rintih batinnya. Dia pasrahkan segalanya pada yang kuasa. "Harusnya sih dia istri orang kaya. Suaminya punya kerjaan kantoran dan posisi tinggi, tapi kenapa bisa malah kurusan? Pasti tiap hari makan ati. Makanya, Bu, kita itu jadi istri harus selalu jaga penampilan. Rawat wajah, pasang body ok, biar suami betah di rumah. Udah lama aku nggak lihat suaminya di rumah, eh sekarang ketemu-ketemu beli perlengkapan bayi sendirian lagi. Aneh banget, kan?" "Wah, kalau nggak buat kado berarti dia punya anak? Mungkin adopsi bayi kali biar nggak kesepian. Kalau gitu sekalian kita beli aja sesuatu buat tengok bayi dia nanti. Itung-itung jadi tetangga yang baik." "Ide bangus!" Suara mereka semakin samar karena Alya terus melangkah pelan mendorong troli sambil menurunkan beberapa perlengkapan bayi pada trolinya. Akan tetapi, Alya masih paham dengan apa yang mereka bicarakan. Biarlah mereka menyuarakan seperti apa pikirannya, karena Alya terlalu tangguh untuk mengumbar suara lantang meladeni orang seperti mereka. Susu, popok, minyak dan banyak lagi telah memenuhi bagasi taksi yang dipesan Alya. Wanita itu kembali ke rumah. --- Di rumah. "Mbok, maaf, beberapa hari ini Mbok Sari dan Pak Karto harus direpotkan soal Daffa. Aku akan pergi mencari jejak Mas Ardi. Jika ada yang datang, bilang saja aku sedang pergi ke luar kota dan tak paham urusannya. Jika ada yang tanya siapa bayi ini, jawaban saja anak keluarga simbok biar mereka nggak banyak tanya." "Baik, Bu." Dengan bergetar Alya meraih Daffa dari gendongan Mbok Sari. Wanita berhati lembut itu mencoba bersahabat dengan bayi yang membawa replika wajah suaminya. "Tetaplah di sini sampai kamu mendapat tempat yang tepat." Alya menatap intens wajah Daffa yang terlelap. --- Alya telah mengepak barang di koper. Dia siap untuk mencari keberadaan suaminya kini. Wanita memegang sebuah struk belanja dan kartu jaga pasien yang telah jelas berasal dari daerah yang sama. [Mas, apa kamu sudah sampai? Katanya mau telepon sebelum sampai, kenapa Samapi sekarang belum ada kabar?] Pesan terkirim pada sang suami. Alya memegang ponselnya dan menarik koper meninggalkan rumahnya.Wanita bisa sangat setia dan menjadi goyah lantas dingin tergantung bagaimana pasangannya.Alya telah turun di sebuah hotel sederhana. Tak seperti yang mereka lihat. Jabatan suaminya tak setinggi itu dan uang yang diberikan sang suami juga tidak banyak. Uang yang dipakai Alya saat ini adalah hasil dari tabungannya. "Ini cukup." Alya mengedar pandangan di kamar hotel standard room yang di pesannya. Lantas dia duduk di sisi r4njang untuk melepas penat.Ini sudah petang dan Alya memutuskan untuk memulai besok lagi sejak pagi. Dia juga butuh istirahat dan saat ini sangat ingin sendiri duduk meringkuk, larut dengan gejolak rasa dan kalutnya pikiran.Seperti sekarang ini, Alya menggeser duduknya hingga bersandar pada headboard. Dia tekuk lututnya dan meringkuk dengan tangan memeluk dua kaki itu. Kepalanya direbahkan bertumpu dua lutut. Pandangan kosong.'Mas, apa mencintaimu dengan tulus serta setia saja tidak cukup? Benarkah dengan apa yang mereka katakan jika aku memang tak layak dipanda
Wanita itu merem4s tangannya. Dia benar-benar menahan sakit. D4danya seperti ada tusvkan jarum begitu banyak dan tak berhenti. Sesekali seolah ada bilah pisau yang meny4yat jika dia membayangkan kalau ... kalau saja nanti benar-benar mendapati suami yang dicintainya sedang bersama wanita lain.Alya menunduk dengan tangan bertaut di atas pangkuan. Bulir-bulir bening telah menetes membasahi tangan yang bergetar itu.Pria di sisinya melebarkan mata. Dia mencebik malas tak mau ada drama lagi. "Van! Percepat lagi! Wanita ini sudah kes4kitan. Aku tidak mau dia pingsan atau kenapa di mobilku!" seru pria tampan berahang tegas itu. Pria itu lantas menatap tajam Alya yang tak menatapnya sedari tadi. Tangannya mengepal kuat karena gumpalan gemuruh rasa yang muncul. Aneh, sangat aneh. Kenapa ada wanita yang tak merespon keberadaannya? Dia tak terima dan semakin geram.Alya menoleh. Dia menatap sesaat si pemilik mata elang itu, lantas memalingkan pandangannya. "Terima kasih," lirihnya bergetar. D
"Kamu sudah dapat data-data wanita itu, Van?""Sudah, Tuan." Ivan menyodorkan tablet pada tuannya.Pria itu mengernyit dan menatap sekian lama data wanita itu. Bersuami. Seperti ada besitan rasa kecewa samar yang terlintas di d4danya."Ehem! Jadi suaminya bekerja di perusahaan kita?" Pria itu sedikit mengendorkan dasi."Iya, Tuan. Dan suaminya baru mengajukan cuti selama beberapa hari ini."Pria itu merapikan jasnya. Tak ada kata lagi yang keluar. ---Sebelum Alya bertemu dengan dengan pria itu, dia terlebih dahulu dibantu seorang wanita untuk berganti baju di salah satu ruangan. Tak hanya baju, Alya juga disediakan sendal slop flat.'Baguslah, aku nggak perlu pakai pakaian penuh d4rah untuk berkeliling rumah sakit ini.' Alya tersenyum dengan mata berkaca membayangkan Ardi. Selangkah lagi dia telah mendekati kebenaran. Apa nanti benar-benar akan kuat? Harus kuat! Wanita itu terus menguatkan hatinya.Lantas Alya didorong kembali untuk menemui pria itu.Saat tiba di sebuah lobi. Sekele
Dunia Alya seketika runtuh. Rasa cinta yang telah dipupuk dan dirawat sekian lama itu kian menguap.Hatinya yang terpaut dalam suka duka kini terjerembab dalam luka yang dalam. Rasa cinta itu kini bagai petir yang menyambar menghancurkan hidupnya.Batinnya menjerit sakit. Dia telah terperangkap dalam lubang kekecewaan dan kepedihan.Nyeri .... Rasa itu bahkan tak bisa digambarkan lagi dalam lisannya. Cairan bening itu luruh tanpa iringan isakan."Alya!" teriak Bara dengan mata lebar. Dia gusar sendiri melihat reaksi wanita itu. Lantas, pria itu sengaja mendekat dan mencoba memahami apa yang ada dalam rekaman. Sebuah praduga telah dia simpan dalam pikiran.Alya mencoba menguatkan hati dan pikirannya. Jiwa raganya tak boleh tumbang di tempat yang salah. Wanita itu memungut puing-puing hatinya yang hancur. "Akh!" Seolah ada say4tan puing kaca di dad4nya. Wanita itu kini merangkup wajahnya dengan getaran isakan rendah. Bergetar, hingga bahunya bergerak.Bara menyuruh bawahannya yang lain
Istri pendarahan setelah melahirkan. Kata-kata itu terus terngiang dalam benak Alya. Yang jelas kata istri, dia juga istri Ardi. Namun, melahirkan? Dia malah tidak boleh hamil untuk saat ini. Lantas, benarkah wanita itu juga menyandang status istri untuk suaminya?'Mas ... tega kamu!' nyeri batin Alya.Alya merem4s kuat jas belakang milik Bara. Dia membekap kuat mulutnya agar tangisnya tidak pecah. Satu langkah tatih, Alya merapatkan dirinya ke punggung Bara. D4danya semakin sesak. Dia menekan kuat rahang dan bekapannya."Istrimu?" Bara mengulang tanya. Tatapannya tajam pada Ardi. Entah kenapa dia geram dan miris dengan pria yang ada di hadapannya itu.Ardi mengangguk. "Benar, Tuan. Baru beberapa hari ini dan keluarga saya jauh. Jadi terpaksa saya menjaganya sendiri. Tapi, saya aja segera masuk kerja lagi. Kebetulan kondisi istri saya juga telah membaik."Alya tak kuat lagi mendengar pengakuan lebih, tapi dia masih ingin mengetahui soal penghianatan suaminya selama ini. 'Tega kamu, Ma
Rasa cinta itu ... kita mampu menyakiti diri agar dia yang kita cintai tidak menangis. Bagaimana jika ada suami menggunakan kain sutra untuk membalut bel4ti tajam ke arah istrinya? Seperti Ardi. Ternyata kelembutannya tak semanis yang selama ini Alya rasakan.Sedang Bara, pria yang terusik hatinya tanpa sebab yang jelas. Sampai dia penasaran kenapa mau membuang waktu berharganya hanya untuk istri orang.---Sebelum Bara datang ke rumah sakit.Bara tinggal di hotel mewah selama menyelesaikan pekerjaan di daerah itu."Kapan jadwalku kembali ke pusat kota?""Nanti sore, Tuan.""Kalau begitu hari ini aku harus benar-benar melakukan pekerjaan dengan baik."Ivan mengangguk. "Akan saya atur sesuai keinginan Anda."Bara menatap pantulan dirinya pada cermin panjang. "Bagaimana menurutmu soal tindakanku kemarin pada wanita yang jelas bukan tanggung jawabku? Katakan yang benar!"Ivan menarik nafas dalam. "Maaf, Tuan. Anda sedikit berlebihan."Bara mengeratkan giginya. "Sudah kuduga. Aku hampir
Suami selingkuh, lantas anak hasil selingkuhannya dibawa pulang agar dirawat Alya. Kini suaminya bilang pada keluarganya kalau anak itu adalah buah hati dan buah cinta mereka. Bagaimana cara Alya bisa menerima semua itu? Miris! Wanita dianjurkan untuk menjadi istri yang baik. Menjadi pelipur lara, tempat berkeluh kesah, dan jadi pengertian pada suami. Namun, jika seperti ini, haruskah Alya jadi istri jahat?Bahkan Bara pun tertawa lepas. "Baru kali ini aku tertarik pada drama rumah tangga. Jujur aku lebih suka nonton film trailer, tapi ... kamu membuatku sangat ingin tertawa. Ternyata drama rumah tangga selucu ini."Alya juga terkekeh dengan mata berkaca."Memang lucu. Sangat lucu. Aku saja terus menertawakan diriku. Lucu sekali!"Bara beranjak. Dia mendorong kursi roda ke dekat Alya."Selesaikan urusanmu dulu. Setidaknya kamu bisa menurunkan level kebod0hanmu di mata suamimu yang sangat pintar dan baik hati itu."Selang beberapa saat. Alya telah berganti pakaian. Dia juga memakai ma
'Urusan dengan Mas Ardi harus aku selesaikan dulu. Setelah itu aku sendiri yang akan membuka topeng suamiku pada keluarganya,' batin Alya."Kakimu kenapa, Alya? Ardi nggak bilang kamu terluka. Kamu istirahat dulu biar baikan." Hadi-ayah mertua Alya baru menyadari balutan perban di kaki menantunya."Makasih, Yah. Aku nggak apa-apa. Ini sudah membaik.""Wah, semakin aneh dunia ini. Untung Ibu datang tanpa kabar, jadi tahu seperti apa kelakuan istri Ardi sebenarnya. Ayah jangan terkecoh dengan luka kecil seperti itu, Ibu yakin itu karena kualat sama suami. Itu akibat istri bertingkah aneh-aneh di belakang suami. Pulang-pulang jadi pincang!" Ratih-ibu mertua yang selalu benci pada Alya."Maaf, Bu. Memang aku seperti apa?" Alya berjalan tertatih ke sofa, lalu duduk pelan."Bu, sudahlah. Kita hanya dulu kenapa Alya bisa mendapat luka ini.""Nggak bisa, Yah. Ibu tetap mau kasih tahu seperti apa dia. Ibu ini juga seorang istri, gak pernah punya tingkah seperti Alya."Hadi menghela nafas berat
"Mas, kamu menyuruhku bertemu dengan Mas Ardi di restoran? Jangan bercanda. Aku nggak mau." Alya melipat tangan di depan dada, raut wajahnya jelas penolakan."Sebenarnya aku kurang suka kamu menyebut pria itu 'Mas' bisakah kamu memanggil dengan sebutan lain?" Bara mengurai lipatan tangan istrinya, dan memegang dua tangan itu. Wajahnya menatap cemburu tak terima."Kayaknya sulit, Mas. Lagian aku panggil Mas bukan cuma sama Mas Ardi. Sama turir juga aku panggil Mas. Jangan berlebihan. Kita kembali ke pembahasan awal. Aku nggak mau ketemu dia.""Kamu nggak akan bertemu sama dia, Sayang. Kamu lihat saja nanti. Ikuti saja apa yang aku katakan.""Tapi jangan aneh-aneh, Mas." "Nggak akan."Bara mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan cepat untuk Ardi.[Besok, jam 8 malam, Eleven Night Restaurant, private room.]Balasan dari Ardi datang hanya beberapa detik kemudian. [Dengan senang hati.]Alya memperhatikan suaminya. Terlihat tenang, tapi gerak-geriknya mengundang tanya. "Mas, jujur saja. Ada
"Nona Julia, Anda pasti akan suka dengan kabar ini. Alya menerima kedatanganku dan sudah tidak membahas soal kesalahan masa lalu. Kami bahkan bertukar nomor telepon." Ardi berdiri menatap Julia dengan senyum tipis, tapi tatapan tajam."Duduk!" Julia memainkan gelas berkakinya.Ardi memilih kursi di depan Julia. Tidak seperti yang lain menunduk di hadapannya, Ardi duduk dengan punggung tegak, ekspresi datar tenang."Bara adalah teman masa kecilku. Aku juga sangat dekat dengan keluarganya. Orang tua Bara sering mengeluh padaku tentang bagaimana anak mereka berubah menjadi durhaka sejak Alya datang. Kamu pasti paham. Mantan istrimu tidak pantas jadi istri seorang Bara."Ardi mendengarkan tanpa banyak reaksi. Hanya mengangguk pelan, mengiyakan apa yang dikatakan Julia."Lantas kenapa dulu merestui hubungan mereka?"Julia malah tertawa. "Karena pengaruh Alya yang begitu kuat, Bara bahkan sampai hampir kehilangan nyawanya. Orang tua mana yang sanggup melihat anaknya sekarat hanya demi seora
[Saya ingin bertemu dengan istri Anda atau Anda, Tuan Bara. Kapan dan di mana, saya yang menentukan. Ardi.] Mendapat pesan seperti itu, darah Bara mendidih. Tak sabar menanti besok atau lusa lagi, pria itu langsung menekan kontak Ardi dan .... Tersambung. Dan langsung diangkat Ardi. "Berani sekali kamu mengirim pesan seperti itu padaku! Memangnya siapa kamu, ha?!" sentak Bara, tepat setelah tersambung. "Saya? Bisa jadi saya yang akan menyelamatkan Alya saat ini, Tuan." Ardi terdengar tertawa kecil. Hingga Bara semakin marah. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari Alya sekarang?Aku tahu trik murahan seorang mantan sepertimu. Kamu datang berlagak peduli." Ardi kembali tertawa kecil, seakan puas pada sesuatu hal pada Bara. "Tuan Bara, lebih baik kita bertemu langsung. Bicara dengan kepala dingin. Tidak perlu emosi di telepon seperti ini." "Ok, besok kita akan bertemu. Dan aku pastikan kamu akan terima akibatnya setelah berani muncul di depan istriku!" Bara langsung memutus
"Aku terpaksa harus keluar kota beberapa hari, padahal ada yang harus segera kuselesaikan. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal sebentar, Sayang?" Bara memeluk erat istrinya. Sungguh dia berat untuk meninggalkan Alya, tapi mau bagaimana lagi. Alya membalas pelukan itu dan mengangguk pelan. "Jangan lupa selalu kabari aku. Aku akan baik-baik saja kalau kamu juga baik-baik saja, Mas." Bara mengusap rambut pelan, dan menghirup aroma istrinya. "Aku pastikan mama nggak akan datang ke rumah selama aku pergi. Percayalah, aku akan selalu melindungimu. Tapi kalau sampai ada sesuatu yang membuatmu nggak nyaman, jangan menunda waktu langsung hubungi aku. Jangan buat aku cemas dan merasa bersalah karena kamu sedih dan terlambat datang." "Pasti. Aku pasti akan mengadukan padamu apa yang terjadi nanti." Alya melepas pelan pelukan itu. Lalu, dia tersenyum tipis, merasa tenang dengan jaminan suaminya. Bara bergegas meninggalkan rumah. ---- Keesokan harinya, di depan rumah mewah itu, seorang
"Kalau kamu tetap mau Alya di sini, jangan sampai orang tuamu menyakitinya. Kemarin ayah dan ibu melihat sendiri apa yang mereka lakukan pada anak kami. Sungguh kami tidak ridho. Kamu menikahi Alya bukan untuk direndahkan. Kalau seperti itu, ayah bisa saja membawa Alya darimu." Ayah Alya menatap tajam Bara, seolah menguliti niat di balik keteguhan menantunya.Bara merunduk sedikit, tangannya mengepal di atas lutut. "Aku minta maaf atas keteledoran itu, Yah. Sungguh tidak menyangka mama akan bertindak sejauh itu. Ini salahku dan menyesalkan sampai Alya harus menerima perlakuan tidak layak."Ibu Alya menghela nafas panjang, matanya sembab dan bengkak karena semalam banjir air mata. "Kami tahu kamu suaminya, Bara. Berhak menentukan di mana istrinya berada dan harus bagaimana. Tapi hati seorang ibu ini tidak bisa tenang setelah melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Alya sudah kehilangan anaknya. Malah dihina seperti itu."Alya menyentuh lengan ibunya. "Bu, percaya sama Mas Bara. Dia n
Flash back saat Bara ada di panti asuhan."Tuan, ternyata bukan panti asuhan yang ini." Ivan menjelaskan setelah mendapat pesan dari bawahannya.Bara menggeram, tangannya mengepal hingga kukunya memutih. "Lantas, di mana anakku?"Baru saja mereka tiba di panti asuhan terdekat sesuai informasi awal. Mobil bahkan belum sempat berhenti sempurna ketika kabar baru datang. Tawanan pria yang sempat mereka bawa ternyata memberi informasi lain sebelum kehilangan kesadaran."Sebelum dia pingsan, dia menyebutkan lokasi lain," lanjut Ivan dan menunggu arahan lebih lanjut."Cepat ke sana sekarang. Tidak ada waktu untuk menunggu!" Bara menghentakkan punggungnya ke sandaran kursi, rahangnya mengeras. Dia dibuat frustrasi.Mobil melaju sangat cepat di bawah arahan sopir. Bara menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Dia melihat bayangan istrinya yang menangis di kuburan. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, mereka tiba di panti asuhan kedua."Ini panti asuhannya, Tuan."Begitu memastikan a
"Maksud Mama apa aku nggak bisa ketemu sama mas Bara lagi?" Alya berdiri gelisah, matanya tajam menatap Desi yang bersikap seolah tak punya rasa bersalah.Desi tersenyum culas. Tidak menjawab, malah melambaikan tangan pada dua pria berjas hitam yang berdiri di sudut ruangan. Dengan langkah cepat, mereka maju ke arah Alya."Apa ini, Mama? Jangan main-main!" Alya mundur, tubuhnya gemetar saat kedua pria itu mulai memegang lengannya. Dia berusaha berontak."Ikut saja. Kamu tidak punya pilihan lain kalau masih mau jadi menantuku." Desi terkekeh."Hey, Alya. Kamu itu harus didaur ulang biar layak pakai layak pajang. Kamu tahu sampah, kan? Nah harus masuk ke pabrik dulu biar jadi barang berguna." Julia tertawa kecil dengan menutup mulutnya.Alya menatap tajam Julia sambil terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari genggaman mereka. "Mas Bara pasti akan marah dengan tindakan ini, Ma. Dia nggak akan tinggal diam.""Marah? Siapa yang peduli? Bara harus tahu apa yang terbaik untuknya. Di
"Siapa yang menyuruhmu. Jangan bertele-tele lagi!" bentak Bara.Pria itu terdiam, mengalihkan pandangannya, masih enggan untuk menjawab.Detik itu, anak buah Bara yang sedang memeriksa berlari ke depan.“Tuan, kami menemukan sesuatu di kamar belakang.”Pria itu melebarkan mata dan menelan ludah dan semakin tegang."Tidak ada apa pun di belakang." Pria itu mencoba menahan. "Jangan berani menghalangi kami!"Bara bergegas, diikuti Ivan. Mereka sampai di kamar kecil di bagian belakang rumah. Di sana, tampak sebuah tempat tidur bayi yang kosong dan seperti baru digunakan.Bara menatap tempat tidur bayi itu. Seluruh tubuhnya tegang. Pandangannya kemudian beralih ke pria tersebut. “Mana anak itu sekarang?”"Ehm ... Ehm ... anak itu ...." Pria itu belum mau menjawab. Ivan mendekatinya dengan tatapan tajam. “Kamu akan membayar mahal jika terjadi sesuatu pada anak itu. Bukan cuma menderita di penjara, tapi lebih dari itu!”Pria itu gemetar. Namun, dia masih ragu untuk mengaku. Padahal, dahiny
“Aku punya cara biar Bara benci sama Alya tanpa kita susah payah, Tante.” Julia tersenyum culas.Dua alis Desi terangkat. “Bagaimana caranya?”“Dengan menghadirkan masa lalu Alya." Desi melebarkan senyumnya. "Kamu pintar, Julia."“Alya itu janda, kan? Mantannya namanya Ardi. Dulu wanita kampungan itu sangat cinta padanya. Kalau Bara tahu Alya punya hubungan lebih sama mantan, dia pasti jijik.”Desi mengangguk. “Apalagi sekarang hidup Ardi sudah hancur. Dia nggak punya karir. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengorek masa lalunya. Kita buat sedikit provokasi pada Ardi. Siapa sih yang nggak suka duit.”"Kamu memang cerdas, Julia. Nggak sia-sia Bara punya teman perhatian seperti kamu. Eh, calon istri maksud Tante."Julia tersenyum lebih lebar, melihat sinar ketertarikan di mata Desi yang semakin nyata. “Bayangkan, Tante. Kalau Bara melihat betapa lekatnya Alya dan Ardi dulu, apalagi kalau kita buat seakan mereka masih ada hubungan sampai sekarang, apa yang akan dilakukan Bara yang kera