Home / Pernikahan / Dibalik Diamnya Istri Ternyata .... / Bab 2. Struk Belanja di Celana Suamiku

Share

Bab 2. Struk Belanja di Celana Suamiku

Suamiku menyebut nama wanita lain dengan sangat mesra. Memangnya dia mimpi apa?

Gejolak emosi, beratnya pikiran, rasa gelisah bisa membentuk sebuah mimpi buruk.

Mimpi buruk itu kini menganggu pikiran Alya. Dalam mimpi itu begitu jelas suaminya pergi dan kenapa bisa rasa sakit dalam mimpi terasa sangat nyata?

"Mimpi itu pasti hanya karena aku tak mendapat kabar dan pikiranku jadi kacau. Mas Ardi nggak mungkin mengkhianatiku. Dia sangat menyayangiku, mana mungkin tega berpaling. Aku harus menjauhkan pikiran seperti itu." Alya menghembus nafas dari mulutnya sambil memegang dad4nya.

Tangannya masih bergetar memegang kertas putih panjang itu. Dia memegang sangat kuat dan segera memasukkan pada kantong gamisnya. Wanita itu berniat mencari tahu kebenarannya.

'Benar atau tidak semua pikiranku ini, harus aku cari tahu jawabannya. Aku nggak mau diam saja terjerat pikiran aneh-aneh. Meski selama ini tak ada tanda apa pun Mas Ardi berpaling, aku tetap harus mencari tahu kebenarannya, karena aku butuh kepastian dan keyakinan kuat,' batin Alya, setengah hati tetap membuat elakan pada praduganya.

Sebuah struk belanja perlengkapan bayi membuat Alya tercengang. Detakan jantungnya bahkan belum mau tenang meski dia telah membuat sugesti kesetiaan suaminya.

Wanita itu gegas keluar. Dia masih ada urusan yang mau tidak mau harus dilakukan. Sebelum meninggalkan kamar itu, Alya duduk sebentar di sisi suaminya. Dia pegang tangan Ardi dan membuat sugesti yang lebih kuat lagi.

Tiba-tiba saja Ardi bergerak, sepertinya pria itu merespon pegangan tangan Alya.

"Iya, Ra, aku akan datang sebentar lagi," gumam Ardi sambil berganti posisi tidur.

Sontak Alya melepas tangan Ardi dan membekap mulut dengan kedua tangannya. Dia berusaha mengatur laju nafasnya agar tak sesak dan berusaha menjaga pikirannya yang hampir kabur.

'Ra? Siapa Ra?' batin Alya.

Alya mencoba meyakinkan lagi, jika tadi itu salah dengar. Wanita itu menggerakkan tubuh Ardi agar terusik.

"Sebentar lagi, Ra! Aku ngantuk banget ni. Anakmu rewel terus dari tadi! Aku juga belum tidur dari kemarin!" Ardi menghempas tangan Alya kasar, seolah marah karena tidurnya diganggu.

Mata Alya langsung berkaca, ternyata dia tidak salah mendengar tadi. Tak sanggup lama-lama berada di sisi suaminya, dia langsung beranjak pergi.

"Hah!" Alya langsung luruh saat telah masuk di kamar sebelah. Wanita itu merosot bersandar dinding. Lalu dia meringkuk dengan memekik isakan. Cairan bening berderai menumpahkan rasa sesaknya.

'Mas Ardi ... aku yakin 'Ra' itu nggak seperti dugaanku. Kamu nggak mungkin 'kan tega mengkhianati janji suci kita? Nggak mungkin. Nggak! Kamu bukan pria seperti itu. Ra bisa saja nama teman pria.' Namun, kata hati dan rasa hati Alya bertolak belakang. Wanita itu tetap takut jika ternyata sang suami mengkhianati cintanya.

Sekian saat Alya membiarkan buncahan rasa itu berderai. Tangisannya dipaksa berhenti  karena tangisan si bayi. 

"Huuuufffff ...." Alya mengusap air matanya sambil mendekat ke ranjang.

"Kamu laper lagi?" Suara Alya serak dengan bibir bergetar. Bagaimana tidak? Semakin pikirannya terganggu, kini saat menatap wajah bayi itu semakin jelas wajah suaminya terukir di sana.

"Oooooeee .... Oooooeee ...."

"Hah!" Alya mendongak sesaat untuk menghentikan kucuran air matanya. Walau bagaimanapun, bayi itu tak berdosa, entah apa pun kebenarannya nanti.

Alya langsung membuat susu di meja kamar itu. Tadi dia sudah membawa semua perlengkapan membuat susu ke kamar itu agar mempermudah pekerjaannya.

Bayi itu kembali terdiam setelah Alya beri susu. Tak lama si bayi kembali terlelap.

Alya tak bisa terlelap meski hari semakin larut. Pikirannya terus membuat gumpalan rasa yang mendesak untuk memastikan sesuatu. Wanita lantas beranjak ke lantai bawah.

Jajaran paper bag yang belum sempat dia lihat isinya kini Alya bongkar. Dia juga mengambil struk belanja di kantongnya. Satu persatu Alya mencari dan mencocokkan nama serta barang yang ada.

"Astagfirullah hal adzim." Alya tercengang dengan tatapan kosong. Dia duduk lemas di lantai. Semua barang-barang itu ada dalam struk belanja.

'Mas Ardi yang membeli semua ini? Termasuk susu dan akh!' 

Satu lagi yang membuat Alya bingung. Dalam struk itu jelas kalau dari pusat perbelanjaan di kota itu, bukan luar kota. Hanya saja tempatnya jauh dari rumahnya.

Air mata itu kembali tumpah tanpa isakan. Suaminya bahkan belum pernah membelikan apa yang dia butuhkan. Namun, sekarang malah mendapati hal aneh! Dan semua belanjaan itu hanya akan dilakukan seorang pria yang sangat peduli dengan keluarganya atau terpojok!

"Huuuufffff ... tenang Alya. Kamu kuat, kamu pasti bisa. Jangan sampai suamimu curiga dengan sikapmu. Kamu harus menghadapi semua ini dengan elegan. Jangan termakan oleh pikiran burukmu juga. Waspada dan curiga itu penting, tapi semua harus dengan aturan dan porsi yang benar!" Alya bergumam pada dirinya sendiri.

Sekian saat Alya membuat sugesti dan keyakinan diri.

'Jika kamu memang menyakitiku Mas. Cinta tulus ini tak mungkin punya maaf dan kesempatan kedua. Tapi semoga semua yang ada dalam pikiranku ini salah,' batin Alya dengan hembusan nafas dari mulut.

***

Meski semalaman Alya tidak bisa tidur, dia tetap menjalankan tugas sebagai istri seperti biasa. 

Selepas melakukan sholat subuh, dia menyambangi kamar utama.

"Mas, Mas Ardi. Bangun sholat subuh dulu, waktunya hampir habis lho." Alya menggoy4ng-goy4ngkan tubuh suaminya.

Ardi menggeliat sambil menguap. "Aku masih ngantuk, Al. Kamu buatin nasi goreng saja, kalau udah mateng bawa kemari. Mas lagi males gerak banget." Pria itu bicara tanpa membuka mata.

"Tapi waktu sholat-nya hampir habis, Mas."

"Sayang, aku beneran lapar dan capek banget. Udah kamu saja yang sholat. Mataku lagi nggak bisa dibuka ini. Capek, kerjaan banyak, lembur terus." Ardi memeluk guling.

"Nasi gorengnya akan aku bawa kemari. Tapi lebih baik Mas Ardi ambil air wudhu biar ngantuknya ilang."

Ardi menghentak nafasnya. "Aku benar-benar masih ngantuk, Sa-yang. Capek banget. Please biarkan aku istirahat. Setelah tidur dan kenyang, aku pengen banget peluk kamu."

Alya mengangguk dengan senyum tertahan. Dia lantas ke dapur.

Selang beberapa saat. 

"Mas, nasi gorengnya sudah matang. Kamu makan dulu, katanya laper." Alya terus menekan gemuruh dadanya. Dia harus bersikap baik selagi semua belum pasti.

Aroma wangi nasi goreng telah mengusik pencium4n Ardi. Pria itu pelan membuka matanya. Lalu duduk bersandar pada headboard.

"Mana nasi gorengnya, Al? Kayaknya enak banget. Ah, apasih yang nggak enak kalau kamu yang masak." Kata-kata manis seperti itu sudah biasa keluar dari bibir Ardi.

Biasanya Alya akan tersipu dengan hati berbunga-bunga, tapi kali ini dia hanya tersenyum kaku.

"Nggak cuci muka dulu?"

"Nggak usah. Udah makin laper karena bau nasi goreng kamu." Ardi tersenyum lebar.

Alya mengambil nampan berisi piring dan air putih. "Ini. Makan pelan-pelan,' lirihnya. Wanita itu sedikit menunduk menyembunyikan gumpalan cairan bening yang hampir tumpah. 

"Oooooeee .... Oooooeee ...." Suara tangis si bayi sampai di kamar itu karena pintunya memang sengaja tidak Alya tutup.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Ardi baru ingat soal bayi itu. 

"Pelan-pelan, Mas." Alya menyodorkan gelas.

Ardi meneguk cepat. Lantas dengan nafas tersengal dia berkata, "Cepat ke sana, Al! Anak itu nangis. Sama siapa dia?" Tampak raut cemas di wajah Ardi.

Alya mengangguk lalu pergi dengan rasa tak karuan. 'Mas Ardi perhatian sekali pada bayi itu,' batinnya.

Di kamar sebelah.

Alya gegas membuat susu dengan mata sembab. Sesekali dia seka ujung pelupuk mata dengan punggung tangannya.

"Kamu udah bangun. Minum susu dulu ya." Alya mencoba bersabar dan bersahabat dengan si bayi tak berdosa itu.

Mbok Sari-pengurus rumah telah datang bersama pak Karto suaminya.

"Mbok, minta tolong mandikan bayinya. Aku masih sedikit takut kalau sekecil ini." Alya menggendong bayi itu ke lantai bawah.

"Bu Alya, ini anak siapa?" Mbok Sari mengambil alih bayi itu.

Wanita paruh baya itu tercengang saat melihat wajah bayi. 'Kok mirip wajah Pak Ardi ya?' batin Mbok Sari, tidak berani mengatakan langsung.

Alya menarik paksa dua ujung bibirnya, meski tetap tampak kaku. "Anak ... anak teman Mas Ardi yang dititipkan di sini."

Mata wanita paruh baya itu melebar. "Oh ... anak teman Pak Ardi? Bayi merah seperti ini dititipkan? Orang tuanya memangnya di mana?" 

Alya menggeleng. "Mas Ardi masih lelah, dia belum banyak cerita. Aku ke atas dulu, Mbok. Nitip bayinya nanti ambil semua perlengkapan bayi itu di kamar atas sebelah kamar utama."

Dia hanya ingin segera memungkas obrolan yang jawabannya saja baru ingin dicari.

Alya masuk ke kamar utama. Dia ingin bicara dan menghabiskan lebih banyak waktu berdua seperti biasanya. Saat suami pulang dia akan bermanja dan banyak bercerita.

"Mas," lirih Alya. Dia celingukan mencari sosok suami yang tak ada di atas tempat tidur. 

Tadi Ardi susah dibangunkan. Sekarang Alya penasaran kenapa suaminya mendadak mau bangun.

Terdengar samar suara suaminya si balkon, Alya segera mendekat dengan langkah sangat pelan.

"Iya, Ra. Aku akan segera ke sana." 

Tak ada obrolan lagi, sambungan itu dimatikan.

Alya terpaku mendengar suaminya bicara dengan seseorang yang disebut 'Ra' itu. Dia berdiri di dekat pintu balkon sampai suaminya berbalik.

"Alya? Sejak kapan kamu berdiri di situ?" Wajah Ardi tampak pias.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kenapa si ardi g mau punya anak darimu? krn kau tolol,dungu dan benalu. jadi kau cuma pantas jadi pengasuh anaknya dg wanita lain. dikasih otak tapi g berguna.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status