"Mas! Mas Ardi! Siapa wanita itu, Mas? ... Mas! Mas Ardi jangan pergi! Mas Ardi jangan ... kumohon ...." Dia melihat sang suami melangkah tanpa ragu meninggalkanya. Suaminya menggendong bayi dan didampingi seorang wanita cantik. Tangisnya langsung pecah, dia luruh begitu saja di lantai. Wanita itu membekap mulutnya dengan gelengan tak percaya.
Sakit ... bagai ada bilah pis4u taj4m meny4yat hati. Begitu miris, rasa cinta tulusnya ternyata terc4bik-cabik. Nyeri, ternyata kesetiaannya terkhianati. Padahal selama ini suaminya bersikap lembut dan mesra. Semakin nyeri saat suami bahkan tak menoleh lagi padanya. Keringat telah membasahi keningnya. Nafasnya tersengal berat dengan menggerakkan kepalanya tak karuan. "Mas!" Wanita itu terbangun duduk dengan nafas berat. Dia bergetar merangkup wajahnya. Katanya, firasat istri sangat kuat pada apa yang sedang dilakukan suaminya. Terutama soal berpalingnya hati. Wanita itu lantas menyambar ponselnya di nakas. Masih dengan tangan bergetar. [Mas, kapan pulang?] Pesan itu terkirim dua hari yang lalu dan belum juga dibaca oleh suaminya. Wanita itu meringkuk sambil memegang ponsel menunggu pesan balasan. Sepi .... Sendiri .... Gemuruh guntur membuat dada wanita itu semakin teriris. Kilatan petir telah menyentak jiwanya membangkitkan kesenduan, dan membuat mata sembab itu terbelalak ketakutan. Hujan di malam pekat seolah ingin isakannya cepat terhenti. Apa ia tahu yang sedang dirasakan wanita itu? Suaminya tak pulang selama tiga bulan dan sulit dihubungi. Katanya ada masalah penting dan darurat soal pekerjaan di luar kota. Apa harus sampai tidak memberi kabar, atau sesibuk itukah sampai tak ada waktu membaca pesan? Decitan mobil yang berhenti di depan rumah dua lantai itu terdengar jelas. "Apa itu Mas Ardi? Suamiku pulang?" Alya Fathiya-wanita yang setiap malam menangis menunggu suaminya itu menyeka air mata sembari berlari keluar dengan rasa harap jika itu benar suaminya. "Mas, Mas Ardi! Apa benar Mas pulang?" Hentakan kaki Alya sangat jelas menuruni anak tangga. Derit pintu yang dibuka dari luar membuat Alya tersenyum. Ya, suaminya pulang dan seperti itu kebiasaannya jika pulang tengah malam. Sengaja Alya menaruh kunci cadangan di tempat biasa agar suatu saat suaminya pulang bisa langsung masuk. Alya menyalakan lampu agar jelas siapa yang datang. "Mas ....." Seketika mata binar itu redup, senyumnya meringsut kala melihat apa yang dibawa suaminya pulang. "Alya, aku bawa anak temanku. Kamu rawat dengan baik. Temanku itu sedang dalam masalah besar. Istrinya pendarahan saat melahirkan dan dia nggak punya keluarga lagi. Nggak ada yang jaga anak ini, makanya aku bawa kemari agar bisa kamu rawat. Itung-itung kamu nggak kesepian lagi." Ardi begitu lancar mengucap rangkaian kata itu seolah telah dihafalnya sejak tadi. "Oooooeee .... Oooooeee ...." Tangis bayi itu serak lirih memilukan seperti sudah menangis lama sekali. Alya masih terpaku menatap penampilan suaminya. Lusuh, seperti tidak berganti pakaian beberapa hari. Wajahnya pucat berantakan. Matanya kuyu dengan lingkaran hitam yang sangat jelas. "Anak teman kamu? Teman yang mana, Mas? Setahuku istri temanmu nggak ada yang lagi hamil." Dia tahu teman kantor atau teman sekolah yang masih sedat dengan suaminya. Ardi tampak celingukan, dia membolakan matanya dengan senyum kaku. "Ehm, kamu gendong dulu, nanti akan aku ceritakan. Sekarang aku lapar, kamu buatin makanan apa saja. Aku mau mandi dulu, bau keringat." Dia menyerahkan bayi merah itu pada istrinya, lalu cepat ke lantai atas. "Mas ini susunya di mana?" teriak Alya dengan des4han berat. Tadi dia ingin menghambur memeluk dan menumpahkan rasa rindu yang membuncah ruah, tapi ... dia bahkan tak melihat raut wajah kerinduan dari suaminya. "Di mobil, kamu ambil saja!" teriak Ardi. Alya menatap wajah bayi itu dan sontak matanya melebar. Dimungkinkan bayi itu memang baru beberapa hari yang lalu lahir. Namun, bukan itu yang membuat dada Alya bergetar hebat, tapi ... wajah bayi itu sekilas punya kemiripan dengan wajah suaminya. "Astagfirullah hal adzim ... aku nggak boleh suudzon. Wajah bisa saja sedikit sama. Apalagi wajah bayi, wajahnya masih berubah-ubah." Alya membuat elakan pikirannya sendiri. Akan tetapi, semua pikiran itu belum mau pergi. Jantung Alya masih berdetak kencang karena praduganya. "Ah, bukan saudara kandung saja banyak yang mirip kok. Bukankah ada 7 atau berapa yang mirip wajahnya di dunia ini?" Alya menghempas kuat pikiran buruknya. Alya gegas keluar menuju mobil. Dia membuka pintu belakang, ada tas bayi dan beberapa paper bag. Sayang sekali dia tidak punya pengurus rumah yang menetap. Pembantu dan tukang kebunnya masih tetangga dan akan pulang sore hari, jadi dia harus membawa semua itu sendiri. "Mas! Mas! Mas Ardi gimana sih, masa aku harus membawa sambil gendong bayi?" teriak Alya, dia kerepotan. Alya mendapat satu gendongan bayi baru di salah satu paper bag. "Siapa yang belanja semua ini? Teman Mas Ardi?" Tak mau berpikir macam-macam, Alya gegas membuka dan menggunakan gendongan itu. Satu persatu barang-barang itu diturunkan menggunakan satu tangannya. Tak mau menunggu suami datang, Alya membawa barang-barang itu ke dalam sendirian meski harus bolak-balik beberapa kali. "Oooooeee .... Oooooeee ....." Bayi itu sudah menangis serak dari tadi. "Ssshh sshh sshh sshh ... sabar ya. Sebentar lagi akan tante buatkan susu untukmu." Alya mengambil hal terpenting dulu, susu dan botolnya. Untung saja dia tidak gagap soal mengurus bayi, jadi dia bisa cepat membuat susu. Dulu wanita itu sering membantu mengurus bayi saudaranya. 'Andai saja Mas Ardi nggak pakai pengaman setiap berhubungan, anak kami pasti juga baru lahir,' batin Alya sambil mengaduk susu. Hati seorang istri itu pilu dan kecewa, tapi bisa apa? Mereka menikah sekitar satu tahun, dan selama itu Ardi selalu bilang kalau belum siap mempunyai anak. Dia ingin fokus mengejar posisi karir dulu dan punya rumah yang lebih besar. Padahal, Alya tidak menuntut semua itu. Posisi suaminya sebagai manajer sudah sangat Alya syukuri. Rumah dua lantai itu juga sudah sangat nyaman baginya. Namun, karena tak mau banyak berdebat, Alya memilih mengalah. "Oooooeee .... Ooemmm ...." tangisan bayi terbungkam oleh ujung botol susu. Bayi itu menyesap begitu kuat, sepertinya dia sangat kelaparan. Selang beberapa saat, bayi itu tertidur, mungkin karena sangat lelah menangis. Alya sengaja meletakkan di kamar sebelah kamar utama. Sekali lagi Alya menatap intens wajah bayi itu. Memang sangat jelas beberapa potongan wajah suaminya ada pada bayi itu. Dadanya kembali sesak dengan banyak pikiran buruk dan kecurigaan. "Nggak! Nggak mungkin!" Dia menggeleng. Merasa bayi itu telah pulas, Alya gegas ke dapur dan membuat nasi goreng karena itu yang paling cepat. Meski rasa hatinya tak karuan, walau ada rasa mengganjal, tetap saja dia melakukan tugas sebagai istri dan ... mengurus bayi yang belum dia ketahui asal muasalnya. Nasi goreng tersaji, dia cepat naik ke lantai dua kamar bayi. Ternyata bayi itu masih pulas. Lantas Alya masuk ke kamar utama. "Mas." Dia mendapati Ardi telah tidur. Suaminya itu bahkan sampai mendengur. 'Nggak biasanya mas Ardi mendengur. Seperti beberapa hari nggak tidur saja,' batin Alya. Alya duduk di sisi ranj4ng dan ragu ingin membangunkan suaminya untuk makan. "Sudahlah, dia pasti sangat lelah." Alya memilih masuk ke kamar mandi. Seperti biasa, dia akan membersihkan setelah suaminya memakainya karena Ardi terbiasa melempar pakaian kotor sembarangan. Alya memungut celana panjang hitam suaminya. Lantas entah kenapa hatinya tergerak untuk merog0h kantong celana itu. Ada sesuatu di dalamnya dan segera dia ambil. Matanya membulat dengan detakan jantung cepat. Dadanya bergetar menatap apa yang dia dapat. "Astagfirullah hal adzim ... Ya Allah, apa ini?" Jangan lupa mampir di cerita Othor lainnya - Istri Sah Presdir Yang Terbuang - Kembalinya Pewaris Yang TerbuangSuamiku menyebut nama wanita lain dengan sangat mesra. Memangnya dia mimpi apa?Gejolak emosi, beratnya pikiran, rasa gelisah bisa membentuk sebuah mimpi buruk.Mimpi buruk itu kini menganggu pikiran Alya. Dalam mimpi itu begitu jelas suaminya pergi dan kenapa bisa rasa sakit dalam mimpi terasa sangat nyata?"Mimpi itu pasti hanya karena aku tak mendapat kabar dan pikiranku jadi kacau. Mas Ardi nggak mungkin mengkhianatiku. Dia sangat menyayangiku, mana mungkin tega berpaling. Aku harus menjauhkan pikiran seperti itu." Alya menghembus nafas dari mulutnya sambil memegang dad4nya.Tangannya masih bergetar memegang kertas putih panjang itu. Dia memegang sangat kuat dan segera memasukkan pada kantong gamisnya. Wanita itu berniat mencari tahu kebenarannya.'Benar atau tidak semua pikiranku ini, harus aku cari tahu jawabannya. Aku nggak mau diam saja terjerat pikiran aneh-aneh. Meski selama ini tak ada tanda apa pun Mas Ardi berpaling, aku tetap harus mencari tahu kebenarannya, karena aku b
Saat seorang suami menunjukkan gelagat aneh dan sikap tak biasa, saat itulah rasa gelisah akan membawa pikiran istri pada banyak praduga.Alya menunjukkan wajah datar agar suaminya tidak waspada terhadapnya, sehingga dia bisa lebih mudah mencari pembuktian lain. "Mas, kamu sudah bangun? Memangnya ada hal penting apa sampai kamu mau bangun? Perasaan tadi kamu bilang mau tidur lagi karena masih capek. Habis makan saja langsung tidur lagi, padahal kamu selalu takut kalau punya perut buncit."Ardi mendekat dengan senyum kaku. "Sejak kapan kamu berdiri di situ, Al?" Jelas tampak wajah gusar. Pria itu menatap istrinya menunggu jawaban.Alya membalas tatapan itu sejenak, lantas menghela nafas. "Ehm, baru saja. Aku baru saja menyuruh Mbok Sari memandikan bayi itu karena aku belum berani."Ardi mengusap wajahnya kasar sambil mendes4h lega. "Oh, tadi panggilan dari direktur yang menyuruhku cepat meninjau proyek luar kota lagi.""Padahal kamu baru saja pulang, Mas. Direktur kamu itu pria atau wa
Jantung Alya berdetak kencang menunggu jawaban suaminya. Jika memang Ardi suami normal, pasti akan senang saat istrinya ikut ke luar kota. Apalagi kali ini hanya pulang sebentar tak sempat mengurai rindu. Mungkinkah suaminya tak lagi punya h4srat padanya, atau ada yang mengh4ngatkannya selama ini sampai dia sedingin itu padanya?"Aku ikut ke luar kota, ya Mas? Janji nggak akan ganggu kerja kamu. Aku cuma pengen dekat sama kamu saja. Soal Daffa aku bisa kok urus dia di sana? Please ... jangan tinggalin aku sendiri kali ini. Banyak kok suami yang bawa anak istri saat kerja di luar kota dalam durasi waktu lama." Sungguh, dada Alya takut merangkai kata itu. Dia takut karena takut mendapat penolakan suaminya. Masih posisi memeluk Ardi, Alya mengepalkan tangan kuat di belakang punggung suaminya. Kepalanya ditekan kuat pada d4da bid4ng Ardi. Dia memeluk semakin kuat.Ardi termangu belum menyahut, entah apa yang masih ada dalam pikirannya."Mas .... Apalagi kita belum sempat menghabiskan wak
"Apa ini? Kenapa ada yang mengirim pakaian bayi laki-laki ke rumah ini? Apa Mas Ardi sengaja memberi tahu temannya alamat ini? Tapi dia tidak mengatakan apa pun tadi. Bahkan dia berpesan agar jangan sampai ada yang tahu keberadaan bayi itu. Jangan sampai seorang pun. Lantas ini?" Alya menggeleng dengan dada sesak. [Titip anakku sebentar saja. Dan maaf, aku pinjam suamimu. Oh, maaf ini bukan pinjam.] Catatan dalam bungkusan itu juga tanpa nama. Hanya ada huruf 'R' di ujung paper note itu. "Bu." Pak Karto menehan Alya yang terhuyung. "Hah. Hah. Hah. Mas Ardi ...." Alya lemas dalam pegangan Pak Karto. "Pak, kita bawa Bu Alya masuk dulu." Mbok Sari sangat cemas lihat keadaan majikannya. Alya di dudukan di sofa ruang tengah. Wanita langsung tergeletak bersandar lemas dengan tatapan kosong ke depan. Dia masih memegang secarik note tadi. Pak Karto lantas membawa masuk pakaian bayi yang tadi terlepas dari pegangan Alya. "Istighfar, Bu. Ini semua belum pasti seperti apa. Misa jadi ini h
Kejutan? Jika itu kejutan manis, semua istri sangat menantikannya. Namun, ini kejutan pait yang Alya harus telan dengan isakan.Di sebuah restoran terdekat dengan perusahaan itu. Alya memilih private room agar bisa lebih leluasa bicara."Aku sudah memesan semuanya ini untukmu, Sind. Anggap ini traktiran karena lama kita nggak ketemu." Alya masih tersenyum dengan melihat bibirnya.Sindy menghela nafasnya. "Katakan saja, aku ada di pihakmu karena kita sama-sama wanita. Sebenarnya sudah lama aku ingin datang ke rumahmu, tapi aku terlalu sibuk karena ada pergantian CEO baru. Semua dirombak. Ini salah itu salah. Huh! Aku sampai hampir frustasi. Dan aku juga mengkhawatirkan suamimu. Dia libur terlalu lama. Ya, memang itu jatah cuti tahunan, tapi CEO baru ini nggak suka karyawan model seperti itu." "CEO baru? Ternyata aku salah dengar. Dia pasti laki-laki, jadi jauh dan keluar dari kecurigaanku." "Sebenarnya apa yang terjadi pada kamu dan Ardi? Kenapa bisa dia cuti dan sulit dihubungi sama
Wanita bisa sangat setia dan menjadi goyah lantas dingin tergantung bagaimana pasangannya.Alya telah turun di sebuah hotel sederhana. Tak seperti yang mereka lihat. Jabatan suaminya tak setinggi itu dan uang yang diberikan sang suami juga tidak banyak. Uang yang dipakai Alya saat ini adalah hasil dari tabungannya. "Ini cukup." Alya mengedar pandangan di kamar hotel standard room yang di pesannya. Lantas dia duduk di sisi r4njang untuk melepas penat.Ini sudah petang dan Alya memutuskan untuk memulai besok lagi sejak pagi. Dia juga butuh istirahat dan saat ini sangat ingin sendiri duduk meringkuk, larut dengan gejolak rasa dan kalutnya pikiran.Seperti sekarang ini, Alya menggeser duduknya hingga bersandar pada headboard. Dia tekuk lututnya dan meringkuk dengan tangan memeluk dua kaki itu. Kepalanya direbahkan bertumpu dua lutut. Pandangan kosong.'Mas, apa mencintaimu dengan tulus serta setia saja tidak cukup? Benarkah dengan apa yang mereka katakan jika aku memang tak layak dipanda
Wanita itu merem4s tangannya. Dia benar-benar menahan sakit. D4danya seperti ada tusvkan jarum begitu banyak dan tak berhenti. Sesekali seolah ada bilah pisau yang meny4yat jika dia membayangkan kalau ... kalau saja nanti benar-benar mendapati suami yang dicintainya sedang bersama wanita lain.Alya menunduk dengan tangan bertaut di atas pangkuan. Bulir-bulir bening telah menetes membasahi tangan yang bergetar itu.Pria di sisinya melebarkan mata. Dia mencebik malas tak mau ada drama lagi. "Van! Percepat lagi! Wanita ini sudah kes4kitan. Aku tidak mau dia pingsan atau kenapa di mobilku!" seru pria tampan berahang tegas itu. Pria itu lantas menatap tajam Alya yang tak menatapnya sedari tadi. Tangannya mengepal kuat karena gumpalan gemuruh rasa yang muncul. Aneh, sangat aneh. Kenapa ada wanita yang tak merespon keberadaannya? Dia tak terima dan semakin geram.Alya menoleh. Dia menatap sesaat si pemilik mata elang itu, lantas memalingkan pandangannya. "Terima kasih," lirihnya bergetar. D
"Kamu sudah dapat data-data wanita itu, Van?""Sudah, Tuan." Ivan menyodorkan tablet pada tuannya.Pria itu mengernyit dan menatap sekian lama data wanita itu. Bersuami. Seperti ada besitan rasa kecewa samar yang terlintas di d4danya."Ehem! Jadi suaminya bekerja di perusahaan kita?" Pria itu sedikit mengendorkan dasi."Iya, Tuan. Dan suaminya baru mengajukan cuti selama beberapa hari ini."Pria itu merapikan jasnya. Tak ada kata lagi yang keluar. ---Sebelum Alya bertemu dengan dengan pria itu, dia terlebih dahulu dibantu seorang wanita untuk berganti baju di salah satu ruangan. Tak hanya baju, Alya juga disediakan sendal slop flat.'Baguslah, aku nggak perlu pakai pakaian penuh d4rah untuk berkeliling rumah sakit ini.' Alya tersenyum dengan mata berkaca membayangkan Ardi. Selangkah lagi dia telah mendekati kebenaran. Apa nanti benar-benar akan kuat? Harus kuat! Wanita itu terus menguatkan hatinya.Lantas Alya didorong kembali untuk menemui pria itu.Saat tiba di sebuah lobi. Sekele
"Mas, kamu menyuruhku bertemu dengan Mas Ardi di restoran? Jangan bercanda. Aku nggak mau." Alya melipat tangan di depan dada, raut wajahnya jelas penolakan."Sebenarnya aku kurang suka kamu menyebut pria itu 'Mas' bisakah kamu memanggil dengan sebutan lain?" Bara mengurai lipatan tangan istrinya, dan memegang dua tangan itu. Wajahnya menatap cemburu tak terima."Kayaknya sulit, Mas. Lagian aku panggil Mas bukan cuma sama Mas Ardi. Sama turir juga aku panggil Mas. Jangan berlebihan. Kita kembali ke pembahasan awal. Aku nggak mau ketemu dia.""Kamu nggak akan bertemu sama dia, Sayang. Kamu lihat saja nanti. Ikuti saja apa yang aku katakan.""Tapi jangan aneh-aneh, Mas." "Nggak akan."Bara mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan cepat untuk Ardi.[Besok, jam 8 malam, Eleven Night Restaurant, private room.]Balasan dari Ardi datang hanya beberapa detik kemudian. [Dengan senang hati.]Alya memperhatikan suaminya. Terlihat tenang, tapi gerak-geriknya mengundang tanya. "Mas, jujur saja. Ada
"Nona Julia, Anda pasti akan suka dengan kabar ini. Alya menerima kedatanganku dan sudah tidak membahas soal kesalahan masa lalu. Kami bahkan bertukar nomor telepon." Ardi berdiri menatap Julia dengan senyum tipis, tapi tatapan tajam."Duduk!" Julia memainkan gelas berkakinya.Ardi memilih kursi di depan Julia. Tidak seperti yang lain menunduk di hadapannya, Ardi duduk dengan punggung tegak, ekspresi datar tenang."Bara adalah teman masa kecilku. Aku juga sangat dekat dengan keluarganya. Orang tua Bara sering mengeluh padaku tentang bagaimana anak mereka berubah menjadi durhaka sejak Alya datang. Kamu pasti paham. Mantan istrimu tidak pantas jadi istri seorang Bara."Ardi mendengarkan tanpa banyak reaksi. Hanya mengangguk pelan, mengiyakan apa yang dikatakan Julia."Lantas kenapa dulu merestui hubungan mereka?"Julia malah tertawa. "Karena pengaruh Alya yang begitu kuat, Bara bahkan sampai hampir kehilangan nyawanya. Orang tua mana yang sanggup melihat anaknya sekarat hanya demi seora
[Saya ingin bertemu dengan istri Anda atau Anda, Tuan Bara. Kapan dan di mana, saya yang menentukan. Ardi.] Mendapat pesan seperti itu, darah Bara mendidih. Tak sabar menanti besok atau lusa lagi, pria itu langsung menekan kontak Ardi dan .... Tersambung. Dan langsung diangkat Ardi. "Berani sekali kamu mengirim pesan seperti itu padaku! Memangnya siapa kamu, ha?!" sentak Bara, tepat setelah tersambung. "Saya? Bisa jadi saya yang akan menyelamatkan Alya saat ini, Tuan." Ardi terdengar tertawa kecil. Hingga Bara semakin marah. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari Alya sekarang?Aku tahu trik murahan seorang mantan sepertimu. Kamu datang berlagak peduli." Ardi kembali tertawa kecil, seakan puas pada sesuatu hal pada Bara. "Tuan Bara, lebih baik kita bertemu langsung. Bicara dengan kepala dingin. Tidak perlu emosi di telepon seperti ini." "Ok, besok kita akan bertemu. Dan aku pastikan kamu akan terima akibatnya setelah berani muncul di depan istriku!" Bara langsung memutus
"Aku terpaksa harus keluar kota beberapa hari, padahal ada yang harus segera kuselesaikan. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal sebentar, Sayang?" Bara memeluk erat istrinya. Sungguh dia berat untuk meninggalkan Alya, tapi mau bagaimana lagi. Alya membalas pelukan itu dan mengangguk pelan. "Jangan lupa selalu kabari aku. Aku akan baik-baik saja kalau kamu juga baik-baik saja, Mas." Bara mengusap rambut pelan, dan menghirup aroma istrinya. "Aku pastikan mama nggak akan datang ke rumah selama aku pergi. Percayalah, aku akan selalu melindungimu. Tapi kalau sampai ada sesuatu yang membuatmu nggak nyaman, jangan menunda waktu langsung hubungi aku. Jangan buat aku cemas dan merasa bersalah karena kamu sedih dan terlambat datang." "Pasti. Aku pasti akan mengadukan padamu apa yang terjadi nanti." Alya melepas pelan pelukan itu. Lalu, dia tersenyum tipis, merasa tenang dengan jaminan suaminya. Bara bergegas meninggalkan rumah. ---- Keesokan harinya, di depan rumah mewah itu, seorang
"Kalau kamu tetap mau Alya di sini, jangan sampai orang tuamu menyakitinya. Kemarin ayah dan ibu melihat sendiri apa yang mereka lakukan pada anak kami. Sungguh kami tidak ridho. Kamu menikahi Alya bukan untuk direndahkan. Kalau seperti itu, ayah bisa saja membawa Alya darimu." Ayah Alya menatap tajam Bara, seolah menguliti niat di balik keteguhan menantunya.Bara merunduk sedikit, tangannya mengepal di atas lutut. "Aku minta maaf atas keteledoran itu, Yah. Sungguh tidak menyangka mama akan bertindak sejauh itu. Ini salahku dan menyesalkan sampai Alya harus menerima perlakuan tidak layak."Ibu Alya menghela nafas panjang, matanya sembab dan bengkak karena semalam banjir air mata. "Kami tahu kamu suaminya, Bara. Berhak menentukan di mana istrinya berada dan harus bagaimana. Tapi hati seorang ibu ini tidak bisa tenang setelah melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Alya sudah kehilangan anaknya. Malah dihina seperti itu."Alya menyentuh lengan ibunya. "Bu, percaya sama Mas Bara. Dia n
Flash back saat Bara ada di panti asuhan."Tuan, ternyata bukan panti asuhan yang ini." Ivan menjelaskan setelah mendapat pesan dari bawahannya.Bara menggeram, tangannya mengepal hingga kukunya memutih. "Lantas, di mana anakku?"Baru saja mereka tiba di panti asuhan terdekat sesuai informasi awal. Mobil bahkan belum sempat berhenti sempurna ketika kabar baru datang. Tawanan pria yang sempat mereka bawa ternyata memberi informasi lain sebelum kehilangan kesadaran."Sebelum dia pingsan, dia menyebutkan lokasi lain," lanjut Ivan dan menunggu arahan lebih lanjut."Cepat ke sana sekarang. Tidak ada waktu untuk menunggu!" Bara menghentakkan punggungnya ke sandaran kursi, rahangnya mengeras. Dia dibuat frustrasi.Mobil melaju sangat cepat di bawah arahan sopir. Bara menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Dia melihat bayangan istrinya yang menangis di kuburan. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, mereka tiba di panti asuhan kedua."Ini panti asuhannya, Tuan."Begitu memastikan a
"Maksud Mama apa aku nggak bisa ketemu sama mas Bara lagi?" Alya berdiri gelisah, matanya tajam menatap Desi yang bersikap seolah tak punya rasa bersalah.Desi tersenyum culas. Tidak menjawab, malah melambaikan tangan pada dua pria berjas hitam yang berdiri di sudut ruangan. Dengan langkah cepat, mereka maju ke arah Alya."Apa ini, Mama? Jangan main-main!" Alya mundur, tubuhnya gemetar saat kedua pria itu mulai memegang lengannya. Dia berusaha berontak."Ikut saja. Kamu tidak punya pilihan lain kalau masih mau jadi menantuku." Desi terkekeh."Hey, Alya. Kamu itu harus didaur ulang biar layak pakai layak pajang. Kamu tahu sampah, kan? Nah harus masuk ke pabrik dulu biar jadi barang berguna." Julia tertawa kecil dengan menutup mulutnya.Alya menatap tajam Julia sambil terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari genggaman mereka. "Mas Bara pasti akan marah dengan tindakan ini, Ma. Dia nggak akan tinggal diam.""Marah? Siapa yang peduli? Bara harus tahu apa yang terbaik untuknya. Di
"Siapa yang menyuruhmu. Jangan bertele-tele lagi!" bentak Bara.Pria itu terdiam, mengalihkan pandangannya, masih enggan untuk menjawab.Detik itu, anak buah Bara yang sedang memeriksa berlari ke depan.“Tuan, kami menemukan sesuatu di kamar belakang.”Pria itu melebarkan mata dan menelan ludah dan semakin tegang."Tidak ada apa pun di belakang." Pria itu mencoba menahan. "Jangan berani menghalangi kami!"Bara bergegas, diikuti Ivan. Mereka sampai di kamar kecil di bagian belakang rumah. Di sana, tampak sebuah tempat tidur bayi yang kosong dan seperti baru digunakan.Bara menatap tempat tidur bayi itu. Seluruh tubuhnya tegang. Pandangannya kemudian beralih ke pria tersebut. “Mana anak itu sekarang?”"Ehm ... Ehm ... anak itu ...." Pria itu belum mau menjawab. Ivan mendekatinya dengan tatapan tajam. “Kamu akan membayar mahal jika terjadi sesuatu pada anak itu. Bukan cuma menderita di penjara, tapi lebih dari itu!”Pria itu gemetar. Namun, dia masih ragu untuk mengaku. Padahal, dahiny
“Aku punya cara biar Bara benci sama Alya tanpa kita susah payah, Tante.” Julia tersenyum culas.Dua alis Desi terangkat. “Bagaimana caranya?”“Dengan menghadirkan masa lalu Alya." Desi melebarkan senyumnya. "Kamu pintar, Julia."“Alya itu janda, kan? Mantannya namanya Ardi. Dulu wanita kampungan itu sangat cinta padanya. Kalau Bara tahu Alya punya hubungan lebih sama mantan, dia pasti jijik.”Desi mengangguk. “Apalagi sekarang hidup Ardi sudah hancur. Dia nggak punya karir. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengorek masa lalunya. Kita buat sedikit provokasi pada Ardi. Siapa sih yang nggak suka duit.”"Kamu memang cerdas, Julia. Nggak sia-sia Bara punya teman perhatian seperti kamu. Eh, calon istri maksud Tante."Julia tersenyum lebih lebar, melihat sinar ketertarikan di mata Desi yang semakin nyata. “Bayangkan, Tante. Kalau Bara melihat betapa lekatnya Alya dan Ardi dulu, apalagi kalau kita buat seakan mereka masih ada hubungan sampai sekarang, apa yang akan dilakukan Bara yang kera