Mobil HRV itu meluncur di jalan seperti seekor gajah yang ramping. Mobil itu menikung tajam di belokan, suara mesinnya mendengung rendah dan dalam hingga terdengar seperti seekor hewan pemangsa.
Adina Bandiani sedang berlutut di kebun bunganya yang subur, menggali tanah di antara semak-semak di bawah bunga lili dan memaki serangga-serangga kecil yang sedang berpesta pora melahap tanamannya, ketika deru mesin mobil itu menarik perhatiannya. Dia menengok ke belakang mengamati mobil itu, lalu mulai panik ketika mobil itu berhenti berhenti di depan rumahnya.
"Ya ampun, apakah sudah sesiang itu?" Gumamnya. Dia meletakkan sekopnya lalu berdiri dan mengibaskan tanah basah yang menempel di lututnya.
Tangannya terangkat untuk mengusap poni dari keningnya sebelum Adina menyadari kalau dia mengenakan sarung tangan berkebunnya yang tebal. Adina segera melepaskannya dan menaruhnya di samping sekop, sambil terus memperhatikan si pengemudi keluar dari mobil itu dan mulai berjalan memasuki halaman rumahnya.
Adina melirik arlojinya dan melihat kalau dia tidak lupa waktu. Pria itulah yang datang terlalu pagi untuk pertemuan mereka dan akibatnya, Adina tidak bisa memberi kesan pertama yang baik. Kepanasan, berkeringat dan kotor bukan penampilan yang baik untuk bertemu dengan seorang klien. Padahal dia sangat membutuhkan bayarannya.
Sambil memaksakan sebuah senyum, Adina berjalan menyambut tamunya, dengan gelisah berusaha mengingat apakah rumah dan studionya sudah cukup rapi ketika dia tinggalkan tadi waktu dia memutuskan untuk berkebun selama satu jam. Dia sudah berencana untuk merapikannya sebelum tamunya tiba.
Penampilannya mungkin acak-acakan, tapi Adina tidak mau kelihatan bisa di intimidasi. Keramahan yang di tambah dengan rasa percaya diri adalah satu-satunya cara untuk menutupi penampilannya yang tidak menguntungkan saat ini.
Pria itu masih beberapa langkah darinya ketika Adina menyapanya. "Halo." Katanya sambil tersenyum lebar. "Kelihatannya waktu kita tidak tepat. Saya pikir Anda tidak akan datang sampai waktu yang sudah kita sepakati sebelumnya."
"Aku sudah memutuskan bahwa sudah waktunya permainan kotormu itu di akhiri." Katanya dengan nada kasar.
Sepatu Adina sedikit terpeleset saat dia berhenti mendadak. Dia memiringkan kepalanya kebingungan. "maaf, saya..."
"Siapa kau sebenarnya, nona?" Tanya pria itu.
"Bandiani. Anda sangka siapa?" Tanya Adina kebingungan.
"Aku tidak tahu siapa namamu. Peran apa yang sedang kau mainkan sekarang?" Tanya pria itu lagi.
"Peran?" Adina memandang ke sekelilingnya, seolah-olah pohon besar di halaman rumahnya dapat memberinya jawaban atas interogasi yang aneh ini.
"Kenapa kau terus menerus mengirimiku surat-surat itu?" Tanya pria itu dengan nada menuntut.
"Surat? Apa maksudmu?" Tanya Adina kebingungan.
Pria itu jelas marah dan kebingungan Adina tampaknya semakin membuatnya murka. Pria itu melangkah cepat ke arahnya seperti seekor elang mengincar tikus sawah, hingga Adina harus mengangkat kepalanya untuk menatapnya. Matahari yang cerah berada di balik tubuh tinggi pria itu, sehingga yang terlihat hanya siluetnya saja.
Pria itu berambut coklat, tinggi, ramping dan mengenakan celana panjang santai dan kaus. Dia memakai kacamata hitam, sehingga Adina tidak bisa melihat matanya, tapi dengan melihat ekspresi dan cara berdirinya yang begitu garang, Adina lebih suka tidak melihat matanya.
"Saya tidak mengerti apa yang sedang anda bicarakan.." Adina memulai.
"Surat-surat itu, nona. Surat-surat itu." Kata pria itu dengan menekankan kata-katanya sambil mengatupkan giginya yang putih.
"Surat apa?" Tanya Adina.
"Tidak usah pura-pura." Jawab Pria itu sambil memasang wajah yang datar.
"Apakah anda yakin kalau anda berada di alamat yang benar?" Tanya Adina, melihat ke sekelilingnya.
Pria itu kembali melangkah maju. "Aku berada di alamat yang benar." Katanya geram.
"Sepertinya tidak." Adina tidak suka di tekan seperti itu, terutama oleh seorang pria yang tidak dia kenal tentang sesuatu yang sama sekali tidak dia ketahui. "Entah anda gila atau mabuk, tapi bagaimana pun juga, anda salah. Saya bukan orang yang anda cari dan saya minta anda segera meninggalkan rumah saya saat ini juga."
"Tadi kau sedang menungguku. Aku bisa melihatnya dari caramu menyambutku." Kata pria itu.
"Tadinya saya pikir anda adalah orang dari biro iklan." Jawab Adina.
"Yah, saya bukan orang dari biro iklan." Sambung pria itu.
"Syukurlah." Adina tidak suka kalau harus berbisnis dengan seseorang yang begitu pemarah dan tidak masuk akal seperti orang ini.
"Tapi kau tahu betul siapa aku." Kata pria itu, membuka kacamata hitamnya.
Napas Adina tercekat dan dia mundur satu langkah karena dia ternyata memang mengenal pria itu. Dia memegang dadanya untuk menahan jantungnya yang berdebar cepat. "Derek." Bisiknya.
"Betul. Aku Derek Emir, persis seperti yang kau tulis di surat-surat itu." Jawab Pria itu tajam.
Adina terkejut melihat pria itu setelah bertahun-tahun lamanya, berdiri hanya beberapa senti di hadapannya. Kali ini pria itu bukan hanya sosok yang di kenalnya di surat kabar atau layar tv. Sosok asli pria itu ada di hadapannya. Tahun demi tahun berlalu namun penampilan pria itu masih tetap sama.
Adina ingin tetap berdiri dan terus memandang pria itu, tapi Derek memandangnya dengan tatapan jijik dan sama sekali tidak mengenalnya. "Mari masuk Derek." Ajak Adina dengan lembut.
Beberapa orang tetangga yang sedang menikmati cuaca akhir pekan yang cerah sambil berkebun, berhenti bekerja atau menyirami tanamannya untuk memperhatikan mobil dan tamu Adina Bandiani.
Tamu pria yang datang ke rumahnya bukanlah sesuatu yang aneh. Banyak kliennya yang pria dan kebanyakan melakukan konsultasi dengannya di rumah. Umumnya tamu-tamu pria yang datang adalah eksekutif resmi, dan mengenakan setelan bisnis. jarang sekali yang berkulit tan dan berwajah bintang film, dan mengendarai mobil mewah.
Wilayah hunian ini bukanlah pemukiman mewah seperti yang ada di sekitarnya. Sebagian besar penduduk di situ berusia separuh baya dan mengendarai sedan yang biasa-biasa saja. HRV yang berhenti di wilayah itu tentu saja memancing rasa ingin tahu. Dan sepanjang ingatan para tetangganya, Adina Bandiani tidak pernah bertengkar dengan siapa pun.
Sepatu karetnya berdecit saat dia berbalik dan Derek Emir mengikutinya hingga masuk ke dalam rumah. Kelembapan di luar sana membuat udara AC terasa nyaman. Tapi karena tubuh Adira basah karena keringat, udara yang dingin malah membuatnya merinding. Atau mungkin karena kenyataan kalau Derek ada di belakangnya yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Lewat sini." Adina mengajaknya melewati lorong yang luas dan menuju teras belakang yang berkaca, yang juga menjadi studionya. Adina merasa seperti dia berada di tempat persembunyiannya ketika dia berada di teras belakang. Membuatnya lebih santai dan membuatnya lebih mampu menghadapi kenyataan mengagumkan kalau Derek Emir tanpa di sangka-sangka kembali memasuki hidupnya lagi.
Saat Adina berbalik agar bisa berhadapan dengan pria itu, mata Derek yang biru jernih sedang mengamati sekeliling studio. Matanya segera memandang mata Adina.
"Jadi?" Tanyanya ketus, menaruh kedua tangannya di pinggangnya, jelas pria itu sedang menunggu penjelasan lengkap atas sesuatu yang sama sekali tidak di ketahui Adina.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang surat apa pun yang kau sebut itu." Kata Adina berbalik menghadap pria itu.
"Surat-surat itu di kirimkan dari alamat ini." Kata Derek.
"Kalau begitu ada kesalahan dari kantor pos." Sambung Adina.
"Tidak mungkin. Tidak sampai lima kali selama beberapa minggu. Dengar nona, eh.. siapa tadi?"
"Adina Bandiani." Jawab Adina, dia menyebutkan nama lengkapnya kali ini.
Pria itu memandangnya sekilas dengan rasa ingin tahu. "Aku sudah melajang selama tiga puluh delapan tahun. Sudah sangat lama dari masa remajaku. Aku tidak ingat setiap wanita yang aku tiduri."
Jantung Adina kembali berdegup tidak karuan dan dia langsung menghirup napas dengan cepat. "Aku tidak pernah tidur denganmu."
Pria itu membuka kakinya sedikit dan memiringkan kepalanya dengan sombong. "Kalau begitu bagaimana mungkin kau mengaku sudah memiliki anak laki-laki dariku? Seorang anak laki-laki yang keberadaannya tidak pernah aku ketahui sampai aku menerima suratmu yang pertama beberapa minggu yang lalu."
Adina tidak mampu berkata-kata. Dia bisa merasakan kalau wajahnya memucat. Rasanya seolah bumi di bawa kakinya terbuka lebar.
"Aku tidak pernah punya anak. Dan aku ulangi sekali lagi, aku tidak pernah mengirimkanmu selembar surat pun." Adina menunjuk ke arah kursi. "Bagaimana kalau kau duduk dulu." Dia tidak menawarkan itu demi sopan santun atau untuk kenyamanan pria itu. Dia khawatir kalau dia tidak segera duduk, lututnya tidak akan tahan lagi untuk menahan tubuhnya.
Derek memikirkan tawarannya selama beberapa saat, menggigit sudut bibirnya dengan marah sebelum bergerak menuju sebuah kursi rotan. Dia duduk di sudutnya.
Adina merasa telanjang dan rapuh saat mata taja pria itu bergerak mengamati dirinya, wajahnya, rambutnya yang acak-acakan dan lututnya yang kotor.
"Kau mengenalku." Kata Derek.
"Siapa pun yang menonton tv atau membaca surat kabar pasti mengenal anda. Anda adalah pilot yang paling terkenal saat ini." Jawab Adina sambil mengangkat bahunya dengan acuh.
"Karena itu aku jadi sasaran paling empuk bagi setiap orang sinting yang mencari korbannya." Kata Derek dengan nada sinis.
"Aku bukan orang gila!" Balas Adina menaikkan nada suaranya.
"Kalau begitu kenapa kau mengirimiku surat-surat itu? Kau tahu, cara seperti itu sudah sangat umum. Aku mendapat lusinan surat setiap harinya."
"Selamat untukmu." Kata Adina dengan nada tidak kalah sinisnya dari Derek.
"Tidak semuanya surat dari penggemar. Ada beberapa orang-orang yang membenciku dan aku juga menerima banyak tawaran untuk menikah mau pun tawaran-tawaran aneh yang lain." Katanya datar.
"Kau beruntung sekali." Sindir Adina.
Derek mengacuhkan sindirian Adina dan terus berbicara. "Tapi surat-suratmu berbeda. Kau adalah orang pertama yang mengatakan kalau aku adalah ayah dari anakmu."
"Apakah anda mengerti? Saya sudah bilang kalau saya tidak pernah punya anak. Bagaimana kau bisa menjadi ayahnya?" Tanya Adina dengan frustasi.
"Itulah maksudku." Sambungnya.
Adina berdiri. Demikian juga dengan Derek. Dia mengikuti Adina yang berjalan menuju meja gambarnya dan menyibukkan diri membereskan pensil-pensil sketsanya dan kuas-kuas catnya ke dalam berbagai wadahnya.
"Kau juga orang pertama yang mengancam akan membeberkan hal itu seandainya aku tidak melakukan apa pun yang kau minta." Kata Derek membeberkan isi surat itu.
Adina berbalik dan Derek berada sangat dekat dengannya. "Memangnya apa yang bisa kulakukan untuk mengancammu? Kau adalah malaikat yang di agung-agungkan sebagai pahlawan ketika kau berhasil menerbangkan pesawat yang hampir jatuh dan mendaratkannya dengan selamat. Oh, dan juga ada parade yang meriah untuk menyambutmu dan para kru. Kalau aku yang bukan apa-apa ini berani menentang orang seterkenal dirimu, aku pasti sudah gila atau bodoh. Aku bisa memastikan kalau aku bukan dua-duanya."
"Kau memanggilku Derek."
Setelah ucapannya yang panjang lebar itu, ucapan tiga kata dari pria itu membuat Adina terkejut. "Apa?"
"Kau pertama kali mengenaliku, kau memanggil namaku." Kata Derek mengingatkan Adina tentang pertemuan mereka di awal tadi.
"Itu memang namamu, kan?" Tanya Adina bingung.
"Tapi biasanya orang yang berpapasan di jalanan akan memanggil nama belakangku bukan panggilan akrab seperti Derek. Kecuali kalau kita sudah saling mengenal sebelumnya." Jawab Derek.
Adina mengelak pernyataan itu. "Apa yang di minta dari surat-surat yang kau tuduhkan itu?"
"Uang." Jawab Derek singkat.
"Uang? Konyol sekali."
"Lalu pemberitahuan pada publik atas keberadaan anakku." Sambung Derek.
Adina melepaskan diri dari impitan Derek dan meja gambarnya. Kedekatan mereka membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dia mulai mengatur tumpukan sketsanya yang bertebaran di atas meja kerjanya. "Aku adalah orang yang mandiri, yang mampu memenuhi kebutuhanku sendiri. Aku tidak akan pernah menuntut uang darimu maupun dari orang lain."
"Ini adalah perumahan yang indah. Rumah yang besar." Kata Derek memulai.
"Milik orang tuaku." Jawab Adina.
"Mereka ada di sini sekarang?" Tanya Derek melihat sekeliling.
"Tidak. Ayahku sudah meninggal dan ibuku terserang stroke beberapa bulan yang lalu dan tinggal di rumah perawatan." Adina membanting tumpukan sketsanya dan berbalik menghadap Derek. "Aku sanggup menghidupi diriku sendiri. Apa urusanmu dengan semua hal ini?"
"Aku rasa korban harus mengenal orang akan memerasnya." Katanya dengan suara parau.
Mata pria itu kembali menelusuri tubuh Adina. Kali ini perlahan dan penuh dengan penilaian. Adina melihat mata itu berhenti di dadanya yang nyaris tidak bisa di tutupi oleh kausnya.
"Kupikir kau harus pergi sekarang." Kata Adina. "Sebentar lagi aku akan kedatangan tamu dan aku harus bersiap-siap."
"Siapa yang kau tunggu? Orang dari biro iklan itu? Kau menyebutnya waktu aku tiba tadi." Kata Derek.
"Dia berjanji untuk datang dan melihat sketsa-sketsa yang aku tawarkan untuk memperoleh bayaran." Balas Adina.
"kau seniman?" Tanya Derek.
"Desainer." Jawab Adina kembali menatap sketsanya.
"Kau bekerja di mana?" Tanya Derek lagi.
"Bekerja sendiri." Jawab Adina singkat.
"Sekarang kau sedang mengerjakan proyek apa?" Tanya Derek penasaran.
"Sampul buku telepon." Jawab Adina.
Alis Derek terangkat. "Kau mendapatkan banyak uang kalau begitu."
"Aku belum mendapat pekerjaannya." Kata Adina sambil mengangkat bahunya.
"Kau sangat membutuhkan bayarannya?"
"tentu saja. Sekarang kalau kau..." Adina mulai berjalan melewati Derek.
Pria itu menahan lengannya saat Adina berusaha untuk melewatinya untuk berjalan ke pintu depan. "Pasti sulit, hidup dari satu bayaran ke bayaran lainnya sementara kau harus mengurus rumah ini dan membiayai perawatan ibumu."
"Aku bisa mengatasinya." Jawab Adina sambil menatap mata Derek
"Tapi Kau tidak kaya." Sanggah Derek.
"Memang tidak." Kata Adina mengakuinya.
"karena itulah kau mengirimiku surat-surat ancaman itu, kan? Untuk mendapatkan uang dariku?"
"Tidak. Untuk kesekian kalinya, aku tidak pernah mengirimkanmu surat apa pun." Jawab Adina dengan frustasi.
"Pemerasan adalah kejahatan serius, kau tahu itu, kan?"
"Dan tuduhanmu itu terlalu konyol untuk aku lakukan. Sekarang, tolong lepaskan lenganku." Kata Adina tajam.
Derek melepaskan tangannya. "kau terlihat cukup pandai."
"Apakah itu sebuah pujian?" Tanya Adina.
"Kalau begitu kenapa kau mengirim surat-surat kaleng padaku, lalu menulis alamatmu di amplopnya?"
Adina tertawa lembut penuh keheranan dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melakukannya. Atau barusan itu hanya jebakan? Mana surat-surat itu? Apakah aku boleh melihatnya? Mungkin setelah aku membaca surat itu aku bisa memberimu penjelasan."
"Apakah aku bodoh? Aku tidak akan menyerahkannya padamu supaya kau bisa menghancurkan buktinya."
"Ya ampun." Adina mengangkat kepalanya menatap wajah pria itu. "Kau benar-benar serius dengan semua ini?"
"Awalnya tidak. Kau hanyalah salah satu dari sekian banyak orang sinting. Tapi setelah surat yang kelima, waktu kau mulai mengancam, aku pikir sudah saatnya aku berhadapan langsung denganmu." Kata Derek.
"Aku tidak termasuk tipe wanita yang akan menuduh pria mana pun juga sebagai ayah dari anakku." Kata Adina tersinggung dengan ucapan pria itu.
"Bahkan pria yang sangat terkenal sepertiku?" Tanya Derek sambil mengangkat alisnya.
"Tidak." Jawab Adina dengan nada yakin.
"Seorang pria yang akan kehilangan segalanya jika sampai terlibat skandal?"
"Benar! Lagi pula aku kan sudah bilang kalau aku tidak pernah punya anak." Kata Adina meyakinkan pria itu.
Mereka mendengar pintu depan di buka dan di banting kembali. Ada suara seseorang berlari di ruang depan. Lalu seorang remaja laki-laki yang tinggi kurus berlari menuju pintu.
"Ma, cepat lihat, ada mobil yang di parkir di depan rumah kita. Mobilnya sangat keren!"
Dalam keheningan yang mencekam, Adina bisa mendengarkan detak jantungnya sendiri. Dia berusaha untuk tetap terlihat tenang di hadapan putranya, meskipun itu sulit. Setelah beberapa detik, diam-diam dia melirik ke arah Derek Emir. Pria itu sedang memandang Bobby. Rasa tidak percaya sangat jelas terlihat di wajah tampan pria itu.Bobby akhirnya mulai berbicara. "Kau Derek Emir!""Bobby, sopan sedikit kalau berbicara." tegur Adina."Maaf ma, tapi ini adalah Derek Emir! Derek Emir ada di rumahku." Kata Bobby tanpa mengubah nada suaranya.Sang pilot mengubah ekspresi kebingungan di wajahnya dengan senyumnya yang khas, dia terlihat sudah kembali tenang. "Bobby? Senang berkenalan denganmu." Derek melangkah maju dan menjabat tangan anak remaja itu.Di seberang ruangan Adina mencengkeram sisi meja kerjanya untuk menopang tubuhnya. Tinggi tubuh Bobby nyaris sama dengan Derek. Rambut cokelatnya persis sama, matanya juga sama birunya. Hanya saja Bobby masih terlalu kurus. Tapi pada akhirnya, dia
Derek mencengkeram lengan atas Adina. "Aku akan mengantarmu.""Kau tidak perlu melakukannya." Kata Adina."Kita perlu bicara." Kata Derek tajam."Tidak ada yang perlu di bicarakan." Balas Adina."Tentu saja ada." Kata Derek, dia mendekatkan wajahnya hanya beberapa senti di depan wajah Adina. "Kau baru saja mengakui kalau anak remaja itu adalah anakku. Aku akan menempel terus padamu sampai aku mendapatkan jawaban. Sekarang, aku akan mengantarmu."Adina tidak bisa memberontak, pria itu mencengkeram lengannya dengan sangat kuat saat mereka menuruni tangga. Selain itu, Adina merasa kalau sudah saatnya Derek mengetahui semuanya. "Kunci rumahmu." Kata Derek. "Kau tidak punya alarm untuk mencegah pencurian?""Tidak." Jawab Adina malu."Kau seharusnya memasangnya. Rumah ini besar dan mudah di dobrak." Kata Derek.Mereka berjalan menuju trotoar tempat mobil Derek terparkir. Adina masuk ke kursi penumpang sementara Derek mengitari mobilnya untuk duduk di belakang kemudi."Lewat mana?" tanya De
Sudah ada yang menunggu Derek saat dia tiba di rumahnya. Dua-duanya perempuan. Satunya berambut pirang dan satunya berambut hitam pekat. Keduanya berwarna cokelat. Yang satunya berkaki dua, dan yang satunya berkaki empat. Yang satunya terlihat sangat marah dan yang satunya terlihat gembira.Seekor anjing bernama Luna, berlari menyeberangi pekarangan yang di tata rapi oleh tukang kebun yang belum pernah Derek lihat. Mereka datang saat dia sedang pergi bekerja dan pergi dengan meninggalkan tagihan di kotak surat. Seorang pengurus rumah membereskan rumahnya dengan cara yang sama. Tempat tinggalnya tidak seperti tempat tinggal seorang pria lajang.Luna nyaris membuatnya jatuh ketika anjing itu melompat pada Derek dan mencoba menjilat wajahnya. "Hai Luna." Kata Derek sambil mendorong anjing itu dengan penuh sayang. Derek membungkuk lalu memungut koran sore dan menggaruk belakang telinga anjing itu. Kemudian dia melempar koran dan Luna dengan gerakan melompat langsung mengejar koran itu.De
"Selamat malam ma." Bobby berdiri di depan pintu. Hanya ada sebuah lampu kecil yang menyala di atas meja gambar Adina, Dia sedang berusaha menumpahkan semua ide yang ada dalam kepalanya untuk sebuah iklan perusahaan."Sudah mau tidur?" Tanya Adina setelah menengok menatap Bobby."Pelatih memberi latihan yang keras tadi sore. Aku capek." Jawab Bobby.Adina tidak akan memarahi cara bicara Bobby. Malam ini dia memilih untuk mengacuhkan Bobby karena dia tahu kalau Bobby berbicara seperti itu untuk menguji kesabaran dan reaksinya. Kadang cara yang paling baik adalah dengan tidak bereaksi."Tidurlah kalau begitu. jangan lupa, kau harus memotong rumput besok." Kata Adina mengingatkan Bobby."Dua puluh ribu?""Lima puluh ribu kalau kau merapikan dan menyapu." Jawab Adina."Baiklah." Kata Bobby tapi dia tidak segera pergi dari sana. Dia memegang kayu di kusen pintu, pertanda kalau dia akan memulai sebuah pembicaraan yang sensitif. "Sebenarnya apa yang di lakukan di sini Derek Emir tadi siang?"
"Cola dingin satu." Kata Adina."Dua."Mendengar suara Derek, Adina memutar tubuhnya dan melihat Derek sedang berdiri tepat di belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?""Beli cola." jawab Derek sambil tersenyum santai. "Dan Popcornnya satu."Pria di balik stan makanan memberikan pesanan mereka sambil terus menatap Derek. "Sepertinya aku mengenalmu."Derek tersenyum lebar sambil menyerahkan uang. "Mungkin kau memang mengenalku."Pria itu terus memperhatikan wajah Derek sambil menghitung uang kembalian Derek. Adina berusaha untuk membayar sendiri minumannya tapi tangannya di tahan oleh Derek."Oh astaga!" Kata pria remaja itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau bekerja di supermarket, kan? Di bagian peralatan olahraga?"Senyum Derek memudar, tapi hanya separuh. "benar." Pria itu tersenyum lebar dan terlihat bangga karena telah mengingat seorang pekerja yang bekerja di supermarket sambil menyerahkan uang kembalian pada Derek. "Terima kasih." Kata Derek lalu menuntun Adina keluar dari
Derek mengangkat ke dua bahunya. "Tapi para direktur masih saja cemas. Mereka tidak mau membuat kesalahan lagi. Jelas mereka tidak mau ada skandal lainnya. Dan kalau sampai foto seorang anak yang tidak sah atau anak haram yang tidak pernah aku ketahui keberadaannya muncul di tabloid atau majalah atau koran dan internet, apa kau kira aku masih akan punya kesempatan untuk bekerja di maskapai lagi?""Memangnya kau masih ingin pergi bekerja setelah semua yang terjadi?" Tanya Adina.Derek memandangnya dengan ekspresi yang mengatakan kalau itu adalah pertanyaan yang paling bodoh yang pernah dia dengar. "tentu saja. hanya masalah waktu, aku hanya mengambil cuti beberapa minggu untuk istirahat. Aku ingin menerbangkan pesawat sebanyak yang bisa aku lakukan sebelum aku di anggap terlalu tua atau sebelum ada masalah kesehatan terjadi padaku atau sebelum pilot-pilot muda menggantikanku. jadi, tentu saja aku ingin terbang lagi.""Kau benar-benar suka pekerjaanmu, ya" Tanya Adina sambil menggelengk
Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah."jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam. "Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan."hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek."Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola.""Aku tidak keber
"Rumahmu?" Tanya Adina."Aku pikir mungkin kalian mau berenang dan beristirahat." Jawab Derek datar."Benarkah?" Tanya Bobby kegirangan."Sekarang sudah larut." Kata Adina dengan nada peringatan."Besok libur, boleh, kan?" Rengek Bobby.Karena Derek yang menyetir mobil, keputusan jelas bukan di tangan Adina, tapi dia sama sekali tidak menyukai ide untuk pergi ke rumah pria itu. Dia tidak mau Bobby menjadi terlalu akrab dengan orang terkenal yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja begitu kegembiraan memiliki seorang anak sudah luntur.Dan kalau rasa tanggung jawab Derek membuatnya merasa wajib untuk mengasuh Bobby, bagaimana rumah tuanya, yang genteng belakangnya sangat perlu di perbaiki, dapat menandingi rumah modern yang indah dengan kolam renang di halaman belakang dan akuarium di dinding ruang makan?Akuarium itu hanya salah satu dari ratusan benda lain yang di sebut Bobby "Keren!" ketika dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Anjing
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta
Hari sudah senja ketika Adina berbelok menuju rumah Derek. Adina memarkir mobilnya di depan rumah itu dan untuk sesaat dia hanya duduk di balik kemudinya, dia merasa terlalu letih dan sedih untuk bergerak.Akhirnya dia berhasil mengumpulkan energi untuk membuka pintu mobil dan berjalan menuju pintu depan rumah Derek. Dia mendengar denting bel pintu yang baru saja dia bunyikan dan geraman penuh curiga dari Luna sebelum akhirnya Derek membuka pintu yang ada di hadapannya. Pria itu hanya mengenakan celana renang yang basah. Dan Derek terlihat terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini."Hai, Apakah Bobby ada di rumah?" Tanya Adina pelan."Dia tidak ada." Jawab Derek.Adina sedikit terkejut. Satu-satunya yang dia pikirkan tadi hanyalah datang ke rumah ini untuk bertemu dengan Bobby."Ayo masuk." Kata Derek lalu mundur beberapa langkah agar wanita itu bisa masuk ke dalam rumahnya.Hanya ada sedikit energi yang tersisa dalam tubuh Adina. Dia tetap melakukan apa yang di minta pria
Belum sampai dua puluh menit, Ponsel Adina berdering kembali dari sebuah nomor yang tidak di kenal. Dengan hati yang gelisah Adina menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?" kata Adina."halo, maaf aku perawat dari rumah sakit." Jawab seseorang dari seberang."Apakah terjadi sesuatu pada ibuku?" tanya Adina dengan panik. "Kondisi ibumu tiba-tiba menurun. Sekarang sedang dalam tindakan, Apakah kau bisa kemari?" kata Perawat itu. Adina tertegun bingung, dia mendengar suara bising di lalu lintas dan juga suara bising dari balik telepon itu. Suara keras monitor dan suara kepanikan seorang pria yang di kenalnya sebagai dokter Bili yang menyuruh seseorang untuk menyiapkan sebuah suntikan obat."halo?" Kata perawat itu lagi."Aku... Aku dalam perjalanan." Kata Adina lalu segera mematikan panggilan itu. Dengan tangan gemetar Adina mencoba tenang dan berbalik arah kembali ke rumah sakit. Dia menyetir dengan kcepatan maksimum dan berdoa agar lalu lintas bersahabat dengannya unt
keesokan paginya ketika dia masuk ke dapur untuk membuat kopi, Adina terkejut melihat dapurnya sudah rapi dan bersih. Ruang makan juga sudah di bersihkan dari sisa-sisa pesta ulang tahun, walau pun bunganya masih ada di atas meja. Sepertinya Derek dan Bobby sudah membersihkan segalanya sebelum mereka pergi. Adina menyesap kopi yang sudah dia buat lalu berpikir bagaimana dia bisa menjual mobil yang baru saja dia beli itu. Mungkin si penjual mobil mau mengambilnya kembali dan mengembalikan uangnya. Sementara Adina sibuk merenung hal yang sepertinya tidak mungkin itu, teleponnya berdering. "Adina?" Suara seorang wanita yang dia kenal dari balik telepon. "ya?" jawab Adina. "Ini adalah Dokter Wulan." Kata wanita itu. benar saja, Dokter Wulan adalah dokter yang menangani ibunya. "Ibumu terkena serangan jantung yang parah beberapa menit yang lalu dan kami sedang dalam perjalanan dengan ambulans menuju ke rumah sakit yang lebih besar." Kata Dokter Wulan. Setelah menutup telepon dengan