Derek mencengkeram lengan atas Adina. "Aku akan mengantarmu."
"Kau tidak perlu melakukannya." Kata Adina.
"Kita perlu bicara." Kata Derek tajam.
"Tidak ada yang perlu di bicarakan." Balas Adina.
"Tentu saja ada." Kata Derek, dia mendekatkan wajahnya hanya beberapa senti di depan wajah Adina. "Kau baru saja mengakui kalau anak remaja itu adalah anakku. Aku akan menempel terus padamu sampai aku mendapatkan jawaban. Sekarang, aku akan mengantarmu."
Adina tidak bisa memberontak, pria itu mencengkeram lengannya dengan sangat kuat saat mereka menuruni tangga. Selain itu, Adina merasa kalau sudah saatnya Derek mengetahui semuanya.
"Kunci rumahmu." Kata Derek. "Kau tidak punya alarm untuk mencegah pencurian?"
"Tidak." Jawab Adina malu.
"Kau seharusnya memasangnya. Rumah ini besar dan mudah di dobrak." Kata Derek.
Mereka berjalan menuju trotoar tempat mobil Derek terparkir. Adina masuk ke kursi penumpang sementara Derek mengitari mobilnya untuk duduk di belakang kemudi.
"Lewat mana?" tanya Derek.
Adina memberi tahu arah ke mana mereka akan pergi. Tidak lama kemudian mereka sudah berada di jalan tol. Adina mencengkeram ujung kursi kuat-kuat. Pria itu menyetir mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Mata Derek lebih sering memperhatikannya dari pada memperhatikan jalanan.
"Apa yang kau lihat?" Tanya Adina merasa terganggu dengan cara Derek menatapnya.
"Kau. Kau sangat mungil. Kau tidak terlihat bisa mengandung seorang anak dan rasanya aneh karena aku tidak ingat pernah tidur denganmu." Jawab Derek sambil menggelengkan kepalanya.
Mata pria itu menelusuri wajahnya kemudian ke lehernya dan ke dadanya dan paha Adina. Tatapannya yang intens membuat Adina merasa telanjang. Ingin rasanya dia menutup dirinya dengan kedua tangannya.
"Aku mungkin sedang mabuk saat itu." Kata Derek dengan suara parau. "Kalau tidak, kurasa aku akan mengingat pernah tidur denganmu."
"Aku tidak pernah tidur denganmu." Adina memandang ke depan ke kaca yang gelap, dia merasa terlalu lemah untuk bertatapan dengan Derek. "Bobby bukan anakku."
"Kalau begitu..."
"Bobby adalah anak dari kakakku. Kau dan dia tidur bersama." Adina mengangkat bahu dan melirik pria itu sekilas. "Kita akan keluar dari jalur sebelah kanan."
Derek menyalip sebuah mobil. Pengemudinya langsung menekan klakson.
"Jadi maksudmu, kakakmu mengandung anakku, begitu?"
"Bukan ceritanya, dia memang mengandung anakmu." Jawab Adina.
Tiba-tiba Derek menjadi lebih marah. "Dari mana kau tahu kalau Bobby adalah anakku?" Adina menatapnya dengan tajam. "Baiklah, aku mengakui kalau dia memang sedikit mirip denganku. Tapi itu tidak membuktikan apa-apa."
"Aku tidak perlu membuktikannya." Kata Adina tajam. "Terserah padamu, kau mau percaya atau tidak, itu sama sekali bukan urusanku. Belok kanan di jalan itu."
Dengan tidak sabar Derek menunggu lampu hijau dan langsung tancap gas ketika lampu langsung berubah warna. "Itu pantinya." Kata Adina dengan lega saat mereka memasuki jalan masuk menuju panti. "Kau bisa menurunkan aku di pintu samping."
Panti itu adalah sebuah bangunan sederhana yang di danai oleh sebuah gereja, pemandangannya indah dan staffnya sangat berkualitas. Strok yang di derita ibu Adina tidak membuatnya lumpuh total tapi membuatnya cukup lemah hingga membutuhkan pengawasan sepanjang hari. Menitipkan ibunya di panti adalah sebuah keputusan terberat yang di lakukan Adina.
Ketika Derek menghentikan mobilnya di pintu samping, Adina langsung membuka pintu dan turun dari mobil kemudian berbalik menatap Derek.
"Aku tidak tahu siapa yang mengirimkan semua surat tentang Bobby padamu, tapi yang pasti itu bukan aku. Aku tidak berpikir untuk memberitahumu tentang Bobby ataupun sebaliknya. Aku juga tidak butuh apa pun darimu, apa lagi uang. Jadi kerjakan saja apa yang harusnya kau kerjakan dan biarkan aku mengerjakan pekerjaanky dan anggap saja hari ini tidak pernah terjadi. terima kasih untuk tumpangannya." Kata Adina kemudian menutup pintu mobil.
Sudah tujuh belas tahun dia tidak bertemu dengan Derek. Dia ingat dengan jelas ketika pria itu melambaikan tangannya pada mereka waktu itu lalu berbalik dan berlari ke arah pantai, terlihat seperti seorang pria muda yang bersemangat dan tampan.
Saat itu hati Adina hancur ketika mengucapkan selamat tinggal pada pria itu. Kali ini dia tidak mengizinkan dirinya menoleh ke belakang sebelum memasuki bangunan itu.
Adina menemani ibunya sampai dua jam lebih. Selama itu ibunya lebih sering tidur, hanya sesekali menggumamkan beberapa kata yang tidak di mengerti Adina. Ketika Adina bkeluar dari kamar ibunya, dia melihat Derek sedang berjalan mondar mandir di lorong. Para perawat di balik meja perawat memperhatikannya dengan bersemangat.
"kau masih di sini?" Tanya Adina bingung. Emosinya sudah terkuras setelah bertemu dengan ibunya.
"bagaimana caranya kau pulang?" Tanya Derek tanpa mempedulikan pertanyaan Adina.
"Taksi." jawab Adina singkat.
Derek menggelengkan kepalanya dan menuntun Adina ke pintu keluar. "Kau harusnya jangan naik sembarang taksi." Beberapa menit berjalan mereka sudah berada kembali di dalam mobil Derek.
"Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Derek.
"Tidak begitu baik." Jawab Adina sambil tersenyum sedih.
"Aku turut prihatin." Kata Derek setelah terdiam beberapa detik.
"Mereka terus memberinya obat. Dia juga sering merasa pusing. Saat dia tenang, dia selalu membicarakan ayahku dan Deolinda. Dia juga sering menangis." Kata Adina.
"Di pantai, kan?" Tanya Derek.
"Maksudmu tempat kita bertemu dulu?" Kata Adina seolah tahu apa yang sedang di bicarakan Derek.
Benar saja, Derek mengangguk.
"Benar." Jawab Adina, dia bertanya-tanya berapa banyak yang bisa di ingat pria itu. "Villa yang di sewa oleh keluargaku saat itu berdekatan dengan villa yang di sewa oleh keluargamu."
Derek menyipitkan matanya. "Kalian berdua kakak-beradik."
Adina menghembuskan napas. "Deolinda adalah kakakku, dan aku Adina."
"Deolinda dan Adina. Aku ingat sekarang. Kakakmu sangat cantik." Kata Derek.
Adina menganggukkan kepalanya. "Kau benar."
"Saat itu kau masih kecil."
"Lima belas tahun." Kata Adina mengoreksinya.
"Dan ayahmu adalah seorang pendeta, kan? Aku ingat kita harus bersembunyi untuk minum bir." Kata Derek sambil tertawa kecil.
"kau membujuk Deolinda untuk ikut minum bersamamu." Adina mengoreksinya.
Derek tertawa. "Tapi kau tidak mau. Dia selalu menyebutmu sok suci dan sebagainya."
"Kami memang memiliki sikap yang berbeda." Kata Adina.
Derek terdiam, seolah sedang merenungkan perkataan Adina. "kalau Deolinda tidur denganku, dia mungkin juga tidur dengan banyak pria lainnya."
"Dia baru berumur tujuh belas tahun saat itu. Kau adalah pria pertamanya." Jawab Adina.
"Tujuh belas? Aku kira umurnya sudah lebih dari itu." Kata Derek dengan muram.
"Dia memang terlihat lebih tua dari usianya." Kata Adina pelan.
"Dan tingkah lakunya juga. Tingkah lakunya sudah tidak seperti anak remaja yang berusia tujuh belas tahun. Aku ingat bagian dadanya saat dia memakai bikini. Tubuhnya seperti wanita dewasa waktu itu." Kata Derek.
"Aku tidak akan memperdebatkan hal itu." Balas Adina. Entah kenapa dia merasa kesal karena Derek mengingat tubuh kakaknya. Tentu saja itu tidka membutanya terkejut, hanya saja dia berharap pria itu berhenti membahasnya.
Derek berbelok ke tempat parkir sebuah cafe. "Kau sepertinya butuh minum."
"Aku lebih suka kalau kau mengantarku pulang." Balas Adina cepat.
"Dengar." Kata Derek dengan kesabaran yang mulai habis. "Kau sedikit terguncang dan sedih. Apakah kau tidak merasa haus. Mungkin kopi atau teh bisa membuatmu merasa lebih baik? Aku tidak mengajakmu mabuk-mabukkan dan tidur denganku. Apakah kau masih akan sok suci seperti dulu sampai tidak mau minum kopi atau teh dengan seorang pria?"
Tanpa menunggu jawaban Adina, Derek melangkah keluar dari mobilnya dan membanting pintu. Dia memutar ke pintu penumpang. Adina melihat beberapa orang di sekitar langsung mengenali Derek ketika mereka berjalan menuju sebuah tempat duduk di pojokan.
"Apakah ini selalu terjadi kemana pun kau pergi?" tanya Adina merasa tidak nyaman.
"maksudmu tingkah laku orang-orang itu? Acuhkan saja." Kata Derek.
Adina berusaha melakukannya, tapi hal itu bukan hal yang mudah karena dia sendiri juga sedang di perhatikan sama seperti yang mereka lakukan pada Derek. Ketika pelayan mendekati meja mereka sambil memberikan daftar menu dan sekaligus meminta tanda tangan Derek. Pria itu memberikannya sambil memesan dua cangkir kopi.
"Jadi, apa yang dia lakukan?" Tanya Derek setelah pelayan itu pergi.
"Siapa?" Tanya Adina.
"kakakmu. Apa yang dia lakukan setelah dia tahu kalau dia hamil?"
"Dia ingin menggugurkannya." jawab Adina dengan jujur.
Dari seberang meja dia bisa merasakan reaksi Derek yang berubah tegang. Dia melihat tangannya mengepal.
"Kenapa dia tidak melakukannya?" Tanya Derek.
Adina merasa sulit membicarakan hal ini. Saat itu merupakan saat yang paling menggemparkan dalam keluarganya. Saat itulah mereka mulai tercerai berai. Setelah itu mereka tidak lagi menjadi orang yang sama.
"Linda menceritakan rencananya padaku." Kata Adina setengah berbisik. "Suatu malam setelah makan malam, Linda bilang kalau dia ingin bicara padaku. Dia bilang padaku kalau dia sedang hamil. Dia takut. hal itu membuatku lebih takut karena aku belum melihatnya begitu kacau. kami terjaga sepanjang malam, menangis bersama, memikirkan apa yang harus kami lakukan. Kami tidak mungkin pergi mencarimu. Kau sudah bergabung dengan sebuah maskapai. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan. tapi aku tidak menyangka dia mau menggugurkannya, membuang bayinya seperti sampah. Bagaimana pun juga itu adalah seorang bayi, sebuah kehidupan yang kalian ciptakan." Adina terdiam, dengan hati-hati menatap Derek. "Aku tidak tahan memikirkannya. Dan aku tahu kalau ibu dan ayahku lebih suka memilikibayi itu dari pada harus menggugurkannya begitu saja."
"jadi kau memberitahu rencananya pada orangtuamu?" Tanya Derek.
"benar. Mereka melarangnya. Linda sangat marah pada kami semua. kehamilannya yang berlangsung selama sembilan bulan itu sama sekali tidak menyenangkan. Kemudian lahirlah Bobby." Kata Adina sambil tersenyum lembut mengingat wajah bayi yang baru saja lahir itu. "Dan kami semua mencintainya."
"Bahkan Linda juga?" tanya Derek ragu.
Adina menatap Derek dengan tersenyum. "Dia akhirnya mencintai Bobby. Anak itu sangat menggemaskan dan tampan."
Derek menatap Adina, merasa masih ada yang belum wanita itu ceritakan. tapi kopi yang mereka pesan sudah datang membuat Adina menghentikan ceritanya.
"Kenapa Bobby tidak bersama dengan Linda sekarang?" tanya Derek ketika pelayan pergi.
"Deolinda sudah meninggal. Waktu Bobby masih berumur lima tahun." Jawab Adina.
"Apa yang terjadi?" tanya Derek kemudian minum kopinya.
"kecelakaan mobil. Orangtuaku sangat berduka. Ayahku terkena serangan jantung dan meninggal di tahun yang sama. Sejak saat itu aku tinggal bersama ibuku dan Bobby." Jawab Adina.
Mereka terdiam selama beberapa menit. Adina menyesap kopinya pelan, masih merasa tidak nyaman dengan tatapan mata beberapa orang di sekeliling mereka.
"Aku selalu memakai kondom." Kata Derek tiba-tiba.
Kopi panas tumpah di atas tangan Adina, membuat tangannya melepuh dan merah. "Apa?"
Dengan tenang Derek mengambil beberapa tisu dan menempelkan pada meja yang terkena tumpahan kopi. "Tanganmu baik-baik saja?"
"Tidak apa-apa." Adina berbohong.
Derek memanggil pelayan dan meminta mentega dingin padanya. Pelayan dengan cepat kembali dengan piring berisi mentega dan menyerahkannya pada Derek.
"terima kasih." Kata Derek pada pelan itu sambil tersenyum.
"Aku bisa melakukannya sendiri." Kata Adina.
"Berikan tanganmu."
Adina akhirnya memberikan tangannya yang merah. Dengan dua jari, Derek mencolek mentega dingin dan mengusapkan pada tangan Adina.
"Setiap kali aku tidur dengan seorang wanita, aku selalu memakai pengaman." Kata Derek pelan. "Selalu."
"Berarti kau masih belum percaya kalau Bobby adalah anakmu?" Tanya Adina. Suaranya sama sekali tidak terdengar normal. Rasa perih pada tangannya membuat suaranya parau dan serak. Atau mungkin karena sentuhan Derek. Saat jari-jari pria itu terus meluncur di antara jari-jari Adina, membuatnya merinding. Dengan enggan Adina menarik tangannya dari pria itu.
"Coba saja kau pikir." Kata Derek. "Sebelum hari ini, aku bahkan tidak tahu kalau dia ada. Apa kau ingin aku langsung menerima dan mempercayai penjelasanmu mentah-mentah?"
Adina menarik napas dengan jengkel. "Aku tidak mengharapkan apa pun darimu." Kata Adina dingin.
"Dan aku bukan tipe pria yang bisa begitu saja bersikap tidak peduli saat mendengar kalau aku mungkin punya seorang anak. Wajar saja kalau aku menjadi emosi. Begini saja, aku akan menanyakan beberapa pertanyaan dan kau jawab dengan jujur." Kata Derek.
"Tanya saja apa yang ingin kau ketahui." Kata Adina.
"bagaimana mungkin Bobby adalah anakku kalau aku sudah sangat berhati-hati?" Tanya Derek.
"Mungkin waktu itu kau tidak menggunakannya." Jawab Adina sambil mengangkat bahu.
"Bagaimana kau bisa tahu? Apakah ini semacam permainan? Apakah kau berada di sana?" Tanya Derek dengan nada tajam. Adina mengambil tasnya dan Derek meraih lengannya. "Maaf. Ucapanku tidak pantas. Maafkan aku Adina."
Mungkin karena mendengar pria itu menyebut namanya untuk pertama kalinya setelah belasan tahun atau mungkin karena Adina merasa perlu menjelaskan persoalan ini dan dia kembali meletakkan tasnya.
"Aku bisa mengerti kalau kau menganggap Linda murahan." Kata Adina tajam. "Linda yang bilang padaku kalau waktu itu kau tidak memakainya pada suatu malam." Adina menatap Derek.
"Aku mengerti. Teruskan."
"Saat itu dia tidak ingin kau berhenti, jadi dia berbohong padamu. Dia bilang padamu kalau dia minum pil." Kata Adina pelan.
Derek terdiam sebentar dan kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingat."
"Kau sudah minum bir sepanjang hari." Kata Adina menjelaskan.
"Kalau begitu mungkin kejadiannya memang seperti itu."
"Tidak penting apakah Bobby adalah anakmu atau bukan." Bisik Adina. "Hidup kita akan tetap berlanjut seperti biasanya."
"Kau melupakan satu hal yang penting, Adina." Kata Derek tajam.
"Apa?" tanya Adina.
"Surat-surat itu." jawab Derek menekankan suaranya.
Adina mengangkat tangannya. "Berapa kali harus aku katakan padamu kalau bukan aku yang menulis surat-surat itu?"
"Kalau bukan kau berarti ada orang lain yang menulisnya. Kau bilang kau tidak ingin apa pun dariku." Kata Derek.
"Memang tidak." Sanggah Adina cepat.
"Tapi siapa pun yang menulis surat itu, dia meminta sesutau dariku. Dan berarti Bobby dan aku berada dalam bahaya."
"Kau tidak berpikir kalau seseorang berniat mencelakainya, kan?" tanya Adina mulai panik.
"Aku tidak tahu. Mungkin tidak, mungkin iya."
Adina mengigit bibir bawahnya dengan cemas. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Aku tidak bermaksud membuatmu cemas. Hanya saja kau perlu waspada untuk sementara waktu. Kita harus mencari tahu siapa yang berada di balik semua ini. Siapa menurutmu?" tanya Derek menatapnya.
"Entahlah. Bobby mirip sekali denganmu, orang baru akan menyadarinya kalau kalian berdiri berdampingan." Kata Adina jujur.
"Bagaimana dengan dokter yang membantu kelahirannya?" Tanya Derek.
"Kami pindah jauh dari tempat itu sudah sangat lama, aku tidak pernah mendengar kabarnya. Lagi pula, dia tidak tahu siapa ayah dari bayi Linda." Jawab Adina sambil menggelengkan kepalanya.
"Mungkinkah Linda menceritakan semuanya pada sahabatnya?" Tanya Derek lagi.
"Kurasa tidak. tapi siapa yang tahu. Menurutmu ada orang yang tahu dan memutuskan untuk memerasmu?" tanya Adina.
"Mungkin saja. Bagaimana dengan orang-orang di panti tempat ibumu di rawat?"
"Panti itu di jalankan oleh sebuah gereja. Mereka memberi potongan harga karena ayahku adalah pendeta di sana, jadi sebaiknya singkirkan pikirkan burukmu itu." Jawab Adina tajam.
"Aku hanya..."
"Diam dan dengarkan aku Derek. Aku mencintai Bobby dan Bobby mencintaiku. Sejauh ini yang kau pikirkan hanya bagaimana akibatnya terhadap nama baikmu yang sudah sangat terkenal itu. Tapi kau tidak ingin memikirkan bagaimana akibatnya terhadap Bobby. Dia sedang berada di usia yang rentan, sangat mudah terpengaruh. Dan aku tidak ingin apa pun yang terjadi bisa merusak kehidupannya termasuk mengetahui kalau ayahnya adalah seorang pilot yang hebat dan berbakat yang hanya akan tidur dengan wanita kalau dirinya sudah memakai pengaman. Kalau kau melakukan atau mengatakan apa pun yang bisa mencelakai Bobby, kau akan berharap kau tidak akan pernah mengenalku." Kata Adina lebih tajam dari sebelumnya.
Sudah ada yang menunggu Derek saat dia tiba di rumahnya. Dua-duanya perempuan. Satunya berambut pirang dan satunya berambut hitam pekat. Keduanya berwarna cokelat. Yang satunya berkaki dua, dan yang satunya berkaki empat. Yang satunya terlihat sangat marah dan yang satunya terlihat gembira.Seekor anjing bernama Luna, berlari menyeberangi pekarangan yang di tata rapi oleh tukang kebun yang belum pernah Derek lihat. Mereka datang saat dia sedang pergi bekerja dan pergi dengan meninggalkan tagihan di kotak surat. Seorang pengurus rumah membereskan rumahnya dengan cara yang sama. Tempat tinggalnya tidak seperti tempat tinggal seorang pria lajang.Luna nyaris membuatnya jatuh ketika anjing itu melompat pada Derek dan mencoba menjilat wajahnya. "Hai Luna." Kata Derek sambil mendorong anjing itu dengan penuh sayang. Derek membungkuk lalu memungut koran sore dan menggaruk belakang telinga anjing itu. Kemudian dia melempar koran dan Luna dengan gerakan melompat langsung mengejar koran itu.De
"Selamat malam ma." Bobby berdiri di depan pintu. Hanya ada sebuah lampu kecil yang menyala di atas meja gambar Adina, Dia sedang berusaha menumpahkan semua ide yang ada dalam kepalanya untuk sebuah iklan perusahaan."Sudah mau tidur?" Tanya Adina setelah menengok menatap Bobby."Pelatih memberi latihan yang keras tadi sore. Aku capek." Jawab Bobby.Adina tidak akan memarahi cara bicara Bobby. Malam ini dia memilih untuk mengacuhkan Bobby karena dia tahu kalau Bobby berbicara seperti itu untuk menguji kesabaran dan reaksinya. Kadang cara yang paling baik adalah dengan tidak bereaksi."Tidurlah kalau begitu. jangan lupa, kau harus memotong rumput besok." Kata Adina mengingatkan Bobby."Dua puluh ribu?""Lima puluh ribu kalau kau merapikan dan menyapu." Jawab Adina."Baiklah." Kata Bobby tapi dia tidak segera pergi dari sana. Dia memegang kayu di kusen pintu, pertanda kalau dia akan memulai sebuah pembicaraan yang sensitif. "Sebenarnya apa yang di lakukan di sini Derek Emir tadi siang?"
"Cola dingin satu." Kata Adina."Dua."Mendengar suara Derek, Adina memutar tubuhnya dan melihat Derek sedang berdiri tepat di belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?""Beli cola." jawab Derek sambil tersenyum santai. "Dan Popcornnya satu."Pria di balik stan makanan memberikan pesanan mereka sambil terus menatap Derek. "Sepertinya aku mengenalmu."Derek tersenyum lebar sambil menyerahkan uang. "Mungkin kau memang mengenalku."Pria itu terus memperhatikan wajah Derek sambil menghitung uang kembalian Derek. Adina berusaha untuk membayar sendiri minumannya tapi tangannya di tahan oleh Derek."Oh astaga!" Kata pria remaja itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau bekerja di supermarket, kan? Di bagian peralatan olahraga?"Senyum Derek memudar, tapi hanya separuh. "benar." Pria itu tersenyum lebar dan terlihat bangga karena telah mengingat seorang pekerja yang bekerja di supermarket sambil menyerahkan uang kembalian pada Derek. "Terima kasih." Kata Derek lalu menuntun Adina keluar dari
Derek mengangkat ke dua bahunya. "Tapi para direktur masih saja cemas. Mereka tidak mau membuat kesalahan lagi. Jelas mereka tidak mau ada skandal lainnya. Dan kalau sampai foto seorang anak yang tidak sah atau anak haram yang tidak pernah aku ketahui keberadaannya muncul di tabloid atau majalah atau koran dan internet, apa kau kira aku masih akan punya kesempatan untuk bekerja di maskapai lagi?""Memangnya kau masih ingin pergi bekerja setelah semua yang terjadi?" Tanya Adina.Derek memandangnya dengan ekspresi yang mengatakan kalau itu adalah pertanyaan yang paling bodoh yang pernah dia dengar. "tentu saja. hanya masalah waktu, aku hanya mengambil cuti beberapa minggu untuk istirahat. Aku ingin menerbangkan pesawat sebanyak yang bisa aku lakukan sebelum aku di anggap terlalu tua atau sebelum ada masalah kesehatan terjadi padaku atau sebelum pilot-pilot muda menggantikanku. jadi, tentu saja aku ingin terbang lagi.""Kau benar-benar suka pekerjaanmu, ya" Tanya Adina sambil menggelengk
Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah."jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam. "Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan."hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek."Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola.""Aku tidak keber
"Rumahmu?" Tanya Adina."Aku pikir mungkin kalian mau berenang dan beristirahat." Jawab Derek datar."Benarkah?" Tanya Bobby kegirangan."Sekarang sudah larut." Kata Adina dengan nada peringatan."Besok libur, boleh, kan?" Rengek Bobby.Karena Derek yang menyetir mobil, keputusan jelas bukan di tangan Adina, tapi dia sama sekali tidak menyukai ide untuk pergi ke rumah pria itu. Dia tidak mau Bobby menjadi terlalu akrab dengan orang terkenal yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja begitu kegembiraan memiliki seorang anak sudah luntur.Dan kalau rasa tanggung jawab Derek membuatnya merasa wajib untuk mengasuh Bobby, bagaimana rumah tuanya, yang genteng belakangnya sangat perlu di perbaiki, dapat menandingi rumah modern yang indah dengan kolam renang di halaman belakang dan akuarium di dinding ruang makan?Akuarium itu hanya salah satu dari ratusan benda lain yang di sebut Bobby "Keren!" ketika dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Anjing
Dengan penuh percaya diri, Adina berjalan menuju kolam renang dan dengan perlahan masuk ke dalam air yang dingin. Derek yang sudah ada di dalam kolam bertepuk tangan untuk Adina sambil mengapung di punggungnya menuju ke pinggir kolam, dia menendang-nendang kakinya agar membuatnya tetap mengapung."Kau terlihat luar biasa." Kata Derek."Terima kasih." Balas Adina dengan malu-malu.Adina berenang menuju tangga yang berada di seberangnya dan ketika sudah setengah jalan menaiki tangga itu dan tangan Derek menangkap pergelangan kakinya. Derek menarik Adina kembali masuk ke dalam air dan menekan punggung Adina ke dinding kolam.Saat kaki pria itu menyentuh kaki Adina, Adina menatapnya dengan terkejut. "Derek, kau...""Aku suka berenang telanjang, Rasanya lebih nyaman." Kata Derek membenarkan perkataan Adina yang belum sempat dia selesaikan."Itu adalah prinsip hidupmu, kan? Kalau kau merasa nyaman, lakukan saja." Kata Adina berusaha untuk tetap tenang."Dan prinsip hidupmu adalah kalau rasa
Ternyata pria itu menghubunginya lagi, dengan alasan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Adina."Apa?" Tanya Adina dari balik gagang telepon yang dipegangnya."Kau bisa atau tidak?" Tanya Derek."Tidak." Jawab Adina."Kenapa tidak bisa?" Tanya Derek. Entah kenapa, Adina bisa merasakan kalau pria itu sedang mengangkat sebelah alisnya."Pertama, karena sekarang sudah jam dua siang. Dan kamu bilang acara makan malamnya jam...""Delapan malam. Memangnya kau perlu enam jam untuk berdandan?" Potong Derek."Aku tidak punya baju untuk pergi ke acara semacam itu. Lagian, kenapa kau mengajakku? Bukankah kau memiliki buku kecil yang isinya penuh dengan nama para wanita yang bersedia untuk makan denganmu?" Tanya Adina."Aku meneleponmu karena gara-gara dirimu, aku jadi tidak punya teman kencan." Kata Derek dengan nada jengkel."Gara-gara aku?" Tanya Adina dengan bingung."Aku sulit berkonsentrasi sejak bertemu dengan Bobby. Aku sama sekali tidak ingat kalau aku memiliki acara makan malam sam
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta
Hari sudah senja ketika Adina berbelok menuju rumah Derek. Adina memarkir mobilnya di depan rumah itu dan untuk sesaat dia hanya duduk di balik kemudinya, dia merasa terlalu letih dan sedih untuk bergerak.Akhirnya dia berhasil mengumpulkan energi untuk membuka pintu mobil dan berjalan menuju pintu depan rumah Derek. Dia mendengar denting bel pintu yang baru saja dia bunyikan dan geraman penuh curiga dari Luna sebelum akhirnya Derek membuka pintu yang ada di hadapannya. Pria itu hanya mengenakan celana renang yang basah. Dan Derek terlihat terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini."Hai, Apakah Bobby ada di rumah?" Tanya Adina pelan."Dia tidak ada." Jawab Derek.Adina sedikit terkejut. Satu-satunya yang dia pikirkan tadi hanyalah datang ke rumah ini untuk bertemu dengan Bobby."Ayo masuk." Kata Derek lalu mundur beberapa langkah agar wanita itu bisa masuk ke dalam rumahnya.Hanya ada sedikit energi yang tersisa dalam tubuh Adina. Dia tetap melakukan apa yang di minta pria
Belum sampai dua puluh menit, Ponsel Adina berdering kembali dari sebuah nomor yang tidak di kenal. Dengan hati yang gelisah Adina menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?" kata Adina."halo, maaf aku perawat dari rumah sakit." Jawab seseorang dari seberang."Apakah terjadi sesuatu pada ibuku?" tanya Adina dengan panik. "Kondisi ibumu tiba-tiba menurun. Sekarang sedang dalam tindakan, Apakah kau bisa kemari?" kata Perawat itu. Adina tertegun bingung, dia mendengar suara bising di lalu lintas dan juga suara bising dari balik telepon itu. Suara keras monitor dan suara kepanikan seorang pria yang di kenalnya sebagai dokter Bili yang menyuruh seseorang untuk menyiapkan sebuah suntikan obat."halo?" Kata perawat itu lagi."Aku... Aku dalam perjalanan." Kata Adina lalu segera mematikan panggilan itu. Dengan tangan gemetar Adina mencoba tenang dan berbalik arah kembali ke rumah sakit. Dia menyetir dengan kcepatan maksimum dan berdoa agar lalu lintas bersahabat dengannya unt
keesokan paginya ketika dia masuk ke dapur untuk membuat kopi, Adina terkejut melihat dapurnya sudah rapi dan bersih. Ruang makan juga sudah di bersihkan dari sisa-sisa pesta ulang tahun, walau pun bunganya masih ada di atas meja. Sepertinya Derek dan Bobby sudah membersihkan segalanya sebelum mereka pergi. Adina menyesap kopi yang sudah dia buat lalu berpikir bagaimana dia bisa menjual mobil yang baru saja dia beli itu. Mungkin si penjual mobil mau mengambilnya kembali dan mengembalikan uangnya. Sementara Adina sibuk merenung hal yang sepertinya tidak mungkin itu, teleponnya berdering. "Adina?" Suara seorang wanita yang dia kenal dari balik telepon. "ya?" jawab Adina. "Ini adalah Dokter Wulan." Kata wanita itu. benar saja, Dokter Wulan adalah dokter yang menangani ibunya. "Ibumu terkena serangan jantung yang parah beberapa menit yang lalu dan kami sedang dalam perjalanan dengan ambulans menuju ke rumah sakit yang lebih besar." Kata Dokter Wulan. Setelah menutup telepon dengan