"Cola dingin satu." Kata Adina.
"Dua."
Mendengar suara Derek, Adina memutar tubuhnya dan melihat Derek sedang berdiri tepat di belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Beli cola." jawab Derek sambil tersenyum santai. "Dan Popcornnya satu."
Pria di balik stan makanan memberikan pesanan mereka sambil terus menatap Derek. "Sepertinya aku mengenalmu."
Derek tersenyum lebar sambil menyerahkan uang. "Mungkin kau memang mengenalku."
Pria itu terus memperhatikan wajah Derek sambil menghitung uang kembalian Derek. Adina berusaha untuk membayar sendiri minumannya tapi tangannya di tahan oleh Derek.
"Oh astaga!" Kata pria remaja itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Kau bekerja di supermarket, kan? Di bagian peralatan olahraga?"
Senyum Derek memudar, tapi hanya separuh. "benar." Pria itu tersenyum lebar dan terlihat bangga karena telah mengingat seorang pekerja yang bekerja di supermarket sambil menyerahkan uang kembalian pada Derek. "Terima kasih." Kata Derek lalu menuntun Adina keluar dari antrean dan berjalan menuju tempat duduk penonton di lapangan olahraga sekolah.
Tawa Adina meledak.
"Diam." Kata Derek. "Ini bukan pertama kali terjadi dan ini membantuku untuk tetap rendah hati."
Pria itu sama sekali tidak terlihat rendah hati. Dia mengenakan celana pendek dan kaus biru yang membentuk tubuhnya, sebuah topi dan kacamata hitam yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Berjalan di sampingnya, Adina melihat beberapa orang melihat ke arah Derek entah karena mereka mengenali sosok yang terkenal itu atau hanya sedang mengagumi seorang pria tampan.
"Terima kasih untuk minumannya." Kata Adina.
"Sama-sama. Mau popcorn?" tawar Derek
"Tidak, terima kasih."
Karena kedua tangannya penuh, Derek menggunakan mulutnya untuk langsung mengambil popcorn. "Aku mendapat surat lagi." Kata Derek dengan tenang sambil mengunyah.
"Benarkah?" Kata Adina yang langsung berhenti berjalan.
"Ya. Hari yang sama waktu aku bertemu denganmu. Kita mau duduk di mana?"
"Di bawah sana, yang penuh dengan orang yang memakai baju biru dan putih." Adina menjawab dan menganggukkan kepalanya ke sebuah tempat duduk yang penuh dengan para pendukung yang berteriak dengan meriah.
Derek menepi agar Adina bisa jalan mendahuluinya menuruni tangga.
"Apa isi surat itu?" Tanya Adina sambil menengok ke belakang.
"Sama seperti sebelumnya. Nanti saja kita membahasnya. Setelah pertandingan selesai." Jawab Derek.
"Aku pikir karena kau tidak menelepon atau datang lagi..."
"kau tidak akan melihatku lagi?" Sambung Derek memotong perkataan Adina.
"Ya." Jawab Adina jujur.
"kau merasa senang atau sedih?"
"Aku tidak tahu." Jawab Adina sambil mengangkat ke dua bahunya.
Adina merasa hampa ketika hari demi hari berlalu tanda Derek yang tidak mencoba untuk menghubunginya lagi. Di satu sisi dia merasa sangat leha tapi di sisi yang lain dia tidak sanggup membayangkan tidak dapat bertemu lagi dengan pria itu. Di tambah lagi dengan kekecewaan Bobby yang harus dia atasi saat idola anak itu tidak meneleponnya.
"Bagaimana kalau kita duduk di sini?" Tanya Derek saat melihat deretan kursi kosong di baris ke empat.
"Boleh."
Adina melambaikan tangan ke arah para orang tua teman satu tim Bobby yang sebagian besar berhenti bersorak untuk memperhatikan Derek dan Adina dengan penuh rasa ingin tahu. Adina memang belum pernah menghadiri acara olahraga di sekolah bersama seorang teman kencan pria. tahun lalu dia di jodoh-jodohkan dengan pelatih sepakbola yang juga masih lajang.
Sekarang pelatih itu sudah punya kekasug yang sedang berteriak dari kursi penonton, Dan Adina merasa bisa selamat dari pertemuan yang di rancang untuk memaksa mereka berduaan.
Adina tidak pernah menceritakan pada mereka kalau si pelatih pernah meneleponnya tiga kali untuk mengajaknya berkencan. Saat pelatih itu menelepon untuk ke dua dan ketika kalinya dia mengarang alasan yang tidak terkesan di buat-buat hingga pelatih itu akhirnya menyerah dan mundur.
Sekarang justru dia merasa kalau semua perhatian sedang tertuju padanya ketika Derek duduk di sampingnya. Semua yang duduk di sekeliling mereka terus memperhatikan mereka berdua.
"Sudah ada kabar dari perusahaan biro iklan itu?" tanya Derek.
"Belum. Aku masih terus berdoa untuk itu." Adina mengangkat tangannya dan membuat gerakan orang yang sedang berdoa. Derek meraih pergelangan tangan Adina untuk melihat tangan Adina.
"Bagimana lukanya?"
"Sudah baik, Untungnya hanya merah dan tidak melepuh." Jawab Adina sambil menarik tangannya.
"Baguslah kalau begitu." Kata Derek kemudian memperhatikan Adina. "Kau terlihat seperti maskot tim." Komentar Derek sambil makan popcorn langsung dari tempatnya. "Seharusnya kau ikut tim pemandu sorak."
Adina mengenakan celana pendek hitam dan sebuah kaus tim berwarna biru putih. "Semua ibu-ibu memakai baju seperti ini."
"Tapi tidak dari mereka yang mirip denganmu."
Adina tidak dapat melihat mata Derek di balik kacamata hitamnya, tapi dia tahu kalau Derek sedang mengamatinya. Tiba-tiba dia merasa malu dan langsung mengalihkan perhatiannya ke lapangan. "Itu Bobby."
"Nomor berapa? Oh itu dia."
Bobby dan timnya sedang berlari di pinggir lapangan setelah melakukan pemanasan. Saat dia melihat mereka berdua duduk berdampingan di bangku penonton, dari jauh pun Adina bisa melihat mata Bobby yang berbinar-binar. Senyum Bobby semakin lebar dan dia melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Derek membalas lambaian tangannya dan mengancungkan ibu jarinya.
"Timnya pasti menang." Kata Derek.
"Dari mana kau tahu?"
"Anak itu seorang pemenang, sudah terlihat jelas." Jawabnya dengan senyum sombong.
Di akhir babak pertama Adina merasa ramalan Derek salah. Tim Bobby kalah satu kosong. Babak itu adalah babak yang berat untuk kedua tim, karena masing-masing sudah hampir mencentak angka tapi langsung di gagalkan oleh para penjaga gawang yang handal. Suasana histeris melanda penonton dan emosi semakin meningkat. Karena itulah ketika paha mereka tidak sengaja bersentuhan, Adina langsung menarik pahanya. Tiap helai bulu di pahanya seperti tersengat listrik.
"Maaf." Kata Adina sambil menahan napas.
"Tidak apa-apa." Jawab Derek. Tanpa sadar Adina menggosok pahanya yang tadi bersentuhan dengan paha Derek. Derek melihat itu dan berbisik ke telinga Adina. "tenang saja, Aku tidak menularkan apa-apa lewat sentuhan ringan seperti itu."
Adina berhenti menggosok pahanya dan mengerutkan dahi sambil memandang Derek dengan kesal. "Kau senang melakukannya?"
"Apa? Sentuhan ringan?"
"Membuat wanita salah tingkah." Jawab Adina.
"Sebenarnya salah tingkah tidak membuatku bergairah. Aku lebih suka membuat sentuhan yang lebih intim dan memusatkan perhatian pada hal-hal yang perlu saja."
Adina ingin menghapus senyum mengejek yang di berikan pria itu dan mengalihkan pembicaraan ke masalah serius yang mempertemukan mereka. "Apa isi surat itu?"
Matahari di balik sisi stadion mulai tenggelam membuat lampu besar di sekitaran mereka menyala terang. Derek melepaskan kacamata hitamnya.
"Sama seperti sebelumnya." Jawab Derek.
"Lebih mengancam?" Tanya Adina khawatir dengan keselamatan Bobby.
"Tidak juga. Aku hanya di ingatkan kalau pers akan berpesta pora kalau mereka tahu tentang Bobby. Aku bahkan juga tahu itu."
"Bobby juga akan terkena akibatnya."
"Aku tahu." Jawab Derek. "Aku bukan bajingan egois seperti yang kau kira. Sekarang aku harus bisa berpikir lebih logis dan tidak emosional. Satu-satunya cara kita bisa menangkap orang ini adalah dengan mulai berpikir seperti dia."
Adina hanya mengangguk.
"Aku memang sasaran empuk untuk di jadikan objek ancaman. Siapa pun yang menulis surat-surat itu cukup pandai untuk menyadarinya dan menggunakan Bobby sebagai umpan. Dia sama sekali tidak bisa di anggap enteng. Ini adalah rencana yang sudah dia rancang dengan matang untuk menghancurkanku." tambah Derek.
"Aku bisa mengerti kalau ini bisa mengganggu hidup kita, tapi bagaimana bisa mengungkapkan kesalahan di msa mudamu bisa menghancurkan karirmu?"
"Maskapai tempat aku bekerja sudah mendapatkan kembali nama dan kepercayaan mereka yang sempat hilang setelah kecelakaan karena kecerobohan pilot yang mabuk-mabukkan sehari sebelum penerbangan tujuh tahun lalu." Kata Derek.
"Berkat kau." Kata Adina dengan nada bosan.
Derek mengangkat ke dua bahunya. "Tapi para direktur masih saja cemas. Mereka tidak mau membuat kesalahan lagi. Jelas mereka tidak mau ada skandal lainnya. Dan kalau sampai foto seorang anak yang tidak sah atau anak haram yang tidak pernah aku ketahui keberadaannya muncul di tabloid atau majalah atau koran dan internet, apa kau kira aku masih akan punya kesempatan untuk bekerja di maskapai lagi?""Memangnya kau masih ingin pergi bekerja setelah semua yang terjadi?" Tanya Adina.Derek memandangnya dengan ekspresi yang mengatakan kalau itu adalah pertanyaan yang paling bodoh yang pernah dia dengar. "tentu saja. hanya masalah waktu, aku hanya mengambil cuti beberapa minggu untuk istirahat. Aku ingin menerbangkan pesawat sebanyak yang bisa aku lakukan sebelum aku di anggap terlalu tua atau sebelum ada masalah kesehatan terjadi padaku atau sebelum pilot-pilot muda menggantikanku. jadi, tentu saja aku ingin terbang lagi.""Kau benar-benar suka pekerjaanmu, ya" Tanya Adina sambil menggelengk
Saat berjalan pelan menuju ke tempat parkir, mereka bertiga berdebat tentang kendaraan yang akan ada di restoran pizza. Akhirnya Adina kalah, dua lawan satu. "Seperti skor pertandingan saja." kata Adina mengaku kalah."jangan sinis begitu." kata Derek, dia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya atas hasil pemungutan suara yang mereka lakukan.Adina dan Bobby di tuntun menuju ke sebuah mobil mewah yang keren berwarna hitam. "Berapa banyak mobil yang kau punya?" Seru Bobby dari kursi belakang penumpang mobil setelah mereka mulai turun ke jalanan."hanya dan yang satu kemarin." jawab Derek."Aku minta maaf, tadi teman temanku mengeroyokmu seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang keren yang terkenal." Kata Bobby tidak bisa menyembunyikan rasa terganggu yang sengaja dia buat-buat dan membuat ke dua orang dewasa di depannya itu tersenyum bahagia. "Tidak ada dari mereka percaya kalau kau datang hanya untuk melihatku bertanding sepak bola.""Aku tidak keber
"Rumahmu?" Tanya Adina."Aku pikir mungkin kalian mau berenang dan beristirahat." Jawab Derek datar."Benarkah?" Tanya Bobby kegirangan."Sekarang sudah larut." Kata Adina dengan nada peringatan."Besok libur, boleh, kan?" Rengek Bobby.Karena Derek yang menyetir mobil, keputusan jelas bukan di tangan Adina, tapi dia sama sekali tidak menyukai ide untuk pergi ke rumah pria itu. Dia tidak mau Bobby menjadi terlalu akrab dengan orang terkenal yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan sewaktu-waktu bisa pergi begitu saja begitu kegembiraan memiliki seorang anak sudah luntur.Dan kalau rasa tanggung jawab Derek membuatnya merasa wajib untuk mengasuh Bobby, bagaimana rumah tuanya, yang genteng belakangnya sangat perlu di perbaiki, dapat menandingi rumah modern yang indah dengan kolam renang di halaman belakang dan akuarium di dinding ruang makan?Akuarium itu hanya salah satu dari ratusan benda lain yang di sebut Bobby "Keren!" ketika dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Anjing
Dengan penuh percaya diri, Adina berjalan menuju kolam renang dan dengan perlahan masuk ke dalam air yang dingin. Derek yang sudah ada di dalam kolam bertepuk tangan untuk Adina sambil mengapung di punggungnya menuju ke pinggir kolam, dia menendang-nendang kakinya agar membuatnya tetap mengapung."Kau terlihat luar biasa." Kata Derek."Terima kasih." Balas Adina dengan malu-malu.Adina berenang menuju tangga yang berada di seberangnya dan ketika sudah setengah jalan menaiki tangga itu dan tangan Derek menangkap pergelangan kakinya. Derek menarik Adina kembali masuk ke dalam air dan menekan punggung Adina ke dinding kolam.Saat kaki pria itu menyentuh kaki Adina, Adina menatapnya dengan terkejut. "Derek, kau...""Aku suka berenang telanjang, Rasanya lebih nyaman." Kata Derek membenarkan perkataan Adina yang belum sempat dia selesaikan."Itu adalah prinsip hidupmu, kan? Kalau kau merasa nyaman, lakukan saja." Kata Adina berusaha untuk tetap tenang."Dan prinsip hidupmu adalah kalau rasa
Ternyata pria itu menghubunginya lagi, dengan alasan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Adina."Apa?" Tanya Adina dari balik gagang telepon yang dipegangnya."Kau bisa atau tidak?" Tanya Derek."Tidak." Jawab Adina."Kenapa tidak bisa?" Tanya Derek. Entah kenapa, Adina bisa merasakan kalau pria itu sedang mengangkat sebelah alisnya."Pertama, karena sekarang sudah jam dua siang. Dan kamu bilang acara makan malamnya jam...""Delapan malam. Memangnya kau perlu enam jam untuk berdandan?" Potong Derek."Aku tidak punya baju untuk pergi ke acara semacam itu. Lagian, kenapa kau mengajakku? Bukankah kau memiliki buku kecil yang isinya penuh dengan nama para wanita yang bersedia untuk makan denganmu?" Tanya Adina."Aku meneleponmu karena gara-gara dirimu, aku jadi tidak punya teman kencan." Kata Derek dengan nada jengkel."Gara-gara aku?" Tanya Adina dengan bingung."Aku sulit berkonsentrasi sejak bertemu dengan Bobby. Aku sama sekali tidak ingat kalau aku memiliki acara makan malam sam
"Ayo, cobalah." Kata Derek sambil menawarkan tiram mentah yang sudah di beri irisan lemon untuk di makan Adina."Tidak terima kasih. Melihatnya saja sudah geli." Jawab Adina.Derek membuka cangkak dengan bibirnya dan menelan benda licin itu sepenuhnya. Adina bergidik. Derek tertawa puas. "Ini baus untukmu, katanya bisa meningkatkan tenagamu." "Berarti tidak cocok untukku, karena dari awal aku sudah memiliki banyak tenaga." Jawab Adina. "Bisa saja." Kata Derek sambil menatap gaun Adina Adina tersipu malu dan berusaha mengalihkan perhatian Derek. "Hati-hati nanti Susan cemburu." "Siapa?" Tanya Derek bingung.Adina menganggukkan kepalanya ke arah seorang wanita berambut pirang yang terlihat baru saja di cat yang mempesona. Wanita itu mengenakan dress pendek berwarna merah dan sedang menggandeng lengan seorang pilot yang baru saja bercerai."Oh, dia." Kata Derek dengan tidak peduli dan kembali mengarahkan pandangannya pada Adina. "Dia hanya salah satu dari penggemarku.""Tadi aku sem
Keesokkan harinya Derek muncul di muka pintu rumah Adina jam sebelas siang. Adina terkejut melihat pria itu. Sejak percakapan mereka di teras di pesta malam kemarin, sikap Derek terasa kaku dan menjaga jarak. Ketika Derek mengantar Adina hingga sampai di muka pintu rumahnya semalam, pria itu mengucapkan selamat malam dengan sopan dan menciumnya dengan cepat di pipinya yang menandakan kalau dia senang karena malam itu sudah berakhir. Itu sebabnya kunjungan ini sama sekali tidak Adina duga."Apakah kau sedang sibuk?" Tanya Derek yang masih berdiri di depan pintu."Aku sedang bekerja." jawab Adina singkat.Tubuh Adina di penuhi dan berbau cat dan penampilannya juga berantakan. Rambutnya yang semalam tertata rapi sekarang sudah kusut. Rambutnya sudah kembali menjadi ikal pendek dan tipis yang menggantung di sekitaran wajahnya yang kecil. Gaun yang di kenakan Adina tadi malam sudah digantung di dalam lemari kayu di kamarnya. Pagi ini Adina hanya mengatakan celana pendek dan kaus yang sama
"Bisa lebih detail lagi?" Tanya Derek."Sudah tidak penting lagi. Bobby juga tidak mengingat kejadian itu." Kata Adina."Aku ingin tahu." Kata Derek dengan nada memaksa.Adina memejamkan matanya kuat-kuat dan berbisik pelan. "Linda mabuk waktu itu. Mobilnya melanggar jalur pemisah jalan dan menabrak mobil lain yang ada di jalur itu, Ada dua orang di dalam mobil itu bersama dengannya. Mereka bertiga tewas di tempat kejadian. Sedangkan orang yang dia tabrak mengalami patah tulang di bagian kakinya."Derek mengumpat dengan keras, dia merasa marah sekaligus menyesal. Adina langsung menyadari apa yang Derek pikirkan dan berusaha menghiburnya dengan meletakkan tangannya di atas paha pria itu."Itu bukan salahmu, Derek. Kau bahkan tidak tahu kalau Linda hamil. jangan menyalahkan dirimu karena merasa sudah meninggalkan seorang gadis dalam masalah. Linda sendiri yang menjerumuskan dirinya sendiri dalam masalah itu, dan kalau bukan denganmu dia pasti akan hamil dengan pria lain. Linda adalah s
"Aku tidak berusaha terdengar seperti orang munafik. Jangan berpkir aku melihat diriku seperti itu. Seharian aku mempersiapkan pidato ini. Setiap kata yang aku ucapkan adalah ungkapan dari hatiku. Tolong biarkan aku selesaikan. Masih ada yang lain." Jawab Adina dan Derek menganggukkan kepalanya menyuruhnya melanjutkan apa yang ingin Adina bicarakan."Apa yang terjadi pagi ini..." Adina memulai."Hmm?""Ada beberapa alasan mengapa hal itu sampai terjadi." Kata Adina hampir tergagap."Yang aku tahu itu adalah pemanasan yang bagus." Kata Derek."Derek..."Maaf." Derek melambaikan tangannya dengan tidak sabar."Aku merasa sangat sedih karena kematian ibuku. Tidak berdaya, kau tahu. Seperti bertanya-tanya apa gunanya hidup kalau harus berakhir seperti itu?" Kata Adina."Aku mengerti. Kau membutuhkan untuk berkontak dengan manusia lain, dan menegaskan kalau hdup ini memang memiliki arti." Kata Derek sambil menganggukkan kepalanya."Benar." Kata Adina, diam-diam merasa terkejut karena Derek
Dengan langkah lemas Adina menaiki anak tangga rumahnya. Dia tidak menyalakan lampu sama sekali, meski pun hari sudah sore dan kegelapan mulai memenuhi tiap sudut rumahnya.Di kamar tidurnya dia melepaskan sepatu kulitnya yang berwarna hitam dan meletakkan tasnya di atas lemari kecil. Adina berjalan menuju jendela yang mengarah langsung ke taman belakang. Dia menatap ke kejauhan untuk beberapa lama. Keputusaan telah merasukinya.Dia baru saja hendak berbalik ketika dia melihat bola sepak milik Bobby tergeletak begitu saja di rumpun bunga di tanah. Bola yang terlihat sangat kesepian, terbuang dan terlantar. da tampaknya melukiskan segala kesedihan dalam hidup Adina.Adina mendesah kuat-kuat dan mengulurkan tangannya ke punggung belakangnya untuk membuka resleting gaun hitamnya."Mari aku bantu." Kata Derek.Adina langsung berbalik karena terkejut. Derek berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, dia masih mengenakan jaket hitam dan kemeja hitamnya. Saat denyut jantung Adina sudah k
Setelah mandi dengan cepat, Adina segera berpakaian. Adina menenteng sepatunya dan berjalan menyusuri rumah itu, dia berjalan ke arah dapur. Kemudian dia melihat sebuah pintu yang setengah terbuka. Adina kemudian mendorong pintu pelan dan membukanya.Kamar Bobby. Hal itu yang langsung terlihat olehnya. Pakaian-pakaiannya tergelatak di mana-mana, Sebuah kebiasaan buruk yang dulu membuatnya marah tapi kini dengan pesih dia merindukan kebiasaan itu. Berbagai ponser bintang rock, altet olahraga, dan sebuah poster model berbaju bikini yang ceria memenuhi dinding kamarnya. Sebuah minatur pesawat ada di meja bersama dengan setumpuk buku sekolah.Meski pun Bobby baru menempati kamar itu sebentar, Bobby sudah mengisi kamar itu dengan semua ciri khasnya. Selain barang-barang yang dari dulu sudah dia miliki, Adina juga melihat ada sebuah tv baru yang lengkap dengan perlengkapan video game, sesuatu yang memang sangat di inginkan Bobby sejak lama. Sebuah telepon yang sepertinya baru saja di pasan
Adina mendesah dalam-dalam sebelum dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas seperti dia baru saja melakukan aktifitas yang berat. Seolah setiap sel dalam tubuhnya tidak berdaya. Jantungnya berdetak lebih kuat dan lambat. Dia nyaris dapat merasakan aliran darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia pernah merasa sesantai ini. Bersantai seperti ini tanpa harus memikirkan apa pun rasanya enak sekali.Adina menguap dan meregangkan tubuhnya. Saat itulah dia merasa kakinya menyentuh kaki lain yang bukan kakinya. Adina langsung terkejut lalu dengan perlahan dia menoleh ke sampingnya. Derek sedang tidur tepat di sampingnya. Rambutnya acak-acakan dan bagian bawah wajahnya derdapat jenggot yang baru tumbuh. Selimut hanya menyelimutinya sebatas pinggang. Dada pria itu terpampang di depan wajahnya.Adina hanya berbaring dengan diam, dia nyaris tidak berani untuk bernapas. Adina memandangi pria itu. Menit demi menit sudah berlalu. Alam bawah sadarnya
"Aku pikir aku tidak perlu mengatakan tentang apa rancanaku padamu, Derek." Kata Adina."Aku tidak membeli mobil itu sebagai sogokan agar bisa lebih dekat dengan Bobby. Aku berani sumpah. AKu ahkan berpikir kalau kamu mungkin akan ikut senang kalau Bobby juga senang." Kata derek sambil tersenyum sinis. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang istimewa baginya. Itu saja." Lanjut Derek."Aku juga begitu!" Kata Adina dengan meninggikan suaranya sambil menunjuk dadanya."Aku mengerti dan aku minta maaf karena itu. Memang aku yang salah. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Kecuali..." Derek berhenti dan memandang Adina dengan tatapan memohon dan menarik napas panjang. "Kau memiliki Bobby selama ini. Kamu merayakan ulang tahunnya selama ini bersamanya. Aku tidak pernah mengalami hal itu." Lanjut Derek.Adina terdiam, tidak mengatakan apa pun."Baiklah. Aku mungkin memang terlalu berlebihan dengan memberinya mobil itu. Tapi tolong jangan salahkan aku. Aku masih baru dalam hal ini. Aku a
Mulut Adina menganga lebar. "Apa?""Mengingat keadaan emosionalmu saat ini, kamu tidak bisa mengendarai mobil, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi di jalanan. Lagi pula, aku tidak yakin kalo kamu punya tenaga untuk pulang ke rumah. Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, tidak baik kalau kamu sendirian malam ini." Jelas Derek."Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya sendiri." Jawab Adina."Aku memaksamu. Aku punya banyak kamar tidur yang kosong." Kata Derek."Tapi tempat tidurnya sudah pernah di gunakan." Balas Adina.Derek meringis. "Ternyata kau masih ingat. Tajam sekali ingatanmu. Aku janji, malam ini tidak akan ada pasangan setengah telanjang yang akan mengganggumu. Semua temanku sudah tahu kalau aku sekarang tinggal bersama anak remaja jadi perilaku seperti itu sudah di larang di sini." Jawab Derek."Apa yang kamu katakan pada mereka?" Tanya Adina penasaran."Mereka harus mencari tempat lain jika ingin telanjang." Jawab Derek."Bukan, maksudku tentang Bobby." Kata Adina sambil memuta
Hari sudah senja ketika Adina berbelok menuju rumah Derek. Adina memarkir mobilnya di depan rumah itu dan untuk sesaat dia hanya duduk di balik kemudinya, dia merasa terlalu letih dan sedih untuk bergerak.Akhirnya dia berhasil mengumpulkan energi untuk membuka pintu mobil dan berjalan menuju pintu depan rumah Derek. Dia mendengar denting bel pintu yang baru saja dia bunyikan dan geraman penuh curiga dari Luna sebelum akhirnya Derek membuka pintu yang ada di hadapannya. Pria itu hanya mengenakan celana renang yang basah. Dan Derek terlihat terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini."Hai, Apakah Bobby ada di rumah?" Tanya Adina pelan."Dia tidak ada." Jawab Derek.Adina sedikit terkejut. Satu-satunya yang dia pikirkan tadi hanyalah datang ke rumah ini untuk bertemu dengan Bobby."Ayo masuk." Kata Derek lalu mundur beberapa langkah agar wanita itu bisa masuk ke dalam rumahnya.Hanya ada sedikit energi yang tersisa dalam tubuh Adina. Dia tetap melakukan apa yang di minta pria
Belum sampai dua puluh menit, Ponsel Adina berdering kembali dari sebuah nomor yang tidak di kenal. Dengan hati yang gelisah Adina menepikan mobilnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?" kata Adina."halo, maaf aku perawat dari rumah sakit." Jawab seseorang dari seberang."Apakah terjadi sesuatu pada ibuku?" tanya Adina dengan panik. "Kondisi ibumu tiba-tiba menurun. Sekarang sedang dalam tindakan, Apakah kau bisa kemari?" kata Perawat itu. Adina tertegun bingung, dia mendengar suara bising di lalu lintas dan juga suara bising dari balik telepon itu. Suara keras monitor dan suara kepanikan seorang pria yang di kenalnya sebagai dokter Bili yang menyuruh seseorang untuk menyiapkan sebuah suntikan obat."halo?" Kata perawat itu lagi."Aku... Aku dalam perjalanan." Kata Adina lalu segera mematikan panggilan itu. Dengan tangan gemetar Adina mencoba tenang dan berbalik arah kembali ke rumah sakit. Dia menyetir dengan kcepatan maksimum dan berdoa agar lalu lintas bersahabat dengannya unt
keesokan paginya ketika dia masuk ke dapur untuk membuat kopi, Adina terkejut melihat dapurnya sudah rapi dan bersih. Ruang makan juga sudah di bersihkan dari sisa-sisa pesta ulang tahun, walau pun bunganya masih ada di atas meja. Sepertinya Derek dan Bobby sudah membersihkan segalanya sebelum mereka pergi. Adina menyesap kopi yang sudah dia buat lalu berpikir bagaimana dia bisa menjual mobil yang baru saja dia beli itu. Mungkin si penjual mobil mau mengambilnya kembali dan mengembalikan uangnya. Sementara Adina sibuk merenung hal yang sepertinya tidak mungkin itu, teleponnya berdering. "Adina?" Suara seorang wanita yang dia kenal dari balik telepon. "ya?" jawab Adina. "Ini adalah Dokter Wulan." Kata wanita itu. benar saja, Dokter Wulan adalah dokter yang menangani ibunya. "Ibumu terkena serangan jantung yang parah beberapa menit yang lalu dan kami sedang dalam perjalanan dengan ambulans menuju ke rumah sakit yang lebih besar." Kata Dokter Wulan. Setelah menutup telepon dengan